Masa (Tak) Tenang Pilkada

Selasa, 26 Juni 2018 - 17:12 WIB
Masa (Tak) Tenang Pilkada
Masa (Tak) Tenang Pilkada
A A A
JAKARTA - Adi Prayitno
Direktur Eksekutif Parameter Politik dan Dosen FISIP UIN Jakarta
PEMUNGUTAN suara pilkada serentak tahap ketiga 2018 di 171 wilayah tinggal menghitung hari. Kini tahapan pilkada sudah memasuki masa tenang selama tiga hari terhitung sejak 24 hingga 26 Juni. Sebab itu, segala hirup pikuk aktivitas politik dihentikan guna meredakan tensi politik yang terus memanas.
Semua kontestan, tim sukses, dan pendukung mestinya menjadikan masa tenang sebagai ruang jeda sejenak setelah enam bulan berkelahi dengan rutinitas kampanye politik elektoral yang menyesakkan. Temasuk memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menghela nafas setelah sekian lamanya dijejali ingar bingar politik yang mulai membosankan dan tak mendidik.

Harus diakui bahwa rakyat sudah mulai bosan dengan ragam agitasi dan propaganda politik elektoral. Apalagi rakyat menilai pilkada tak berkorelasi positif apa pun dengan perbaikan ekonomi. Rakyat hanya objek dari hasrat politik elite demi melanggengkan kekuasaan.

Meski begitu, pilkada kali ini berbeda dengan pilkada sebelumnya karena dianggap sebagai tiket emas (golden ticket) menuju kemenangan Pemilu serentak 2019. Ada banyak wilayah kunci yang akan menjadi pertarungan hidup mati kontestan untuk dimenangkan. Terutama di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah yang merupakan lumbung suara nasional.

Klausul regulasi masa tenang definitif tertera dalam UU Pilkada tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota yang menegaskan bahwa masa tenang berlangsung selama tiga hari sebelum pencoblosan. Poin pentingnya melarang semua pasangan calon melakukan aktivitas kampanye dalam bentuk apa pun.

Kategori larangan kampanye di masa tenang berupa larangan pemaparan visi misi secara terbuka, pengumpulan massa, penyampaian program kerja, mengajak memilih calon serta memberikan informasi lain terkait pasangan calon. Termasuk larangan memobilisasi dukungan untuk memilih atau menjatuhkan (downgrade) pasangan calon tertentu.

Ada ketentuan pidana bagi pihak yang secara sengaja melanggar ketentuan larangan kampanye di masa tenang. Mulai dari ancaman penjara hingga denda sejumlah uang jutaan rupiah. Seharusnya ketentuan ancaman hukuman semacam ini memberikan rasa takut untuk tidak melakukan kampanye apa pun.

Ruang maya pun steril di masa tenang. Semua kontestan harus menahan diri demi menjaga stabilitas. Memang tak mudah meredam ruang maya yang bergerak liar tanpa batas waktu. Apalagi, Bawaslu hanya berwenang menindak akun resmi pasangan calon dan tim sukses jika terjadi pelanggaran. Itupun harus melaluai prosedur yang pelik.

Sementara akun personal yang bertindak sebagai buzzer politik yang kerap memproduksi hoaks dan fitnah di luar kewenangan Bawaslu.

Mewaspadai Kecurangan

Sejatinya, masa tenang kampanye menjadi momen indah meluruhkan suhu politik yang kian berdetak keras. Apalagi, pilkada tahap ketiga kali ini dijadikan parameter kondusivitas politik 2019 yang dikhawatirkan mengaduk-aduk rasa kebinekaan karena menguatnya sentimen politik identitas.

Di masa tenang ini pula biarlah rakyat menetralisasi pilihan hatinya yang masih kelabu. Sebab, banjir bandang isu yang terjadi selama kampanye memaksa rakyat terjebak pada satu dilema akut. Sebagian besar sudah menentukan pilihan, sebagian lain masih galau, belum pasti entah kemana melabuhkan pilihan hatinya.

Sayangnya, di masa tenang inilah justru menjadi fase paling krusial dari semua tahapan pilkada. Mendadak semua kontestan mulai merasa tak tenang dengan kekuatan politiknya. Meski dilarang, gerilya politik terus dilakukan demi mendongkrak elektabiltias. Masa tenang menjelma sebagai medan pertempuran terakhir kekuatan calon yang sesungguhnya.

Segala upaya dilakukan demi memenangkan kontestasi elektoral. Bukan hanya manuver, kecurangan bisa menjadi pilihan strategis untuk dilakukan. Tak peduli lagi akhlak berdemokrasi, yang penting menang pilkada.

Setidaknya ada tiga gejala politik curang di masa (tak) tenang yang perlu diwaspadai. Pertama, politik uang. Praktik politik kotor semacam ini sudah lama menjadi hantu politik menakutkan jelang pencoblosan. Jual beli suara terjadi secara vulgar tanpa tedeng aling-aling. Terutama dilakukan oleh kandidat yang memiliki akses modal yang berlimpah.

Model praktik politik uang yang lazim dilakukan berupa jual beli suara pemilih yang dibarter dengan sejumlah uang tunai (vote buying). Nominal uang yang ditawarkan variatif sesuai negosiasi dan harga pasaran pemilih.

Transaksi suara model vote buying ini biasanya dilakukan melalui sejumlah perantara seperti tim sukses, RT dan RW, tokoh masyarakat, pemimpin kelompok pemuda, elite daerah, hingga penyelenggara pemilihan seperti petugas KPPS. Semua dilakukan hanya untuk membeli suara pemilih.

Kedua, soal netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Bawaslu menemukan banyak kasus pelanggaran netralitas ASN pada pilkada serentak 2018. Jumlahnya mencapai 500 kasus pelanggaran ASN. Angka yang cukup fantastis.

Curhat Susilo Bambang Yudhoyono soal netralatias ASN dalam pilkada makin menebalkan keyakinan publik bahwa ASN memang rentan ‘main mata’ di pilkada. Padahal regulasinya sudah jelas bahwa ASN harus netral. Jangankan ikut mendukung calon, selfie foto bersama dan megunggah foto calon di media sosial juga dilarang.

Meski begitu, masih saja ada upaya memobilisasi ASN untuk kepentingan politik calon tertentu. Mestinya elite parpol menolak tindakan tercela semacam ini. Jangan gadaikan kualitas demokrasi hanya karena ini menang kontestasi. Dalam konteks ini, parpol menjadi kunci untuk tidak melibatkan ASN dalam pilkada.

Ketiga, kampanye hitam yang biasa didefinisikan sebagai kampanye kotor yang bertujuan merusak kredibiitas lawan dengan isu negatif tak berdasar. Kampanye hitam massif dilakukan dengan menggunakan jejaring media soal seperti Facebook, Twitter, dan video. Cara ini dilakukan untuk menjatuhkan lawan politik secara keji.

Dalam pilkada kali ini, Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang kerap dilanda badai kampanye hitam.

Dalam studi perilaku pemilih, pilihan politik rakyat sangat ditentukan oleh sejauh mana informasi kandidat diterima pemilih. Di tengah mencairnya psikologi politik rakyat, semua informasi bohong ditelan begitu saja tanpa filter memadai. Asupan gizi buruk politik dengan mudah merasuk menjadi amunisi keyakinan pemilih.

Rakyak begitu mudah terpedaya berita palsu karena minimnya pendidikan politik. Semua informasi yang viral memenuhi ruang keseharian hidup mereka merasuk diterima apa adanya tanpa seleksi ketat. Akibatnya, keyakinan yang terpatri di hati sebagai bekal memilih adalah keyakinan palsu serba hoaks.

Oleh karena itu, masa tenang bukan lagi situasi yang mencerminkan ketiadaan aktivitas politik. Melainkan sebuah kondisi di mana agresivitas politik meningkat tajam. Apalagi banyak rilis lembaga survei mengungkap selisih suara antarcalon cukup tipis seperti di Jawa Barat dan Jawa Timur. Sebuah situasi potensial yang dapat memunculkan ruang terbuka konflik dan kecurangan dengan melakukan tindakan apa pun.

(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7811 seconds (0.1#10.140)