Teladan Politik Bernama Kotak Kosong

Jum'at, 13 Juli 2018 - 08:45 WIB
Teladan Politik Bernama Kotak Kosong
Teladan Politik Bernama Kotak Kosong
A A A
Antoni Putra
Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)

KOLOM kosong di­pas­ti­kan menang pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Makassar 2018. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar pada Jumat (6/7) meng­umumkan hasil rekapitu­lasi per kecamatan yang me­mastikan kolom kosong meraih 300.969 suara. Kolom kosong unggul 36.298 suara diban­ding­kan pa­sangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Pasangan yang didukung oleh partai politik ini hanya meraih 264.071 suara.Hasil tersebut memastikan Danny Pomanto akan melan­jutkan jabatannya hingga masa pemerintahannya habis pada tahun depan. Selain itu, hasil itu pun memastikan Pilkada Kota Makassar harus diulang pada 2020. Pengumuman ter­sebut sekaligus juga meng­akhiri berbagai polemik yang muncul setelah pemungutan suara pada 27 Juli lalu. Bahkan mungkin, pernyataan keme­nang­an itu mengakhiri per­debatan sebe­lum pendaftaran Pilkada Kota Makassar pada Maret silam.
Pilkada Kota Makassar se­dia­nya diikuti oleh dua calon. Selain Appi-Cicu, calon lainnya me­rupa­kan calon independen, yang di­sokong juga oleh Partai Demo­krat, yakni Pasangan Moh Ramdhan Pomanto-Indira Mulya­sari Para­mastuti. Mohammad Ramdhan Pomanto atau lebih dikenal Danny Pomanto adalah pejabat Wali Kota Makassar. Namun, pencalonan­nya dibatalkan oleh KPU menyu­sul putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar.

Dalam putusan itu, Danny dianggap menyalahgunakan we­wenang dengan meng­ambil ke­putusan enam bulan sebelum pendaftaran Pilkada Makassar. Ada tiga keputusan Danny yang dianggap menguntung­kan dirinya dan merugikan calon lain. Ketiga kebijak­an itu yakni pembagian telepon seluler kepada RT/RW, pengangkatan tenaga kontrak, dan pengguna­an tagline 2x+baik. Gugatan ke PTUN diajukan oleh kubu Appi-Cicu.

Danny sempat meng­ajukan kasasi atas putusan PTUN itu ke Mahkamah Agung (MA). Na­mun, upaya ka­sasinya ditolak MA. Tidak berhenti sampai di situ, Danny juga sempat dipang­gil terkait kasus dugaan korupsi di Polda Sul­sel. Kasus-kasus hukum itu turut me­manaskan Pil­kada Kota Makassar yang me­nun­juk­kan “per­tarungan” me­lawan partai politik. Dengan kata lain, bisa disebut bahwa kolom kosong menjadi upaya perlawanan ter­hadap kedig­daya­an partai politik di Kota Makassar.

Appi-Cicu tidak bisa di­mung­kiri merupakan represen­tasi kekuatan partai politik. Tidak tanggung-tanggung, Appi-Cicu mendapat dukungan 10 partai politik. Sepuluh parpol yang mengusung Appi-Cicu, yakni Partai Golkar, Nasdem, Hanura, PAN, PBB, PKPI, PDIP, Gerindra, PKS, dan PPP. Dukungan itu boleh jadi menunjukkan Kota Makassar menjadi satu-satu­nya wilayah yang menyatukan kekuatan politik yang selama ini “bertikai” usai Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Kubu yang saling benci selama ham­pir empat tahun mengusung satu-satunya calon pada Pil­kada Kota Makassar.

Kekalahan calon Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin, yang me­rupa­­kan kerabat Wakil Presiden Jusuf Kalla serta di­du­kung 10 partai politik, merupa­kan tam­par­an telak bagi mereka yang mencoba mem­batasi pilih­an po­litik warga. Sebelumnya, dengan berbagai cara, pen­calon­an kem­bali Wali Kota Makassar incum­bent, Danny Pomanto, berhasil di­gagalkan. Namanya dicoret KPU dari surat suara. Padahal kepe­mim­pinan Danny dinilai ba­nyak kalangan berhasil meng­ubah wajah Kota Makassar.
Karena itu, sudah seharus­nya semua partai politik belajar dari pemilihan kepala daerah di Makassar. Dukungan semua par­tai, ikatan kekerabatan de­ngan elite politik, dan sokongan dari dinasti politik, ternyata tak cukup untuk memenangi pe­milihan dewasa ini.Semua tak punya arti di mata pemilih jika cara-cara yang dipakai meleceh­kan akal sehat dan mere­meh­kan arti kedaulatan rakyat. Ber­main api dengan cara mereka­yasa proses pemilihan agar ha­nya ada satu calon, toh terbukti harus dibayar dengan harga mahal. Jelas partai politik di Makassar gagal menangkap aspirasi warga. Kini rakyat Makassar sudah bersuara. Pilihan mereka wajib dihormati.
Bagi semua kepala daerah dan calon kepala daerah, se­baik­nya petik sebanyak mungkin pelajaran dari kemenangan kotak kosong di Makassar. Tanpa biaya, tanpa kampanye, tanpa lobi-lobi, tanpa intrik, tanpa intimidasi, dan tanpa sentimen-sentimen SARA, kotak kosong menumbangkan gerbong besar yang disinyalir berlimpah modal.
Dan, bagi penantang kotak kosong, melawan kotak kosong dalam pilkada sebenarnya me­malukan, bukan justru mem­banggakan. Mengapa saya kata­kan demikian? Karena ada cara pandang mainstream bahwa melawan kotak kosong ber­makna dominasi satu kandidat, baik popularitas maupun elek­tabilitas. Dominasi semacam ini, dalam kacamata personal sang kandidat, adalah sebuah “kehebatan”. Bagaimana tidak, nyaris tak ada yang be­rani me­nantang lan­tar­an super­domi­nasi ter­sebut.Dalam kacamata sang kan­didat, me­lawan kotak kosong adalah sebuah indikasi ketang­guhan yang berlebihan, sampai tak ada yang bernyali untuk ber­saing dalam kontestasi. Pada­hal, pilkada adalah salah satu mekanisme demokrasi yang sudah se­demi­kian rupa di­de­sain agar semua pihak ber­kesem­patan untuk ikut bertanding.Kemudian per­tanyaannya, apakah demokrasi di tingkat lokal di mana pilkada ternyata hanya mampu me­lahirkan satu pasangan calon dianggap gagal? Boleh jadi demikian.
Mengapa dikatakan me­malu­kan? Karena dalam logika yang lain, melawan kotak ko­song adalah sesuatu yang me­mang memalukan. Pertanding­an yang seru adalah per­tan­dingan yang dilakoni oleh dua atau beberapa pihak dengan kapasitas ke­mam­puan yang hampir sama (level playing field).Ibarat memakai logika kom­paratif, harus apple to apple. Nah, lantas jika kan­didat harus melawan kotak kosong, maka dalam logika komparatif di atas, sang kandidat pun se­benarnya berbeda tipis dengan kotak kosong yang menjadi lawannya. Atau, jika mau se­dikit menyopankan bahasa­nya, bisa dimaknai kotak kosong selevel dengan para kandidat.
Tampaknya secara logika boleh jadi tak terlalu salah, sekalipun saya hakul yakin tak ada satu pun dari kandidat di 19 daerah tersebut bersedia meng­amininya. Namun, ya begitu­lah. Secara logika komparatif, pemenangnya sebenarnya ada­lah kotak kosong itu sendiri dan itulah yang terjadi di Makassar.Pasalnya, sekalipun sebenarnya pemenangnya secara meyakin­kan adalah pasangan tunggal ter­sebut, toh level lawannya hanya kotak kosong yang tak punya modal, tak punya tim kam­panye, tak punya back up partai, tak punya majikan politik di pusat, dan lain-lain.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5647 seconds (0.1#10.140)