Quo Vadis Penantang Tuhan?
A
A
A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
TUJUH pemuda asal Desa Batur, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, masing-masing bernama Abdullah, 24; Zainullah, 26; Budiono, 26; Salim Afandi, 24; Mahmud, 22; Kholifin, 21; dan Abdul Munip, 17; pada Juni lalu mengunggah foto mereka dengan memakai jaket bertuliskan kalimat yang sangat provokatif dan bernada anti-Tuhan “Restorasi Jati Diri Pemuda Tak Bertuhan, Tuhan pun Aku Tantang” di akun Facebook.Perbuatan tujuh pemuda itu sungguh sangat mengejutkan dan sekaligus menampar keras dan telak muka kaum beriman (mukminin dan muslimin). Dan, sungguh sangat ironis! Justru di Probolinggo, sebuah kabupaten di Jawa Timur yang dikenal sebagai salah satu kota pesantren dan pusat santri, muncul pernyataan tujuh pemuda “tak bertuhan” (ateis) dan pernyataan itu diungkap secara terbuka, provokatif, arogan, dan tanpa tedeng aling-aling.Secara arogan mereka pun mengeluarkan pernyataan “Tuhan pun Aku Tantang.” Pernyataan mereka dapat dipahami bahwa mereka mengklaim lebih kuasa, lebih kuat, dan lebih perkasa dari Tuhan Yang Mahakuasa (qadir), Mahakuat (qawiyyun), dan Mahaperkasa (aziz). Sungguh sangat absurd dan ridiculous, manusia sebagai makhluk sangat dhoif-fana’ menantang Tuhan, sang Khalik Yang Mahakuasa dan Kekal Abadi.
Dilihat dari masing-masing namanya, ketujuh pemuda asal Probolinggo itu pada mulanya diyakini sebagai orang-orang beriman. Coba perhatikan nama-nama mereka yang kesemuanya berlatar belakang keluarga muslim atau keluarga-keluarga beriman.Misalnya, Abdullah berarti hamba Allah. Sebagai hamba Allah, mestinya dia menghamba, taat, patuh, mengabdi, dan berbakti kepada Allah. Namun, dia justru bangga merestorasi jati dirinya menjadi pemuda tak bertuhan dan secara arogan menantang Tuhan. Mahmud berarti orang yang terpuji (di sisi Allah). Sebagai orang yang terpuji (di sisi Allah), mestinya dia bersikap santun, rendah hati, banyak memuji Tuhan dan menaati perintah-Nya, tunduk, patuh, dan tawaduk kepada Tuhan Yang Mahaterpuji. Namun, dia arogan merestorasi jati dirinya menjadi pemuda tak bertuhan dan secara sinis menantang Tuhan.
Tidak diragukan, nama Abdullah dan Mahmud mengindikasikan nama islami atau nama orang beriman (mukmin). Namun, mengapa perbuatan Abdullah, Mahmud, dan kawan-kawan kelompoknya itu sedikit pun tidak mencerminkan perilaku orang atau pemuda beriman? Justru ekspresi dan perbuatan mereka merefleksikan pola pikir dan pandangan hidup ateistik (tidak bertuhan) dan secara vulgar, arogan, dan sinis-sarkastis mereka mencibir, melecehkan, dan “menantang“ Tuhan. Dan, “tantangan” mereka terhadap Tuhan ini diunggah di media sosial sehingga tersebar dan tersiar secara luas dan dibaca oleh pembaca secara luas pula.
Propaganda AteismeUjaran sinis-sarkastis ketujuh pemuda Probolinggo di atas “Restorasi Jati Diri Pemuda Tak Bertuhan, Tuhan pun Aku Tantang” yang ditulis secara provokatif di jaket mereka dan foto mereka diunggah di Facebook sudah dapat dikategorikan sebagai propaganda penyebaran ateisme (paham tidak bertuhan) dan melecehkan Tuhan. Jika kampanye hitam dan propaganda pelecehan terhadap Tuhan seperti itu dibiarkan, tidak mustahil dapat memengaruhi alam pikiran kaum muda lainnya secara lebih luas, dan hal itu bisa menimbulkan keresahan dan menyulut kemarahan umat beriman (orang-orang mukmin atau umat Islam) karena Tuhan telah diejek, dilecehkan, direndahkan, dan ditantang secara arogan dan sinis oleh ketujuh pemuda itu.Jika diperhatikan, umur ketujuh pemuda Probolinggo itu sudah di atas 20 tahun, hanya Abdul Munip yang berusia 17 tahun. Patut disayangkan, justru ketujuh pemuda itu dalam usia muda sudah menjadi pemuda militan penyeru, penyebar, dan propagandis ateisme (paham tidak bertuhan) dan secara sinis-sarkastis menantang Tuhan melalui media sosial (Facebook).
Memperhatikan nama-nama ketujuh pemuda di atas (seperti Abdullah, Mahmud, Kholifin, dan Zainullah), diyakini mereka lahir dari kalangan keluarga beriman. Jadi mereka lahir, tumbuh, dan besar di lingkungan keluarga beriman.Dalam perkembangan selanjutnya, ketujuh pemuda itu mengalami konversi keyakinan dari teisme (percaya kepada adanya Tuhan) ke ateisme (tidak bertuhan). Bahkan mereka secara sinis-sarkastis menantang Tuhan melalui media sosial dan tantangan yang penuh sinisme dan sarkasme ini disebarluaskan sehingga dibaca oleh publik secara luas pula.Begitu pula, lingkungan sosiokultural-keagamaan di Probolinggo yang memiliki banyak ulama, kiai, dan ustaz serta atmosfer pendidikan pesantren yang agamais, seharusnya lebih mempertebal dan memperkuat keyakinan dan kepercayaan mereka kepada Tuhan. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, ketujuh pemuda itu secara arogan mendeklarasikan diri dan merestorasi jati diri mereka menjadi pemuda tak bertuhan dan secara sinis-sarkastis menantang Tuhan.
Perspektif Pancasila
Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Mahaesa. Sila ini dipahami sebagai ikrar setia, komitmen kuat, dan “statemen teologis” bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang percaya kepada Tuhan YME tanpa memandang agama yang dianut oleh komunitas-komunitas agama yang ada di negeri ini. Berpegang pada ikrar dan statemen teologis tersebut, seharusnya di negeri ini tidak ada orang yang tidak percaya kepada Tuhan dan tidak ada orang (termasuk pemuda) yang mengampanyekan dan mempropagandakan paham tidak bertuhan (ateisme) di negara Pancasila ini. Kampanye dan propaganda “Restorasi Jati Diri Pemuda Tak Bertuhan, Tuhan pun Aku Tantang” yang secara demonstratif diumbar oleh ketujuh pemuda Probolinggo melalui media sosial sangat tidak sesuai dengan ajaran teologis Pancasila dan agama.Majelis Ulama Indonesia (MUI) Probolinggo telah turun tangan dan sedang mengkaji secara intensif motif dugaan “penistaan” agama oleh ketujuh pemuda Probolinggo tersebut. Bersamaan dengan itu, Satreskrim Polres Probolinggo meringkus ketujuh pelakunya karena perbuatan mereka dinilai menista agama.Satreskrim Probolinggo mengatakan, jika kasus ini terus berlanjut ke pengadilan, ketujuh pemuda itu akan dijerat dengan Pasal 156 A KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Selain kasusnya diproses hukum, perlu ada pembinaan akidah kepada tujuh pemuda itu agar kembali ke jalan Tuhan yang lurus dan benar (shirathal mustaqim).
Guru Besar Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
TUJUH pemuda asal Desa Batur, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, masing-masing bernama Abdullah, 24; Zainullah, 26; Budiono, 26; Salim Afandi, 24; Mahmud, 22; Kholifin, 21; dan Abdul Munip, 17; pada Juni lalu mengunggah foto mereka dengan memakai jaket bertuliskan kalimat yang sangat provokatif dan bernada anti-Tuhan “Restorasi Jati Diri Pemuda Tak Bertuhan, Tuhan pun Aku Tantang” di akun Facebook.Perbuatan tujuh pemuda itu sungguh sangat mengejutkan dan sekaligus menampar keras dan telak muka kaum beriman (mukminin dan muslimin). Dan, sungguh sangat ironis! Justru di Probolinggo, sebuah kabupaten di Jawa Timur yang dikenal sebagai salah satu kota pesantren dan pusat santri, muncul pernyataan tujuh pemuda “tak bertuhan” (ateis) dan pernyataan itu diungkap secara terbuka, provokatif, arogan, dan tanpa tedeng aling-aling.Secara arogan mereka pun mengeluarkan pernyataan “Tuhan pun Aku Tantang.” Pernyataan mereka dapat dipahami bahwa mereka mengklaim lebih kuasa, lebih kuat, dan lebih perkasa dari Tuhan Yang Mahakuasa (qadir), Mahakuat (qawiyyun), dan Mahaperkasa (aziz). Sungguh sangat absurd dan ridiculous, manusia sebagai makhluk sangat dhoif-fana’ menantang Tuhan, sang Khalik Yang Mahakuasa dan Kekal Abadi.
Dilihat dari masing-masing namanya, ketujuh pemuda asal Probolinggo itu pada mulanya diyakini sebagai orang-orang beriman. Coba perhatikan nama-nama mereka yang kesemuanya berlatar belakang keluarga muslim atau keluarga-keluarga beriman.Misalnya, Abdullah berarti hamba Allah. Sebagai hamba Allah, mestinya dia menghamba, taat, patuh, mengabdi, dan berbakti kepada Allah. Namun, dia justru bangga merestorasi jati dirinya menjadi pemuda tak bertuhan dan secara arogan menantang Tuhan. Mahmud berarti orang yang terpuji (di sisi Allah). Sebagai orang yang terpuji (di sisi Allah), mestinya dia bersikap santun, rendah hati, banyak memuji Tuhan dan menaati perintah-Nya, tunduk, patuh, dan tawaduk kepada Tuhan Yang Mahaterpuji. Namun, dia arogan merestorasi jati dirinya menjadi pemuda tak bertuhan dan secara sinis menantang Tuhan.
Tidak diragukan, nama Abdullah dan Mahmud mengindikasikan nama islami atau nama orang beriman (mukmin). Namun, mengapa perbuatan Abdullah, Mahmud, dan kawan-kawan kelompoknya itu sedikit pun tidak mencerminkan perilaku orang atau pemuda beriman? Justru ekspresi dan perbuatan mereka merefleksikan pola pikir dan pandangan hidup ateistik (tidak bertuhan) dan secara vulgar, arogan, dan sinis-sarkastis mereka mencibir, melecehkan, dan “menantang“ Tuhan. Dan, “tantangan” mereka terhadap Tuhan ini diunggah di media sosial sehingga tersebar dan tersiar secara luas dan dibaca oleh pembaca secara luas pula.
Propaganda AteismeUjaran sinis-sarkastis ketujuh pemuda Probolinggo di atas “Restorasi Jati Diri Pemuda Tak Bertuhan, Tuhan pun Aku Tantang” yang ditulis secara provokatif di jaket mereka dan foto mereka diunggah di Facebook sudah dapat dikategorikan sebagai propaganda penyebaran ateisme (paham tidak bertuhan) dan melecehkan Tuhan. Jika kampanye hitam dan propaganda pelecehan terhadap Tuhan seperti itu dibiarkan, tidak mustahil dapat memengaruhi alam pikiran kaum muda lainnya secara lebih luas, dan hal itu bisa menimbulkan keresahan dan menyulut kemarahan umat beriman (orang-orang mukmin atau umat Islam) karena Tuhan telah diejek, dilecehkan, direndahkan, dan ditantang secara arogan dan sinis oleh ketujuh pemuda itu.Jika diperhatikan, umur ketujuh pemuda Probolinggo itu sudah di atas 20 tahun, hanya Abdul Munip yang berusia 17 tahun. Patut disayangkan, justru ketujuh pemuda itu dalam usia muda sudah menjadi pemuda militan penyeru, penyebar, dan propagandis ateisme (paham tidak bertuhan) dan secara sinis-sarkastis menantang Tuhan melalui media sosial (Facebook).
Memperhatikan nama-nama ketujuh pemuda di atas (seperti Abdullah, Mahmud, Kholifin, dan Zainullah), diyakini mereka lahir dari kalangan keluarga beriman. Jadi mereka lahir, tumbuh, dan besar di lingkungan keluarga beriman.Dalam perkembangan selanjutnya, ketujuh pemuda itu mengalami konversi keyakinan dari teisme (percaya kepada adanya Tuhan) ke ateisme (tidak bertuhan). Bahkan mereka secara sinis-sarkastis menantang Tuhan melalui media sosial dan tantangan yang penuh sinisme dan sarkasme ini disebarluaskan sehingga dibaca oleh publik secara luas pula.Begitu pula, lingkungan sosiokultural-keagamaan di Probolinggo yang memiliki banyak ulama, kiai, dan ustaz serta atmosfer pendidikan pesantren yang agamais, seharusnya lebih mempertebal dan memperkuat keyakinan dan kepercayaan mereka kepada Tuhan. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, ketujuh pemuda itu secara arogan mendeklarasikan diri dan merestorasi jati diri mereka menjadi pemuda tak bertuhan dan secara sinis-sarkastis menantang Tuhan.
Perspektif Pancasila
Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Mahaesa. Sila ini dipahami sebagai ikrar setia, komitmen kuat, dan “statemen teologis” bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang percaya kepada Tuhan YME tanpa memandang agama yang dianut oleh komunitas-komunitas agama yang ada di negeri ini. Berpegang pada ikrar dan statemen teologis tersebut, seharusnya di negeri ini tidak ada orang yang tidak percaya kepada Tuhan dan tidak ada orang (termasuk pemuda) yang mengampanyekan dan mempropagandakan paham tidak bertuhan (ateisme) di negara Pancasila ini. Kampanye dan propaganda “Restorasi Jati Diri Pemuda Tak Bertuhan, Tuhan pun Aku Tantang” yang secara demonstratif diumbar oleh ketujuh pemuda Probolinggo melalui media sosial sangat tidak sesuai dengan ajaran teologis Pancasila dan agama.Majelis Ulama Indonesia (MUI) Probolinggo telah turun tangan dan sedang mengkaji secara intensif motif dugaan “penistaan” agama oleh ketujuh pemuda Probolinggo tersebut. Bersamaan dengan itu, Satreskrim Polres Probolinggo meringkus ketujuh pelakunya karena perbuatan mereka dinilai menista agama.Satreskrim Probolinggo mengatakan, jika kasus ini terus berlanjut ke pengadilan, ketujuh pemuda itu akan dijerat dengan Pasal 156 A KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Selain kasusnya diproses hukum, perlu ada pembinaan akidah kepada tujuh pemuda itu agar kembali ke jalan Tuhan yang lurus dan benar (shirathal mustaqim).
(whb)