Nasib Disabel dalam Pemilu

Sabtu, 30 Juni 2018 - 18:33 WIB
Nasib Disabel dalam Pemilu
Nasib Disabel dalam Pemilu
A A A
Imam Thobroni
Anggota Panwaslu Jember
SALAH satu sisi minus kinerja KPU dalam Pemilu 2014 adalah kegagalan menyediakan akses bagi pemilih yang keadaan fisik atau sistem biologisnya berbeda dengan kebanyakan orang lain (difabel/disabel). Komnas HAM dalam laporan evaluasi Pemilu 2014 mengatakan, masih banyak kelompok rentan yang tidak terfasilitasi dengan baik ketika hendak memilih. Kelompok rentan yang dimaksud adalah para narapidana, pasien rumah sakit, WNI di luar negeri, dan tentu saja kaum disabel.

Tahun 2014, kuantitas kalangan disabel diperkirakan 36 juta orang dengan rincian, disabilitas fisik 11%, tunanetra 13%, tunarungu 34%, keterbatasan mental dan intelegensia 26%, serta penderita penyakit kronis 16% (Ekowati, 2014). Berdasarkan jumlah tersebut, suara kaum disabel cukup signifikan.

Praktik diskriminasi terhadap kelompok disabel sudah berlangsung sejak pendataan daftar pemilih sementara (DPS) dan daftar pemilih tetap (DPT). KPU mengakui pada 2014 belum memiliki data valid terkait jumlah pemilih disabel (Tempo, 02/02/2014). Diskriminasi selanjutnya terjadi di dalam TPS. Bagi yang punya keterbatasan berjalan dan bergerak, mereka terhalang ketika hendak memasuki TPS, karena ketiadaan akses khusus bagi pengguna kursi roda. Sedangkan bagi yang punya keterbatasan pengelihatan, banyak TPS tidak menyediakan surat suara dengan huruf braille. Kalau pun tersedia huruf braille itu hanya untuk satu jenis surat suara.

Situasi tersebut kontraproduktif dengan ekspektasi mayoritas rakyat Indonesia. Hasil survei International Foundation for Electoral System (IFES) dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, 67% responden menganggap keterlibatan penyandang disabel dalam Pemilu sangat penting. Selain itu, 84% responden juga meminta KPU untuk menyediakan TPS yang bisa diakses disabel, serta 90% responden berpendapat seharusnya ada petugas khusus untuk membantu kaum difabel.

Ekspektasi Pilkada Serentak 2015
Dalam persiapan menuju Pemilu 2019, tampaknya KPU sudah belajar dari kesalahan sebelumnya. Indikasinya, sejak penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015 KPU sudah banyak membuat terobosan dengan menerbitkan beberapa Peraturan KPU (PKPU) yang mengakomodasi kaum disabel. Sekali pun dalam UU No 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Wali Kota dan Bupati menjadi tidak diatur spesifik mengenai pengakomodasian kebutuhan khusus untuk pemilih disabel tersebut.

Hal tersebut kemudian terus berlangsung dalam kaidah pengaturan di UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Di mana terdapat spirit untuk mengafirmasi hak politik penyandang disabilitas. Salah satu manifestasinya adalah upaya untuk memasukkan para penyandang disabilitas dalam draf DPS yang saat ini sedang memasuki masa verfikasi. Apalagi acuan dalam penyusunan DPS kali ini tidak berpijak pada DPT yang digunakan dalam Pilpres 2014, melainkan mengacu pada data empiris di level kota/kabupaten yang ada di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Setelah itu data tersebut baru diverifikasi dengan data kependudukan yang ada di Kemedagri.

Artinya desain penyusunan DPS/DPT sudah melalui skema bottom up, tidak lagi top down, sehingga diharapkan mampu menjaring penduduk yang punya hak pilih secara lebih akurat. Selain itu, sejauh ini sudah ada juga ketentuan untuk membuat TPS yang mudah diakses oleh pemilih disabel. Artinya, secara normatif-regulatif, aspirasi dari pemilih disabel sudah diakomodasi.

Namun pertanyaan besarnya adalah bagaimana seluruh komponen pelaksana Pemilu 2019 mampu mengimplementasikan berbagai regulasi tersebut. Sebab, tanpa mengakomodasi kebutuhan pemilih disabel saja KPU dan jajarannya masih sering dibuat kesulitan dalam pelaksanaan Pemilu/Pilkada selama ini. Apalagi jika harus ditambahi dengan kewajiban memberi "pelayanan khusus" terhadap pemilih disabel.

Maka, layak kita awasi bersama implementasi regulasi yang mengakomodasi kebutuhan khusus kaum disabel dalam Pemilu tersebut. Misalnya, Bagi penyandang disabilitas, khususnya tunanetra, kebutuhan template sebagai alat bantu saat mencoblos sangatlah penting, mengingat jumlah pencoblosan dalam Pemilu 2019 lebih banyak dibandingkan Pilkada. Semakin banyak partai politik peserta pemilu 2019, maka surat suara akan memuat lebih banyak nama dan gambar calon anggota legislatif.

Tentu, tanpa alat bantu mencukupi, kompleksitas isi (content) dalam surat suara akan membingungkan pemilih disabel. Belum lagi aksesibilitas penyandang disabilitas pada penyelenggaraan pilkada maupun pemilu sebelumnya masih menjadi persoalan. Bagi yang pakai kursi roda, kadang tidak ada akses ke bilik atau TPS berada di lantai dua. Bagi yang tunanetra, surat suara braille kadang kurang. Apakah KPU bisa mengantisipasi berbagai potensi permasalahan tersebut? Patut kita tunggu dan kita kawal bersama.

Warga Negara Kelas Dua

Jika dalam pelaksanaan Pemilu 2019 masih ditemukan praktik diskriminatif terhadap pemilih disabel, hal tersebut membenarkan persepsi tentang warga negara "kelas dua". Frasa "warga negara kelas dua" merujuk pada indikasi bahwa selama ini pemerintah memang belum serius memperhatikan penyandang disabilitas. Padahal peminggiran penyandang disabilitas dalam Pemilu merupakan salah satu bentuk diskriminasi aksesibilitas kaum difabel di ruang publik.

Hasil riset Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (Pusham-UII) Yogyakarta yang berjudul, "Aksesibilitas Fasilitas Publik Bagi Kaum Difabel" (2012) menyimpulkan bahwa pemenuhan aksesibilitas penyandang difabilitas di berbagai ruang publik masih memprihatinkan (Syafi'ie, 2012). Di Indonesia, sejauh ini sudah ada sekolah khusus kaum disabel, event olahraga khusus penyandang disabilitas, desain rumah yang ramah terhadap disabel, maupun bahan bacaan khusus kaum disabel (braille). Yang belum ada hanya sistem Pemilu/Pemilukada yang mengakomodasi hak politik kaum disabel secara proporsional.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7402 seconds (0.1#10.140)