Memaknai HoA Freeport-Inalum
A
A
A
Rio Christiawan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
PROSES pengambilalihan saham PT Freeport Indonesia (PTFI) telah memasuki babak baru, pemerintah Indonesia melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) telah menandatangani perjanjian pokok atau Head of Agreement (HoA) untuk melakukan pengambilalihan sebesar 51%. Sesungguhnya ini merupakan langkah konkret yang strategis meskipun banyak pihak mengkritisi penandatanganan HoA terkait divestasi PTFI.
Banyak pihak beranggapan bahwa HoA yang ditandatangani pada 12 Juli 2018 yang lalu antara Inalum dan PTFI dengan disaksikan pemerintah Indonesia adalah tidak mengikat, faktor lain yang semakin menguatkan spekulasi tersebut adalah pernyataan pihak Rio Tinto, perusahaan yang memiliki hak partisipasi pada PTFI bahwa HoA yang ditandatangani antara PTFI dan Inalum tersebut tidak mengikat.
Publik perlu memahami bahwa dalam proses pengambilalihan saham diperlukan beberapa langkah hukum yang untuk mencapai tujuan divestasi 51% oleh Inalum tersebut, langkah hukum pertama yang harus dilakukan adalah membuat perjanjian pokok atau HoA. Pertanyaannya apakah HoA mengikat, jawabannya HoA harus ditindaklanjuti dengan perjanjian lain untuk sampai pada tujuan divestasi, jadi jawaban yang tepat HoA belum mengikat.
HoA belum mengikat berbeda konsekuensinya dengan HoA tidak mengikat. Artinya sesuai dengan apa yang tercantum dalam HoA yang ditandatangani 12 Juli 2018 tersebut maka untuk menjadi mengikat HoA akan dikonversi dalam Share Purchase Agreement (Perjanjian jual-beli saham), Share Holder Agreement (perjanjian antarpemegang saham) dan Exchange Agreement (pertukaran informasi).
Esensi HoA
Dalam Cambridge Law Dictionary (2018), head of agreement a document containing the main part of a business deal that that the companies or people involved must sign before they sign the main written agreement. Secara hukum HoA mengikat sejauh apa yang telah disepakati di dalam HoA tetapi bahwa kesepakatan tersebut belum bisa serta-merta efektif terjadi mengingat HoA belum dikonversi dalam perjanjian utama.
Dalam konteks ini dapat dipahami jika Rio Tinto mengasumsikan bahwa HoA tersebut tidak mengikat karena belum serta-merta efektif mengingat HoA masih harus ditindaklanjuti dengan beberapa perjanjian sebelum efektif mengikat. Dalam posisi Rio Tinto tentu masih terdapat beberapa condition precedent (kondisi prasyarat) dan condition subsequent (prasyarat lanjutan) yang masih harus dipenuhi melalui perjanjian utama sebelum pengambilalihan 51% oleh Inalum berlaku efektif, artinya kondisi tersebut bisa terpenuhi, mungkin juga kelak tidak terpenuhi sehingga dalam London Stock Exchange dan Australian Stock Exchange Rio Tinto mem-published HoA yang ditandatangani 12 Juli 2018 tersebut bersifat tidak mengikat karena dalam hal ini Rio Tinto juga masih memiliki hak option yang belum diputuskan.
Memahami HoA yang ditandatangani 12 Juli 2018 oleh Inalum dan PTFI tersebut memang harus dilihat bahwa dalam konteks pengambilalihan tentu melewati serangkaian proses due diligence (uji tuntas) maupun kondisi prasyarat dan prasyarat lanjutan untuk menuju pada konversi HoA pada kesepakatan pokok, yaitu divestasi PTFI sebesar 51% mengingat perjanjian final masih harus mendapat persetujuan dari pemerintah, regulator dan otoritas masing-masing pihak.
Maka dalam hal ini HoA adalah kerangka pelaksanaan perjanjian atau sering disebut dengan pre-contractual stages. Namun demikian, HoA mengikat sejauh apa yang telah disepakati di dalam HoA tersebut, tetapi selebihnya HoA berfungsi sebagai kerangka negosiasi komersial untuk menempatkan offering (penawaran) dan acceptance (penerimaan) dalam satu kesepakatan efektif. Artinya saat ini yang terpenting adalah bukan mempersoalkan apakah HoA yang ditandatangani 12 Juli 2018 yang lalu oleh PTFI dan Inalum mengikat atau tidak mengikat tetapi adalah bagaimana mengawal konversi HoA tersebut ke dalam perjanjian pokok divestasi 51% saham PTFI kepada Inalum.
Divestasi Freeport
Potensi persoalan kritikal pada divestasi PTFI yang perlu direalisasikan dengan baik dalam perjanjian utama adalah terkait participating interest dengan memperhitungkan valuasi PTFI setelah mendapat perpanjangan konsesi. Di pihak lain, Rio Tinto sebagai pemegang saham 40% memiliki hak dan kewajiban yang hampir sama dengan Freeport McMoran Inc sebagai pemegang saham utama PTFI saat ini, sehingga dalam hal ini pemerintah harus memutuskan salah satu di antara dua opsi, yakni hanya mengambil alih saham PTFI melalui Freeport McMoran Inc atau opsi kedua pengambilalihan PTFI melalui Freeport Mc Moran Inc dan Rio Tinto.
Langkah pemerintah memulai pengambilalihan saham PTFI saat ini sudah tepat mengingat jika persoalan hak partisipasi Rio Tinto tidak segera diselesaikan maka mulai 2022 Rio Tinto berhak mendapat dividen dari hak produksi hingga 2041. Langkah ini tampaknya secara komersial dengan mengacu pada skema divestasi sesuai UU Minerba dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 yang telah diperbaharui dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2017 lebih meninggalkan sedikit risiko dibanding menghentikan kontrak karya tambang pada 2021. Hal itu mengingat Freeport Mc Moran Inc bukan satu-satunya pihak dalam pelaksanaan kontrak karya tersebut.
Saat ini tantangannya adalah menyusun struktur transaksi yang dapat diterima baik oleh Inalum, Freeport McMoran, maupun Rio Tinto sehingga divestasi PTFI dapat direalisasikan. Dalam hal ini untuk mengamankan divestasi PTFI bagi semua pihak maka condition subsequent yang harus terpenuhi adalah terbitnya izin perpanjangan dari Kementerian ESDM hingga 2041 setidaknya, hal ini karena Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sifatnya mengikuti divestasi. Artinya sebagai condition subsequent (prasyarat lanjutan) ketika perjanjian divestasi sudah direalisasikan, di samping pembangunan smelter harus diatur secara detail sebagai prasyarat lanjutan. Sedangkan persoalan royalti dan pembayaran pajak sudah harus disepakati pada saat penandatanganan perjanjian utama yakni Share Purchase Agreement (perjanjian jual-beli saham).
Harga dan struktur transaksi perlu dikalkulasikan secara matang sebelum dituangkan dalam perjanjian pokok mengingat pembiayaan pengambilalihan saham PTFI ini menggunakan model kredit sindikasi sehingga memformulasikan struktur pembiayaan ke dalam perjanjian yang dapat diterima semua pihak tentu memerlukan waktu yang tidak sedikit. Selain itu, persoalan lingkungan PTFI terkait penggunaan kawasan hutan lindung 4.535 hektare untuk operasional juga harus dipulihkan dan atau ditemukan solusinya sesuai rekomendasi kementerian terkait, hal ini untuk menghindari kewajiban tanggung jawab bersama yang pada akhirnya berpotensi merugikan pemerintah melalui Inalum.
Sebagai tindak lanjut dari HoA, secara hukum selain menandatangani Share Purchase Agreement (perjanjian jual-beli saham) pemerintah melalui Inalum juga menandatangani Share Holder Agreement (perjanjian antar pemegang saham) dengan Freeport McMoran maupun Rio Tinto. Perlu disadari bahwa Share Purchase Agreement adalah mengatur proses pengambilalihan saham PTFI oleh Inalum. selanjutnya setelah pemerintah melalui Inalum menguasai 51% maka hak dan kewajiban Inalum dituangkan dalam Share Holder Agreement yang harus disusun sesuai dengan filosofi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana frasa dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.
PROSES pengambilalihan saham PT Freeport Indonesia (PTFI) telah memasuki babak baru, pemerintah Indonesia melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) telah menandatangani perjanjian pokok atau Head of Agreement (HoA) untuk melakukan pengambilalihan sebesar 51%. Sesungguhnya ini merupakan langkah konkret yang strategis meskipun banyak pihak mengkritisi penandatanganan HoA terkait divestasi PTFI.
Banyak pihak beranggapan bahwa HoA yang ditandatangani pada 12 Juli 2018 yang lalu antara Inalum dan PTFI dengan disaksikan pemerintah Indonesia adalah tidak mengikat, faktor lain yang semakin menguatkan spekulasi tersebut adalah pernyataan pihak Rio Tinto, perusahaan yang memiliki hak partisipasi pada PTFI bahwa HoA yang ditandatangani antara PTFI dan Inalum tersebut tidak mengikat.
Publik perlu memahami bahwa dalam proses pengambilalihan saham diperlukan beberapa langkah hukum yang untuk mencapai tujuan divestasi 51% oleh Inalum tersebut, langkah hukum pertama yang harus dilakukan adalah membuat perjanjian pokok atau HoA. Pertanyaannya apakah HoA mengikat, jawabannya HoA harus ditindaklanjuti dengan perjanjian lain untuk sampai pada tujuan divestasi, jadi jawaban yang tepat HoA belum mengikat.
HoA belum mengikat berbeda konsekuensinya dengan HoA tidak mengikat. Artinya sesuai dengan apa yang tercantum dalam HoA yang ditandatangani 12 Juli 2018 tersebut maka untuk menjadi mengikat HoA akan dikonversi dalam Share Purchase Agreement (Perjanjian jual-beli saham), Share Holder Agreement (perjanjian antarpemegang saham) dan Exchange Agreement (pertukaran informasi).
Esensi HoA
Dalam Cambridge Law Dictionary (2018), head of agreement a document containing the main part of a business deal that that the companies or people involved must sign before they sign the main written agreement. Secara hukum HoA mengikat sejauh apa yang telah disepakati di dalam HoA tetapi bahwa kesepakatan tersebut belum bisa serta-merta efektif terjadi mengingat HoA belum dikonversi dalam perjanjian utama.
Dalam konteks ini dapat dipahami jika Rio Tinto mengasumsikan bahwa HoA tersebut tidak mengikat karena belum serta-merta efektif mengingat HoA masih harus ditindaklanjuti dengan beberapa perjanjian sebelum efektif mengikat. Dalam posisi Rio Tinto tentu masih terdapat beberapa condition precedent (kondisi prasyarat) dan condition subsequent (prasyarat lanjutan) yang masih harus dipenuhi melalui perjanjian utama sebelum pengambilalihan 51% oleh Inalum berlaku efektif, artinya kondisi tersebut bisa terpenuhi, mungkin juga kelak tidak terpenuhi sehingga dalam London Stock Exchange dan Australian Stock Exchange Rio Tinto mem-published HoA yang ditandatangani 12 Juli 2018 tersebut bersifat tidak mengikat karena dalam hal ini Rio Tinto juga masih memiliki hak option yang belum diputuskan.
Memahami HoA yang ditandatangani 12 Juli 2018 oleh Inalum dan PTFI tersebut memang harus dilihat bahwa dalam konteks pengambilalihan tentu melewati serangkaian proses due diligence (uji tuntas) maupun kondisi prasyarat dan prasyarat lanjutan untuk menuju pada konversi HoA pada kesepakatan pokok, yaitu divestasi PTFI sebesar 51% mengingat perjanjian final masih harus mendapat persetujuan dari pemerintah, regulator dan otoritas masing-masing pihak.
Maka dalam hal ini HoA adalah kerangka pelaksanaan perjanjian atau sering disebut dengan pre-contractual stages. Namun demikian, HoA mengikat sejauh apa yang telah disepakati di dalam HoA tersebut, tetapi selebihnya HoA berfungsi sebagai kerangka negosiasi komersial untuk menempatkan offering (penawaran) dan acceptance (penerimaan) dalam satu kesepakatan efektif. Artinya saat ini yang terpenting adalah bukan mempersoalkan apakah HoA yang ditandatangani 12 Juli 2018 yang lalu oleh PTFI dan Inalum mengikat atau tidak mengikat tetapi adalah bagaimana mengawal konversi HoA tersebut ke dalam perjanjian pokok divestasi 51% saham PTFI kepada Inalum.
Divestasi Freeport
Potensi persoalan kritikal pada divestasi PTFI yang perlu direalisasikan dengan baik dalam perjanjian utama adalah terkait participating interest dengan memperhitungkan valuasi PTFI setelah mendapat perpanjangan konsesi. Di pihak lain, Rio Tinto sebagai pemegang saham 40% memiliki hak dan kewajiban yang hampir sama dengan Freeport McMoran Inc sebagai pemegang saham utama PTFI saat ini, sehingga dalam hal ini pemerintah harus memutuskan salah satu di antara dua opsi, yakni hanya mengambil alih saham PTFI melalui Freeport McMoran Inc atau opsi kedua pengambilalihan PTFI melalui Freeport Mc Moran Inc dan Rio Tinto.
Langkah pemerintah memulai pengambilalihan saham PTFI saat ini sudah tepat mengingat jika persoalan hak partisipasi Rio Tinto tidak segera diselesaikan maka mulai 2022 Rio Tinto berhak mendapat dividen dari hak produksi hingga 2041. Langkah ini tampaknya secara komersial dengan mengacu pada skema divestasi sesuai UU Minerba dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 yang telah diperbaharui dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2017 lebih meninggalkan sedikit risiko dibanding menghentikan kontrak karya tambang pada 2021. Hal itu mengingat Freeport Mc Moran Inc bukan satu-satunya pihak dalam pelaksanaan kontrak karya tersebut.
Saat ini tantangannya adalah menyusun struktur transaksi yang dapat diterima baik oleh Inalum, Freeport McMoran, maupun Rio Tinto sehingga divestasi PTFI dapat direalisasikan. Dalam hal ini untuk mengamankan divestasi PTFI bagi semua pihak maka condition subsequent yang harus terpenuhi adalah terbitnya izin perpanjangan dari Kementerian ESDM hingga 2041 setidaknya, hal ini karena Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sifatnya mengikuti divestasi. Artinya sebagai condition subsequent (prasyarat lanjutan) ketika perjanjian divestasi sudah direalisasikan, di samping pembangunan smelter harus diatur secara detail sebagai prasyarat lanjutan. Sedangkan persoalan royalti dan pembayaran pajak sudah harus disepakati pada saat penandatanganan perjanjian utama yakni Share Purchase Agreement (perjanjian jual-beli saham).
Harga dan struktur transaksi perlu dikalkulasikan secara matang sebelum dituangkan dalam perjanjian pokok mengingat pembiayaan pengambilalihan saham PTFI ini menggunakan model kredit sindikasi sehingga memformulasikan struktur pembiayaan ke dalam perjanjian yang dapat diterima semua pihak tentu memerlukan waktu yang tidak sedikit. Selain itu, persoalan lingkungan PTFI terkait penggunaan kawasan hutan lindung 4.535 hektare untuk operasional juga harus dipulihkan dan atau ditemukan solusinya sesuai rekomendasi kementerian terkait, hal ini untuk menghindari kewajiban tanggung jawab bersama yang pada akhirnya berpotensi merugikan pemerintah melalui Inalum.
Sebagai tindak lanjut dari HoA, secara hukum selain menandatangani Share Purchase Agreement (perjanjian jual-beli saham) pemerintah melalui Inalum juga menandatangani Share Holder Agreement (perjanjian antar pemegang saham) dengan Freeport McMoran maupun Rio Tinto. Perlu disadari bahwa Share Purchase Agreement adalah mengatur proses pengambilalihan saham PTFI oleh Inalum. selanjutnya setelah pemerintah melalui Inalum menguasai 51% maka hak dan kewajiban Inalum dituangkan dalam Share Holder Agreement yang harus disusun sesuai dengan filosofi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana frasa dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.
(pur)