Noktah Hitam Korupsi Parpol
A
A
A
Aminuddin
Direktur Eksekutif Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (Pokasi)
SETELAH bolak-balik diperiksa sebagai saksi, akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Sosial Idrus Marham sebagai tersangka. Sejak kemarin Idrus menyatakan mengundurkan diri dari jabatan menteri sosial dan juga sebagai pengurus DPP Partai Golkar.
Kasus menteri Kabinet Kerja jadi tersangka tentu saja menjadi noktah hitam kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Pasalnya Idrus merupakan menteri pertama dalam kabinet Jokowi yang dinyatakan sebagai tersangka korupsi.
Idrus Marham belum lama menduduki jabatan menteri. Ia menggantikan Khofifah Indarparawansa yang maju dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur. Penetapan Idrus tersangka sekaligus mengonfirmasi bahwa korupsi dan partai politik (parpol) selalu beriringan. Seperti diketahui, Idrus merupakan petinggi Partai Golkar yang sekaligus berkoalisi dengan pemerintahan Jokowi.
Sejatinya kasus korupsi yang melibatkan kader parpol di negeri ini sudah tidak lagi membedakan parpol anggota koalisi atau oposisi. Parpol hampir merata telah terlibat dalam kasus korupsi. Dengan sistem multipartai, memang sangat dimungkinkan semua parpol akan terlibat. Pasalnya hampir semua kebijakan politik tidak hanya melibatkan satu dua partai, partai pemerintah atau non-pemerintah, melainkan melibatkan semua partai. Di samping itu, tidak adanya perbedaan ideologis parpol yang mencolok juga memungkinkan praktik korupsi politik marak terjadi.
Publik tidak habis pikir dengan komitmen parpol dalam upaya pemberantasan korupsi. Parpol yang didesain untuk menegakkan keadilan dan hanya berkomitmen menyejahterakan rakyat justru terjebak dalam permainan korupsi. Ibarat mencari harta karun, parpol menjadi satu-satunya pintu gerbang untuk mengeruk harta karun tersebut. Banyaknya kepala daerah yang berasal dari parpol terjerat kasus korupsi menandakan bahwa parpol sudah semakin intim dengan perilaku korupsi.
Berbagai fakta kekinian membuktikan bahwa para pejabat yang tertangkap korupsi tidak lain merupakan kader yang didelegasikan parpol. Nahasnya lagi, banyak kader parpol yang tersangkut korupsi berasal dari parpol yang sedang berkuasa. Ini semakin mengokohkan adagium klasik Lord Acton (1834-1902) bahwa power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.
Hingga hari ini, adagium klasik tersebut semakin relevan adanya. Sejak Orde Baru hingga kini, parpol acap kali menjadi bagian dari sengkarut korupsi. Di era Orde Baru, korupsi tidak terlalu terbuka seperti sekarang kendati kualitas kerugian negara tetap sama. Ini terjadi karena berbagai macam problem seperti pembredelan media yang kritis dan kekuasaan memang sudah ditutup rapat. Namun kini korupsi sangat terbuka, baik di luar kekuasaan yang tidak berafiliasi dengan parpol maupun yang terkoneksi langsung dengan parpol.
Potret buram korupsi yang melibatkan tokoh parpol sudah kita rasakan di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketika itu pemerintahan SBY yang berumur 10 tahun dirundung badai korupsi yang melibatkan kader-kadernya. Mereka adalah Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat ketika itu) Muhammad Nazaruddin (bendahara), Andi Alifian Mallarangeng (Menteri Pemuda dan Olahraga), dan Angelina Sondakh (anggota DPR). Begitu pun dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dikenal sebagai partai dakwah juga tidak luput dari korupsi. Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ditetapkan sebagai tersangka korupsi impor daging.
Bahkan parpol yang sedang berkuasa saat ini (PDI Perjuangan) juga tidak ketinggalan. Bupati Purbalingga Tasdi yang tertangkap tangan KPK pada Juni 2018 merupakan kader PDIP. Selain kepala daerah, parpol juga menguasai praktik korupsi di lembaga legislatif.
Dewasa ini parpol sudah gagal mengemban amanah sebagai partai yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Parpol yang seharusnya menjadi pintu masuk untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat justru menjadi gerbong para koruptor untuk menguras habis uang negara. Parpol melahirkan koruptor-koruptor baru kelas kakap dan politisi oportunis.
Itulah mengapa Carl Friedrich menganggap bahwa parpol seperti sekelompok manusia yang terorganisasi dan stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pimpinan partai. Penguasaan ini akan memberikan manfaat bagi anggota partainya, baik idealisme maupun kekayaan material serta perkembangan lainnya.
Banyaknya kader parpol yang tertangkap karena kasus korupsi memang tidak lepas dari konsistensi KPK dalam memberantas korupsi. Eksistensi KPK yang tidak tebang pilih memang menjadi momok menakutkan bagi para koruptor. Jadi tidak mengherankan bila KPK kerap kali diganggu kewenangannya seperti usulan revisi UU KPK dan sejenisnya. Tujuannya sangat jelas, mereka ingin mengakhiri usia KPK agar tidak bertaji mengusut tuntas korupsi yang melibatkan anggota Dewan.
Di era pemerintahan Jokowi, komitmen pemberantasan korupsi masih jauh panggang dari api. Alih-alih memberantas korupsi atau setidaknya menekan angka korupsi yang melibatkan parpol pendukungnya, justru yang terjadi sebaliknya. Mereka yang tertangkap tangan merupakan parpol yang bersama-sama mendukung pemerintahan Jokowi. Ini menjadi potret buram atas kepemimpinan Jokowi dalam satu tahun ini.
Kasus korupsi yang menyeret bupati di Purbalingga, Tulungagung, Blitar, dan terakhir bahkan sekelas menteri sosial merupakan pucuk gunung es dari kian masifnya korupsi oleh kader parpol. Bisa saja aktor intelektual korupsi yang sesungguhnya belum tersentuh. Mungkin mereka yang tertangkap dan jadi tersangka apes saja dan tidak lihai dalam menyembunyikan perilaku korupsinya. Sementara di belakang masih banyak koruptor dari parpol yang belum terjerat KPK karena kekuatan politik yang terorganisasi.
Karena itulah dibutuhkan komitmen bersama dari semua kalangan untuk terus berikhtiar memberantas korupsi. Parpol tidak boleh menutup diri dalam upaya pemberantasan kejahatan luar biasa ini, begitu pun dengan lembaga pemerintah seperti kejaksaan, KPK, dan kepolisian harus terus berjuang memberantas kejahatan ini hingga ke akar-akarnya. Tanpa adanya komitmen bersama, akan sulit korupsi dihilangkan karena sudah menjadi penyakit endemik. Sebaliknya publik akan memberi stempel bahwa partai hanya memanen koruptor.
Direktur Eksekutif Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (Pokasi)
SETELAH bolak-balik diperiksa sebagai saksi, akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Sosial Idrus Marham sebagai tersangka. Sejak kemarin Idrus menyatakan mengundurkan diri dari jabatan menteri sosial dan juga sebagai pengurus DPP Partai Golkar.
Kasus menteri Kabinet Kerja jadi tersangka tentu saja menjadi noktah hitam kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Pasalnya Idrus merupakan menteri pertama dalam kabinet Jokowi yang dinyatakan sebagai tersangka korupsi.
Idrus Marham belum lama menduduki jabatan menteri. Ia menggantikan Khofifah Indarparawansa yang maju dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur. Penetapan Idrus tersangka sekaligus mengonfirmasi bahwa korupsi dan partai politik (parpol) selalu beriringan. Seperti diketahui, Idrus merupakan petinggi Partai Golkar yang sekaligus berkoalisi dengan pemerintahan Jokowi.
Sejatinya kasus korupsi yang melibatkan kader parpol di negeri ini sudah tidak lagi membedakan parpol anggota koalisi atau oposisi. Parpol hampir merata telah terlibat dalam kasus korupsi. Dengan sistem multipartai, memang sangat dimungkinkan semua parpol akan terlibat. Pasalnya hampir semua kebijakan politik tidak hanya melibatkan satu dua partai, partai pemerintah atau non-pemerintah, melainkan melibatkan semua partai. Di samping itu, tidak adanya perbedaan ideologis parpol yang mencolok juga memungkinkan praktik korupsi politik marak terjadi.
Publik tidak habis pikir dengan komitmen parpol dalam upaya pemberantasan korupsi. Parpol yang didesain untuk menegakkan keadilan dan hanya berkomitmen menyejahterakan rakyat justru terjebak dalam permainan korupsi. Ibarat mencari harta karun, parpol menjadi satu-satunya pintu gerbang untuk mengeruk harta karun tersebut. Banyaknya kepala daerah yang berasal dari parpol terjerat kasus korupsi menandakan bahwa parpol sudah semakin intim dengan perilaku korupsi.
Berbagai fakta kekinian membuktikan bahwa para pejabat yang tertangkap korupsi tidak lain merupakan kader yang didelegasikan parpol. Nahasnya lagi, banyak kader parpol yang tersangkut korupsi berasal dari parpol yang sedang berkuasa. Ini semakin mengokohkan adagium klasik Lord Acton (1834-1902) bahwa power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.
Hingga hari ini, adagium klasik tersebut semakin relevan adanya. Sejak Orde Baru hingga kini, parpol acap kali menjadi bagian dari sengkarut korupsi. Di era Orde Baru, korupsi tidak terlalu terbuka seperti sekarang kendati kualitas kerugian negara tetap sama. Ini terjadi karena berbagai macam problem seperti pembredelan media yang kritis dan kekuasaan memang sudah ditutup rapat. Namun kini korupsi sangat terbuka, baik di luar kekuasaan yang tidak berafiliasi dengan parpol maupun yang terkoneksi langsung dengan parpol.
Potret buram korupsi yang melibatkan tokoh parpol sudah kita rasakan di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketika itu pemerintahan SBY yang berumur 10 tahun dirundung badai korupsi yang melibatkan kader-kadernya. Mereka adalah Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat ketika itu) Muhammad Nazaruddin (bendahara), Andi Alifian Mallarangeng (Menteri Pemuda dan Olahraga), dan Angelina Sondakh (anggota DPR). Begitu pun dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dikenal sebagai partai dakwah juga tidak luput dari korupsi. Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ditetapkan sebagai tersangka korupsi impor daging.
Bahkan parpol yang sedang berkuasa saat ini (PDI Perjuangan) juga tidak ketinggalan. Bupati Purbalingga Tasdi yang tertangkap tangan KPK pada Juni 2018 merupakan kader PDIP. Selain kepala daerah, parpol juga menguasai praktik korupsi di lembaga legislatif.
Dewasa ini parpol sudah gagal mengemban amanah sebagai partai yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Parpol yang seharusnya menjadi pintu masuk untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat justru menjadi gerbong para koruptor untuk menguras habis uang negara. Parpol melahirkan koruptor-koruptor baru kelas kakap dan politisi oportunis.
Itulah mengapa Carl Friedrich menganggap bahwa parpol seperti sekelompok manusia yang terorganisasi dan stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pimpinan partai. Penguasaan ini akan memberikan manfaat bagi anggota partainya, baik idealisme maupun kekayaan material serta perkembangan lainnya.
Banyaknya kader parpol yang tertangkap karena kasus korupsi memang tidak lepas dari konsistensi KPK dalam memberantas korupsi. Eksistensi KPK yang tidak tebang pilih memang menjadi momok menakutkan bagi para koruptor. Jadi tidak mengherankan bila KPK kerap kali diganggu kewenangannya seperti usulan revisi UU KPK dan sejenisnya. Tujuannya sangat jelas, mereka ingin mengakhiri usia KPK agar tidak bertaji mengusut tuntas korupsi yang melibatkan anggota Dewan.
Di era pemerintahan Jokowi, komitmen pemberantasan korupsi masih jauh panggang dari api. Alih-alih memberantas korupsi atau setidaknya menekan angka korupsi yang melibatkan parpol pendukungnya, justru yang terjadi sebaliknya. Mereka yang tertangkap tangan merupakan parpol yang bersama-sama mendukung pemerintahan Jokowi. Ini menjadi potret buram atas kepemimpinan Jokowi dalam satu tahun ini.
Kasus korupsi yang menyeret bupati di Purbalingga, Tulungagung, Blitar, dan terakhir bahkan sekelas menteri sosial merupakan pucuk gunung es dari kian masifnya korupsi oleh kader parpol. Bisa saja aktor intelektual korupsi yang sesungguhnya belum tersentuh. Mungkin mereka yang tertangkap dan jadi tersangka apes saja dan tidak lihai dalam menyembunyikan perilaku korupsinya. Sementara di belakang masih banyak koruptor dari parpol yang belum terjerat KPK karena kekuatan politik yang terorganisasi.
Karena itulah dibutuhkan komitmen bersama dari semua kalangan untuk terus berikhtiar memberantas korupsi. Parpol tidak boleh menutup diri dalam upaya pemberantasan kejahatan luar biasa ini, begitu pun dengan lembaga pemerintah seperti kejaksaan, KPK, dan kepolisian harus terus berjuang memberantas kejahatan ini hingga ke akar-akarnya. Tanpa adanya komitmen bersama, akan sulit korupsi dihilangkan karena sudah menjadi penyakit endemik. Sebaliknya publik akan memberi stempel bahwa partai hanya memanen koruptor.
(maf)