Bom Waktu pada Transaksi E-Commerce
A
A
A
M Faiz Kurniawan
Pengurus LBH Ansor
KEGAIRAHAN transaksi e-commerce menyimpan bom waktu. Volume dan nilai bisnisnya meningkat namun tanpa dikawal payung hukum yang memadai.
Kalangan konsumen mulai mengeluh, tetapi tidak mendapat tanggapan yang cukup. Jumlah perusahaan juga bertambah, tetapi tidak sepenuhnya tercatat atau terdaftar.
E-commerce memang menawarkan banyak manfaat, kemudahan berbisnis bagi pelaku usaha, minimnya modal usaha, jangkauan perdagangan yang luas, efisiensi waktu bagi pembeli, alternatif pilihan yang beragam, harga yang relatif lebih murah, terpangkasnya rantai ditribusi.
E-commerce diyakini makin menggerus posisi pusat perbelanjaan konvensional, karena kebiasaan belanja masyarakat mulai bergeser ke online. Sejumlah nama-nama besar dalam bisnis retail terpaksa menutup gerai-gerainya setelah omset menurun yang dipercaya akibat tekanan e-commerce.
E-commerce atau perdagangan secara elektronik secara umum bermakna penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik, seperti internet atau jaringan komputer lainnya. E-commerce dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.
Risiko E-Commerce
Di Indonesia, potensi e-commerce memang sangat luar biasa bila dilihat dari jumlah pengguna internet dan telepon pintar yang mencapai puluhan juta yang tersebar dari kota-kota besar hingga perdesaan. Dari Sabang hingga Merauke, dari pulau Rote sampai pulau Miangas.
Diperkirakan pertumbuhan volume bisnis e-commerce mencapai sekitar 40-50% per tahun dan dua tahun lagi diharapkan mendekati USD150 juta atau sekitar Rp600 triliun. Dengan prospek penerimaan pajak sekitar Rp15 triliun.
Seiring dengan kemajuan e-commerce potensi risiko juga meningkat. Karateristik e-commerce berpotensi menimbulkan wanprestasi, misalnya barang yang diterima konsumen tidak sesuai dengan spesifikasi yang dipesan, barang tidak sampai, barang sampai ke alamat yang salah atau tidak tepat waktu, risiko hidden cost, barang sudah dikirim tidak dibayar.Belum lagi soal keamanan tanda tangan dan alat bayar pembeli.
Ironisnya, e-commerce belum memiliki atau dilindungi payung hukum. Secara sederhana, payung hukum itu antara lain dimaksudkan untuk menimbulkan rasa aman dan kejelasan tentang hak serta tanggung jawab para pihak terkait para pihak yang terlibat dalam bisnis e-commerce.
Di kalangan provider telekomunikasi, penyedia layanan antar, pembuat barang/produk baik yang terdaftar maupun belum, produsen perangkat pintar/pembuat aplikasi, UMKM, pelaku bisnis pemula dan sebagainya.
Pentingnya payung hukum terlihat dari laporan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang pada awal Januari tahun ini mengungkapkan, dari 642 pengaduan umum sejak Januari-November 2017, YLKI menerima 101 keluhan belanja online atau sebesar 16%. Meningkat dua kali lipat dari 2016, yang berjumlah 8%.
Konsumen, ungkap YLKI, mengeluhkan lambatnya respons keluhan (44%), belum diterimanya barang (36%), sistem merugikan (20%), tidak diberikannya pengembalian dana (17%), dugaan penipuan (11%), barang yang dibeli tidak sesuai (9%), dugaan kejahatan siber (8%). Adapula keluhan mengenai cacat produk (6%), pelayanan (2%), harga (1%), informasi (1%), dan terlambatnya penerimaan barang (1%). Sebanyak 8% 86% keluhan ditujukan kepada toko online penyedia aplikasi.
Maraknya aduan tersebut, menurut Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi disebabkan belum adanya regulasi yang tegas mengatur belanja online. Saat ini, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) soal Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (TPMSE) yang disusun Kementerian Perdagangan (Kemdag) belum diselesaikan. "Pemerintah belum mengesahkan RPP yang merupakan payung hukum untuk (belanja) online."
Sangat ironis ketika belanja online dipuja sebagai salah satu penggerak perekonomian dan dijangka akan menghasilkan pajak Rp18 triliun, tetapi prestasi itu tidak diimbangi dengan kecepatan menata perlindungan hukum bagi konsumen dan para pihak terkait lainnya. Pertanyaannya, apakah memang harus menunggu masalahnya menumpuk?
Pemerintah menargetkan akan menerbitkan 31 peraturan menteri terkait perdagangan secara elektronik atau e-commerce. Untuk itu dibentuk tiga kelompok kerja yang terdiri, Pokja terkait perdagangan dipimpin Kementerian Perdagangan.
Kementerian Kominfo mengetuai Pokja yang berkaitan dengan infrastruktur, model, dan sistem teknologi. Pokja yang berkenaan dengan sistem pembayaran, pajak, cukai, diketuai Kementerian Keuangan.
Pembentukan Pokja tersebut merupakan lanjutan dari Peraturan Presiden (Perpres) tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE) atau Roadmap e-Commerce. yang diluncurkan pemerintah beberapa waktu lalu.
Kini masyarakat e-commerce dan e-business menanti penyelerasan atau sinkronisasi hasil ketiga Pokja yang dijanjikan terbit dalam bentuk peraturan menteri dalam waktu dekat.
Menjinakkan Bom Waktu E-Commerce
Landasan utama untuk menjinakkan bom waktu adalah adanya hukum yang komprehensif (dari umum sampai aturan turunan yang aplikatif) untuk mengatur perdagangan online. Dengan aturan yang memadai, pemerintah sebagai wasit memiliki aturan main jika terjadi dispute dalam perdagangan online.
Isu-isu krusial yang harus diatur setidaknya adalah, batasan e-commerce, apa saja yang boleh diperdagangkan, para pihak yang terlibat dalam e-commerce, bagaimana tampilan toko online yang setidaknya mengatur deskripsi barang yang ditawarkan (jenis barang, material barang, warna, detail ukuran, kemasan, dan lain sebagainya) all cost yang harus dibayar tanpa adanya hidden cost (perlu transparansi), bentuk persetujuan antara penjual dan pembeli, cara pembayaran dan kapan barang akan diterima konsumen .
Selain itu ada isu penting yang harus diatur yaitu mengenai keamanan identitas pembeli, sehingga setidaknya aturan aplikatifnya nanti harus memuat identitas apa saja yang boleh diminta dan diisi. Juga bagaimana batas maksimal penggunaan identitas pembeli, serta bagaimana pembeli melakukan pembayaran dan memastikan keamanan alat bayar pembeli tidak disalah gunakan.
Tentu saja yang juga harus diatur adalah bagaimana mekanisme protes atau complaint jika terjadi dispute antara pembeli dan penjual online.
Pendaftaran dan Lembaga Otoritatif
Ekosistem e-commerce yang gaib sangat memudahkan pihak-pihak untuk hadir dan lenyap seketika. Oleh sebab itu untuk menjamin semuanya menjadi pihak yang seolah-oleh nyata, maka seharusnya pembeli dan penjual online haruslah terdaftar.
Penjual online sebelum dia beroperasi haruslah memenuhi unsur seperti penjual konvensional. Seperti alamat domisili yang di sini bisa diganti dengan alamat domain yang jelas, pendataan alamat domain haruslah berbasis dengan data penduduk atau badan hukum yang jelas.
Dengan begitu, dapat meminimalisir satu orang atau badan hukum memiliki banyak domain untuk satu bentuk bisnis yang sama. Dengan begini akan ada tujuan yang jelas ketika terjadi wanprestasi dikemudian hari.
Selain penjual yang harus terdaftar, untuk menghindari pembeli palsu dan beragamnya sistem registrasi pembeli, haruslah dibuat big data (data base) pembeli online secara umum, sehingga sekali pembeli online melakukan registrasi, data itu bisa digunakan untuk belanja di berbagai toko online.
Hal di atas bisa dilakukan pemerintah dengan membuat lembaga khusus untuk menangani perdagangan online. Selain menangani registrasi, lembaga ini dapat mem-filter kesehatan usaha pedagang dan pembeli online.
Sehingga, jika dalam perdagangan konvensional pelaku usaha diharuskan memiliki Surat Izin Usaha dan Tanda Daftar Perusahaan, maka toko online juga harus memiliki semacam sertifikasi ini sebelum dia launching domain di website.
Langkah cepat dan taktis harus segera dilakukan pemerintah untuk mengatasi perkembangan ekosistem e-commerce sebelum semuanya meledak dan meruntuhkan iklim kepercayaan bisnis.
Pengurus LBH Ansor
KEGAIRAHAN transaksi e-commerce menyimpan bom waktu. Volume dan nilai bisnisnya meningkat namun tanpa dikawal payung hukum yang memadai.
Kalangan konsumen mulai mengeluh, tetapi tidak mendapat tanggapan yang cukup. Jumlah perusahaan juga bertambah, tetapi tidak sepenuhnya tercatat atau terdaftar.
E-commerce memang menawarkan banyak manfaat, kemudahan berbisnis bagi pelaku usaha, minimnya modal usaha, jangkauan perdagangan yang luas, efisiensi waktu bagi pembeli, alternatif pilihan yang beragam, harga yang relatif lebih murah, terpangkasnya rantai ditribusi.
E-commerce diyakini makin menggerus posisi pusat perbelanjaan konvensional, karena kebiasaan belanja masyarakat mulai bergeser ke online. Sejumlah nama-nama besar dalam bisnis retail terpaksa menutup gerai-gerainya setelah omset menurun yang dipercaya akibat tekanan e-commerce.
E-commerce atau perdagangan secara elektronik secara umum bermakna penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik, seperti internet atau jaringan komputer lainnya. E-commerce dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.
Risiko E-Commerce
Di Indonesia, potensi e-commerce memang sangat luar biasa bila dilihat dari jumlah pengguna internet dan telepon pintar yang mencapai puluhan juta yang tersebar dari kota-kota besar hingga perdesaan. Dari Sabang hingga Merauke, dari pulau Rote sampai pulau Miangas.
Diperkirakan pertumbuhan volume bisnis e-commerce mencapai sekitar 40-50% per tahun dan dua tahun lagi diharapkan mendekati USD150 juta atau sekitar Rp600 triliun. Dengan prospek penerimaan pajak sekitar Rp15 triliun.
Seiring dengan kemajuan e-commerce potensi risiko juga meningkat. Karateristik e-commerce berpotensi menimbulkan wanprestasi, misalnya barang yang diterima konsumen tidak sesuai dengan spesifikasi yang dipesan, barang tidak sampai, barang sampai ke alamat yang salah atau tidak tepat waktu, risiko hidden cost, barang sudah dikirim tidak dibayar.Belum lagi soal keamanan tanda tangan dan alat bayar pembeli.
Ironisnya, e-commerce belum memiliki atau dilindungi payung hukum. Secara sederhana, payung hukum itu antara lain dimaksudkan untuk menimbulkan rasa aman dan kejelasan tentang hak serta tanggung jawab para pihak terkait para pihak yang terlibat dalam bisnis e-commerce.
Di kalangan provider telekomunikasi, penyedia layanan antar, pembuat barang/produk baik yang terdaftar maupun belum, produsen perangkat pintar/pembuat aplikasi, UMKM, pelaku bisnis pemula dan sebagainya.
Pentingnya payung hukum terlihat dari laporan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang pada awal Januari tahun ini mengungkapkan, dari 642 pengaduan umum sejak Januari-November 2017, YLKI menerima 101 keluhan belanja online atau sebesar 16%. Meningkat dua kali lipat dari 2016, yang berjumlah 8%.
Konsumen, ungkap YLKI, mengeluhkan lambatnya respons keluhan (44%), belum diterimanya barang (36%), sistem merugikan (20%), tidak diberikannya pengembalian dana (17%), dugaan penipuan (11%), barang yang dibeli tidak sesuai (9%), dugaan kejahatan siber (8%). Adapula keluhan mengenai cacat produk (6%), pelayanan (2%), harga (1%), informasi (1%), dan terlambatnya penerimaan barang (1%). Sebanyak 8% 86% keluhan ditujukan kepada toko online penyedia aplikasi.
Maraknya aduan tersebut, menurut Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi disebabkan belum adanya regulasi yang tegas mengatur belanja online. Saat ini, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) soal Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (TPMSE) yang disusun Kementerian Perdagangan (Kemdag) belum diselesaikan. "Pemerintah belum mengesahkan RPP yang merupakan payung hukum untuk (belanja) online."
Sangat ironis ketika belanja online dipuja sebagai salah satu penggerak perekonomian dan dijangka akan menghasilkan pajak Rp18 triliun, tetapi prestasi itu tidak diimbangi dengan kecepatan menata perlindungan hukum bagi konsumen dan para pihak terkait lainnya. Pertanyaannya, apakah memang harus menunggu masalahnya menumpuk?
Pemerintah menargetkan akan menerbitkan 31 peraturan menteri terkait perdagangan secara elektronik atau e-commerce. Untuk itu dibentuk tiga kelompok kerja yang terdiri, Pokja terkait perdagangan dipimpin Kementerian Perdagangan.
Kementerian Kominfo mengetuai Pokja yang berkaitan dengan infrastruktur, model, dan sistem teknologi. Pokja yang berkenaan dengan sistem pembayaran, pajak, cukai, diketuai Kementerian Keuangan.
Pembentukan Pokja tersebut merupakan lanjutan dari Peraturan Presiden (Perpres) tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE) atau Roadmap e-Commerce. yang diluncurkan pemerintah beberapa waktu lalu.
Kini masyarakat e-commerce dan e-business menanti penyelerasan atau sinkronisasi hasil ketiga Pokja yang dijanjikan terbit dalam bentuk peraturan menteri dalam waktu dekat.
Menjinakkan Bom Waktu E-Commerce
Landasan utama untuk menjinakkan bom waktu adalah adanya hukum yang komprehensif (dari umum sampai aturan turunan yang aplikatif) untuk mengatur perdagangan online. Dengan aturan yang memadai, pemerintah sebagai wasit memiliki aturan main jika terjadi dispute dalam perdagangan online.
Isu-isu krusial yang harus diatur setidaknya adalah, batasan e-commerce, apa saja yang boleh diperdagangkan, para pihak yang terlibat dalam e-commerce, bagaimana tampilan toko online yang setidaknya mengatur deskripsi barang yang ditawarkan (jenis barang, material barang, warna, detail ukuran, kemasan, dan lain sebagainya) all cost yang harus dibayar tanpa adanya hidden cost (perlu transparansi), bentuk persetujuan antara penjual dan pembeli, cara pembayaran dan kapan barang akan diterima konsumen .
Selain itu ada isu penting yang harus diatur yaitu mengenai keamanan identitas pembeli, sehingga setidaknya aturan aplikatifnya nanti harus memuat identitas apa saja yang boleh diminta dan diisi. Juga bagaimana batas maksimal penggunaan identitas pembeli, serta bagaimana pembeli melakukan pembayaran dan memastikan keamanan alat bayar pembeli tidak disalah gunakan.
Tentu saja yang juga harus diatur adalah bagaimana mekanisme protes atau complaint jika terjadi dispute antara pembeli dan penjual online.
Pendaftaran dan Lembaga Otoritatif
Ekosistem e-commerce yang gaib sangat memudahkan pihak-pihak untuk hadir dan lenyap seketika. Oleh sebab itu untuk menjamin semuanya menjadi pihak yang seolah-oleh nyata, maka seharusnya pembeli dan penjual online haruslah terdaftar.
Penjual online sebelum dia beroperasi haruslah memenuhi unsur seperti penjual konvensional. Seperti alamat domisili yang di sini bisa diganti dengan alamat domain yang jelas, pendataan alamat domain haruslah berbasis dengan data penduduk atau badan hukum yang jelas.
Dengan begitu, dapat meminimalisir satu orang atau badan hukum memiliki banyak domain untuk satu bentuk bisnis yang sama. Dengan begini akan ada tujuan yang jelas ketika terjadi wanprestasi dikemudian hari.
Selain penjual yang harus terdaftar, untuk menghindari pembeli palsu dan beragamnya sistem registrasi pembeli, haruslah dibuat big data (data base) pembeli online secara umum, sehingga sekali pembeli online melakukan registrasi, data itu bisa digunakan untuk belanja di berbagai toko online.
Hal di atas bisa dilakukan pemerintah dengan membuat lembaga khusus untuk menangani perdagangan online. Selain menangani registrasi, lembaga ini dapat mem-filter kesehatan usaha pedagang dan pembeli online.
Sehingga, jika dalam perdagangan konvensional pelaku usaha diharuskan memiliki Surat Izin Usaha dan Tanda Daftar Perusahaan, maka toko online juga harus memiliki semacam sertifikasi ini sebelum dia launching domain di website.
Langkah cepat dan taktis harus segera dilakukan pemerintah untuk mengatasi perkembangan ekosistem e-commerce sebelum semuanya meledak dan meruntuhkan iklim kepercayaan bisnis.
(thm)