Harga Gas untuk Listrik
A
A
A
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
PEMERINTAH memutuskan bahwa selama 2018-2019 tidak akan terdapat penyesuaian harga jual tenaga listrik. Dalam perspektif makroekonomi dan sosial, kebijakan pemerintah tersebut positif. Menjelang tahun politik, stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat memang penting untuk dijaga. Karena itu relatif dapat dipahami jika pemerintah kemudian mengambil kebijakan tersebut.
Akan tetapi pada kondisi harga energi primer pembangkit yang sedang meningkat seperti saat ini, kebijakan pemerintah tersebut berpotensi menekan kinerja keuangan penyedia tenaga listrik, terutama PLN. Ketika harga energi primer pembangkit, terutama energi fosil, meningkat, kebijakan yang seharusnya dilakukan adalah menaikkan harga jual listrik.
Kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan harga jual listrik pada saat harga energi primer pembangkit meningkat hanya dapat dilakukan dalam dua pilihan. Pertama, menurunkan harga energi primer yang masih memungkinkan untuk diintervensi pemerintah. Kedua, mengorbankan aspek kesehatan keuangan badan usaha penyedia listrik baik PLN maupun badan usaha penyedia tenaga listrik yang lain dengan berbagai konsekuensinya.
Harga Gas Pembangkit
Mencermati kondisi yang ada, melakukan intervensi terhadap harga energi primer pembangkit (khususnya gas) merupakan opsi yang masih mungkin untuk dilakukan jika pemerintah menghendaki tidak menaikkan harga jual listrik ketika harga energi primer meningkat seperti saat ini. Hal itu mengingat peran gas dalam bauran energi primer pembangkit tercatat relatif cukup signifikan.
Pada tahun 2017, porsi tenaga listrik yang diproduksi pembangkit listrik yang menggunakan gas tercatat sekitar 27,86% dari total produksi listrik PLN. Konsumsi gas yang diperlukan untuk memproduksi listrik dalam porsi tersebut tercatat sekitar 368,49 juta MMBTU.
Dengan volume konsumsi gas tersebut, dengan asumsi nilai tukar rupiah di kisaran Rp14.000/USD, setiap penurunan harga gas sebesar USD1/ MMBTU akan menurunkan biaya pengadaan energi primer pembangkit PLN sekitar Rp5 triliun. Selain itu penurunan harga gas tersebut juga akan berdampak terhadap menurunnya biaya produksi listrik dari pembangkit yang menggunakan gas sekitar Rp125/kWh.
Selain harga yang ditetapkan BPH Migas, harga gas untuk konsumen domestik Indonesia tercatat terbagi menjadi tiga kelompok pengguna utama, yaitu pembangkit listrik, industri tertentu, dan industri umum.
Rata-rata harga gas yang diterima pembangkit listrik tercatat di antara harga gas untuk industri tertentu dan industri umum. Harga gas untuk pembangkit lebih tinggi dari harga untuk industri tertentu, tetapi lebih rendah dari industri umum. Pada 2016 misalnya rata-rata harga gas untuk pembangkit listrik tercatat sekitar USD6,10/ MMBTU. Sementara harga gas untuk industri tertentu dan industri umum masing-masing sekitar USD5,30/MMBTU dan USD11,20/MMBTU.
Untuk kawasan Asia Tenggara, harga gas untuk pembangkit listrik di Indonesia tercatat lebih tinggi dari harga gas pembangkit listrik di Malaysia dan Vietnam. Pada tahun 2016, harga gas untuk pembangkit di Malaysia dan Vietnam masing-masing sekitar USD4,70/MMBTU dan USD3,80/MMBTU.
Pemerintah Malaysia dan Vietnam tercatat memberikan subsidi harga gas untuk pembangkit listrik di negara mereka. Hal tersebut dimaksudkan agar harga jual listrik murah sehingga mampu mendorong dan meningkatkan daya saing industri mereka.
Berdasarkan kondisi yang ada tersebut dapat dikatakan pada dasarnya masih terdapat ruang bagi pemerintah untuk dapat melakukan penurunan harga gas untuk pembangkit. Jika pemerintah dapat memberlakukan harga gas yang relatif lebih murah untuk industri tertentu seperti industri pupuk dan industri petrokimia, seharusnya juga terdapat peluang untuk memberikan harga gas yang lebih murah untuk pembangkit listrik.
Tantangan utama penurunan harga gas untuk pembangkit listrik kemungkinan akan berada pada kerelaan pemerintah untuk “berkorban” mengurangi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pengusahaan gas. Jika pemerintah masih sulit merelakan pengurangan penerimaan dari pengusahaan gas, nasib penurunan harga gas untuk pembangkit listrik kemungkinan akan sama dengan kebijakan penurunan harga gas untuk industri. Dalam hal ini, meskipun payung hukum yaitu Perpres Nomor 40/2016, Permen ESDM Nomor 6/2016, dan Permen ESDM Nomor 16/2016 telah diterbitkan, sampai saat ini implementasi penurunan harga gas untuk industri dapat dikatakan belum berjalan sepenuhnya.
Hal lain yang perlu dilakukan terkait dengan penurunan harga gas untuk pembangkit adalah perlu dilakukan revisi terhadap Permen ESDM Nomor 45/2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Listrik. Jika mengacu pada formula yang ditetapkan permen ini, dengan kondisi level harga minyak (ICP) saat ini, harga gas yang harus diberlakukan untuk pembangkit listrik justru lebih tinggi dari rata-rata harga gas yang saat ini diterima pembangkit listrik.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
PEMERINTAH memutuskan bahwa selama 2018-2019 tidak akan terdapat penyesuaian harga jual tenaga listrik. Dalam perspektif makroekonomi dan sosial, kebijakan pemerintah tersebut positif. Menjelang tahun politik, stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat memang penting untuk dijaga. Karena itu relatif dapat dipahami jika pemerintah kemudian mengambil kebijakan tersebut.
Akan tetapi pada kondisi harga energi primer pembangkit yang sedang meningkat seperti saat ini, kebijakan pemerintah tersebut berpotensi menekan kinerja keuangan penyedia tenaga listrik, terutama PLN. Ketika harga energi primer pembangkit, terutama energi fosil, meningkat, kebijakan yang seharusnya dilakukan adalah menaikkan harga jual listrik.
Kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan harga jual listrik pada saat harga energi primer pembangkit meningkat hanya dapat dilakukan dalam dua pilihan. Pertama, menurunkan harga energi primer yang masih memungkinkan untuk diintervensi pemerintah. Kedua, mengorbankan aspek kesehatan keuangan badan usaha penyedia listrik baik PLN maupun badan usaha penyedia tenaga listrik yang lain dengan berbagai konsekuensinya.
Harga Gas Pembangkit
Mencermati kondisi yang ada, melakukan intervensi terhadap harga energi primer pembangkit (khususnya gas) merupakan opsi yang masih mungkin untuk dilakukan jika pemerintah menghendaki tidak menaikkan harga jual listrik ketika harga energi primer meningkat seperti saat ini. Hal itu mengingat peran gas dalam bauran energi primer pembangkit tercatat relatif cukup signifikan.
Pada tahun 2017, porsi tenaga listrik yang diproduksi pembangkit listrik yang menggunakan gas tercatat sekitar 27,86% dari total produksi listrik PLN. Konsumsi gas yang diperlukan untuk memproduksi listrik dalam porsi tersebut tercatat sekitar 368,49 juta MMBTU.
Dengan volume konsumsi gas tersebut, dengan asumsi nilai tukar rupiah di kisaran Rp14.000/USD, setiap penurunan harga gas sebesar USD1/ MMBTU akan menurunkan biaya pengadaan energi primer pembangkit PLN sekitar Rp5 triliun. Selain itu penurunan harga gas tersebut juga akan berdampak terhadap menurunnya biaya produksi listrik dari pembangkit yang menggunakan gas sekitar Rp125/kWh.
Selain harga yang ditetapkan BPH Migas, harga gas untuk konsumen domestik Indonesia tercatat terbagi menjadi tiga kelompok pengguna utama, yaitu pembangkit listrik, industri tertentu, dan industri umum.
Rata-rata harga gas yang diterima pembangkit listrik tercatat di antara harga gas untuk industri tertentu dan industri umum. Harga gas untuk pembangkit lebih tinggi dari harga untuk industri tertentu, tetapi lebih rendah dari industri umum. Pada 2016 misalnya rata-rata harga gas untuk pembangkit listrik tercatat sekitar USD6,10/ MMBTU. Sementara harga gas untuk industri tertentu dan industri umum masing-masing sekitar USD5,30/MMBTU dan USD11,20/MMBTU.
Untuk kawasan Asia Tenggara, harga gas untuk pembangkit listrik di Indonesia tercatat lebih tinggi dari harga gas pembangkit listrik di Malaysia dan Vietnam. Pada tahun 2016, harga gas untuk pembangkit di Malaysia dan Vietnam masing-masing sekitar USD4,70/MMBTU dan USD3,80/MMBTU.
Pemerintah Malaysia dan Vietnam tercatat memberikan subsidi harga gas untuk pembangkit listrik di negara mereka. Hal tersebut dimaksudkan agar harga jual listrik murah sehingga mampu mendorong dan meningkatkan daya saing industri mereka.
Berdasarkan kondisi yang ada tersebut dapat dikatakan pada dasarnya masih terdapat ruang bagi pemerintah untuk dapat melakukan penurunan harga gas untuk pembangkit. Jika pemerintah dapat memberlakukan harga gas yang relatif lebih murah untuk industri tertentu seperti industri pupuk dan industri petrokimia, seharusnya juga terdapat peluang untuk memberikan harga gas yang lebih murah untuk pembangkit listrik.
Tantangan utama penurunan harga gas untuk pembangkit listrik kemungkinan akan berada pada kerelaan pemerintah untuk “berkorban” mengurangi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pengusahaan gas. Jika pemerintah masih sulit merelakan pengurangan penerimaan dari pengusahaan gas, nasib penurunan harga gas untuk pembangkit listrik kemungkinan akan sama dengan kebijakan penurunan harga gas untuk industri. Dalam hal ini, meskipun payung hukum yaitu Perpres Nomor 40/2016, Permen ESDM Nomor 6/2016, dan Permen ESDM Nomor 16/2016 telah diterbitkan, sampai saat ini implementasi penurunan harga gas untuk industri dapat dikatakan belum berjalan sepenuhnya.
Hal lain yang perlu dilakukan terkait dengan penurunan harga gas untuk pembangkit adalah perlu dilakukan revisi terhadap Permen ESDM Nomor 45/2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Listrik. Jika mengacu pada formula yang ditetapkan permen ini, dengan kondisi level harga minyak (ICP) saat ini, harga gas yang harus diberlakukan untuk pembangkit listrik justru lebih tinggi dari rata-rata harga gas yang saat ini diterima pembangkit listrik.
(mhd)