Nafsul Mutmainnah
A
A
A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
DALAM perspektif Islam, setiap manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan fitrah. Fitrah dimaknai sebagai asal kejadian atau asal penciptaan manusia yang suci dan belum ternoda oleh dosa apa pun. Dalam perjalanan hidupnya, manusia berpotensi menyimpang dari fitrahnya jika dorongan nafsu negatif-destruktif secara dominan mengalahkan fitrahnya.
Manusia berbeda dari malaikat yang tidak memiliki nafsu dan kerjanya hanya taat berbakti dan patuh beribadah kepada Allah. Manusia mempunyai nafsu yang berpotensi berbuat buruk dan jahat.
Kenyataan menunjukkan, pangkal kekacauan hidup manusia di dunia ini bersumber dari ketidakmampuan manusia mengendalikan dan mengalahkan nafsu yang buruk itu. Nafsu berkuasa yang berlebihan membuat seseorang menjadi penguasa otoriter dan raja absolut seperti Firaun di zaman Mesir kuno yang dilaknat Tuhan.
Nafsu negatif-destruktif dalam diri manusia disebut nafsu amarah dan nafsu hewaniah yang dikendalikan oleh setan dan setaniah. Nafsu amarah yang tidak dikendalikan bisa berakibat terjadinya percekcokan, perkelahian, dan bahkan pembunuhan. Nafsu hewaniah tidak mengenal kaidah moral dan norma agama, yang kuat memangsa yang lemah. Baik nafsu amarah maupun nafsu hewaniah harus dikendalikan dan dikalahkan demi menjaga nilai-nilai suci kefitrian manusia.
Taubat Nasuha
Tidak ada manusia yang tidak berdosa di dunia ini. Seorang muslim dapat melakukan ritual pertobatan dengan menempuh tiga cara. Pertama, ia menyesali secara mendalam dan sungguh-sungguh segala kekhilafan dan perbuatan dosa yang telah ia lakukan selama ini. Kedua, ia tidak mengulangi lagi kesalahan atau dosa yang sama di waktu yang akan datang.
Ketiga, ia selalu memperbanyak amal kebaikan dan karya kebajikan untuk menutup kesalahan atau dosa yang telah ia lakukan pada masa sebelumnya. Jika ketiga cara ini terpenuhi, terutama pada Ramadhan, sang muslim tadi telah melakukan taubat nasuha (tobat yang baik) yang diterima oleh Allah. Dengan melakukan tobat nasuha, sang muslim tadi merengkuh kembali sosok jati diri fitrahnya.
Puasa Ramadan merupakan latihan kerohanian yang sangat intensif dan efektif untuk kembali ke fitrah. Selama berpuasa di bulan suci Ramadan, seorang muslim melakukan pengendalian diri, mawas diri, kontrol diri, dan kritik diri. Dalam keadaan demikian, seorang muslim melalui ibadah puasanya itu selalu dekat dengan Tuhan dan selalu dalam suasana ketuhanan yang mendalam.
Dalam suasana pencerahan iman dan nuansa kesadaran batin demikian, manusia muslim tadi menemukan sosok kefitriannya yang sejati dan sekaligus menemukan pula momentum ilahiahnya yang sarat makna dan padat takwa. Ia meneguhkan (kembali) fitrah ilahiahnya yang menjadi pengendali dan pembimbing seluruh gerak-gerik dan tindak-tanduk kelakuan dalam seluruh aktivitas hidupnya.
Pengalaman kerohanian di bulan suci Ramadan telah menempatkan Tuhan dan nilai-nilai ketuhanan menyatu dalam jiwa dan rohani sang muslim tadi. Ia kembali kepada fitrah ilahiahnya yang tenang, sejuk, dan damai dalam pangkuan Tuhan yang meridai amal-amal personal dan amal-amal sosialnya.
Kembali ke Fitrah
Bagi seorang muslim, kembali ke fitrah bermakna melakukan penghayatan, pengukuhan, dan penguatan kembali dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan untuk secara mantap memasuki lembaran kehidupan baru berikutnya di bawah bimbingan ketuhanan.
Pengukuhan dan penguatan (kembali) dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan dalam diri sang muslim tadi menjadikan dirinya sebagai sosok manusia baru yang bertakwa dalam arti yang luas dan fungsional. Kembali ke fitrah dapat diartikan sebagai kembalinya sang pengamal puasa yang berhasil itu ke nilai-nilai dasar insaniahnya.
Kembali ke nilai-nilai dasar kemanusiaannya yang fitri. Lewat pengamalan ibadah puasa Ramadan secara tekun dan intens, setiap individu muslim menangkal dan memerangi nafsu amarah dan nafsu hewaniah dalam dirinya.
Puasa Ramadan merupakan metode ilahiah untuk di satu sisi memerangi dan mengalahkan nafsu amarah dan hewaniah, sementara di sisi lain memperkuat dorongan nafsu lawwamah, mulhimah, dan mutmainnah.
Makna dan esensi puasa yang diakhiri dengan mengeluarkan zakat fitrah dan merayakan Idul Fitri merupakan momentum yang sangat baik bagi setiap manusia muslim untuk menegaskan pengukuhan kembali komitmen ilahiah dan komitmen insaniahnya. Kembali ke fitrah merupakan momentum ilahiah yang menandai kembalinya manusia ke pangkuan kesejatian dan kesucian diri.
Ia lahir kembali tanpa membawa dosa-dosa karena dosa-dosa itu telah terhapus oleh berbagai amalan puasa yang diterima oleh Allah. Amal-amal ibadah puasa dan ibadah lainnya selama bulan Ramadan telah menjadikan keimanan dan keberagamaan manusia muslim mengalami metamorfosis secara sangat signifikan sehingga rohaninya menjadi sangat tercerahkan.
Ia merengkuh kembali nilai-nilai kemanusiaannya yang sejati dan meneguhkan kembali nilai-nilai insaniahnya yang fitri.
Ia lahir kembali sebagai sosok manusia baru yang tenang, polos, dan tidak ternoda oleh dosa. Lantas, Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang menyambutnya: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang lapang dalam keridhaan-Nya, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS Al-Fajr: 27-30).
Guru Besar Pascasarjana FIAI
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
DALAM perspektif Islam, setiap manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan fitrah. Fitrah dimaknai sebagai asal kejadian atau asal penciptaan manusia yang suci dan belum ternoda oleh dosa apa pun. Dalam perjalanan hidupnya, manusia berpotensi menyimpang dari fitrahnya jika dorongan nafsu negatif-destruktif secara dominan mengalahkan fitrahnya.
Manusia berbeda dari malaikat yang tidak memiliki nafsu dan kerjanya hanya taat berbakti dan patuh beribadah kepada Allah. Manusia mempunyai nafsu yang berpotensi berbuat buruk dan jahat.
Kenyataan menunjukkan, pangkal kekacauan hidup manusia di dunia ini bersumber dari ketidakmampuan manusia mengendalikan dan mengalahkan nafsu yang buruk itu. Nafsu berkuasa yang berlebihan membuat seseorang menjadi penguasa otoriter dan raja absolut seperti Firaun di zaman Mesir kuno yang dilaknat Tuhan.
Nafsu negatif-destruktif dalam diri manusia disebut nafsu amarah dan nafsu hewaniah yang dikendalikan oleh setan dan setaniah. Nafsu amarah yang tidak dikendalikan bisa berakibat terjadinya percekcokan, perkelahian, dan bahkan pembunuhan. Nafsu hewaniah tidak mengenal kaidah moral dan norma agama, yang kuat memangsa yang lemah. Baik nafsu amarah maupun nafsu hewaniah harus dikendalikan dan dikalahkan demi menjaga nilai-nilai suci kefitrian manusia.
Taubat Nasuha
Tidak ada manusia yang tidak berdosa di dunia ini. Seorang muslim dapat melakukan ritual pertobatan dengan menempuh tiga cara. Pertama, ia menyesali secara mendalam dan sungguh-sungguh segala kekhilafan dan perbuatan dosa yang telah ia lakukan selama ini. Kedua, ia tidak mengulangi lagi kesalahan atau dosa yang sama di waktu yang akan datang.
Ketiga, ia selalu memperbanyak amal kebaikan dan karya kebajikan untuk menutup kesalahan atau dosa yang telah ia lakukan pada masa sebelumnya. Jika ketiga cara ini terpenuhi, terutama pada Ramadhan, sang muslim tadi telah melakukan taubat nasuha (tobat yang baik) yang diterima oleh Allah. Dengan melakukan tobat nasuha, sang muslim tadi merengkuh kembali sosok jati diri fitrahnya.
Puasa Ramadan merupakan latihan kerohanian yang sangat intensif dan efektif untuk kembali ke fitrah. Selama berpuasa di bulan suci Ramadan, seorang muslim melakukan pengendalian diri, mawas diri, kontrol diri, dan kritik diri. Dalam keadaan demikian, seorang muslim melalui ibadah puasanya itu selalu dekat dengan Tuhan dan selalu dalam suasana ketuhanan yang mendalam.
Dalam suasana pencerahan iman dan nuansa kesadaran batin demikian, manusia muslim tadi menemukan sosok kefitriannya yang sejati dan sekaligus menemukan pula momentum ilahiahnya yang sarat makna dan padat takwa. Ia meneguhkan (kembali) fitrah ilahiahnya yang menjadi pengendali dan pembimbing seluruh gerak-gerik dan tindak-tanduk kelakuan dalam seluruh aktivitas hidupnya.
Pengalaman kerohanian di bulan suci Ramadan telah menempatkan Tuhan dan nilai-nilai ketuhanan menyatu dalam jiwa dan rohani sang muslim tadi. Ia kembali kepada fitrah ilahiahnya yang tenang, sejuk, dan damai dalam pangkuan Tuhan yang meridai amal-amal personal dan amal-amal sosialnya.
Kembali ke Fitrah
Bagi seorang muslim, kembali ke fitrah bermakna melakukan penghayatan, pengukuhan, dan penguatan kembali dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan untuk secara mantap memasuki lembaran kehidupan baru berikutnya di bawah bimbingan ketuhanan.
Pengukuhan dan penguatan (kembali) dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan dalam diri sang muslim tadi menjadikan dirinya sebagai sosok manusia baru yang bertakwa dalam arti yang luas dan fungsional. Kembali ke fitrah dapat diartikan sebagai kembalinya sang pengamal puasa yang berhasil itu ke nilai-nilai dasar insaniahnya.
Kembali ke nilai-nilai dasar kemanusiaannya yang fitri. Lewat pengamalan ibadah puasa Ramadan secara tekun dan intens, setiap individu muslim menangkal dan memerangi nafsu amarah dan nafsu hewaniah dalam dirinya.
Puasa Ramadan merupakan metode ilahiah untuk di satu sisi memerangi dan mengalahkan nafsu amarah dan hewaniah, sementara di sisi lain memperkuat dorongan nafsu lawwamah, mulhimah, dan mutmainnah.
Makna dan esensi puasa yang diakhiri dengan mengeluarkan zakat fitrah dan merayakan Idul Fitri merupakan momentum yang sangat baik bagi setiap manusia muslim untuk menegaskan pengukuhan kembali komitmen ilahiah dan komitmen insaniahnya. Kembali ke fitrah merupakan momentum ilahiah yang menandai kembalinya manusia ke pangkuan kesejatian dan kesucian diri.
Ia lahir kembali tanpa membawa dosa-dosa karena dosa-dosa itu telah terhapus oleh berbagai amalan puasa yang diterima oleh Allah. Amal-amal ibadah puasa dan ibadah lainnya selama bulan Ramadan telah menjadikan keimanan dan keberagamaan manusia muslim mengalami metamorfosis secara sangat signifikan sehingga rohaninya menjadi sangat tercerahkan.
Ia merengkuh kembali nilai-nilai kemanusiaannya yang sejati dan meneguhkan kembali nilai-nilai insaniahnya yang fitri.
Ia lahir kembali sebagai sosok manusia baru yang tenang, polos, dan tidak ternoda oleh dosa. Lantas, Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang menyambutnya: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang lapang dalam keridhaan-Nya, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS Al-Fajr: 27-30).
(maf)