Moeldoko Sebut Pertemuan Kim-Trump Berdampak pada Perdamaian
A
A
A
JAKARTA - Pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden Korea Utara Kim Jong Un di Singapura telah mencapai klimaks. Kedua pemimpin sudah mengeluarkan pernyataan bersama yang berisi empat poin.
Pernyataan bersama itu memang masih sangat umum, oleh karenanya, Trump dan Kim sepakat untuk menindaklanjuti hasil pertemuan mereka dengan pembahasan yang lebih teknis. Melibatkan Menteri Luar Negeri AS dan pejabat tinggi dari Korut.
Terlepas dari keseriusan dan tindak lanjut penjabaran pertemuan AS-Korut menurut Kepala Staf Presiden Jenderal (Purn) TNI Moeldoko dan pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, peristiwa tersebut adalah momentum yang sangat bersejarah.
Karena niat Presiden Kim menghentikan program nuklirnya harus dihargai. "Bagi sebuah negara, yang perlu kita lihat adalah niatnya," kata Moeldoko kepada wartawan, usai berbuka puasa di Jakarta, Rabu (13/6/2018).
Dalam hal politik luar negeri, dikatakan Moeldoko, niat sebuah negara adalah hal yang sangat perlu diperhitungkan. Misalnya, mengukur niat sebuah negara untuk menginvasi negara lain. Atau, niatan untuk perdamaian.
"Ketika mau berperang, niat itu yang perlu kita kenali," kata purnawirawan jenderal bintang empat TNI AD itu.
Diceritakannya, ketika masih aktif menjadi Panglima TNI, ia pernah menghadiri pertemuan di AS. Pada kesempatan itu, dirinya diminta agar Indonesia turut aktif menjaga keseimbangan keamanan akibat aktivitas pengayaan nuklir di semenanjung Korea.
"Karena harus diakui, pengembangan senjata nuklir Korea Utara ini berimplikasi pada psikologis negara-negara tetangganya," ucap Moeldoko.
Setelah mengenali niat sebuah negara, sambung Moeldoko, langkah selanjutnya adalah komunikasi. Sebagai contoh, ia menceritakan tentang ketegangan yang pernah terjadi antara Indonesia dengan Malaysia dalam hal perbatasan di Kalimantan.
"Saya tetap segaris dengan pemerintah, bahwa Malaysia harus membongkar fasilitasnya di perbatasan," ungkapnya.
Di sisi lain, sebagai panglima, dia juga berdiplomasi dengan militer negara tetangga itu. Diplomasi agar tak terjadi gesekan, di kedepankan. Sebelum ada keputusan politik dari negara, menurutnya, tentara tidak boleh bertindak sendirian.
Sementara Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyatakan masyarakat internasional perlu bersyukur pertemuan Trump-Kim berjalan positif dan memberi suatu harapan bagi perdamaian abadi di semenanjung Korea.
"Hanya saja Dunia tidak seharusnya larut dalam kegembiraan," tulis Hikmahanto melalui keterangan tertulis.
Hikmahanto membeberkan masih ada sejumlah langkah yang harus dilakukan agar denuklirisasi Korut terwujud. Presiden Trump pun tidak sepantasnya merasa keluar sebagai pemenang perang usai pertemuan kemarin. Karena perilaku itu bisa memprovokasi Kim Jong Un, bahkan rakyat Korut, untuk bereaksi negatif dan berdampak pada perundingan teknis.
Selanjutnya yang menjadi tantangan adalah merumuskan kesepakatan yang lebih teknis. Semisal penarikan mundur tentara AS di Korea Selatan atau Jepang, seiring dengan program denuklirisasi Korut.
"Tentu masih banyak lagi isu-isu yang menjadi tantangan bagi tim teknis untuk dapat dirumuskan," kata Hikmahanto.
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memang menjadi hal bersejarah. Kim Jong Un sebagaimana diberitakan Antara, mengundang Trump untuk mengunjungi Korea Utara selama KTT bersejarah mereka, dan Presiden AS itu menerimanya.
Laporan media pemerintah Pyongyang pada Rabu (13/6), menyebutnya sebagai awal dari "peralihan radikal" dalam hubungan dari bekas musuh di era Perang Dingin.
Pertemuan yang belum pernah terjadi sebelumnya itu di Singapura pada Selasa menjadi saksi pemimpin negara demokrasi paling kuat di dunia itu bersalaman dengan generasi ketiga pemimpin Korea Utara, yang berdiri di depan bendera negara mereka.
Kim setuju dengan "denuklirisasi menyeluruh Semenanjung Korea," sebuah kalimat yang disukai oleh Pyongyang, sekaligus menghentikan tuntutan jangka panjang AS agar Korea Utara mengakhiri program persenjataan atomnya dengan cara yang "dapat diverifikasi" dan "tidak dapat diubah."
Kantor berita resmi Korea Utara KCNA menyebut bahwa pertemuan itu penting yang akan membantu mendorong peralihan radikal dalam hubungan antara dua negara tersebut.
Pernyataan bersama itu memang masih sangat umum, oleh karenanya, Trump dan Kim sepakat untuk menindaklanjuti hasil pertemuan mereka dengan pembahasan yang lebih teknis. Melibatkan Menteri Luar Negeri AS dan pejabat tinggi dari Korut.
Terlepas dari keseriusan dan tindak lanjut penjabaran pertemuan AS-Korut menurut Kepala Staf Presiden Jenderal (Purn) TNI Moeldoko dan pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, peristiwa tersebut adalah momentum yang sangat bersejarah.
Karena niat Presiden Kim menghentikan program nuklirnya harus dihargai. "Bagi sebuah negara, yang perlu kita lihat adalah niatnya," kata Moeldoko kepada wartawan, usai berbuka puasa di Jakarta, Rabu (13/6/2018).
Dalam hal politik luar negeri, dikatakan Moeldoko, niat sebuah negara adalah hal yang sangat perlu diperhitungkan. Misalnya, mengukur niat sebuah negara untuk menginvasi negara lain. Atau, niatan untuk perdamaian.
"Ketika mau berperang, niat itu yang perlu kita kenali," kata purnawirawan jenderal bintang empat TNI AD itu.
Diceritakannya, ketika masih aktif menjadi Panglima TNI, ia pernah menghadiri pertemuan di AS. Pada kesempatan itu, dirinya diminta agar Indonesia turut aktif menjaga keseimbangan keamanan akibat aktivitas pengayaan nuklir di semenanjung Korea.
"Karena harus diakui, pengembangan senjata nuklir Korea Utara ini berimplikasi pada psikologis negara-negara tetangganya," ucap Moeldoko.
Setelah mengenali niat sebuah negara, sambung Moeldoko, langkah selanjutnya adalah komunikasi. Sebagai contoh, ia menceritakan tentang ketegangan yang pernah terjadi antara Indonesia dengan Malaysia dalam hal perbatasan di Kalimantan.
"Saya tetap segaris dengan pemerintah, bahwa Malaysia harus membongkar fasilitasnya di perbatasan," ungkapnya.
Di sisi lain, sebagai panglima, dia juga berdiplomasi dengan militer negara tetangga itu. Diplomasi agar tak terjadi gesekan, di kedepankan. Sebelum ada keputusan politik dari negara, menurutnya, tentara tidak boleh bertindak sendirian.
Sementara Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyatakan masyarakat internasional perlu bersyukur pertemuan Trump-Kim berjalan positif dan memberi suatu harapan bagi perdamaian abadi di semenanjung Korea.
"Hanya saja Dunia tidak seharusnya larut dalam kegembiraan," tulis Hikmahanto melalui keterangan tertulis.
Hikmahanto membeberkan masih ada sejumlah langkah yang harus dilakukan agar denuklirisasi Korut terwujud. Presiden Trump pun tidak sepantasnya merasa keluar sebagai pemenang perang usai pertemuan kemarin. Karena perilaku itu bisa memprovokasi Kim Jong Un, bahkan rakyat Korut, untuk bereaksi negatif dan berdampak pada perundingan teknis.
Selanjutnya yang menjadi tantangan adalah merumuskan kesepakatan yang lebih teknis. Semisal penarikan mundur tentara AS di Korea Selatan atau Jepang, seiring dengan program denuklirisasi Korut.
"Tentu masih banyak lagi isu-isu yang menjadi tantangan bagi tim teknis untuk dapat dirumuskan," kata Hikmahanto.
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memang menjadi hal bersejarah. Kim Jong Un sebagaimana diberitakan Antara, mengundang Trump untuk mengunjungi Korea Utara selama KTT bersejarah mereka, dan Presiden AS itu menerimanya.
Laporan media pemerintah Pyongyang pada Rabu (13/6), menyebutnya sebagai awal dari "peralihan radikal" dalam hubungan dari bekas musuh di era Perang Dingin.
Pertemuan yang belum pernah terjadi sebelumnya itu di Singapura pada Selasa menjadi saksi pemimpin negara demokrasi paling kuat di dunia itu bersalaman dengan generasi ketiga pemimpin Korea Utara, yang berdiri di depan bendera negara mereka.
Kim setuju dengan "denuklirisasi menyeluruh Semenanjung Korea," sebuah kalimat yang disukai oleh Pyongyang, sekaligus menghentikan tuntutan jangka panjang AS agar Korea Utara mengakhiri program persenjataan atomnya dengan cara yang "dapat diverifikasi" dan "tidak dapat diubah."
Kantor berita resmi Korea Utara KCNA menyebut bahwa pertemuan itu penting yang akan membantu mendorong peralihan radikal dalam hubungan antara dua negara tersebut.
(maf)