Menghentikan Diseminasi Kebencian
A
A
A
Anggi Afriansyah
Peneliti Sosiologi Pendidikan-Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
MENJELANG Pemilu 2019 suhu politik semakin menghangat. Kontestasi antarpihak yang berseberangan pandangan politik semakin riuh. Yang dilakukan adalah berusaha sekeras mungkin memotret kelemahan lawan politik dengan beragam cara. Vibrasinya semakin mudah karena adanya media sosial, masuk ke gawai kita masing-masing secara cepat dan masif tanpa filter. Adu tagar, saling cibir dan cela seolah biasa saja dalam politik keseharian kita.
Musim politik memang membuat akal sehat kembali diuji. KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus beberapa waktu lalu dalam cuitannya di Twitter misalnya menyebut, “Kalau intinya soal dukung-mendukung, maka akal sehat tidak diperlukan dan argumentasi bisa dicari-cari ”. Dan memang demikianlah kondisi yang terjadi saat ini. Perkaranya bukan soal mengapa mendukung pilihannya sendiri dengan didukung argumentasi yang logis dan rasional, tetapi lebih mengedepankan pembenaran yang kadang jauh dari akal sehat. Argumen selalu bisa dibuat disesuaikan dengan sesuai selera diri dan kelompoknya. Jauh dari nalar soal belakangan.
Kondisi tersebut tidak sehat bagi suasana kebatinan bangsa ini. Perbedaan politik membuat antarteman, keluarga, atau kolega bekerja berhadap-hadapan secara frontal, membuat kubu masing-masing. Tak ada lagi rasa percaya terhadap kelompok yang memiliki pandangan berbeda karena yang dianggap benar adalah kaum atau kelompoknya sendiri.
Dukung-mendukung calon pilihan favorit individu masing-masing merupakan hal wajar dalam proses demokrasi dan hak yang perlu dihargai. Sebab sudah pasti setiap individu memiliki kecenderungan baik secara subjektif maupun objektif dalam mendukung jagoannya. Juga menginginkan agar calon yang didukungnya menang dan memperjuangkan apa yang menjadi keyakinan dan aspirasinya.
Yang menjadi problem, saat ini dukung-mendukung politik cenderung dilakukan dengan melawan akal sehat dan moralitas. Menjadikan seseorang tak segan menghina mereka yang berbeda pandangan dengannya. Dan pada batas yang paling mengerikan adalah berani melakukan persekusi dan intimidasi dengan amat telanjang kepada mereka yang berbeda pilihan. Memolitisasi apapun yang bisa digunakan untuk menjungkal lawan politiknya, mereka yang berbeda paham.
Membangun optimisme
Kabar sejuk perlu diembuskan lebih kuat oleh siapa saja yang peduli akan nasib bangsa ini. Yang perlu dibangun adalah narasi-narasi yang bersifat positif yang membangkitkan optimisme, bukan kisah pesimis yang mematahkan semangat. Kisah-kisah tersebut dapat digali dari realitas keseharian bangsa ini. Yang diambil dari praktik terbaik generasi-generasi terdahulu maupun anak-anak bangsa saat ini.
Buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (2014) karya Yudi Latif misalnya dapat menjadi salah satu bacaan yang mampu menjadi gambaran dari praktik keteladanan anak bangsa dalam mengamalkan Pancasila. Tokoh-tokoh teladan tersebut disajikan merujuk pada beragamnya Indonesia dari segi agama, etnis, kelas sosial, dan wilayah. Bukan hanya digali dari kisah tokoh di masa lalu, tapi tokoh-tokoh yang masih ada saat ini.
Indonesia memang bukan milik satu golongan. Indonesia yang bineka ini dibangun oleh jerih payah semua anak bangsa apapun agamanya, golongannya, pilihan partai, dan ideologinya. Indonesia adalah hasil gotong royong bersama seluruh anak bangsa. Soal gotong-royong ini menurut Soekarno adalah perkataan Indonesia tulen yang didapat jika kita memeras lima sila dari Pancasila. Gotong Royong, dalam pandangan Soekarno, adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu membantu, amal semua buat kepentingan (Adams, 2007).
Kita harus menyadari bahwa potensi bangsa ini begitu besar, dan akan sangat sia-sia jika lebih banyak dihabiskan pada hal-hal yang kontraproduktif dan menguras emosi. Anak-anak yang masih mengenyam pendidikan perlu terus diajak untuk tak pernah berhenti mencintai bangsa ini. Mengajak mereka untuk lebih memperhatikan realitas bangsa ini secara faktual. Bukan sebatas teori atau retorika. Ajak mereka untuk peduli pada lingkungan sekitar rumah ataupun sekolah. Bawa mereka merasakan denyut nadi bangsa ini dan apa yang menjadi kegelisahan bangsa ini.
Beberapa sekolah memiliki program yang mengajak anak perduli dengan realitas bangsanya. Misalnya saja tinggal (live in) selama beberapa hari dengan lingkungan keluarga yang begitu berbeda kondisi ekonomi, kelas sosial, maupun secara agama dan budaya. Bukan lagi sebatas pengalaman tapi juga sudah pada praktik. Itu menjadi bahan dasar penting bagi perkembangan diri anak-anak tersebut. Membangkitkan kesadaran adalah upaya terbaik agar mereka memiliki ikatan kuat terhadap kondisi bangsanya. Perjumpaan-perjumpaan semacam inilah yang perlu dilakukan oleh sekolah. Pertautan dengan mereka yang berbeda akan menumbuhkan kesadaran indahnya keberagaman.
Ajak mereka untuk tak ikut ribut-ribut di media sosial seperti yang dilakukan oleh orang dewasa. Beri ruang yang lebih leluasa bagi mereka untuk tetap berani menyampaikan argumennya. Dorong mereka untuk selalu siap untuk berdialog. Kedepankan pembelajaran yang membuat mereka berusaha untuk menyelesaikan persoalan secara bersama. Utamakan pembiasaan dalam berkolaborasi bukan lagi kompetisi yang berlebihan. Bersatu padu dan bergotong royong akan memberikan hasil terbaik untuk kemaslahatan bangsa ini.
Keluarga, sekolah, dan masyarakat atau tri sentra pendidikan dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara, menjadi penting menjaga akal sehat. Dari ruang-ruang tersebutlah dialog perlu dibangun, prasangka dikikis, dan setiap nada sumbang pesimistis ditolak. Upaya yang perlu dilakukan untuk menghentikan diseminasi kebencian yang semakin semarak.
Peneliti Sosiologi Pendidikan-Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
MENJELANG Pemilu 2019 suhu politik semakin menghangat. Kontestasi antarpihak yang berseberangan pandangan politik semakin riuh. Yang dilakukan adalah berusaha sekeras mungkin memotret kelemahan lawan politik dengan beragam cara. Vibrasinya semakin mudah karena adanya media sosial, masuk ke gawai kita masing-masing secara cepat dan masif tanpa filter. Adu tagar, saling cibir dan cela seolah biasa saja dalam politik keseharian kita.
Musim politik memang membuat akal sehat kembali diuji. KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus beberapa waktu lalu dalam cuitannya di Twitter misalnya menyebut, “Kalau intinya soal dukung-mendukung, maka akal sehat tidak diperlukan dan argumentasi bisa dicari-cari ”. Dan memang demikianlah kondisi yang terjadi saat ini. Perkaranya bukan soal mengapa mendukung pilihannya sendiri dengan didukung argumentasi yang logis dan rasional, tetapi lebih mengedepankan pembenaran yang kadang jauh dari akal sehat. Argumen selalu bisa dibuat disesuaikan dengan sesuai selera diri dan kelompoknya. Jauh dari nalar soal belakangan.
Kondisi tersebut tidak sehat bagi suasana kebatinan bangsa ini. Perbedaan politik membuat antarteman, keluarga, atau kolega bekerja berhadap-hadapan secara frontal, membuat kubu masing-masing. Tak ada lagi rasa percaya terhadap kelompok yang memiliki pandangan berbeda karena yang dianggap benar adalah kaum atau kelompoknya sendiri.
Dukung-mendukung calon pilihan favorit individu masing-masing merupakan hal wajar dalam proses demokrasi dan hak yang perlu dihargai. Sebab sudah pasti setiap individu memiliki kecenderungan baik secara subjektif maupun objektif dalam mendukung jagoannya. Juga menginginkan agar calon yang didukungnya menang dan memperjuangkan apa yang menjadi keyakinan dan aspirasinya.
Yang menjadi problem, saat ini dukung-mendukung politik cenderung dilakukan dengan melawan akal sehat dan moralitas. Menjadikan seseorang tak segan menghina mereka yang berbeda pandangan dengannya. Dan pada batas yang paling mengerikan adalah berani melakukan persekusi dan intimidasi dengan amat telanjang kepada mereka yang berbeda pilihan. Memolitisasi apapun yang bisa digunakan untuk menjungkal lawan politiknya, mereka yang berbeda paham.
Membangun optimisme
Kabar sejuk perlu diembuskan lebih kuat oleh siapa saja yang peduli akan nasib bangsa ini. Yang perlu dibangun adalah narasi-narasi yang bersifat positif yang membangkitkan optimisme, bukan kisah pesimis yang mematahkan semangat. Kisah-kisah tersebut dapat digali dari realitas keseharian bangsa ini. Yang diambil dari praktik terbaik generasi-generasi terdahulu maupun anak-anak bangsa saat ini.
Buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (2014) karya Yudi Latif misalnya dapat menjadi salah satu bacaan yang mampu menjadi gambaran dari praktik keteladanan anak bangsa dalam mengamalkan Pancasila. Tokoh-tokoh teladan tersebut disajikan merujuk pada beragamnya Indonesia dari segi agama, etnis, kelas sosial, dan wilayah. Bukan hanya digali dari kisah tokoh di masa lalu, tapi tokoh-tokoh yang masih ada saat ini.
Indonesia memang bukan milik satu golongan. Indonesia yang bineka ini dibangun oleh jerih payah semua anak bangsa apapun agamanya, golongannya, pilihan partai, dan ideologinya. Indonesia adalah hasil gotong royong bersama seluruh anak bangsa. Soal gotong-royong ini menurut Soekarno adalah perkataan Indonesia tulen yang didapat jika kita memeras lima sila dari Pancasila. Gotong Royong, dalam pandangan Soekarno, adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu membantu, amal semua buat kepentingan (Adams, 2007).
Kita harus menyadari bahwa potensi bangsa ini begitu besar, dan akan sangat sia-sia jika lebih banyak dihabiskan pada hal-hal yang kontraproduktif dan menguras emosi. Anak-anak yang masih mengenyam pendidikan perlu terus diajak untuk tak pernah berhenti mencintai bangsa ini. Mengajak mereka untuk lebih memperhatikan realitas bangsa ini secara faktual. Bukan sebatas teori atau retorika. Ajak mereka untuk peduli pada lingkungan sekitar rumah ataupun sekolah. Bawa mereka merasakan denyut nadi bangsa ini dan apa yang menjadi kegelisahan bangsa ini.
Beberapa sekolah memiliki program yang mengajak anak perduli dengan realitas bangsanya. Misalnya saja tinggal (live in) selama beberapa hari dengan lingkungan keluarga yang begitu berbeda kondisi ekonomi, kelas sosial, maupun secara agama dan budaya. Bukan lagi sebatas pengalaman tapi juga sudah pada praktik. Itu menjadi bahan dasar penting bagi perkembangan diri anak-anak tersebut. Membangkitkan kesadaran adalah upaya terbaik agar mereka memiliki ikatan kuat terhadap kondisi bangsanya. Perjumpaan-perjumpaan semacam inilah yang perlu dilakukan oleh sekolah. Pertautan dengan mereka yang berbeda akan menumbuhkan kesadaran indahnya keberagaman.
Ajak mereka untuk tak ikut ribut-ribut di media sosial seperti yang dilakukan oleh orang dewasa. Beri ruang yang lebih leluasa bagi mereka untuk tetap berani menyampaikan argumennya. Dorong mereka untuk selalu siap untuk berdialog. Kedepankan pembelajaran yang membuat mereka berusaha untuk menyelesaikan persoalan secara bersama. Utamakan pembiasaan dalam berkolaborasi bukan lagi kompetisi yang berlebihan. Bersatu padu dan bergotong royong akan memberikan hasil terbaik untuk kemaslahatan bangsa ini.
Keluarga, sekolah, dan masyarakat atau tri sentra pendidikan dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara, menjadi penting menjaga akal sehat. Dari ruang-ruang tersebutlah dialog perlu dibangun, prasangka dikikis, dan setiap nada sumbang pesimistis ditolak. Upaya yang perlu dilakukan untuk menghentikan diseminasi kebencian yang semakin semarak.
(thm)