Jenderal vs Tukang Mebel
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
MINGGU ini ada tontonan di panggung politik yang menarik. Lewat layar televisi saya melihat dua jenderal, SBY dan Prabowo, mengadakan konferensi pers merespons Pemilu 2019 yang kian mendekat. Dua pensiunan jenderal itu adalah juga pendiri dan petinggi parpol yang hendak ikut kontestasi pemilu memperebutkan posisi capres-cawapres.
Di seberang sana ada mantan pedagang mebel, Joko Widodo, yang sekarang jadi presiden hendak maju bertarung lagi pada Pemilu 2019 untuk meraih tiket dua periode jadi orang nomor satu di Indonesia.
Reformasi telah mendekonstruksi pakem lama mobilitas politik di Tanah Air. Jokowi sebagai rakyat biasa untuk tidak mengatakan wong ndeso yang proletar, menerobos masuk ke gelanggang politik nasional dan berhasil mengalahkan figur-figur nasional yang sudah lama malang-melintang sebagai pendekar politik papan atas.
Bagaikan cerita silat Kho Ping Ho, Jokowi tak ubahnya pendekar kampung yang tidak memiliki perguruan, hanya dengan modal mantan Wali Kota Solo lalu merangsek ke tengah gelanggang perhelatan adu silat dengan badan kurus tanpa seragam pakaian kebesaran berbintang.
Jurusnya pun tidak berbunga-bunga, lugas dan mudah dibaca lawan, dengan perawakan sederhana sebagai anak daerah. Namun, ternyata dia berhasil mengalahkan jago-jago pesilat politik nasional yang tangannya menggenggam tongkat komando kekuasaan parpol serta popularitas yang telah mendunia.
Jokowi tidak muncul dari kalangan santri, tidak juga dari ormas. Bukan pula dari lingkaran intelektual, maka kemenangannya merebut kursi presiden mengubah ritme dan pakem politik yang selama ini berlaku. Kemenangannya menimbulkan berbagai analisis dan teori baru tentang kekuasaan di Indonesia pascareformasi.
Kini perhelatan lima tahunan memilih presiden segera akan diulangi lagi. Para pendekar dan jagoan politik mempersiapkan diri.
Tokoh-tokoh parpol dan sederet figur yang dicalonkan maju bertanding mulai dijaring dan dielus-elus. Yang juga menarik perhatian, faktor identitas dan afiliasi keagamaan calon tetap diperhitungkan sehingga jajaran ulama terlibat atau dilibatkan dalam hal dukung-mendukung calon.
Maka itu, tak terhindarkan ulama pun terpecah ke dalam kubu-kubu politik. Situasinya jadi lucu, tokoh-tokoh agama menyusun barisan untuk memenangkan capres yang secara pribadi tidak memiliki kapasitas sebagai figur ulama. Tapi itulah yang sementara mengemuka.
Fenomena ini sesungguhnya juga terjadi setiap pergantian rezim, misalnya dari Orde Lama ke Orde Baru. Suara barisan agama riuh rendah, tapi parpol keagamaan tak pernah unggul. Tidak hanya parpolnya yang kalah bersaing, cari capres dari kalangan santri yang mudah diterima secara nasional pun sulit.
Situasi demikian lalu melahirkan dua macam aspirasi dari kalangan santri. Pertama, kembali pada paradigma Cak Nur: Islam Yes, Partai Islam No. Bahwa dalam parpol manapun sesungguhnya mayoritas adalah umat Islam. Rumah dan ruang politik umat Islam harus diperluas, yang penting mereka bekerja dan berprestasi untuk kebaikan bangsa dan umat.
Respons kedua, Islam Yes, Partai Islam Yes. Umat Islam mesti masuk dan memperkuat barisan parpol Islam. Lebih jauh lagi bahkan muncul aspirasi untuk memberlakukan syariah Islam dalam kehidupan bernegara. Malah ada aspirasi memperjuangkan kekhalifahan.
Hal yang memprihatinkan adalah jika wacana tadi berimplikasi pada perpecahan umat dan masyarakat serta melupakan agenda besar menjaga keutuhan NKRI, meneruskan cita-cita pejuang dan pendiri bangsa, serta hanya membuang energi yang tidak produktif.
Pemilu 2019 nanti bagi beberapa politisi yang ikut gerbong Orde Baru merupakan kesempatan terakhir. Beberapa jenderal yang saat ini aktif dalam parpol maupun birokrasi pemerintahan hanya perhelatan saat ini saja memiliki kesempatan emas untuk mengabdi pada bangsa dan negara.
Tampilnya kontestasi mantan jenderal menghadapi Jokowi mantan tukang mebel yang anaknya penjual martabak merupakan simbol menguatnya demokrasi di Indonesia dan kedaulatan rakyat.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
MINGGU ini ada tontonan di panggung politik yang menarik. Lewat layar televisi saya melihat dua jenderal, SBY dan Prabowo, mengadakan konferensi pers merespons Pemilu 2019 yang kian mendekat. Dua pensiunan jenderal itu adalah juga pendiri dan petinggi parpol yang hendak ikut kontestasi pemilu memperebutkan posisi capres-cawapres.
Di seberang sana ada mantan pedagang mebel, Joko Widodo, yang sekarang jadi presiden hendak maju bertarung lagi pada Pemilu 2019 untuk meraih tiket dua periode jadi orang nomor satu di Indonesia.
Reformasi telah mendekonstruksi pakem lama mobilitas politik di Tanah Air. Jokowi sebagai rakyat biasa untuk tidak mengatakan wong ndeso yang proletar, menerobos masuk ke gelanggang politik nasional dan berhasil mengalahkan figur-figur nasional yang sudah lama malang-melintang sebagai pendekar politik papan atas.
Bagaikan cerita silat Kho Ping Ho, Jokowi tak ubahnya pendekar kampung yang tidak memiliki perguruan, hanya dengan modal mantan Wali Kota Solo lalu merangsek ke tengah gelanggang perhelatan adu silat dengan badan kurus tanpa seragam pakaian kebesaran berbintang.
Jurusnya pun tidak berbunga-bunga, lugas dan mudah dibaca lawan, dengan perawakan sederhana sebagai anak daerah. Namun, ternyata dia berhasil mengalahkan jago-jago pesilat politik nasional yang tangannya menggenggam tongkat komando kekuasaan parpol serta popularitas yang telah mendunia.
Jokowi tidak muncul dari kalangan santri, tidak juga dari ormas. Bukan pula dari lingkaran intelektual, maka kemenangannya merebut kursi presiden mengubah ritme dan pakem politik yang selama ini berlaku. Kemenangannya menimbulkan berbagai analisis dan teori baru tentang kekuasaan di Indonesia pascareformasi.
Kini perhelatan lima tahunan memilih presiden segera akan diulangi lagi. Para pendekar dan jagoan politik mempersiapkan diri.
Tokoh-tokoh parpol dan sederet figur yang dicalonkan maju bertanding mulai dijaring dan dielus-elus. Yang juga menarik perhatian, faktor identitas dan afiliasi keagamaan calon tetap diperhitungkan sehingga jajaran ulama terlibat atau dilibatkan dalam hal dukung-mendukung calon.
Maka itu, tak terhindarkan ulama pun terpecah ke dalam kubu-kubu politik. Situasinya jadi lucu, tokoh-tokoh agama menyusun barisan untuk memenangkan capres yang secara pribadi tidak memiliki kapasitas sebagai figur ulama. Tapi itulah yang sementara mengemuka.
Fenomena ini sesungguhnya juga terjadi setiap pergantian rezim, misalnya dari Orde Lama ke Orde Baru. Suara barisan agama riuh rendah, tapi parpol keagamaan tak pernah unggul. Tidak hanya parpolnya yang kalah bersaing, cari capres dari kalangan santri yang mudah diterima secara nasional pun sulit.
Situasi demikian lalu melahirkan dua macam aspirasi dari kalangan santri. Pertama, kembali pada paradigma Cak Nur: Islam Yes, Partai Islam No. Bahwa dalam parpol manapun sesungguhnya mayoritas adalah umat Islam. Rumah dan ruang politik umat Islam harus diperluas, yang penting mereka bekerja dan berprestasi untuk kebaikan bangsa dan umat.
Respons kedua, Islam Yes, Partai Islam Yes. Umat Islam mesti masuk dan memperkuat barisan parpol Islam. Lebih jauh lagi bahkan muncul aspirasi untuk memberlakukan syariah Islam dalam kehidupan bernegara. Malah ada aspirasi memperjuangkan kekhalifahan.
Hal yang memprihatinkan adalah jika wacana tadi berimplikasi pada perpecahan umat dan masyarakat serta melupakan agenda besar menjaga keutuhan NKRI, meneruskan cita-cita pejuang dan pendiri bangsa, serta hanya membuang energi yang tidak produktif.
Pemilu 2019 nanti bagi beberapa politisi yang ikut gerbong Orde Baru merupakan kesempatan terakhir. Beberapa jenderal yang saat ini aktif dalam parpol maupun birokrasi pemerintahan hanya perhelatan saat ini saja memiliki kesempatan emas untuk mengabdi pada bangsa dan negara.
Tampilnya kontestasi mantan jenderal menghadapi Jokowi mantan tukang mebel yang anaknya penjual martabak merupakan simbol menguatnya demokrasi di Indonesia dan kedaulatan rakyat.
(poe)