Pilkada dan Ketimpangan

Selasa, 03 Juli 2018 - 07:26 WIB
Pilkada dan Ketimpangan
Pilkada dan Ketimpangan
A A A
Dr Edy Purwo Saputro
Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo

PILKADA serentak telah sukses dilaksana­kan dan pemenang versi hitung cepat atau quick count sudah bisa ter­baca. Sekarang tinggal me­nung­gu verifikasi hitung manual versi KPUD. Para pemenang pilkada tidak bisa terlena dan harus langsung tancap gas karena ada target pemenangan Pilpres 2019, termasuk juga tantangan Pilkada Serentak 2024.

Meski demikian, tan­tang­an utama yang harus di­hadapi yaitu me­reduksi ketim­pangan. Model kebijakan era Jokowi melalui pembangunan infrastruktur sejatinya untuk mereduksi kemiskinan dan ketimpangan. Persoalan ke­tim­pangan tidak hanya terkait besaran nominal dan sebaran yang terjadi, tapi juga kian maraknya migrasi.

Indikator ketimpangan meng­acu BPS yakni jika angkanya lebih dari 0,5, maka terjadi ketimpangan tinggi, antara 0,4-0,5 terjadi ketimpangan sedang, dan jika kurang dari 0,4, berarti ketim­pangan distribusi pen­dapatan rendah. Mengacu World Happiness Report 2018 Indonesia ada di urutan ke-62 dengan indeks gini 0,395 dan versi BPS per September 2017 indeks gini Indonesia men­capai 0,391.

Problem ketimpangan tidak terlepas dari kemiskinan, se­men­tara kemiskinan juga ter­kait dengan ancaman sosial ter­masuk fakta pengangguran. Fakta ini menegaskan tantang­an pemenang pilkada serentak tidak terlepas dari persoalan ketimpangan yang ternyata kini masih parah.

Di satu sisi hal ini memicu heterogenitas yang rentan riak konflik termasuk juga ancaman SARA meski di sisi lain ketimpangan memicu mi­grasi yang menjadikan per­kota­an dan daerah penyangga se­bagai tujuan. Dampak situasi ini adalah kemiskinan.

Terkait ini jumlah penduduk miskin di Jakarta per Maret 2017 yaitu 389,69 ribu orang (3,77%) di­banding per September 2016 ya­itu 385,84 ribu orang atau 3,75% atau meningkat 3,85 ribu orang. Problem sosial ini men­jadi pekerjaan rumah (PR) yang tidak mudah bagi peme­nang pil­kada serentak untuk pe­nata­an ke depan.

Serius


Problem kom­pleks pem­bangunan yang memicu ke­tim­pangan sebenar­nya juga dire­duk­si dengan otono­mi daerah (otda) meski 16 ta­hun otda ter­nyata justru kian banyak pe­mekaran daerah yang kemu­dian me­micu berbagai problem baru, termasuk ting­gi­nya migrasi dan korupsi. Persoalan utama migrasi yaitu mencari kehidupan yang lebih baik dan perkotaan masih di­yakini mem­berikan perbaikan kehidupan.

Asumsi ini mengebiri otda yang diharapkan memacu ekonomi daerah. Otda tidak berpengaruh signifikan bagi kesejahteraan dan ini terlihat dari banyak daerah tertinggal, kemiskinan, dan ketimpang­an. Ironisnya di wilayah Indo­nesia timur masih ada 105 ka­bupaten yang termasuk daerah terting­gal.

Jadi, fakta ketim­pang­an di Jakarta bukanlah per­soalan baru meski tan­tangan dan faktor pemicunya cende­rung kom­pleks sehingga iden­tifikasi dan pemetaan dari kasus ini men­jadi relevan untuk di­laku­kan, setidaknya bisa untuk mere­duksi dampak negatif dari ke­timpangan, ter­masuk mi­sal­nya ancaman sosial dan kri­mi­nal dari ketim­pangan yang terjadi di per­kota­an. Fakta ini menjadi tan­tangan bagi peme­nang pil­kada serentak.

Fakta sebaran daerah ter­tinggal menjadi ancaman serius terhadap ketimpangan dan mi­grasi. Karena itu, ego pe­me­kar­an daerah sudah se­layak­nya dihentikan dan perlu ada kaji ulang terhadap otda itu sendiri, termasuk juga kaji ulang ter­hadap daerah peme­kar­an yang sudah ada, ter­utama untuk me­reduksi kemis­kin­an di daerah pemekaran.

Tingkat kemis­kin­an dan per­ubahannya ber­variasi menurut provinsi dan variasi ini dise­bab­kan oleh perbedaan antar­provinsi dalam banyak hal yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh ter­hadap kesejahteraan seperti per­tum­buhan ekonomi dan sifatnya (apakah padat karya atau padat modal), infras­truk­tur, pen­didik­an, dan kesehatan, khususnya dari kelompok ma­syarakat ber­pendapatan ren­dah dan imple­mentasi pro­gram-program anti­kemiskinan dari peme­rintah.

Sebaran investasi ter­nyata juga belum mampu men­dukung peningkatan taraf kesejahteraan. Ironisnya, di era otda justru banyak kasus OTT melibatkan kepala daerah, baik suap atau korupsi sehingga ini menjadi tantangan. Pemenang pilkada serentak diharapkan jangan menambah daftar ko­ruptor kepala daerah, te­r­ma­suk dalih balik modal karena mahalnya ongkos demokrasi di republik ini.

Esensi potret daerah ter­tinggal dan migrasi tidak bisa lepas dari dampak kesenjangan. Persoalan tentang kesenjangan memang menjadi ancaman pembangunan dan Indonesia se­bagai negara kepulauan tam­paknya juga tidak bisa meng­hindar dari hal ini. Terlepas dari pro-kontra, ketimpangan antar­wilayah dapat dilihat dari perbedaan k­e­se­jah­­t­eraan - per­kem­bangan eko­nomi antar­wilayah.

Realita me­nun­jukkan bah­­wa angka ke­mis­kin­an di DKI Jakarta hanya 5,2% dan di Papua 38,7%. Ketim­pangan pela­yan­an sosial dasar yang tersedia mi­salnya pen­didik­an, kese­hat­an, dan air bersih juga terjadi antar­wilayah, di mana pen­du­duk di Jakarta rata-rata bersekolah 9,7 tahun dan penduduk di da­erah ter­tinggal rata-rata ber­seko­lah selama 5,8 tahun.

Kon­sekuensi hal ini, maka 10 pro­vinsi dengan ting­kat kemiskinan terendah per Maret 2017 yaitu Jakarta (3,77%), Bali (4,25%), Kali­man­tan Selatan (4,73%), Ke­pulauan Bangka Belitung (5,2%), Kali­mantan Tengah (5,37%), Ban­ten (5,49%), Kepulauan Riau (6,06%), Kali­mantan Timur (6,19%), Malu­ku Utara (6,35%), dan Sumatera Barat (6,87%).

Kumuh


Fakta ketimpangan antar­wilayah juga ditandai ren­dah­nya aksesibilitas pelayanan sa­ra­na dan prasarana ekonomi-sosial, terutama di perdesaan, daerah terpencil, perbatasan, serta daerah tertinggal.

Ketim­pangan antara kawasan per­kotaan dan perdesaan (misal­nya area Jabodetabek dan da­erah penyangga) juga ditu­njuk­kan rendahnya tingkat ke­sejah­teraan masyarakat desa, ter­ting­galnya pembangunan ka­was­an perdesaan dari per­kota­an, dan tingginya keter­gan­tung­an perdesaan terhadap per­kota­an.

Ini disebabkan mi­nimnya akses pada per­modal­an, ­lapang­an kerja, informasi, teknologi, dan pemasaran hasil produksi di perdesaan. Fakta ketim­pang­an ini memicu migrasi. Di sisi lain, ini juga berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin di daerah tujuan migrasi, juga memicu ancaman kerawanan sosial di daerah per­kotaan dan tumbuhnya kawas­an kumuh di perkotaan.

Jadi wajar jika di Jakarta masih ba­nyak kawasan kumuh dan ka­renanya peme­rintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta bertekad menjadikan Jakarta bebas kawasan kumuh pada 2019. Ironisnya, pen­da­tang melalui arus balik Lebaran ini justru semakin meningkat dan tentu rawan memicu ke­kumuhan baru.

Sinergi program tersebut dilakukan dengan model 100-10-100 yang dicanangkan oleh Kementerian PU dan Peru­mah­­an Rakyat (Kempupera) dengan program pengembang per­mu­kiman secara berke­lan­jutan, yaitu melalui komitmen pen­capaian 100% akses air minum, mereduksi kawasan kumuh 10%, dan 100% akses sanitasi untuk masyarakat.

Data Kem­pupera menyatakan bahwa di Indonesia ada 37.407 hektare kawasan kumuh dan tersebar di mayoritas per­kota­an, akses pe­layanan air minum baru 67,7%, dan akses pela­yan­an sanitasi baru 59,7%. Pen­capaian pro­gram itu pada dasarnya adalah sasaran dari Millennium Development Goals (MDGs) sampai 2020. Pencapaian ini tentu sangat berat karena data BPS DKI Jakarta menegaskan jumlah kawasan kumuh men­capai 309 RW kumuh dengan lokasi Jakarta Utara menjadi kawas­an terkumuh.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0650 seconds (0.1#10.140)