Memutihkan Sawit Nasional

Senin, 16 Juli 2018 - 07:32 WIB
Memutihkan Sawit Nasional
Memutihkan Sawit Nasional
A A A
Iwan Nurdin
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria

MENGAPA sawit be­gitu mudah ma­suk perangkap da­lam hambatan tarif, nontarif, hingga penolakan dalam perdagangan inter­na­sional di Uni Eropa dan Ame­rika Serikat (AS)? Meski peme­rintah dan pengusaha me­nge­rahkan seluruh tenaga untuk membuat minyak mentah sa­wit (CPO) asal Tanah Air dapat diterima, langkah peng­ha­da­ngan oleh lawan dagang selalu sebanding.

Ada beberapa faktor politik yang tidak sepenuhnya dihi­tung terkait soal ini, yaitu me­nguat­nya gerakan konsumen cerdas. Gerakan ini memaksa pro­dusen di sana diwajibkan me­nulis ba­han baku dalam pro­duk ke­masan mereka minyak sawit se­bagai sawit, bukan mi­nyak nabati.

Sementara telah tumbuh rasa bersalah jika membeli pro­duk yang berasal dari sawit dilabeli sebagai pro­duk perusak alam, merampas tanah petani, masyarakat adat, serta hanya memperkaya se­ge­lintir orang.

Di beberapa negara, para orang tua juga mulai meng­kri­tik jika sekolah menyediakan ma­kan siang yang berasal dari mi­nyak sawit. Selain ber­la­wan­an dengan nilai-nilai pen­di­dik­an yang ditanamkan, juga de­ngan alasan kesehatan.

Ge­ra­kan ini juga merambah ke bank. Masya­ra­kat mulai menolak me­nabung dan bertransaksi ke­uangan pada bank yang me­nyalurkan kre­dit kepada per­usa­haan yang membiayai pembangunan sa­wit. Bukankah se­buah gerakan yang membesar akan memu­dah­kannya menjadi sebuah ke­bi­jakan publik, di sisi lain selalu ditangkap se­ba­gai peluang men­cari simpati para politisi.

Reformasi Perkebunan
Selama ini penolakan sawit Indonesia dituduhkan oleh sejumlah pengusaha, politisi, dan pejabat pemerintah ka­re­na lembaga swadaya ma­sya­ra­kat (LSM) dalam negeri yang melakukan kampanye hitam sawit. Padahal tuduhan itu di­pa­kai sebagai senjata dalam perang dagang dengan minyak nabati Eropa, seperti bunga ma­ta­hari, jagung, dan kedelai mereka yang tidak efisien. LSM na­sional dituduh sebagai proxy dari lawan yang ditanam “asing” di dalam negeri.

Sayangnya, persoalan sawit yang dituduhkan Eropa de­ngan mudah dapat ditemukan tanpa perbaikan berarti. Po­kok-pokok tuduhan tersebut ada­lah CPO Indonesia diha­sil­kan dengan cara membayar bu­ruh dengan sangat murah, me­ru­gikan petani kecil, ­me­la­ku­kan perampasan tanah, me­ru­sak lingkungan hidup berupa penghancuran hutan dan ha­bi­tat hewan langka, serta me­nam­bah pemanasan global ka­re­na menanam di atas gambut.

Fakta bahwa industri mi­nyak sawit mendapatkan ke­untungan besar dari sistem pro­duksi yang merugikan pe­tani mandiri, petani plasma dan buruh kebun memang ter­jadi. Jutaan lapangan kerja yang diklaim dihasilkan oleh pengusaha sawit tidak tercatat di dinas tenaga kerja. Sebab pe­kerjaan itu adalah buruh ha­rian lepas, buruh kontrak, dan nyaris tanpa perlindungan. Lokasi-lokasi yang jauh telah membuat persoalan ini tidak pernah terungkap.

Sementara petani mandiri, petani plasma mendapatkan harga pembelian yang kurang adil. Sawit mungkin satu-sa­tu­nya komoditas non-”strategis” di luar pangan dan energi yang harga pembeliannya dite­tap­kan pemerintah.

Anehnya, kom­ponen harga tersebut ter­masuk penyusutan pabrik juga menjadi beban yang di­tang­gung petani. Padahal pem­be­lian pabrik di lapangan rata-rata di bawah garis harga yang ditetapkan tanpa penindakan.

Dari sisi agraria, jutaan hek­tare kebun sawit sedang ber­konflik karena melakukan pe­rampasan tanah (land grabbing) masyarakat. Penggunaan TNI/ Polri dan Pamswakarsa dalam penyelesaian menghasilkan kor­­ban dan kriminalisasi.

Ta­hun lalu saja, menurut catatan Konsorsium Pembaruan Ag­raria (KPA), dari 194.453,27 hek­tare letusan konflik di sek­tor perkebunan, seluas 95.565.27 ha (49%) ter­jadi di ke­bun sawit.

Dalam kon­flik agraria tahun lalu tercatat 13 orang tewas, 6 orang ter­tem­bak, dan ratusan ditahan. De­ngan kondisi se­macam ini ten­tu tu­duhan ten­tang “sawit ber­darah” tak m­u­dah dielakkan. Terkait masalah ling­ku­ngan hidup, perusakan hu­tan adalah masalah utama sa­wit. Satu dekade lalu, sembilan juta hektare hutan dilepas dan 70% digunakan untuk sawit.

Saat ini bahkan pulau-pulau kecil di Indonesia Timur di­ru­sak dan berubah menjadi sawit. Usaha mengelak dari tuduhan dengan menggandeng akade­mi­si un­tuk menyatakan sawit sebagai tanaman kehutanan hanya menambah kekonyolan.

Di tengah suasana praktik se­macam ini, lima pengusaha rak­sasa sawit saat ini justru me­nd­a­pat suntikan subsidi Rp7,5 tri­liun rupiah untuk pe­nanaman kembali (rep­lan­t­ing) dan pe­ngem­bangan bio­die­sel melalui Badan Pengelola Dana Perke­bun­an Kelapa Sawit (BPDPKS). Hal ini bisa terjadi sebab ke­pe­milikan kebun sawit memang lebih dari sete­ngah­nya hanya dimiliki oleh kurang dari 10 pe­ngusaha saja.

Karena itu, politik nasional mesti membicarakan data-data semacam ini dengan jer­nih. Penyangkalan tanpa per­baikan tak banyak menolong. Apalagi melindungi secara ber­lebihan melalui RUU Per­ke­la­pa­sawitan.

Sudah saatnya sis­tem perkebunan era Kolonial Belanda yang dikritik keras oleh pendiri bangsa ini di­re­for­masi. Langkah moratorium sa­wit, penyelesaian konflik ag­raria dan lingkungan hidup, serta memperbaiki sistem per­buruhan wajib dilakukan.

Saat ini negara kita me­m­butuhkan roadmap reformasi perkebunan nasional yang me­ngarah pada keadilan. Negara harus hadir di sisi ini. Harus ada langkah terukur mendorong agar hak guna usaha (HGU) sa­wit yang telah habis masa ber­la­kunya menjadi koperasi petani dan buruh yang bekerja sama de­ngan fakultas per­ta­nian.

Di sisi lain, transformasi pengusaha ke­bun untuk segera beralih ke hi­lirisasi produksi harus dido­rong dan didukung secara ketat.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1179 seconds (0.1#10.140)