Nafsul Mutmainnah

Jum'at, 08 Juni 2018 - 07:59 WIB
Nafsul Mutmainnah
Nafsul Mutmainnah
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

DALAM perspektif Is­lam, setiap ma­nu­sia dilahirkan oleh ibu­­nya dalam ke­ada­­an fitrah. Fitrah dimaknai se­­bagai asal kejadian atau asal pen­­ciptaan manusia yang suci dan belum ternoda oleh dosa apa pun. Dalam perjalanan h­i­dup­­­­nya, manusia berpotensi me­­nyimpang dari fitrahnya jika do­rongan nafsu negatif-de­s­­truk­tif secara dominan me­nga­lah­kan fitrahnya.

Manusia ­ber­­beda dari malaikat yang ti­dak me­miliki nafsu dan ker­ja­nya ha­nya taat berbakti dan pa­tuh ber­iba­dah kepada Allah. Ma­nusia mem­punyai nafsu yang be­r­po­ten­si berbuat buruk dan jahat.

Ke­nyataan me­nun­juk­kan, pang­kal kekacauan hi­dup ma­nu­sia di dunia ini ber­sum­ber da­ri ketidakmampuan m­a­nusia me­ngendalikan dan me­­nga­la­h­kan nafsu yang bu­ruk itu. Nafsu berkuasa yang ber­lebihan mem­buat se­se­orang menjadi pe­nguasa oto­r­i­ter dan raja ab­so­lut seperti F­ir­aun di zaman Me­sir kuno yang di­laknat Tuhan.

Nafsu negatif-destruktif da­­lam diri manusia disebut naf­su ama­rah dan nafsu he­wa­niah yang dikendalikan oleh se­tan dan setaniah. Nafsu ama­rah yang tidak dikendalikan bi­sa ber­akibat terjadinya per­ce­k­co­k­an, perkelahian, dan ba­h­kan pem­bunuhan. Nafsu he­wa­niah ti­dak mengenal kaidah mo­ral dan norma agama, yang kuat me­­mangsa yang lemah. Baik naf­su amarah maupun naf­su he­waniah harus di­ken­da­l­ikan dan dikalahkan demi men­jaga nilai-nilai suci ke­f­­itrian ma­nu­sia.

Taubat Nasuha

Tidak ada manusia yang ti­dak berdosa di dunia ini. Se­orang muslim dapat melak­u­kan ri­tual pertobatan dengan me­­nem­puh tiga cara. Pertama, ia m­e­nyesali secara mendalam dan sungguh-sungguh segala ke­khilafan dan perbuatan dosa yang telah ia lakukan selama ini. Kedua, ia tidak mengulangi lagi ke­sa­lahan atau dosa yang sama di waktu yang akan da­tang.

Ke­ti­­ga, ia selalu mem­per­banyak amal kebaikan dan kar­ya keb­a­jik­an untuk menutup ke­­sa­lah­an atau dosa yang telah ia ­la­ku­kan pa­da masa se­be­lum­nya. Ji­ka ke­ti­ga cara ini ter­p­e­nuhi, terutama pada Ramadhan, sang mu­s­­lim tadi telah me­la­ku­kan tau­bat na­suha (tobat yang baik) yang di­terima oleh Allah. De­ngan me­l­akukan tobat na­su­ha, sang mus­lim tadi me­reng­kuh kem­­ba­li sosok jati diri fitrahnya.

Puasa Ramadan merupa­kan la­t­ihan kerohanian yang sa­ngat in­tensif dan efektif un­tuk kem­b­ali ke fitrah. Selama ber­puasa di bulan suci Ra­ma­dan, seorang mus­lim me­laku­kan pengen­da­li­an diri, mawas diri, kontrol di­ri, dan kritik diri. Da­lam ­ke­ada­an demikian, se­orang muslim me­lalui ibadah pua­sanya itu se­la­lu dekat de­ngan Tuhan dan se­la­lu dalam sua­sana ketuhanan yang men­da­lam.

Dalam suasana pencerahan iman dan nuansa kesadaran ba­tin demikian, manusia muslim ta­di menemukan sosok kef­i­tri­an­­nya yang sejati dan sekaligus me­nemukan pula momentum ila­hiahnya yang sarat makna dan padat takwa. Ia me­ne­guh­kan (kembali) fitrah ilahiahnya yang menjadi pengendali dan pem­bimbing seluruh gerak-gerik dan tindak-tanduk ke­la­ku­an dalam seluruh aktivitas hi­dupnya.

Pengalaman ke­ro­ha­ni­an di bulan suci Ramadan te­­lah menempatkan Tuhan dan nilai-nilai ketuhanan me­nya­tu da­lam jiwa dan rohani sang mus­lim tadi. Ia kembali ke­pada fi­trah ilahiahnya yang te­nang, se­juk, dan damai da­lam pang­ku­an Tuhan yang me­ri­dai amal-amal personal dan amal-amal sosialnya.

Kembali ke Fitrah

Bagi seorang muslim, kem­ba­li ke fitrah bermakna me­la­ku­kan penghayatan, pengu­kuh­an, dan penguatan kembali di­­men­si ketuhanan dan di­men­­­si ke­ma­nusiaan untuk se­ca­ra man­tap memasuki lem­bar­­an ke­hi­dup­an baru be­rikut­nya di ba­wah bimbingan ke­tu­han­an.

Pe­ngu­kuhan dan pe­nguat­an (kem­bali) dimensi ke­tu­hanan dan dimensi ke­ma­nu­sia­an da­lam diri sang muslim ta­di men­ja­dikan dirinya se­ba­gai sosok ma­nusia baru yang ber­takwa da­lam arti yang luas dan fung­sio­nal. Kembali ke fi­t­rah dapat di­artikan sebagai kem­balinya sang pengamal pua­sa yang ber­ha­sil itu ke nilai-ni­l­ai dasar in­sa­niah­nya.

Kem­bali ke nilai-nilai da­sar ke­ma­nu­siaannya yang fi­tri. Lewat peng­amalan ibadah pua­sa R­a­ma­dan secara tekun dan in­tens, setiap individu mu­s­lim me­nangkal dan memerangi naf­­su amarah dan nafsu he­wa­niah dalam dirinya.

Puasa Ramadan me­ru­pa­kan me­tode ilahiah untuk di sa­tu sisi m­e­merangi dan me­nga­lah­kan naf­su amarah dan he­wa­niah, s­e­men­tara di sisi lain mem­­per­kuat dorongan nafsu law­­wa­mah, mulhimah, dan mut­­­ma­i­n­nah.

Makna dan esen­si puasa yang diakhiri dengan me­­ng­e­luar­kan zakat fitrah dan me­­­ra­ya­kan Idul Fitri me­ru­pa­kan mo­men­tum yang sangat baik bagi se­t­iap manusia mus­lim untuk me­negaskan pengu­kuh­an kem­bali komitmen ila­hiah dan ko­mi­t­men in­sa­niah­nya. Kembali ke fitrah me­ru­pa­kan mo­men­tum ilahiah yang me­nandai kem­balinya ma­nu­sia ke pang­kuan kesejatian dan ke­sucian di­ri.

Ia lahir kembali tanpa mem­bawa dosa-dosa karena dosa-dosa itu telah terhapus oleh ber­ba­gai amalan puasa yang di­te­ri­ma oleh Allah. Amal-amal iba­­dah puasa dan ibadah lain­nya se­lama bulan Ramadan te­lah men­jadikan keimanan dan ke­­be­ragamaan manusia mu­s­lim meng­alami metamorfosis se­­c­a­ra sangat signifikan se­hing­ga ro­haninya menjadi s­a­ngat ter­ce­­­rahkan.

Ia me­­reng­kuh kembali nilai-nilai ke­­ma­nu­sia­annya yang sejati dan me­ne­guh­kan kembali nilai-nilai in­sa­niah­nya­ yang fi­tri.

Ia lahir kem­bali sebagai so­sok manusia baru yang tenang, po­los, dan tidak ter­noda oleh dosa. Lantas, Allah Yang Maha Pe­ngasih dan Penya­yang me­nyam­but­nya: “Wahai ji­w­a yang te­nang, kembalilah ke­pa­d­a Tu­han­mu dengan hati yang la­pang da­l­am keridhaan-Nya, dan ma­suk­lah ke dalam surga-Ku.” (QS Al-Fajr: 27-30).
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3247 seconds (0.1#10.140)