Noktah Hitam Korupsi Parpol

Sabtu, 25 Agustus 2018 - 07:27 WIB
Noktah Hitam Korupsi...
Noktah Hitam Korupsi Parpol
A A A
Aminuddin
Direktur Eksekutif Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (Pokasi)

SETELAH
bolak-balik di­periksa sebagai saksi, akhirnya Ko­mi­si Pembe­ran­tas­an Korupsi (KPK) me­ne­tap­kan Menteri Sosial Idrus Mar­ham sebagai tersangka. Sejak kemarin Idrus me­nya­ta­kan me­ngundurkan diri dari ja­ba­t­an menteri sosial dan juga se­bagai pengurus DPP Partai Golkar.

Kasus menteri Kabinet Kerja jadi tersangka tentu saja menjadi noktah hitam kep­e­mimpinan Presiden Joko Wi­dodo. Pasalnya Idrus me­ru­pa­kan menteri pertama dalam ka­binet Jokowi yang dinyatakan sebagai tersangka korupsi.

Idrus Marham belum lama menduduki jabatan menteri. Ia menggantikan Khofifah In­dar­parawansa yang maju da­lam Pe­milihan Gubernur Jawa Timur. Penetapan Idrus ter­sangka se­kaligus me­ngon­fir­masi bahwa korupsi dan partai politik (par­pol) selalu be­r­iri­ngan. Se­per­ti diketahui, Idrus me­ru­pakan petinggi Partai Golkar yang se­kaligus be­r­koa­lisi de­ngan pemerintahan Jo­kowi.

Sejatinya kasus korupsi yang melibatkan kader parpol di negeri ini sudah tidak lagi membedakan parpol anggota koalisi atau oposisi. Parpol ham­pir merata telah terlibat da­lam kasus korupsi. De­ngan sis­tem mul­ti­partai, memang sa­ngat di­mung­kinkan semua parpol akan ter­l­ibat. Pasalnya ham­pir semua kebi­ja­kan po­li­tik tidak hanya me­li­batkan satu dua partai, partai pe­merintah atau non-pe­me­rin­tah, me­lain­kan melibatkan semua partai. Di samping itu, tidak adanya perbedaan ideo­logis parpol yang mencolok juga me­mung­kinkan praktik korupsi politik marak terjadi.

Publik tidak habis pikir dengan komitmen parpol da­lam upaya pemberantasan ko­rup­si. Parpol yang didesain un­tuk menegakkan keadilan dan hanya berkomitmen me­nye­jah­terakan rakyat justru ter­jebak dalam permainan ko­rupsi. Ibarat mencari harta ka­run, parpol menjadi satu-sa­tunya pintu gerbang untuk m­engeruk harta karun tersebut. Banyaknya kepala daerah yang berasal dari parpol terjerat ka­sus korupsi menandakan bah­­wa parpol sudah semakin in­­tim dengan perilaku korupsi.

Berbagai fakta kekinian membuktikan bahwa para pe­ja­bat yang tertangkap k­orupsi tidak lain merupakan kader yang didelegasikan parpol. Na­hasnya lagi, banyak kader par­pol yang tersangkut korupsi berasal dari parpol yang sedang berkuasa. Ini semakin m­e­ngo­kohkan adagium klasik Lord Acton (1834-1902) bahwa po­wer tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.

Hing­ga hari ini, adagium klasik ter­se­but semakin relevan adanya. Sejak Orde Baru hingga kini, parpol acap kali menjadi bagian dari sengkarut korupsi. Di era Orde Ba­ru, korupsi tidak ter­lalu terbuka seperti se­ka­rang ken­dati kualitas kerugian ne­gara te­tap sama. Ini terjadi ka­­rena berbagai ma­cam problem se­per­ti pembredelan media yang kritis dan ke­kua­saan me­mang sudah ditutup rapat. Na­mun kini korupsi sa­ngat ter­buka, baik di luar ke­kuasaan yang tidak berafiliasi dengan parpol maupun yang ter­ko­neksi lang­sung dengan parpol.

Potret buram korupsi yang melibatkan tokoh parpol sudah kita rasakan di era kepe­mim­pin­an Presiden Susilo Ba­m­bang Yudhoyono (SBY). Ketika itu pemerintahan SBY yang ber­umur 10 tahun dirundung badai korupsi yang melibatkan kader-kadernya. Mereka ada­lah Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat ketika itu) Muhammad Nazaruddin (bendahara), Andi Alifian Mall­a­­ra­ngeng (Menteri Pemuda dan Olahraga), dan Angelina Son­dakh (anggota DPR). Begitu pun dengan Partai Keadilan Se­jahtera (PKS) yang dikenal se­bagai partai dakwah juga tidak luput dari korupsi. Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq di­tetapkan sebagai tersangka ko­rupsi impor daging.

Bahkan parpol yang sedang berkuasa saat ini (PDI Per­jua­ngan) juga tidak ketinggalan. Bupati Purbalingga Tasdi yang tertangkap tangan KPK pada Juni 2018 merupakan kader PDIP. Selain kepala daerah, par­pol juga menguasai praktik ko­rupsi di lembaga legislatif.

Dewasa ini parpol sudah gagal mengemban amanah se­bagai partai yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Par­pol yang seharusnya menjadi pintu masuk untuk mem­per­juang­kan kesejahteraan rakyat justru menjadi gerbong para ko­ruptor untuk menguras ha­bis uang negara. Parpol me­la­hirkan ko­rup­tor-koruptor baru kelas kakap dan po­litisi opo­r­tunis.

Itulah me­ngapa Carl Frie­drich me­ng­­ang­gap bahwa par­pol seperti se­kelompok ma­nu­sia yang terorganisasi dan stabil de­ngan tujuan merebut atau mem­pertahankan peng­uas­a­an pe­merintah bagi pimpinan par­tai. Penguasaan ini akan mem­berikan manfaat bagi ang­gota partainya, baik idealisme mau­pun kekayaan material ser­ta perkembangan lainnya.

Banyaknya kader parpol yang tertangkap karena kasus korupsi memang tidak lepas dari konsistensi KPK dalam memberantas korupsi. Ek­sis­tensi KPK yang tidak tebang pi­lih memang menjadi momok me­nakutkan bagi para ko­rup­tor. Jadi tidak meng­herankan bila KPK kerap kali diganggu kewenangannya seperti usulan revisi UU KPK dan sejenisnya. Tujuannya sangat jelas, mereka ingin mengakhiri usia KPK agar tidak bertaji mengusut tuntas korupsi yang melibatkan ang­gota Dewan.

Di era pemerintahan Jo­ko­wi, komitmen pemberantasan korupsi masih jauh panggang dari api. Alih-alih mem­be­ran­tas korupsi atau setidaknya me­ne­kan angka korupsi yang me­li­bat­kan parpol pendukungnya, jus­tru yang terjadi sebaliknya. Me­reka yang tertangkap ta­ngan me­­rupakan parpol yang ber­sa­ma-sama mendukung pe­me­ri­n­tahan Jokowi. Ini men­jadi po­tret buram atas ke­pe­mim­pinan Jokowi dalam satu tahun ini.

Kasus korupsi yang me­nyeret bupati di Purbalingga, Tulungagung, Blitar, dan ter­akhir bahkan sekelas men­teri sosial merupakan pucuk gu­nung es dari kian masifnya ko­rupsi oleh kader parpol. Bisa saja aktor intelektual korupsi yang sesungguhnya belum ter­sentuh. Mungkin mereka yang tertangkap dan jadi tersangka apes saja dan tidak lihai dalam menyembunyikan perilaku ko­rupsinya. Sementara di bela­kang masih banyak koruptor dari parpol yang belum terjerat KPK karena kekuatan politik yang terorganisasi.

Karena itulah dibutuhkan komitmen bersama dari semua kalangan untuk terus ber­ikh­tiar memberantas korupsi. Par­pol tidak boleh menutup diri da­lam upaya pemberantasan ke­ja­hat­an luar biasa ini, begitu pun de­ngan lembaga peme­rin­tah se­perti kejaksaan, KPK, dan ke­po­lisian harus terus ber­juang mem­berantas kejahatan ini hingga ke akar-akarnya. Tan­pa adanya ko­mitmen ber­sa­ma, akan sulit ko­rupsi di­hi­langkan karena sudah menjadi penyakit en­demik. Se­baliknya publik akan memberi stempel bahwa par­tai hanya memanen koruptor.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8184 seconds (0.1#10.140)