Memutihkan Sawit Nasional
A
A
A
Iwan Nurdin
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria
MENGAPA sawit begitu mudah masuk perangkap dalam hambatan tarif, nontarif, hingga penolakan dalam perdagangan internasional di Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS)? Meski pemerintah dan pengusaha mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat minyak mentah sawit (CPO) asal Tanah Air dapat diterima, langkah penghadangan oleh lawan dagang selalu sebanding.
Ada beberapa faktor politik yang tidak sepenuhnya dihitung terkait soal ini, yaitu menguatnya gerakan konsumen cerdas. Gerakan ini memaksa produsen di sana diwajibkan menulis bahan baku dalam produk kemasan mereka minyak sawit sebagai sawit, bukan minyak nabati.
Sementara telah tumbuh rasa bersalah jika membeli produk yang berasal dari sawit dilabeli sebagai produk perusak alam, merampas tanah petani, masyarakat adat, serta hanya memperkaya segelintir orang.
Di beberapa negara, para orang tua juga mulai mengkritik jika sekolah menyediakan makan siang yang berasal dari minyak sawit. Selain berlawanan dengan nilai-nilai pendidikan yang ditanamkan, juga dengan alasan kesehatan.
Gerakan ini juga merambah ke bank. Masyarakat mulai menolak menabung dan bertransaksi keuangan pada bank yang menyalurkan kredit kepada perusahaan yang membiayai pembangunan sawit. Bukankah sebuah gerakan yang membesar akan memudahkannya menjadi sebuah kebijakan publik, di sisi lain selalu ditangkap sebagai peluang mencari simpati para politisi.
Reformasi Perkebunan
Selama ini penolakan sawit Indonesia dituduhkan oleh sejumlah pengusaha, politisi, dan pejabat pemerintah karena lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam negeri yang melakukan kampanye hitam sawit. Padahal tuduhan itu dipakai sebagai senjata dalam perang dagang dengan minyak nabati Eropa, seperti bunga matahari, jagung, dan kedelai mereka yang tidak efisien. LSM nasional dituduh sebagai proxy dari lawan yang ditanam “asing” di dalam negeri.
Sayangnya, persoalan sawit yang dituduhkan Eropa dengan mudah dapat ditemukan tanpa perbaikan berarti. Pokok-pokok tuduhan tersebut adalah CPO Indonesia dihasilkan dengan cara membayar buruh dengan sangat murah, merugikan petani kecil, melakukan perampasan tanah, merusak lingkungan hidup berupa penghancuran hutan dan habitat hewan langka, serta menambah pemanasan global karena menanam di atas gambut.
Fakta bahwa industri minyak sawit mendapatkan keuntungan besar dari sistem produksi yang merugikan petani mandiri, petani plasma dan buruh kebun memang terjadi. Jutaan lapangan kerja yang diklaim dihasilkan oleh pengusaha sawit tidak tercatat di dinas tenaga kerja. Sebab pekerjaan itu adalah buruh harian lepas, buruh kontrak, dan nyaris tanpa perlindungan. Lokasi-lokasi yang jauh telah membuat persoalan ini tidak pernah terungkap.
Sementara petani mandiri, petani plasma mendapatkan harga pembelian yang kurang adil. Sawit mungkin satu-satunya komoditas non-”strategis” di luar pangan dan energi yang harga pembeliannya ditetapkan pemerintah.
Anehnya, komponen harga tersebut termasuk penyusutan pabrik juga menjadi beban yang ditanggung petani. Padahal pembelian pabrik di lapangan rata-rata di bawah garis harga yang ditetapkan tanpa penindakan.
Dari sisi agraria, jutaan hektare kebun sawit sedang berkonflik karena melakukan perampasan tanah (land grabbing) masyarakat. Penggunaan TNI/ Polri dan Pamswakarsa dalam penyelesaian menghasilkan korban dan kriminalisasi.
Tahun lalu saja, menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dari 194.453,27 hektare letusan konflik di sektor perkebunan, seluas 95.565.27 ha (49%) terjadi di kebun sawit.
Dalam konflik agraria tahun lalu tercatat 13 orang tewas, 6 orang tertembak, dan ratusan ditahan. Dengan kondisi semacam ini tentu tuduhan tentang “sawit berdarah” tak mudah dielakkan. Terkait masalah lingkungan hidup, perusakan hutan adalah masalah utama sawit. Satu dekade lalu, sembilan juta hektare hutan dilepas dan 70% digunakan untuk sawit.
Saat ini bahkan pulau-pulau kecil di Indonesia Timur dirusak dan berubah menjadi sawit. Usaha mengelak dari tuduhan dengan menggandeng akademisi untuk menyatakan sawit sebagai tanaman kehutanan hanya menambah kekonyolan.
Di tengah suasana praktik semacam ini, lima pengusaha raksasa sawit saat ini justru mendapat suntikan subsidi Rp7,5 triliun rupiah untuk penanaman kembali (replanting) dan pengembangan biodiesel melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Hal ini bisa terjadi sebab kepemilikan kebun sawit memang lebih dari setengahnya hanya dimiliki oleh kurang dari 10 pengusaha saja.
Karena itu, politik nasional mesti membicarakan data-data semacam ini dengan jernih. Penyangkalan tanpa perbaikan tak banyak menolong. Apalagi melindungi secara berlebihan melalui RUU Perkelapasawitan.
Sudah saatnya sistem perkebunan era Kolonial Belanda yang dikritik keras oleh pendiri bangsa ini direformasi. Langkah moratorium sawit, penyelesaian konflik agraria dan lingkungan hidup, serta memperbaiki sistem perburuhan wajib dilakukan.
Saat ini negara kita membutuhkan roadmap reformasi perkebunan nasional yang mengarah pada keadilan. Negara harus hadir di sisi ini. Harus ada langkah terukur mendorong agar hak guna usaha (HGU) sawit yang telah habis masa berlakunya menjadi koperasi petani dan buruh yang bekerja sama dengan fakultas pertanian.
Di sisi lain, transformasi pengusaha kebun untuk segera beralih ke hilirisasi produksi harus didorong dan didukung secara ketat.
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria
MENGAPA sawit begitu mudah masuk perangkap dalam hambatan tarif, nontarif, hingga penolakan dalam perdagangan internasional di Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS)? Meski pemerintah dan pengusaha mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat minyak mentah sawit (CPO) asal Tanah Air dapat diterima, langkah penghadangan oleh lawan dagang selalu sebanding.
Ada beberapa faktor politik yang tidak sepenuhnya dihitung terkait soal ini, yaitu menguatnya gerakan konsumen cerdas. Gerakan ini memaksa produsen di sana diwajibkan menulis bahan baku dalam produk kemasan mereka minyak sawit sebagai sawit, bukan minyak nabati.
Sementara telah tumbuh rasa bersalah jika membeli produk yang berasal dari sawit dilabeli sebagai produk perusak alam, merampas tanah petani, masyarakat adat, serta hanya memperkaya segelintir orang.
Di beberapa negara, para orang tua juga mulai mengkritik jika sekolah menyediakan makan siang yang berasal dari minyak sawit. Selain berlawanan dengan nilai-nilai pendidikan yang ditanamkan, juga dengan alasan kesehatan.
Gerakan ini juga merambah ke bank. Masyarakat mulai menolak menabung dan bertransaksi keuangan pada bank yang menyalurkan kredit kepada perusahaan yang membiayai pembangunan sawit. Bukankah sebuah gerakan yang membesar akan memudahkannya menjadi sebuah kebijakan publik, di sisi lain selalu ditangkap sebagai peluang mencari simpati para politisi.
Reformasi Perkebunan
Selama ini penolakan sawit Indonesia dituduhkan oleh sejumlah pengusaha, politisi, dan pejabat pemerintah karena lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam negeri yang melakukan kampanye hitam sawit. Padahal tuduhan itu dipakai sebagai senjata dalam perang dagang dengan minyak nabati Eropa, seperti bunga matahari, jagung, dan kedelai mereka yang tidak efisien. LSM nasional dituduh sebagai proxy dari lawan yang ditanam “asing” di dalam negeri.
Sayangnya, persoalan sawit yang dituduhkan Eropa dengan mudah dapat ditemukan tanpa perbaikan berarti. Pokok-pokok tuduhan tersebut adalah CPO Indonesia dihasilkan dengan cara membayar buruh dengan sangat murah, merugikan petani kecil, melakukan perampasan tanah, merusak lingkungan hidup berupa penghancuran hutan dan habitat hewan langka, serta menambah pemanasan global karena menanam di atas gambut.
Fakta bahwa industri minyak sawit mendapatkan keuntungan besar dari sistem produksi yang merugikan petani mandiri, petani plasma dan buruh kebun memang terjadi. Jutaan lapangan kerja yang diklaim dihasilkan oleh pengusaha sawit tidak tercatat di dinas tenaga kerja. Sebab pekerjaan itu adalah buruh harian lepas, buruh kontrak, dan nyaris tanpa perlindungan. Lokasi-lokasi yang jauh telah membuat persoalan ini tidak pernah terungkap.
Sementara petani mandiri, petani plasma mendapatkan harga pembelian yang kurang adil. Sawit mungkin satu-satunya komoditas non-”strategis” di luar pangan dan energi yang harga pembeliannya ditetapkan pemerintah.
Anehnya, komponen harga tersebut termasuk penyusutan pabrik juga menjadi beban yang ditanggung petani. Padahal pembelian pabrik di lapangan rata-rata di bawah garis harga yang ditetapkan tanpa penindakan.
Dari sisi agraria, jutaan hektare kebun sawit sedang berkonflik karena melakukan perampasan tanah (land grabbing) masyarakat. Penggunaan TNI/ Polri dan Pamswakarsa dalam penyelesaian menghasilkan korban dan kriminalisasi.
Tahun lalu saja, menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dari 194.453,27 hektare letusan konflik di sektor perkebunan, seluas 95.565.27 ha (49%) terjadi di kebun sawit.
Dalam konflik agraria tahun lalu tercatat 13 orang tewas, 6 orang tertembak, dan ratusan ditahan. Dengan kondisi semacam ini tentu tuduhan tentang “sawit berdarah” tak mudah dielakkan. Terkait masalah lingkungan hidup, perusakan hutan adalah masalah utama sawit. Satu dekade lalu, sembilan juta hektare hutan dilepas dan 70% digunakan untuk sawit.
Saat ini bahkan pulau-pulau kecil di Indonesia Timur dirusak dan berubah menjadi sawit. Usaha mengelak dari tuduhan dengan menggandeng akademisi untuk menyatakan sawit sebagai tanaman kehutanan hanya menambah kekonyolan.
Di tengah suasana praktik semacam ini, lima pengusaha raksasa sawit saat ini justru mendapat suntikan subsidi Rp7,5 triliun rupiah untuk penanaman kembali (replanting) dan pengembangan biodiesel melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Hal ini bisa terjadi sebab kepemilikan kebun sawit memang lebih dari setengahnya hanya dimiliki oleh kurang dari 10 pengusaha saja.
Karena itu, politik nasional mesti membicarakan data-data semacam ini dengan jernih. Penyangkalan tanpa perbaikan tak banyak menolong. Apalagi melindungi secara berlebihan melalui RUU Perkelapasawitan.
Sudah saatnya sistem perkebunan era Kolonial Belanda yang dikritik keras oleh pendiri bangsa ini direformasi. Langkah moratorium sawit, penyelesaian konflik agraria dan lingkungan hidup, serta memperbaiki sistem perburuhan wajib dilakukan.
Saat ini negara kita membutuhkan roadmap reformasi perkebunan nasional yang mengarah pada keadilan. Negara harus hadir di sisi ini. Harus ada langkah terukur mendorong agar hak guna usaha (HGU) sawit yang telah habis masa berlakunya menjadi koperasi petani dan buruh yang bekerja sama dengan fakultas pertanian.
Di sisi lain, transformasi pengusaha kebun untuk segera beralih ke hilirisasi produksi harus didorong dan didukung secara ketat.
(thm)