Quo Vadis Penantang Tuhan?

Jum'at, 13 Juli 2018 - 08:15 WIB
Quo Vadis Penantang Tuhan?
Quo Vadis Penantang Tuhan?
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

TUJUH pemuda asal Desa Batur, Keca­matan Gading, Kabupaten Probo­linggo, Jawa Timur, masing-masing ber­nama Abdullah, 24; Zainullah, 26; Budiono, 26; Salim Afandi, 24; Mahmud, 22; Kholifin, 21; dan Abdul Munip, 17; pada Juni lalu mengunggah foto mereka de­ngan memakai jaket ber­tulis­kan kalimat yang sangat provo­katif dan bernada anti-Tuhan “Restorasi Jati Diri Pemuda Tak Bertuhan, Tuhan pun Aku Tantang” di akun Face­book.Perbuatan tujuh pemuda itu sungguh sangat mengejut­kan dan sekaligus menampar keras dan telak muka kaum ber­iman (mukminin dan muslimin). Dan, sungguh sangat ironis! Justru di Probolinggo, sebuah kabupaten di Jawa Timur yang dikenal se­bagai salah satu kota pesantren dan pusat santri, muncul per­nyataan tujuh pe­muda “tak bertuhan” (ateis) dan pernyata­an itu diungkap secara ter­buka, provokatif, arogan, dan tanpa tedeng aling-aling.Secara arogan mereka pun mengeluarkan pernyataan “Tuhan pun Aku Tantang.” Per­nyataan mereka dapat di­pahami bahwa mereka meng­klaim lebih kuasa, lebih kuat, dan lebih perkasa dari Tuhan Yang Mahakuasa (qadir), Maha­kuat (qawiyyun), dan Maha­­perkasa (aziz). Sungguh sangat absurd dan ridiculous, manusia sebagai makhluk sangat dhoif-fana’ menantang Tuhan, sang Khalik Yang Mahakuasa dan Kekal Abadi.
Dilihat dari masing-masing namanya, ketujuh pemuda asal Probolinggo itu pada mulanya diyakini sebagai orang-orang beriman. Coba perhatikan nama-nama mereka yang kesemuanya berlatar belakang keluarga muslim atau keluarga-keluarga beriman.Misalnya, Abdullah berarti hamba Allah. Sebagai hamba Allah, mestinya dia menghamba, taat, patuh, mengabdi, dan berbakti ke­pada Allah. Namun, dia justru bangga merestorasi jati dirinya menjadi pemuda tak bertuhan dan secara arogan menantang Tuhan. Mahmud berarti orang yang terpuji (di sisi Allah). Sebagai orang yang terpuji (di sisi Allah), mestinya dia ber­sikap santun, rendah hati, ba­nyak memuji Tuhan dan menaati perintah-Nya, tunduk, patuh, dan tawaduk kepada Tuhan Yang Mahaterpuji. Na­mun, dia arogan merestorasi jati dirinya menjadi pemuda tak bertuhan dan secara sinis menantang Tuhan.
Tidak diragukan, nama Abdullah dan Mahmud meng­indikasikan nama islami atau nama orang beriman (mukmin). Namun, mengapa perbuatan Abdullah, Mahmud, dan kawan-kawan kelompoknya itu sedikit pun tidak mencerminkan peri­laku orang atau pemuda ber­iman? Justru ekspresi dan per­buatan mereka merefleksikan pola pikir dan pandangan hidup ateistik (tidak bertuhan) dan secara vulgar, arogan, dan sinis-sarkastis mereka men­cibir, melecehkan, dan “me­nantang“ Tuhan. Dan, “tan­tang­an” me­reka terhadap Tuhan ini diung­gah di media sosial sehingga tersebar dan tersiar secara luas dan dibaca oleh pembaca secara luas pula.
Propaganda AteismeUjaran sinis-sarkastis ke­tujuh pemuda Probolinggo di atas “Restorasi Jati Diri Pemuda Tak Bertuhan, Tuhan pun Aku Tantang” yang ditulis secara provokatif di jaket mereka dan foto mereka diunggah di Face­book sudah dapat dikategori­kan sebagai propaganda penye­bar­an ateisme (paham tidak ber­tuh­an) dan melecehkan Tuhan. Jika kampanye hitam dan propaganda pelecehan ter­hadap Tuhan seperti itu di­biarkan, tidak mustahil dapat meme­nga­ruhi alam pikiran kaum muda lainnya secara lebih luas, dan hal itu bisa menimbulkan kere­sah­an dan menyulut kemarahan umat beriman (orang-orang muk­­min atau umat Islam) kare­na Tuhan telah diejek, dileceh­kan, direndahkan, dan ditan­tang secara arogan dan sinis oleh ketujuh pemuda itu.Jika diper­hatikan, umur ketujuh pemuda Probolinggo itu sudah di atas 20 tahun, hanya Abdul Munip yang berusia 17 tahun. Patut di­sayangkan, justru ketujuh pemuda itu dalam usia muda sudah menjadi pemuda militan penyeru, penyebar, dan pro­pagandis ateisme (paham tidak bertuhan) dan secara sinis-sarkastis menantang Tuhan melalui media sosial (Facebook).
Memperhatikan nama-nama ketujuh pemuda di atas (seperti Abdullah, Mahmud, Kholifin, dan Zainullah), di­yakini mereka lahir dari kalangan keluarga beriman. Jadi mereka lahir, tumbuh, dan besar di lingkungan keluarga beriman.Dalam perkem­bang­an selanjutnya, ketujuh pe­muda itu mengalami konversi keyakinan dari teisme (percaya kepada adanya Tuhan) ke ateisme (tidak bertuhan). Bahkan mereka secara sinis-sarkastis menantang Tuhan melalui media sosial dan tantangan yang penuh sinisme dan sar­kasme ini disebarluaskan se­hingga dibaca oleh publik secara luas pula.Begitu pula, lingkungan sosiokultural-keagamaan di Probolinggo yang memiliki banyak ulama, kiai, dan ustaz serta atmosfer pendidikan pesantren yang agamais, seharusnya lebih mem­pertebal dan memperkuat keyakinan dan keper­caya­an mereka kepada Tuhan. Te­tapi yang terjadi justru se­balik­nya, ketujuh pemuda itu secara arogan mendeklarasikan diri dan merestorasi jati diri me­reka menjadi pemuda tak ber­tuh­an dan secara sinis-sar­kastis menantang Tuhan.
Perspektif Pancasila

Sila pertama Pancasila ada­lah Ketuhanan Yang Mahaesa. Sila ini dipahami sebagai ikrar setia, komitmen kuat, dan “statemen teologis” bahwa bang­sa Indonesia adalah bang­sa yang percaya kepada Tuhan YME tanpa memandang agama yang dianut oleh komunitas-komunitas agama yang ada di negeri ini. Berpegang pada ikrar dan statemen teologis ter­sebut, seharusnya di negeri ini tidak ada orang yang tidak percaya kepada Tuhan dan tidak ada orang (termasuk pemuda) yang mengampanyekan dan mem­propagandakan paham tidak bertuhan (ateisme) di negara Pancasila ini. Kampa­nye dan propaganda “Restorasi Jati Diri Pemuda Tak Ber­tuhan, Tuhan pun Aku Tantang” yang secara demonstratif diumbar oleh ke­tujuh pemuda Probo­linggo m­e­lalui media sosial sangat tidak sesuai dengan ajaran teologis Pancasila dan agama.Majelis Ulama Indonesia (MUI) Probolinggo telah turun tangan dan sedang mengkaji secara intensif motif dugaan “penistaan” agama oleh ke­tujuh pemuda Probolinggo ter­sebut. Bersamaan dengan itu, Satreskrim Polres Probolinggo meringkus ketujuh pelakunya karena perbuatan mereka di­nilai menista agama.Satres­krim Probolinggo mengata­kan, jika kasus ini terus ber­lanjut ke pengadilan, ketujuh pemuda itu akan dijerat de­ngan Pasal 156 A KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Selain kasusnya di­proses hukum, perlu ada pem­binaan akidah kepada tujuh pemuda itu agar kembali ke jalan Tuhan yang lurus dan benar (shirathal mustaqim).
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5889 seconds (0.1#10.140)