Polri di Tengah Negara Hukum dan Demokrasi

Senin, 02 Juli 2018 - 09:01 WIB
Polri di Tengah Negara Hukum dan Demokrasi
Polri di Tengah Negara Hukum dan Demokrasi
A A A
Habib Aboe Bakar Alhabsyi Anggota Komisi III DPR RI

POLRI tahun ini ber­usia 72 tahun, ta­hap usia yang se­ha­rusnya cukup de­wa­sa untuk menjalankan tu­gas­nya. Sebagaimana Pasal 13 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 mengenai Kepolisian Re­publik Indonesia, Polri me­miliki tiga tugas pokok. Pertama adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Ke­dua sebagai instrumen negara yang melakukan penegakan hu­kum. Ketiga memberikan per­lindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Ketiga tugas pokok tersebut me­mosisikan Polri sebagai pilar utama dalam penegakan hu­kum, penjagaan keamanan, dan perlindungan masyarakat.

Untuk menjalankan tugas po­kok tersebut, UU Polri mem­be­­rikan 12 kewenangan. Mulai dari melakukan penangkapan, pe­nahanan, penggeledahan hing­­ga kewenangan mela­ku­kan pe­nyi­taan terhadap sebuah objek ba­rang. Kewenangan yang di­be­ri­kan tentu dalam rang­ka menjaga terlaksananya tertib hukum di Indonesia. Melalui kewenangan tersebut diharapkan akan dapat dilaksanakan prinsip negara hu­kum sebagaimana dimak­sudkan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Penegasan ketentuan konstitusi ini bermakna bahwa segala as­pek kehidupan dalam ke­ma­sya­rakatan, kenegaraan, dan pe­me­rintahan harus senantiasa ber­dasarkan atas hukum.

Negara berdasarkan atas hu­kum (rechtsstaat) ditandai de­ngan beberapa asas, di an­ta­ranya bahwa semua perbuatan atau tindakan seseorang baik individu maupun kelompok, rak­yat maupun pemerintah harus didasarkan pada keten­tuan hukum dan peraturan per­undang-undangan yang sudah ada sebelum perbuatan atau tin­dakan itu dilakukan atau di­dasarkan pada peraturan yang berlaku. Negara berdasarkan atas hukum harus didasarkan pada hukum yang baik dan adil tanpa membeda-bedakan. Un­tuk penyelenggaraan negara, hukum tersebut terdapat tiga fungsi yang dilaksanakan ne­ga­ra, yaitu legislasi, penegakan hu­kum, dan yudikasi. Pada kon­teks tersebut Polri memiliki pe­ran dalam bidang penegakan hu­kum. Ini adalah sebuah pro­ses untuk memastikan bahwa segenap komponen negara me­matuhi tertib norma hukum yang telah diundangkan.

Namun penyelenggaraan ke­wenangan tersebut bukan ber­arti tidak tak terbatas. Pe­lak­sa­naan kewenangan Polri da­lam penegakan hukum harus ti­dak ber­tentangan dengan suatu atur­an hukum itu sendiri. Da­lam be­kerja mereka selalu se­laras de­ngan kewajiban hukum yang meng­haruskan tindakan ter­se­but dilakukan. Setiap tin­da­kan yang diambil harus pa­tut, masuk akal, dan tidak boleh berlebihan. Apabila perlu di­la­kukan tin­da­kan ekstra seperti penembakan, haruslah dengan pertimbangan yang layak dan berdasarkan keadaan yang me­maksa. Tentu semua proses pe­negakan hukum ter­sebut harus selalu meng­hor­mati hak asasi manusia.

Selain negara hukum, In­do­nesia juga merupakan negara demokrasi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) yang dikatakan bahwa ke­dau­lat­an negara Indonesia berada di tangan rakyat dan dilak­sa­na­kan menurut UUD. Oleh ka­renanya Indonesia sebagai ne­gara hu­kum dan negara de­mo­krasi ada­lah saling melengkapi, ke­dua­nya seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipi­sah­kan. Karena aturan norma hu­kum di Indonesia lahir dari pro­ses le­gislasi, se­dang­kan le­gis­la­tor pem­buat­nya terpilih dari pro­ses demokrasi. Ka­renanya da­pat dika­ta­kan bahwa cikal bakal atur­an hukum adalah dari pro­ses de­mo­krasi.

Pada proses de­mo­kra­si, Polri juga memiliki pe­ran penting yang lahir dari tugas tambahan, yaitu men­jadi salah satu unsur penyelenggaraan pemi­lih­an umum di Indonesia. Setidaknya ada tiga peran penting yang ha­rus dilak­sa­nakan Polri dalam pe­nye­lenggaraan pemilu. Per­­tama melakukan pe­ng­­amanan pada setiap ta­hap­an pelak­sa­na­an pe­mi­lu agar peyelenggaraan pemilu da­pat berjalan dengan aman dan lan­car. Kedua me­la­kukan pe­nyi­dikan terhadap tin­dak pi­dana pem­ilu yang di­la­porkan ke­pada Polri melalui Ba­waslu. Ketiga me­lakukan tugas lain me­nurut UU yang berlaku se­pe­r­ti me­lak­sa­na­kan tugas pe­layanan pene­ri­maan pem­be­ri­tahuan kegiatan kampanye dan atau pemberian izin kepada peserta pemilu.

Indonesia sebagai negara hu­kum yang demokratis harus ber­ja­lan searah dan tidak dapat dipisahkan, dalam hal ini Polri harus dapat menempatkan diri secara tepat. Banyak dinamika lapangan yang kemudian men­jadi batu uji sikap Polri dalam menjalankan tugasnya. Semisal mengenai pengangkatan ang­gota aktif Polri sebagai pejabat gubernur dalam masa pilkada. Ide penempatan perwira tinggi Polri yang masih aktif banyak men­dapat penolakan karena dinilai tidak sejalan dengan MPR Nomor 7/MPR/2000 dan UU Polri. Setelah beberapa kali di­ba­talkan, ternyata praktik ter­sebut tetap terjadi pada pe­ngangkatan Pejabat Gubernur Jawa Barat.

Sikap hati-hati lain yang ha­rus pula diambil Polri adalah saat ada anggotanya yang maju da­lam perhelatan pilkada. Da­lam pilkada 2018, seti­dak­nya ter­li­hat ada tiga anggota Polri yang ke­mudian berlaga dalam pe­mi­lihan gubernur. Misalkan saja Irjen Pol Safaruddin yang maju di Pilgub Kaltim bersama Sekda Pro­vinsi Kalimantan Timur Rus­madi Wongso. Ke­mu­­dian ada Irjen Pol Anton Char­liyan yang maju di Pilgub Jabar bersama anggota Komisi I DPR RI TB Hasanudin. Selain itu ada Irjen Murad Ismail bersama Barnabas Ornoyang yang maju di Pilgub Maluku. Tentunya si­kap netral dan profesional Polri akan diuji ketika ada ang­go­ta­nya (yang kemudian meng­aju­kan pe­ngunduran diri) berlaga da­lam pemilihan umum.

Di tengah negara hukum dan demokratis, ada empat hal yang harus dijaga Polri. Pertama ada­lah trans­pa­ran­si atau ke­ter­bukaan in­for­masi hukum. Ke­ter­bukaan ini meliputi akses in­formasi peraturan, persyaratan mau­­pun prosedur. Dalam ne­gara hukum yang de­mo­kra­tis, Polri harus mampu mem­­be­ri­kan akses yang sama terhadap semua lapisan masyarakat. Ka­ren­anya masyarakat ha­rus men­dapatkan ja­min­an un­tuk bisa mengetahui se­tiap tahap pe­ne­gakan hu­kum yang dilakukan Polri.

Kedua, Polri harus dapat mem­­pertahankan netralitas­nya. Aspek netralitas Polri men­jadi unsur penting dalam se­buah negara hukum yang de­mo­kratis. Karena pada posisi ter­sebut Polri diberi peran sebagai penegak hukum serta sebagai unsur ang­gota pengawas, pe­ng­aman, dan pelaksana pemilu. Oleh ka­re­nanya untuk m­e­me­nuhi tang­gung jawab tersebut Polri harus dapat berbuat, ber­ke­hendak, dan bekerja secara baik dan ne­tral dalam keber­ada­an, peran mau­pun tugasnya. Dalam wujud penampilannya Polri juga di­tun­tut harus dapat memainkan peranan yang man­diri, pro­por­sional, dan pro­fesional.

Ketiga, dalam menjalankan fungsi penegakan hukum Polri harus dapat menghadirkan rasa adil dalam bentuk persamaan di de­pan hukum, perlakuan yang sama, dan adanya standar. Me­la­lui prosedur yang standar di­ha­rapkan akan diperoleh per­la­kuan yang sama di depan hu­kum atau equality before the law. Perlakukan yang sama akan menjunjung rasa keadilan dan demokratis secara bersamaan. Kondisi ini hanya bisa tercapai jika ada transparansi dan ne­tra­litas sebagaimana di­sam­paikan pada poin sebelumnya.

Keempat adalah adanya sta­bi­litas, hukum harus dapat men­ciptakan stabilitas atau meng­akomodasi menye­im­bang­­kan kepentingan yang sa­ling ber­saing di masyarakat. Tanpa ada stabilitas keamanan, tentunya proses demokrasi maupun pe­negakan hukum tidak dapat di­jalankan dengan baik. Se­ba­liknya pula proses demokrasi dan pe­negakan hukum juga ha­rus selalu mengacu pada orien­tasi pen­ja­gaan stabilitas ke­amanan. Ka­re­nanya kedua pro­ses tersebut harus dilakukan secara terbuka dengan cara yang adil dan aparat yang netral. Dengan demikian persaingan yang terjadi di ma­syarakat akan dapat di­se­im­bang­kan dalam koridor negara hukum yang de­mokratis.

Selamat HUT Bhayangkara ke-72, semoga Polri semakin profesional, modern, dan te­percaya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6121 seconds (0.1#10.140)