Dagang Fasilitas di Sukamiskin
A
A
A
Hariman Satria
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari
PADA medio April 2013, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana, gencar melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), seperti di Sukamiskin Bandung dan di Cipinang Jakarta.
Inspeksi ini dilatari oleh dugaan semakin massifnya perilaku koruptif nan transaksional yang dilakukan oleh petugas sipir lapas, kepala lapas dengan sejumlah narapidana (napi), terutama napi korupsi dan narkotika. Modusnya adalah para napi menyerahkan sejumlah uang sebagai pelicin agar mendapatkan fasilitas mewah dalam lapas.
Berselang lima tahun kemudian, tepatnya pada Jumat 20 Juli 2018, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledahan di Lapas Sukamiskin. Penggeledahan dilakukan karena berdasarkan hasil penyadapan, ada dugaan suap-menyuap antara Kalapas Sukamiskin Wahid Husein dengan beberapa napi korupsi, seperti Fahmi Darmawansyah dan Andi Rahmat.
Suap itu dibarter oleh Kalapas Sukamiskin dengan sejumlah fasilitas mewah yang dapat dinikmati oleh para terpidana. Dalam penggeledahan itu pula penyidik KPK menyita uang Rp279, 2 juta dan USD1.410, sejumlah valas, termasuk dua unit mobil. Kini mereka yang digeladah telah ditersangkakan dan ditahan oleh KPK.
Selain ruangan Fahmi Darmawansyah, penyidik KPK ikut menyegel ruang sel Tubagus Chaeri Wardana dan Fuad Amin Imron mantan Bupati Bangkalan. Keduanya saat penggeledahan, sedang pengobatan di luar lapas. Namun ditengarai ikut terlibat dalam suap fasilitas sel di Sukamiskin.
Bila ditarik ke belakang, indikasi dagang fasilitas dan suap menyuap di Lapas Sukamiskin, sesungguhnya telah lama terjadi. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana mengurai masalah akut ini?
Kewenangan KPK
Pertama-pertama saya perlu tegaskan bahwa KPK sangat berwenang dalam melakukan penangkapan, penggeledahan dan penyitaan di Lapas Sukamiskin Bandung. Hal ini sejalan dengan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12/1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan.
Dalam peraturan a quo disebutkan bahwa petugas Lapas merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas di bidang pengembangan. Pendeknya, petugas lapas adalah aparat penegak hukum.
Sementara itu, jika dikorelasikan dengan Pasal 11 huruf a UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, ditegaskan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara.
Pada titik ini, jelas bahwa KPK berwenang mengusut dugaan praktik korupsi berupa dagang fasilitas di Lapas Sukamiskin yang melibatkan petugas lapas. Sebab mereka dalam posisi sebagai aparat penegak hukum.
Dengan demikian, Tim Siber Pungli, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung tidak berwenang lagi mengusut perkara tersebut sebab KPK telah melakukan penegakan hukum lebih dahulu.
Dalam konteks apapun, KPK dinyatakan berwenang menyidik perkara korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung. Peraturannya jelas (lex certa) dan tegas (lex stricta) sehingga tidak perlu ada perdebatan lagi.
Konflik Kewenangan
Saya perlu tegaskan bahwa yang dimaksud dengan konflik kewenangan di sini adalah bukan antara kewenangan KPK dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), tetapi antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) dan Sekertariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM (Setjen Kemenkumham).
Hal ini menyangkut kewenangan pengelolaan dan pengembangan lembaga pemasyarakatan yang menjadi cikal bakal tumbuh suburnya praktik korupsi di Lapas. Mengapa saya mengatakan demikian?
Bila ditelaah secara faktual dan yuridis, kewenangan pengelolaan lembaga pemasyarakatan sesungguhnya adalah merupakan domain Setjen Kemenkumham terutama mengenai penganggaran, pembinaan dan penempatan Sumber Daya Manusia. Di saat bersamaan ada pula Dirjen Pas yang tugas utamanya adalah mengurus masalah lembaga pemasyarakatan.
Dengan demikian ada dua lembaga teknis yang mengatur satu masalah yakni mengenai lembaga pemasyarakatan. Di satu sisi ada Setjen Kemnkumham tetapi di sisi lain ada pula Dirjen Pas.
Menurut saya inilah salah satu stimulan tumbuh suburnya praktik korupsi di lapas sebab lembaga teknis seperti Dirjen Pas yang seharusnya mengelola lembaga pemasyarakatan, kewenangannya justru terbatas bahkan terkesan diambilalih oleh Setjen Kemenkumham.
Maka tidaklah mengherankan jika pengelolaan Lapas amburadul serta tidak terarah. Sebab Setjen Kemenkumham terlalu luas kewenangannya sehingga sulit untuk dikontrol setiap saat.
Oleh karena itu, saya berpandangan bahwa pengelolaan lapas seharusnya tidak lagi menjadi domain Setjen Kemenkumham, tetapi kewenangan itu secara langsung diserahakan kepada Dirjen Pas sehingga akan lebih mudah pengurusan dan pertanggungjawabannya.
Menteri Hukum dan HAM dapat membuat peraturan teknis mengenai masalah ini sehingga dapat dijadikan pedoman operasional Dirjen Pas. Melalui pengaturan yang demikian, kita bisa dengan mudah mengenali siapa yang harus bertanggung jawab jika terjadi praktik suap menyuap atau tindak korupsi lainnya di lapas.
Tidak Memberi Efek Jera
Narapidana korupsi dan kejahatan lain yang sedang berada di lapas sesungguhnya adalah kriminal yang sedang dihukum dan direhabilitasi moralnya oleh negara agar bisa menjadi manusia yang lebih baik ketika nanti selesai menjalani pidana dan kembali ke tengah-tengah masyarakat.
Bertalian dengan itu, secara teori dalam hukum pidana dikenal adanya teori-teori pidana. Salah satu teori yang sering dirujuk adalah teori gabungan (verenigings theorie) yang menekankan bahwa pidana di satu sisi ditujukan sebagai balasan atas kejahatan yang telah dilakukan, tetapi di sisi lain pidana atau hukuman harus memberi manfaat kepada terpidana (van Bemmelen, 1987).
Selain itu masih ada dua teori lain yakni teori abslout yang menekankan pada pembalasan dan teori relatif yang menekankan pada tujuan pemidanaan. Baik teori abslout, relatif hingga teori gabungan sesungguhnya memiliki tujuan yang sama yakni agar terpidana dapat berubah menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Terpidana dianggap sebagai orang yang tersesat sehingga perlu diperbaiki. Di sinilah pidana acapkali diharpkan mampu memberi efek jera kepada pelaku tindak pidana.
Kaitannya dengan fakta bahwa beberapa napi korupsi di Lapas Sukamiskin memperoleh sejumlah fasilitas mewah karena memberi suap kepada kepala lapas dan sipir, tentu menghianati tujuan pidana itu sendiri. Sebab sebagaimana saya katakan sejak awal bahwa seseorang dipidana agar mampu memberikan efek jera kepada pelaku sehingga ia akan bertobat untuk tidak lagi mengulangi perbuatannya.
Sedangkan dalam kasus di Sukamiskin, napi korupsi justru mendapatkan fasilitas dan kesenangan yang melimpah sehingga pidana tentu tidak akan terasa kepada mereka. Sebab kesenangan yang mereka peroleh di lapas sama saja dengan sebelum mereka dipidana. Hal ini akhirnya akan mengurangi esensi pemidanaan itu sendiri yakni agar memberikan efek jera.
Padahal dalam UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU Nomor 7/2006 tentang Pengesesahan United Nations Convention Against Corruption 2003, secara implisit mengadopsi tiga bentuk keadilan sebagai tujuan pidana.
Pertama, keadilan korektif bertalian dengan hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana. Artinya bahwa pidana yang dijatuhkan adalah sebagai koreksi kepada pelaku korupsi, sehingga menyadari kesalahannya dan bertobat untuk tidak mengulanginya.
Kedua, keadilan rehabilitatif dalam arti sebagai upaya memperbaiki mental terpidana. Ketiga, keadilan restoratif bertalian dengan upaya untuk memulihkan kerugian negara akibat tindak korupsi yang dilakukan oleh terdakwa atau terpidana.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari
PADA medio April 2013, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana, gencar melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), seperti di Sukamiskin Bandung dan di Cipinang Jakarta.
Inspeksi ini dilatari oleh dugaan semakin massifnya perilaku koruptif nan transaksional yang dilakukan oleh petugas sipir lapas, kepala lapas dengan sejumlah narapidana (napi), terutama napi korupsi dan narkotika. Modusnya adalah para napi menyerahkan sejumlah uang sebagai pelicin agar mendapatkan fasilitas mewah dalam lapas.
Berselang lima tahun kemudian, tepatnya pada Jumat 20 Juli 2018, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledahan di Lapas Sukamiskin. Penggeledahan dilakukan karena berdasarkan hasil penyadapan, ada dugaan suap-menyuap antara Kalapas Sukamiskin Wahid Husein dengan beberapa napi korupsi, seperti Fahmi Darmawansyah dan Andi Rahmat.
Suap itu dibarter oleh Kalapas Sukamiskin dengan sejumlah fasilitas mewah yang dapat dinikmati oleh para terpidana. Dalam penggeledahan itu pula penyidik KPK menyita uang Rp279, 2 juta dan USD1.410, sejumlah valas, termasuk dua unit mobil. Kini mereka yang digeladah telah ditersangkakan dan ditahan oleh KPK.
Selain ruangan Fahmi Darmawansyah, penyidik KPK ikut menyegel ruang sel Tubagus Chaeri Wardana dan Fuad Amin Imron mantan Bupati Bangkalan. Keduanya saat penggeledahan, sedang pengobatan di luar lapas. Namun ditengarai ikut terlibat dalam suap fasilitas sel di Sukamiskin.
Bila ditarik ke belakang, indikasi dagang fasilitas dan suap menyuap di Lapas Sukamiskin, sesungguhnya telah lama terjadi. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana mengurai masalah akut ini?
Kewenangan KPK
Pertama-pertama saya perlu tegaskan bahwa KPK sangat berwenang dalam melakukan penangkapan, penggeledahan dan penyitaan di Lapas Sukamiskin Bandung. Hal ini sejalan dengan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12/1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan.
Dalam peraturan a quo disebutkan bahwa petugas Lapas merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas di bidang pengembangan. Pendeknya, petugas lapas adalah aparat penegak hukum.
Sementara itu, jika dikorelasikan dengan Pasal 11 huruf a UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, ditegaskan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara.
Pada titik ini, jelas bahwa KPK berwenang mengusut dugaan praktik korupsi berupa dagang fasilitas di Lapas Sukamiskin yang melibatkan petugas lapas. Sebab mereka dalam posisi sebagai aparat penegak hukum.
Dengan demikian, Tim Siber Pungli, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung tidak berwenang lagi mengusut perkara tersebut sebab KPK telah melakukan penegakan hukum lebih dahulu.
Dalam konteks apapun, KPK dinyatakan berwenang menyidik perkara korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung. Peraturannya jelas (lex certa) dan tegas (lex stricta) sehingga tidak perlu ada perdebatan lagi.
Konflik Kewenangan
Saya perlu tegaskan bahwa yang dimaksud dengan konflik kewenangan di sini adalah bukan antara kewenangan KPK dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), tetapi antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) dan Sekertariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM (Setjen Kemenkumham).
Hal ini menyangkut kewenangan pengelolaan dan pengembangan lembaga pemasyarakatan yang menjadi cikal bakal tumbuh suburnya praktik korupsi di Lapas. Mengapa saya mengatakan demikian?
Bila ditelaah secara faktual dan yuridis, kewenangan pengelolaan lembaga pemasyarakatan sesungguhnya adalah merupakan domain Setjen Kemenkumham terutama mengenai penganggaran, pembinaan dan penempatan Sumber Daya Manusia. Di saat bersamaan ada pula Dirjen Pas yang tugas utamanya adalah mengurus masalah lembaga pemasyarakatan.
Dengan demikian ada dua lembaga teknis yang mengatur satu masalah yakni mengenai lembaga pemasyarakatan. Di satu sisi ada Setjen Kemnkumham tetapi di sisi lain ada pula Dirjen Pas.
Menurut saya inilah salah satu stimulan tumbuh suburnya praktik korupsi di lapas sebab lembaga teknis seperti Dirjen Pas yang seharusnya mengelola lembaga pemasyarakatan, kewenangannya justru terbatas bahkan terkesan diambilalih oleh Setjen Kemenkumham.
Maka tidaklah mengherankan jika pengelolaan Lapas amburadul serta tidak terarah. Sebab Setjen Kemenkumham terlalu luas kewenangannya sehingga sulit untuk dikontrol setiap saat.
Oleh karena itu, saya berpandangan bahwa pengelolaan lapas seharusnya tidak lagi menjadi domain Setjen Kemenkumham, tetapi kewenangan itu secara langsung diserahakan kepada Dirjen Pas sehingga akan lebih mudah pengurusan dan pertanggungjawabannya.
Menteri Hukum dan HAM dapat membuat peraturan teknis mengenai masalah ini sehingga dapat dijadikan pedoman operasional Dirjen Pas. Melalui pengaturan yang demikian, kita bisa dengan mudah mengenali siapa yang harus bertanggung jawab jika terjadi praktik suap menyuap atau tindak korupsi lainnya di lapas.
Tidak Memberi Efek Jera
Narapidana korupsi dan kejahatan lain yang sedang berada di lapas sesungguhnya adalah kriminal yang sedang dihukum dan direhabilitasi moralnya oleh negara agar bisa menjadi manusia yang lebih baik ketika nanti selesai menjalani pidana dan kembali ke tengah-tengah masyarakat.
Bertalian dengan itu, secara teori dalam hukum pidana dikenal adanya teori-teori pidana. Salah satu teori yang sering dirujuk adalah teori gabungan (verenigings theorie) yang menekankan bahwa pidana di satu sisi ditujukan sebagai balasan atas kejahatan yang telah dilakukan, tetapi di sisi lain pidana atau hukuman harus memberi manfaat kepada terpidana (van Bemmelen, 1987).
Selain itu masih ada dua teori lain yakni teori abslout yang menekankan pada pembalasan dan teori relatif yang menekankan pada tujuan pemidanaan. Baik teori abslout, relatif hingga teori gabungan sesungguhnya memiliki tujuan yang sama yakni agar terpidana dapat berubah menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Terpidana dianggap sebagai orang yang tersesat sehingga perlu diperbaiki. Di sinilah pidana acapkali diharpkan mampu memberi efek jera kepada pelaku tindak pidana.
Kaitannya dengan fakta bahwa beberapa napi korupsi di Lapas Sukamiskin memperoleh sejumlah fasilitas mewah karena memberi suap kepada kepala lapas dan sipir, tentu menghianati tujuan pidana itu sendiri. Sebab sebagaimana saya katakan sejak awal bahwa seseorang dipidana agar mampu memberikan efek jera kepada pelaku sehingga ia akan bertobat untuk tidak lagi mengulangi perbuatannya.
Sedangkan dalam kasus di Sukamiskin, napi korupsi justru mendapatkan fasilitas dan kesenangan yang melimpah sehingga pidana tentu tidak akan terasa kepada mereka. Sebab kesenangan yang mereka peroleh di lapas sama saja dengan sebelum mereka dipidana. Hal ini akhirnya akan mengurangi esensi pemidanaan itu sendiri yakni agar memberikan efek jera.
Padahal dalam UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU Nomor 7/2006 tentang Pengesesahan United Nations Convention Against Corruption 2003, secara implisit mengadopsi tiga bentuk keadilan sebagai tujuan pidana.
Pertama, keadilan korektif bertalian dengan hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana. Artinya bahwa pidana yang dijatuhkan adalah sebagai koreksi kepada pelaku korupsi, sehingga menyadari kesalahannya dan bertobat untuk tidak mengulanginya.
Kedua, keadilan rehabilitatif dalam arti sebagai upaya memperbaiki mental terpidana. Ketiga, keadilan restoratif bertalian dengan upaya untuk memulihkan kerugian negara akibat tindak korupsi yang dilakukan oleh terdakwa atau terpidana.
(thm)