Memaknai HoA Freeport-Inalum

Rabu, 18 Juli 2018 - 06:56 WIB
Memaknai HoA Freeport-Inalum
Memaknai HoA Freeport-Inalum
A A A
Rio Christiawan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

PROSES pengambil­alihan saham PT Freeport Indonesia (PTFI) telah me­masuki babak baru, peme­rin­tah Indonesia melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Indonesia Asahan Alumu­nium (Inalum) telah menanda­tangani perjanjian pokok atau Head of Agreement (HoA) untuk melakukan peng­ambilalihan sebesar 51%. Sesungguhnya ini merupakan langkah konkret yang strategis meskipun ba­nyak pihak meng­kritisi penan­da­tanganan HoA terkait dives­tasi PTFI.

Banyak pihak beranggapan bahwa HoA yang ditanda­tangani pada 12 Juli 2018 yang lalu antara Inalum dan PTFI dengan disaksikan pemerintah Indonesia adalah tidak meng­ikat, faktor lain yang semakin menguatkan spekulasi ter­sebut adalah pernyataan pihak Rio Tinto, perusahaan yang memiliki hak partisipasi pada PTFI bahwa HoA yang ditanda­tangani antara PTFI dan Ina­lum tersebut tidak mengikat.

Publik perlu memahami bahwa dalam proses peng­ambil­alihan saham diperlukan beberapa langkah hukum yang untuk mencapai tujuan dives­tasi 51% oleh Inalum tersebut, langkah hukum pertama yang harus dilakukan adalah mem­buat perjanjian pokok atau HoA. Pertanyaannya apakah HoA mengikat, jawabannya HoA harus ditindaklanjuti dengan perjanjian lain untuk sampai pada tujuan divestasi, jadi jawaban yang tepat HoA belum mengikat.

HoA belum meng­ikat berbeda konsekuensinya dengan HoA tidak mengikat. Artinya sesuai dengan apa yang tercantum dalam HoA yang ditandatangani 12 Juli 2018 tersebut maka untuk menjadi mengikat HoA akan dikonversi dalam Share Purchase Agree­ment (Perjanjian jual-beli sa­ham), Share Holder Agreement (per­janji­an antarpemegang saham) dan Exchange Agreement (per­tukar­an informasi).

Esensi HoA

Dalam Cambridge Law Dictionary (2018), head of agreement a document containing the main part of a business deal that that the companies or people involved must sign before they sign the main written agreement. Secara hukum HoA mengikat sejauh apa yang telah disepakati di dalam HoA tetapi bahwa ke­sepakatan tersebut belum bisa serta-merta efektif terjadi meng­­ingat HoA belum dikon­versi dalam perjanjian utama.

Dalam konteks ini dapat di­pahami jika Rio Tinto meng­asum­sikan bahwa HoA ter­sebut tidak mengikat karena belum serta-merta efektif meng­ingat HoA masih harus ditindak­lan­juti dengan bebe­rapa per­janjian se­belum efek­tif meng­ikat. Da­lam po­sisi Rio Tinto tentu masih ter­dapat be­berapa condition precedent (kon­­disi prasyarat) dan condition subsequent (pra­syarat lanjutan) yang masih ha­rus dipenuhi melalui perjanjian utama sebelum pengambilal­ihan 51% oleh Inalum berlaku efektif, artinya kondisi tersebut bisa terpenuhi, mungkin juga kelak tidak terpenuhi sehingga dalam London Stock Exchange dan Australian Stock Exchange Rio Tinto mem-published HoA yang ditandatangani 12 Juli 2018 tersebut bersifat tidak mengikat karena dalam hal ini Rio Tinto juga masih memiliki hak option yang belum di­putuskan.

Memahami HoA yang ditandatangani 12 Juli 2018 oleh Inalum dan PTFI tersebut memang harus dilihat bahwa dalam konteks pengambil­alih­an tentu melewati serang­kaian proses due diligence (uji tuntas) maupun kondisi prasyarat dan prasyarat lanjutan untuk me­nuju pada konversi HoA pada kesepakatan pokok, yaitu di­vestasi PTFI sebesar 51% meng­­ingat perjanjian final masih harus mendapat per­setujuan dari pemerintah, regulator dan otoritas masing-masing pihak.

Maka dalam hal ini HoA adalah kerangka pelaksanaan perjanjian atau sering disebut dengan pre-contractual stages. Namun demikian, HoA meng­ikat sejauh apa yang telah dise­pakati di dalam HoA tersebut, tetapi selebihnya HoA ber­fungsi sebagai kerangka nego­siasi komersial untuk menem­pat­kan offering (penawaran) dan acceptance (penerimaan) da­lam satu kesepakatan efek­tif. Artinya saat ini yang ter­pen­ting adalah bukan memper­soalkan apakah HoA yang ditandatangani 12 Juli 2018 yang lalu oleh PTFI dan Inalum mengikat atau tidak mengikat tetapi adalah bagaimana me­ngawal konversi HoA tersebut ke dalam perjanjian pokok di­vestasi 51% saham PTFI ke­pada Inalum.

Divestasi Freeport

Potensi persoalan kritikal pada divestasi PTFI yang perlu direalisasikan dengan baik dalam perjanjian utama adalah terkait participating interest de­ngan memperhitungkan valua­si PTFI setelah mendapat per­pan­jangan konsesi. Di pihak lain, Rio Tinto sebagai peme­gang saham 40% me­miliki hak dan kewajib­an yang hampir sama dengan Freeport McMoran Inc sebagai pemegang saham utama PTFI saat ini, sehingga dalam hal ini pemerintah harus me­mu­tus­kan salah satu di antara dua opsi, yakni hanya mengambil alih saham PTFI melalui Free­port McMoran Inc atau opsi kedua pengambil­alih­an PTFI melalui Freeport Mc Moran Inc dan Rio Tinto.

Langkah peme­rin­tah me­mulai peng­ambil­alihan saham PTFI saat ini sudah tepat meng­ingat jika persoalan hak partisi­pasi Rio Tinto tidak segera di­selesaikan maka mulai 2022 Rio Tinto berhak mendapat dividen dari hak produksi hingga 2041. Langkah ini tam­pak­nya secara komersial dengan mengacu pada skema di­vestasi sesuai UU Minerba dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 yang telah diperbaharui dengan Per­aturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2017 lebih mening­gal­kan sedikit risiko dibanding menghentikan kontrak karya tambang pada 2021. Hal itu mengingat Free­port Mc Moran Inc bukan satu-satunya pihak dalam pelaksana­an kontrak karya tersebut.

Saat ini tantangannya ada­lah menyusun struktur tran­saksi yang dapat diterima baik oleh Inalum, Freeport McMoran, mau­pun Rio Tinto sehingga di­vestasi PTFI dapat direal­isas­i­kan. Dalam hal ini untuk meng­amankan divestasi PTFI bagi semua pihak maka condition subsequent yang harus ter­penuhi adalah terbitnya izin perpanjangan dari Kemen­teri­an ESDM hingga 2041 setidak­nya, hal ini karena Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sifatnya mengikuti divestasi. Artinya sebagai condition sub­sequent (prasyarat lanjutan) ke­t­ika perjanjian divestasi su­dah direalisasikan, di samping pembangunan smelter harus diatur secara detail sebagai prasyarat lanjutan. Sedangkan persoalan royalti dan pem­bayaran pajak sudah harus di­sepakati pada saat penanda­tanganan perjanjian utama yakni Share Purchase Agreement (perjanjian jual-beli saham).

Harga dan struktur tran­saksi perlu dikalkulasikan se­cara matang sebelum dituang­kan dalam perjanjian pokok mengingat pembiayaan peng­ambilalihan saham PTFI ini menggunakan model kredit sindikasi sehingga memfor­mu­lasikan struktur pem­biaya­an ke dalam perjanjian yang dapat diterima semua pihak tentu memerlukan waktu yang tidak sedikit. Selain itu, per­soal­an lingkungan PTFI terkait peng­guna­an kawasan hutan lindung 4.535 hektare untuk operasio­nal juga harus dipulih­kan dan atau ditemukan solusi­nya se­suai rekomendasi ke­men­terian terkait, hal ini untuk meng­hin­dari kewajiban tanggung jawab bersama yang pada akhirnya berpotensi me­rugikan peme­rin­tah melalui Inalum.

Sebagai tindak lanjut dari HoA, secara hukum selain me­nandatangani Share Purchase Agreement (perjanjian jual-beli saham) pemerintah melalui Inalum juga menandatangani Share Holder Agreement (per­janji­an antar pemegang sa­ham) dengan Freeport McMoran mau­pun Rio Tinto. Perlu disadari bahwa Share Purchase Agree­ment adalah meng­atur proses pengambil­alih­an saham PTFI oleh Inalum. selanjutnya sete­lah pemerintah melalui Inalum menguasai 51% maka hak dan kewajiban Inalum dituangkan dalam Share Holder Agreement yang harus disusun sesuai dengan filosofi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana frasa dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0702 seconds (0.1#10.140)