Teladan Politik Bernama Kotak Kosong
A
A
A
Antoni Putra
Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
KOLOM kosong dipastikan menang pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Makassar 2018. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar pada Jumat (6/7) mengumumkan hasil rekapitulasi per kecamatan yang memastikan kolom kosong meraih 300.969 suara. Kolom kosong unggul 36.298 suara dibandingkan pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Pasangan yang didukung oleh partai politik ini hanya meraih 264.071 suara.Hasil tersebut memastikan Danny Pomanto akan melanjutkan jabatannya hingga masa pemerintahannya habis pada tahun depan. Selain itu, hasil itu pun memastikan Pilkada Kota Makassar harus diulang pada 2020. Pengumuman tersebut sekaligus juga mengakhiri berbagai polemik yang muncul setelah pemungutan suara pada 27 Juli lalu. Bahkan mungkin, pernyataan kemenangan itu mengakhiri perdebatan sebelum pendaftaran Pilkada Kota Makassar pada Maret silam.
Pilkada Kota Makassar sedianya diikuti oleh dua calon. Selain Appi-Cicu, calon lainnya merupakan calon independen, yang disokong juga oleh Partai Demokrat, yakni Pasangan Moh Ramdhan Pomanto-Indira Mulyasari Paramastuti. Mohammad Ramdhan Pomanto atau lebih dikenal Danny Pomanto adalah pejabat Wali Kota Makassar. Namun, pencalonannya dibatalkan oleh KPU menyusul putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar.
Dalam putusan itu, Danny dianggap menyalahgunakan wewenang dengan mengambil keputusan enam bulan sebelum pendaftaran Pilkada Makassar. Ada tiga keputusan Danny yang dianggap menguntungkan dirinya dan merugikan calon lain. Ketiga kebijakan itu yakni pembagian telepon seluler kepada RT/RW, pengangkatan tenaga kontrak, dan penggunaan tagline 2x+baik. Gugatan ke PTUN diajukan oleh kubu Appi-Cicu.
Danny sempat mengajukan kasasi atas putusan PTUN itu ke Mahkamah Agung (MA). Namun, upaya kasasinya ditolak MA. Tidak berhenti sampai di situ, Danny juga sempat dipanggil terkait kasus dugaan korupsi di Polda Sulsel. Kasus-kasus hukum itu turut memanaskan Pilkada Kota Makassar yang menunjukkan “pertarungan” melawan partai politik. Dengan kata lain, bisa disebut bahwa kolom kosong menjadi upaya perlawanan terhadap kedigdayaan partai politik di Kota Makassar.
Appi-Cicu tidak bisa dimungkiri merupakan representasi kekuatan partai politik. Tidak tanggung-tanggung, Appi-Cicu mendapat dukungan 10 partai politik. Sepuluh parpol yang mengusung Appi-Cicu, yakni Partai Golkar, Nasdem, Hanura, PAN, PBB, PKPI, PDIP, Gerindra, PKS, dan PPP. Dukungan itu boleh jadi menunjukkan Kota Makassar menjadi satu-satunya wilayah yang menyatukan kekuatan politik yang selama ini “bertikai” usai Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Kubu yang saling benci selama hampir empat tahun mengusung satu-satunya calon pada Pilkada Kota Makassar.
Kekalahan calon Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin, yang merupakan kerabat Wakil Presiden Jusuf Kalla serta didukung 10 partai politik, merupakan tamparan telak bagi mereka yang mencoba membatasi pilihan politik warga. Sebelumnya, dengan berbagai cara, pencalonan kembali Wali Kota Makassar incumbent, Danny Pomanto, berhasil digagalkan. Namanya dicoret KPU dari surat suara. Padahal kepemimpinan Danny dinilai banyak kalangan berhasil mengubah wajah Kota Makassar.
Karena itu, sudah seharusnya semua partai politik belajar dari pemilihan kepala daerah di Makassar. Dukungan semua partai, ikatan kekerabatan dengan elite politik, dan sokongan dari dinasti politik, ternyata tak cukup untuk memenangi pemilihan dewasa ini.Semua tak punya arti di mata pemilih jika cara-cara yang dipakai melecehkan akal sehat dan meremehkan arti kedaulatan rakyat. Bermain api dengan cara merekayasa proses pemilihan agar hanya ada satu calon, toh terbukti harus dibayar dengan harga mahal. Jelas partai politik di Makassar gagal menangkap aspirasi warga. Kini rakyat Makassar sudah bersuara. Pilihan mereka wajib dihormati.
Bagi semua kepala daerah dan calon kepala daerah, sebaiknya petik sebanyak mungkin pelajaran dari kemenangan kotak kosong di Makassar. Tanpa biaya, tanpa kampanye, tanpa lobi-lobi, tanpa intrik, tanpa intimidasi, dan tanpa sentimen-sentimen SARA, kotak kosong menumbangkan gerbong besar yang disinyalir berlimpah modal.
Dan, bagi penantang kotak kosong, melawan kotak kosong dalam pilkada sebenarnya memalukan, bukan justru membanggakan. Mengapa saya katakan demikian? Karena ada cara pandang mainstream bahwa melawan kotak kosong bermakna dominasi satu kandidat, baik popularitas maupun elektabilitas. Dominasi semacam ini, dalam kacamata personal sang kandidat, adalah sebuah “kehebatan”. Bagaimana tidak, nyaris tak ada yang berani menantang lantaran superdominasi tersebut.Dalam kacamata sang kandidat, melawan kotak kosong adalah sebuah indikasi ketangguhan yang berlebihan, sampai tak ada yang bernyali untuk bersaing dalam kontestasi. Padahal, pilkada adalah salah satu mekanisme demokrasi yang sudah sedemikian rupa didesain agar semua pihak berkesempatan untuk ikut bertanding.Kemudian pertanyaannya, apakah demokrasi di tingkat lokal di mana pilkada ternyata hanya mampu melahirkan satu pasangan calon dianggap gagal? Boleh jadi demikian.
Mengapa dikatakan memalukan? Karena dalam logika yang lain, melawan kotak kosong adalah sesuatu yang memang memalukan. Pertandingan yang seru adalah pertandingan yang dilakoni oleh dua atau beberapa pihak dengan kapasitas kemampuan yang hampir sama (level playing field).Ibarat memakai logika komparatif, harus apple to apple. Nah, lantas jika kandidat harus melawan kotak kosong, maka dalam logika komparatif di atas, sang kandidat pun sebenarnya berbeda tipis dengan kotak kosong yang menjadi lawannya. Atau, jika mau sedikit menyopankan bahasanya, bisa dimaknai kotak kosong selevel dengan para kandidat.
Tampaknya secara logika boleh jadi tak terlalu salah, sekalipun saya hakul yakin tak ada satu pun dari kandidat di 19 daerah tersebut bersedia mengamininya. Namun, ya begitulah. Secara logika komparatif, pemenangnya sebenarnya adalah kotak kosong itu sendiri dan itulah yang terjadi di Makassar.Pasalnya, sekalipun sebenarnya pemenangnya secara meyakinkan adalah pasangan tunggal tersebut, toh level lawannya hanya kotak kosong yang tak punya modal, tak punya tim kampanye, tak punya back up partai, tak punya majikan politik di pusat, dan lain-lain.
Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
KOLOM kosong dipastikan menang pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Makassar 2018. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar pada Jumat (6/7) mengumumkan hasil rekapitulasi per kecamatan yang memastikan kolom kosong meraih 300.969 suara. Kolom kosong unggul 36.298 suara dibandingkan pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Pasangan yang didukung oleh partai politik ini hanya meraih 264.071 suara.Hasil tersebut memastikan Danny Pomanto akan melanjutkan jabatannya hingga masa pemerintahannya habis pada tahun depan. Selain itu, hasil itu pun memastikan Pilkada Kota Makassar harus diulang pada 2020. Pengumuman tersebut sekaligus juga mengakhiri berbagai polemik yang muncul setelah pemungutan suara pada 27 Juli lalu. Bahkan mungkin, pernyataan kemenangan itu mengakhiri perdebatan sebelum pendaftaran Pilkada Kota Makassar pada Maret silam.
Pilkada Kota Makassar sedianya diikuti oleh dua calon. Selain Appi-Cicu, calon lainnya merupakan calon independen, yang disokong juga oleh Partai Demokrat, yakni Pasangan Moh Ramdhan Pomanto-Indira Mulyasari Paramastuti. Mohammad Ramdhan Pomanto atau lebih dikenal Danny Pomanto adalah pejabat Wali Kota Makassar. Namun, pencalonannya dibatalkan oleh KPU menyusul putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar.
Dalam putusan itu, Danny dianggap menyalahgunakan wewenang dengan mengambil keputusan enam bulan sebelum pendaftaran Pilkada Makassar. Ada tiga keputusan Danny yang dianggap menguntungkan dirinya dan merugikan calon lain. Ketiga kebijakan itu yakni pembagian telepon seluler kepada RT/RW, pengangkatan tenaga kontrak, dan penggunaan tagline 2x+baik. Gugatan ke PTUN diajukan oleh kubu Appi-Cicu.
Danny sempat mengajukan kasasi atas putusan PTUN itu ke Mahkamah Agung (MA). Namun, upaya kasasinya ditolak MA. Tidak berhenti sampai di situ, Danny juga sempat dipanggil terkait kasus dugaan korupsi di Polda Sulsel. Kasus-kasus hukum itu turut memanaskan Pilkada Kota Makassar yang menunjukkan “pertarungan” melawan partai politik. Dengan kata lain, bisa disebut bahwa kolom kosong menjadi upaya perlawanan terhadap kedigdayaan partai politik di Kota Makassar.
Appi-Cicu tidak bisa dimungkiri merupakan representasi kekuatan partai politik. Tidak tanggung-tanggung, Appi-Cicu mendapat dukungan 10 partai politik. Sepuluh parpol yang mengusung Appi-Cicu, yakni Partai Golkar, Nasdem, Hanura, PAN, PBB, PKPI, PDIP, Gerindra, PKS, dan PPP. Dukungan itu boleh jadi menunjukkan Kota Makassar menjadi satu-satunya wilayah yang menyatukan kekuatan politik yang selama ini “bertikai” usai Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Kubu yang saling benci selama hampir empat tahun mengusung satu-satunya calon pada Pilkada Kota Makassar.
Kekalahan calon Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin, yang merupakan kerabat Wakil Presiden Jusuf Kalla serta didukung 10 partai politik, merupakan tamparan telak bagi mereka yang mencoba membatasi pilihan politik warga. Sebelumnya, dengan berbagai cara, pencalonan kembali Wali Kota Makassar incumbent, Danny Pomanto, berhasil digagalkan. Namanya dicoret KPU dari surat suara. Padahal kepemimpinan Danny dinilai banyak kalangan berhasil mengubah wajah Kota Makassar.
Karena itu, sudah seharusnya semua partai politik belajar dari pemilihan kepala daerah di Makassar. Dukungan semua partai, ikatan kekerabatan dengan elite politik, dan sokongan dari dinasti politik, ternyata tak cukup untuk memenangi pemilihan dewasa ini.Semua tak punya arti di mata pemilih jika cara-cara yang dipakai melecehkan akal sehat dan meremehkan arti kedaulatan rakyat. Bermain api dengan cara merekayasa proses pemilihan agar hanya ada satu calon, toh terbukti harus dibayar dengan harga mahal. Jelas partai politik di Makassar gagal menangkap aspirasi warga. Kini rakyat Makassar sudah bersuara. Pilihan mereka wajib dihormati.
Bagi semua kepala daerah dan calon kepala daerah, sebaiknya petik sebanyak mungkin pelajaran dari kemenangan kotak kosong di Makassar. Tanpa biaya, tanpa kampanye, tanpa lobi-lobi, tanpa intrik, tanpa intimidasi, dan tanpa sentimen-sentimen SARA, kotak kosong menumbangkan gerbong besar yang disinyalir berlimpah modal.
Dan, bagi penantang kotak kosong, melawan kotak kosong dalam pilkada sebenarnya memalukan, bukan justru membanggakan. Mengapa saya katakan demikian? Karena ada cara pandang mainstream bahwa melawan kotak kosong bermakna dominasi satu kandidat, baik popularitas maupun elektabilitas. Dominasi semacam ini, dalam kacamata personal sang kandidat, adalah sebuah “kehebatan”. Bagaimana tidak, nyaris tak ada yang berani menantang lantaran superdominasi tersebut.Dalam kacamata sang kandidat, melawan kotak kosong adalah sebuah indikasi ketangguhan yang berlebihan, sampai tak ada yang bernyali untuk bersaing dalam kontestasi. Padahal, pilkada adalah salah satu mekanisme demokrasi yang sudah sedemikian rupa didesain agar semua pihak berkesempatan untuk ikut bertanding.Kemudian pertanyaannya, apakah demokrasi di tingkat lokal di mana pilkada ternyata hanya mampu melahirkan satu pasangan calon dianggap gagal? Boleh jadi demikian.
Mengapa dikatakan memalukan? Karena dalam logika yang lain, melawan kotak kosong adalah sesuatu yang memang memalukan. Pertandingan yang seru adalah pertandingan yang dilakoni oleh dua atau beberapa pihak dengan kapasitas kemampuan yang hampir sama (level playing field).Ibarat memakai logika komparatif, harus apple to apple. Nah, lantas jika kandidat harus melawan kotak kosong, maka dalam logika komparatif di atas, sang kandidat pun sebenarnya berbeda tipis dengan kotak kosong yang menjadi lawannya. Atau, jika mau sedikit menyopankan bahasanya, bisa dimaknai kotak kosong selevel dengan para kandidat.
Tampaknya secara logika boleh jadi tak terlalu salah, sekalipun saya hakul yakin tak ada satu pun dari kandidat di 19 daerah tersebut bersedia mengamininya. Namun, ya begitulah. Secara logika komparatif, pemenangnya sebenarnya adalah kotak kosong itu sendiri dan itulah yang terjadi di Makassar.Pasalnya, sekalipun sebenarnya pemenangnya secara meyakinkan adalah pasangan tunggal tersebut, toh level lawannya hanya kotak kosong yang tak punya modal, tak punya tim kampanye, tak punya back up partai, tak punya majikan politik di pusat, dan lain-lain.
(whb)