Menghidupi Pancasila
A
A
A
Abdul Halim
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Jakarta
PADA 19 Januari 1962 Wakil Presiden Mohammad Hatta menulis surat kepada Presiden Soekarno. Di dalam suratnya Bung Hatta mengingatkan,
"Kita selalu menggembar-gemborkan bahwa negara kita berdasarkan Pancasila, tetapi di mana keadilan, perikemanusiaan, dan demokrasi yang sebenarnya? Adakah demokrasi kalau orang rata-rata merasa takut, harus tutup mulut, kritik tidak diperbolehkan, sehingga berbagai hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan berlaku leluasa?"
Kritik yang disampaikan oleh Bung Hatta pada 56 tahun silam nyatanya masih relevan dengan situasi belakangan. Hal ini dipicu oleh terbitnya Peraturan Presiden Nomor 42/ 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang melukai hati rakyat. Betapa tidak, di tengah situasi serbasulit akibat meroketnya harga sembako, naiknya tarif dasar listrik, dan membubungnya nilai pajak yang ditanggung rakyat, pemerintah justru membelanjakan APBN secara sembrono.
Ini jelas menimbulkan kekecewaan publik. Terlebih lagi, pelbagai kebijakan pemerintah justru kian menjauh dari elan vital Pancasila sebagaimana ditegaskan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945. "Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong. Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama. Itulah gotong-royong."
Selang 73 tahun publik mencatat, saat pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 42/2018 sebanyak 14.381 rumah tangga usaha penangkapan ikan terancam kehilangan tempat tinggal dan wilayah tangkapan ikannya akibat perluasan 298 izin usaha pertambangan di perairan Kepulauan Bangka Belitung seluas 595.381 hektare (Walhi Kepulauan Bangka Belitung, 2017).
Selain nelayan tradisional, situasi serbasulit juga dialami oleh petambak garam. Hal ini menyusul diimpornya 3,7 juta ton garam asal Australia, China, dan India pada April 2018.
Tak jauh berbeda, petani padi juga terancam babak belur setelah didatangkannya beras impor dari Vietnam sebanyak 196.600 ton, Thailand (203.400 ton), India (50.000 ton), dan Pakistan (50.000 ton) pada 31 Maret 2018.
Padahal, panen raya berlangsung antara Februari-Maret 2018. Inilah bentuk pengingkaran terhadap prinsip demokrasi ekonomi yang dikehendaki oleh Bung Karno, yakni demokrasi dengan kesejahteraan yang dibangun di atas fondasi keadilan sosial (sociale rechtvaardigheid). Bukan malah memperkaya orang per orang.
Dalam situasi itulah Bung Hatta kembali mengingatkan, “Tiap pejabat negeri mendengung-dengungkan bahwa kita sedang menuju ke arah sosialisme. Tetapi dalam praktik, banyak sekali tindakan pemerintah yang bertentangan dengan itu. Tujuan sosialisme adalah memurahkan biaya hidup rakyat, sebaliknya berbagai tindakan pemerintah justru memahalkan.” Pada konteks inilah sejatinya rasionalitas publik diarahkan ke Istana Negara. Alih-alih bergegas menyelesaikan problematika mendasar yang dihadapi oleh rakyat, pemerintah justru mengaburkan persoalan sesungguhnya dengan membentuk BPIP.
Jamak diketahui publik bahwa BPIP menjadi alat pemerintah untuk memenangkan pertarungan narasi sosial-politik di tengah kian menguatnya daya kritis publik menyangkut hajat hidup bersama, seperti ketimpangan penguasaan lahan, penggusuran terhadap kaum duafa di perkotaan, dan maraknya proyek properti reklamasi pantai seperti yang terjadi di Teluk Jakarta dan Pantai Balauring di Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Terlebih setelah lengsernya petahana di Pilkada DKI Jakarta. Pertanyaannya, bagaimana seharusnya pemerintah bersama-sama dengan rakyat menghidupi Pancasila?
Di dalam buku Demokrasi Kita, Bung Hatta menyebut setidaknya dua opsi utama untuk menghidupi Pancasila. Pertama, apa yang pernah ditentang dan dicela di zaman kolonial Belanda sudah semestinya dicegah dan diperbaiki. Salah satunya adalah persoalan ketimpangan agraria.
Konsorsium Pembaruan Agraria (September 2017) mencatat, 94% tanah dikuasai oleh perusahaan skala besar yang bergerak di sektor kehutanan dan perkebunan skala besar, sementara 6% sisanya dimiliki oleh masyarakat.
Imbasnya, konflik agraria terus meningkat. Sepanjang 2015-2016 telah terjadi 702 konflik agraria di atas lahan seluas 1,66 juta hektare dan melibatkan sedikitnya 195.000 kepala keluarga petani. Dalam pada itu, 455 petani dikriminalisasi, 229 petani mengalami tindak kekerasan dan penembakan, serta 18 petani lain dinyatakan meninggal dunia.
Setali tiga uang, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Mei 2018) juga menemui fakta bahwa 75% wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Tanah Air dikuasai oleh pebisnis lokal dan investor asing yang bergerak di sektor properti, pariwisata bahari, dan industri pertambangan skala besar.
Tak dimungkiri, ketimpangan agraria yang terjadi di Tanah Air adalah pengalaman buruk penindasan politik dan pemiskinan ekonomi selama 350 tahun yang pernah dialami oleh rakyat. Dalam konteks itulah, sudah seyogianya pemerintah menyelesaikan permasalahan tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan cara inilah, kemakmuran rakyat bisa tercapai, bukan kemakmuran orang seorang. Lantas, bagaimana mengatasi ketimpangan agraria di dalam pengelolaan sumber daya alam yang diorientasikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tanpa terkecuali?
Ada empat tolok ukur yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi (Juni 2011) untuk melihat sejauh mana pengelolaan sumber daya alam mampu menghadirkan kemakmuran bersama, yakni (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, dan (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Berkaca pada keempat tolok ukur “sebesar-besar kemakmuran rakyat” dan menelusuri penataan ruang di kota-kota besar, tampak bahwa prinsip laissez-faire lebih mendominasi ketimbang cita-cita keadilan sosial sebagaimana dikehendaki oleh Pancasila. Buntutnya, praktik kapitalisasi ruang publik masif terjadi. Di Jakarta, misalnya, tersebar sekitar 564 pusat perbelanjaan dan 132 di antaranya adalah mal.
Hal serupa juga tengah terjadi di Surabaya, Medan, Makassar, Manado, Balikpapan, Semarang, dan Ambon. Padahal, pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas dan merugikan kepentingan umum bertentangan dengan Pancasila. Pada konteks inilah Bung Hatta mengajukan opsi kedua, "Apakah pemerintah sosialisme Indonesia hanya untuk meladeni kaum kapitalis saja?"
Di dalam suratnya kepada Presiden Soekarno pada 17 Juni 1963, Bung Hatta menyoroti pertentangan sosial yang semakin hebat dan kini terulang kembali setelah 73 tahun republik merdeka. Ia menuliskan,
"Tujuan kita sosialisme, tetapi mis-management pemerintah dalam hal ekonomi menimbulkan satu golongan kapitalis baru yang memandang dirinya ‘orang elite’, yang hidupnya mewah dan menganggap dirinya kelas yang diperlukan benar oleh orang-orang pemerintah di pusat dan daerah. Pertentangan kaya dan miskin sangat mencolok mata, belum pernah setajam sekarang ini. Tragisnya lagi, pembentukan kelas elite itu, yang tak tahu diri lagi, sebagian besar sejalan dengan perbedaan rasial. Keadaan ini tidak saja mencemooh sosialisme, tetapi juga menghambat jalannya proses persatuan bangsa."
Inilah jalan mulia untuk menghidupi Pancasila di saat kelahirannya kembali dirayakan, Pak Presiden!
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Jakarta
PADA 19 Januari 1962 Wakil Presiden Mohammad Hatta menulis surat kepada Presiden Soekarno. Di dalam suratnya Bung Hatta mengingatkan,
"Kita selalu menggembar-gemborkan bahwa negara kita berdasarkan Pancasila, tetapi di mana keadilan, perikemanusiaan, dan demokrasi yang sebenarnya? Adakah demokrasi kalau orang rata-rata merasa takut, harus tutup mulut, kritik tidak diperbolehkan, sehingga berbagai hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan berlaku leluasa?"
Kritik yang disampaikan oleh Bung Hatta pada 56 tahun silam nyatanya masih relevan dengan situasi belakangan. Hal ini dipicu oleh terbitnya Peraturan Presiden Nomor 42/ 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang melukai hati rakyat. Betapa tidak, di tengah situasi serbasulit akibat meroketnya harga sembako, naiknya tarif dasar listrik, dan membubungnya nilai pajak yang ditanggung rakyat, pemerintah justru membelanjakan APBN secara sembrono.
Ini jelas menimbulkan kekecewaan publik. Terlebih lagi, pelbagai kebijakan pemerintah justru kian menjauh dari elan vital Pancasila sebagaimana ditegaskan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945. "Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong. Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama. Itulah gotong-royong."
Selang 73 tahun publik mencatat, saat pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 42/2018 sebanyak 14.381 rumah tangga usaha penangkapan ikan terancam kehilangan tempat tinggal dan wilayah tangkapan ikannya akibat perluasan 298 izin usaha pertambangan di perairan Kepulauan Bangka Belitung seluas 595.381 hektare (Walhi Kepulauan Bangka Belitung, 2017).
Selain nelayan tradisional, situasi serbasulit juga dialami oleh petambak garam. Hal ini menyusul diimpornya 3,7 juta ton garam asal Australia, China, dan India pada April 2018.
Tak jauh berbeda, petani padi juga terancam babak belur setelah didatangkannya beras impor dari Vietnam sebanyak 196.600 ton, Thailand (203.400 ton), India (50.000 ton), dan Pakistan (50.000 ton) pada 31 Maret 2018.
Padahal, panen raya berlangsung antara Februari-Maret 2018. Inilah bentuk pengingkaran terhadap prinsip demokrasi ekonomi yang dikehendaki oleh Bung Karno, yakni demokrasi dengan kesejahteraan yang dibangun di atas fondasi keadilan sosial (sociale rechtvaardigheid). Bukan malah memperkaya orang per orang.
Dalam situasi itulah Bung Hatta kembali mengingatkan, “Tiap pejabat negeri mendengung-dengungkan bahwa kita sedang menuju ke arah sosialisme. Tetapi dalam praktik, banyak sekali tindakan pemerintah yang bertentangan dengan itu. Tujuan sosialisme adalah memurahkan biaya hidup rakyat, sebaliknya berbagai tindakan pemerintah justru memahalkan.” Pada konteks inilah sejatinya rasionalitas publik diarahkan ke Istana Negara. Alih-alih bergegas menyelesaikan problematika mendasar yang dihadapi oleh rakyat, pemerintah justru mengaburkan persoalan sesungguhnya dengan membentuk BPIP.
Jamak diketahui publik bahwa BPIP menjadi alat pemerintah untuk memenangkan pertarungan narasi sosial-politik di tengah kian menguatnya daya kritis publik menyangkut hajat hidup bersama, seperti ketimpangan penguasaan lahan, penggusuran terhadap kaum duafa di perkotaan, dan maraknya proyek properti reklamasi pantai seperti yang terjadi di Teluk Jakarta dan Pantai Balauring di Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Terlebih setelah lengsernya petahana di Pilkada DKI Jakarta. Pertanyaannya, bagaimana seharusnya pemerintah bersama-sama dengan rakyat menghidupi Pancasila?
Di dalam buku Demokrasi Kita, Bung Hatta menyebut setidaknya dua opsi utama untuk menghidupi Pancasila. Pertama, apa yang pernah ditentang dan dicela di zaman kolonial Belanda sudah semestinya dicegah dan diperbaiki. Salah satunya adalah persoalan ketimpangan agraria.
Konsorsium Pembaruan Agraria (September 2017) mencatat, 94% tanah dikuasai oleh perusahaan skala besar yang bergerak di sektor kehutanan dan perkebunan skala besar, sementara 6% sisanya dimiliki oleh masyarakat.
Imbasnya, konflik agraria terus meningkat. Sepanjang 2015-2016 telah terjadi 702 konflik agraria di atas lahan seluas 1,66 juta hektare dan melibatkan sedikitnya 195.000 kepala keluarga petani. Dalam pada itu, 455 petani dikriminalisasi, 229 petani mengalami tindak kekerasan dan penembakan, serta 18 petani lain dinyatakan meninggal dunia.
Setali tiga uang, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Mei 2018) juga menemui fakta bahwa 75% wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Tanah Air dikuasai oleh pebisnis lokal dan investor asing yang bergerak di sektor properti, pariwisata bahari, dan industri pertambangan skala besar.
Tak dimungkiri, ketimpangan agraria yang terjadi di Tanah Air adalah pengalaman buruk penindasan politik dan pemiskinan ekonomi selama 350 tahun yang pernah dialami oleh rakyat. Dalam konteks itulah, sudah seyogianya pemerintah menyelesaikan permasalahan tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan cara inilah, kemakmuran rakyat bisa tercapai, bukan kemakmuran orang seorang. Lantas, bagaimana mengatasi ketimpangan agraria di dalam pengelolaan sumber daya alam yang diorientasikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tanpa terkecuali?
Ada empat tolok ukur yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi (Juni 2011) untuk melihat sejauh mana pengelolaan sumber daya alam mampu menghadirkan kemakmuran bersama, yakni (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, dan (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Berkaca pada keempat tolok ukur “sebesar-besar kemakmuran rakyat” dan menelusuri penataan ruang di kota-kota besar, tampak bahwa prinsip laissez-faire lebih mendominasi ketimbang cita-cita keadilan sosial sebagaimana dikehendaki oleh Pancasila. Buntutnya, praktik kapitalisasi ruang publik masif terjadi. Di Jakarta, misalnya, tersebar sekitar 564 pusat perbelanjaan dan 132 di antaranya adalah mal.
Hal serupa juga tengah terjadi di Surabaya, Medan, Makassar, Manado, Balikpapan, Semarang, dan Ambon. Padahal, pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas dan merugikan kepentingan umum bertentangan dengan Pancasila. Pada konteks inilah Bung Hatta mengajukan opsi kedua, "Apakah pemerintah sosialisme Indonesia hanya untuk meladeni kaum kapitalis saja?"
Di dalam suratnya kepada Presiden Soekarno pada 17 Juni 1963, Bung Hatta menyoroti pertentangan sosial yang semakin hebat dan kini terulang kembali setelah 73 tahun republik merdeka. Ia menuliskan,
"Tujuan kita sosialisme, tetapi mis-management pemerintah dalam hal ekonomi menimbulkan satu golongan kapitalis baru yang memandang dirinya ‘orang elite’, yang hidupnya mewah dan menganggap dirinya kelas yang diperlukan benar oleh orang-orang pemerintah di pusat dan daerah. Pertentangan kaya dan miskin sangat mencolok mata, belum pernah setajam sekarang ini. Tragisnya lagi, pembentukan kelas elite itu, yang tak tahu diri lagi, sebagian besar sejalan dengan perbedaan rasial. Keadaan ini tidak saja mencemooh sosialisme, tetapi juga menghambat jalannya proses persatuan bangsa."
Inilah jalan mulia untuk menghidupi Pancasila di saat kelahirannya kembali dirayakan, Pak Presiden!
(maf)