Menghormati Masa Tenang

Selasa, 26 Juni 2018 - 16:24 WIB
Menghormati Masa Tenang
Menghormati Masa Tenang
A A A
Masa kampanye Pilkada Serentak 2018 sudah berakhir. Kini pilkada memasuki masa tenang, karena semua calon yang bertarung di 171 daerah harus menahan diri untuk tidak melakukan kampanye dan memberi kesempatan pemilih mempertimbangkan semua informasi terkait calon pemimpin yang akan mereka pilih di TPS.

Selama masa kampanye, nyaris tak ada ruang tersisa dari jamahan persuasi, agitasi, hingga propaganda tim pemenangan dan relawan masingmasing pasangan calon. Sudah seharusnya para pasangan calon menurunkan titik didih politik di masing-masing daerah dan mewujudkan komitmen me reka yang diikrarkan di awal masa kampanye bahwa mereka siap menang dan siap kalah.

Konteks Politik

Masa tenang semestinya dimaknai dalam dua konteks. Pertama, menjadi prakondisi bagi pihak-pihak bertarung, terutama para kandidat untuk cooling down. Jalan panjang upaya mereka dengan segenap kemampuan fisik-material maupun mental tentu harus dimaknai sebagai ikhtiar maksimal dari laku politik mereka sebagai “para petarung sejati”. Bagaima napun mengonsolidasikan kekuatan di seantero daerah pemilihan dan memasarkan diri di tengah tekanan, hujatan, cacian, cemoohan, bahkan kerap kali fitnah hanya akan bisa dilalui mereka yang memiliki kekuatan luar biasa.

Dalam konteks inilah seluruh bangsa harus mengapresiasi apa yang telah dilakukan para kandidat yang telah mengoptimalkan daya dan upaya mereka. Namun, hasil akhir masih akan ditentukan pilihan rakyat sebagai hakikat demokrasi. Rakyatlah yang memberi modal kedaulatan dan legitimasi ke kua saan bagi siapa pun pemimpin daerahnya lima tahun ke depan.

Prakondisi ini penting bagi kandidat, mengingat per ta rungan selalu menyisakan ha nya satu pemenang! Oleh karenanya, butuh kedewasaan, kejernihan pikiran, dan kemampuan mengendalikan diri dan pendukung saat salah satu dari mereka belum didaulat sebagai pemenang seusai pencoblosan.

Kedua, konteks untuk para pendukung, pengagum, fans club, relawan, tim sukses, atau apa pun namanya agar memahami dan menyadari bahwa sejatinya demokrasi telah meng amanahi kita untuk meng hor mati keberbedaan.

Tak di mung kiri sejak proses tahapan pemilu bergulir mulai dari pemilu legislatif hing ga pilpres, masyarakat terpolarisasi. Fragmentasi kekuatan begitu kentara dan kerap menghadirkan fenomena hubungan anta gonistis di antara para pendukung dari kubu berbeda. Tak disangkal bahwa salah satu konsekuensi demokrasi adalah kom petisi.

Namun, kompetisi yang sehat harus meng hadirkan daya tahan para pelakunya untuk tidak terjebak pada anarkisme dan pragmatisme saat menggapai kemenangan dengan menihilkan aturan, etika, dan keadaban publik. Pilkada kali ini memang lebih gegap gempita dan cenderung panas.

Hal ini karena banyaknya daerah yang melaksanakan pilkada merupakan battle grounds nasional, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan lainnya. Selain itu, saluran komunikasi politik yang digunakan juga semakin komplet.

Kemudian saluran konvensional yang biasa dipakai, yakni jejaring hubungan antarpersonal, organisasi, struktur sosial tradisional, media massa, dan juga saluran persuasi modern yang berbasis media sosial. Beragam media sosial terutama Twitter, Facebook, Instagram, YouTube, dan WhatsApp menjadi medan pertempuran luar biasa di antara para pendukung.

Generasi web 2.0 dan 3.0 yang interaktif, multimedia, dan memosisikan para pengguna internet, bukan semata konsumen informasi, tetapi juga produsen berita, maka perang informasi pun tak terelakan lagi. Secara kasatmata kita melihat beragam pertukaran informasi di media sosial bahkan di media arus utama yang tak lagi sehat, cenderung mengalami paradoks dengan hakikat demokrasi itu sendiri. Kampanye hitam berseliweran dan dipertukarkan tanpa merasa bersalah. Inilah sisi kelam pertarungan merengkuh dukungan sekaligus mendelegitimasi pihak lawan.

Putaran Akhir

Pilkada memasuki putaran akhir. Masa tenang bisa kita digunakan sebagai jeda pertarungan jelang pencoblosan. Serangkaian proses memenangkan kandidat tentu saja masih akan dilakukan kubu masing-masing. Jeda masa tenang ini harus menjadi moratorium kon flik, hujatan, agitasi, dan sekaligus tembok pembatas yang jelas untuk menghentikan beragam bentuk kampanye mulai dari positif, negatif, hingga kam panye hitam.

Paling tidak ada tiga pihak yang harus diingatkan agar masa tenang tidak berubah men jadi masa tidak tenang. Pertama, posisi media massa terutama media arus utama, terlebih televisi yang kerap menghadirkan terpaan luar biasa di ma syarakat.

Memang tak terelakan bahwa posisi media di manapun memiliki kekuatan signifikan dalam melakukan produksi dan reproduksi citra poli tik. Asumsi seperti ini relevan dengan pendapat Tuchman mengatakan seluruh isi media sebagai realitas yang telah di konstruksikan (cons tructed reality). Menurut Gaye Tuchman dalam tulisannya Facts of The Moment: The Study Of News (1980), media pada dasarnya me nyusun realitas hingga membentuk sebuah “cerita”.

Hal senada disampaikan Jhon Sinclair dkk dalam bukunya New Patterns in Global Television: Peripheral Vision (1996) yang mengingatkan bahwa televisi merupakan medium cang kokan yang megah. Oleh karena itu, wataknya sebagai media cangkokan, televisi termasuk juga media arus utama lainnya harus hatihati membawakan diri jangan sam pai tampilan vulgar media men jadi instrumental conditioning sejumlah perilaku tak patut di tiru masyarakat.

Dalam teori reinforment imitasi dari Miller dan Dollard, seseorang bisa belajar menyamai tindakan orang lain terlebih saat ada instrumen yang mengondisikan perilaku imitasi mereka seperti media massa misalnya.

Berita provokatif dan isuniatif yang terus di kembangkan media massa bisa memancing kebencian antar pen dukung kandidat dan memicu konflik menjadi aktual. Selama masa tenang seharusnya media menjadi pendukung kandidat, mau dan mampu me nahan diri menghormati masa tenang.

Kedua, para elite yang berada di lingkaran utama kandidat maupun di atmosfernya. Terutama mereka yang kerap menjadi bahan berita media. Selama masa tenang seyogianya mereka mengembangkan respek dan saling menghormati dengan tidak menyengajakan diri terlibat dalam agresivitas verbal dan tin dakan. Kelompok elite ini bia sanya menjadi role model sekaligus stimulan positif maupun negatif bagi khalayak di akar rumput. Jangan karena syah wat politik atau kepanikan dalam membaca peta dukungan, terus menerus mengembangkan komunikasi kebencian.

Ketiga, masyarakat yang menjadi pendukung, relawan, ataupun simpatisan. Masa tenang harus menjadi momentum refleksi atas beragam tindakan dukungan yang selama ini telah diekspresikan. Rasionalitas tetap harus dikedepankan di tengah situasi penuh tekanan. Tak salah jika berasumsi banyak cara menuju istana, tetapi tentu cara-cara tersebut ha rus tunduk pada aturan main dan menghormati keadaban pub lik.

Pendukung harus melek politik hingga ekspresi dukung annya tidak mem bahayakan dirinya dan demokrasi itu sen diri. Semua pihak harus menghormati masa tenang dan memberi kesempatan kepada pemilih agar menentukan pilihannya dengan tenang. Semua sudah diberi kesempatan untuk melakukan ikhtiar meyakinkan pemilih, maka saatnya rakyat di 171 daerah memastikan kekuasaan akan disematkan kepada siapa. Selamat memi lih kepala daerah!

GUN GUN HERYANTO, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6998 seconds (0.1#10.140)