Menghidupi Pancasila

Sabtu, 02 Juni 2018 - 05:45 WIB
Menghidupi Pancasila
Menghidupi Pancasila
A A A
Abdul Halim
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Jakarta

PADA 19 Januari 1962 Wakil Presiden Mo­hammad Hatta me­nulis surat kepada Presiden Soekarno. Di dalam suratnya Bung Hatta meng­ingat­kan,

"Kita selalu meng­gem­bar-gemborkan bahwa ne­gara kita berdasarkan Pancasila, tetapi di mana keadilan, pe­ri­ke­manusiaan, dan demokrasi yang sebenarnya? Adakah de­mo­­krasi kalau orang rata-rata me­rasa ta­kut, harus tutup mu­lut, kritik tid­ak diperbolehkan, sehingga berbagai hal yang tidak dapat di­pertanggungjawabkan berlaku leluasa?"

Kritik yang disampaikan oleh Bung Hatta pada 56 tahun silam nyatanya masih relevan dengan situasi belakangan. Hal ini dipicu oleh terbitnya Per­aturan Presiden Nomor 42/ 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pim­pinan, Pejabat, dan Pegawai Ba­dan Pembinaan Ideologi Pan­­casila (BPIP) yang melukai hati rakyat. Betapa tidak, di tengah situasi serbasulit akibat me­ro­ketnya harga sembako, naiknya tarif dasar listrik, dan mem­bu­bungnya nilai pajak yang di­tang­gung rakyat, pe­me­rintah justru membelanjakan APBN secara sembrono.

Ini jelas menimbulkan ke­ke­cewaan publik. Terlebih lagi, pelbagai kebijakan pe­me­rin­tah justru kian menjauh dari elan vital Pancasila seba­gai­ma­na ditegaskan oleh Bung Kar­no pada 1 Juni 1945. "Negara In­do­nesia yang kita dirikan ha­ruslah negara gotong-royong. Gotong-royong adalah pem­bantingan tulang bersama, pe­merasan keringat bersama, per­juangan bantu-binantu ber­­­sama. Amal semua buat ke­pen­tingan semua, keringat se­mua buat kebahagiaan se­mua. Holopis kuntul baris buat ke­pentingan bersama. Itulah gotong-royong."

Selang 73 tahun publik men­catat, saat pemerintah me­ner­bitkan Perpres Nomor 42/2018 sebanyak 14.381 rumah tangga usaha penangkapan ikan ter­ancam kehilangan tem­pat ting­gal dan wilayah tang­kap­an ikan­nya akibat per­luas­an 298 izin usaha per­tam­ba­ngan di pe­r­airan Kepulauan Bang­ka Be­li­tung seluas 595.381 hektare (Walhi Kepulauan Bangka Be­li­tung, 2017).

Selain nelayan tra­disional, situasi serbasulit juga dialami oleh petambak garam. Hal ini menyusul diimpornya 3,7 juta ton garam asal Aus­tra­lia, China, dan India pada April 2018.

Tak jauh berbeda, petani padi juga terancam babak belur setelah didatangkannya beras impor dari Vietnam se­banyak 196.600 ton, Thailand (203.400 ton), India (50.000 ton), dan Pakistan (50.000 ton) pada 31 Maret 2018.

Padahal, panen raya berlangsung antara Fe­brua­ri-Maret 2018. Inilah ben­tuk pengingkaran terhadap prin­sip demokrasi ekonomi yang di­kehendaki oleh Bung Karno, yakni demokrasi dengan kese­jah­teraan yang dibangun di atas fondasi keadilan sosial (sociale rechtvaardigheid). Bukan malah memperkaya orang per orang.

Dalam situasi itulah Bung Hatta kembali mengingatkan, “Tiap pejabat negeri men­de­ngung-dengungkan bahwa kita sedang menuju ke arah so­sia­lisme. Tetapi dalam praktik, banyak sekali tindakan pe­me­rintah yang bertentangan de­ngan itu. Tujuan sosialisme ada­lah memurahkan biaya hi­dup rakyat, sebaliknya ber­ba­gai tindakan pemerintah justru memahalkan.” Pada konteks inilah sejatinya rasionalitas publik diarahkan ke Istana Ne­gara. Alih-alih bergegas me­nye­lesaikan problematika men­da­sar yang dihadapi oleh rakyat, pemerintah justru menga­bur­kan persoalan sesungguhnya dengan membentuk BPIP.

Jamak diketahui publik bah­wa BPIP menjadi alat pe­me­rintah untuk memenangkan pertarungan narasi sosial-po­li­tik di tengah kian me­nguatnya daya kritis publik menyangkut hajat hidup bersama, seperti ke­timpangan penguasaan la­han, penggusuran terhadap kaum duafa di perkotaan, dan maraknya proyek properti rek­lamasi pantai seperti yang terjadi di Teluk Jakarta dan Pantai Balauring di Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Teng­gara Timur. Terlebih setelah leng­sernya petahana di Pilkada DKI Jakarta. Pertanyaannya, bagaimana seharusnya peme­rin­tah bersama-sama dengan rakyat menghidupi Pancasila?

Di dalam buku Demokrasi Kita, Bung Hatta menyebut se­tidaknya dua opsi utama untuk menghidupi Pancasila. Per­ta­ma, apa yang pernah ditentang dan dicela di zaman kolonial Be­landa sudah semestinya di­ce­gah dan diperbaiki. Salah sa­tu­nya adalah persoalan ke­tim­pangan agraria.

Konsorsium Pembaruan Agraria (S­ep­tem­ber 2017) mencatat, 94% tanah dikuasai oleh perusahaan skala besar yang bergerak di sektor kehutanan dan perkebunan ska­la besar, sementara 6% si­sa­nya dimiliki oleh masyarakat.

Imbasnya, konflik agraria terus meningkat. Sepanjang 2015-2016 telah terjadi 702 konflik agraria di atas lahan seluas 1,66 juta hek­tare dan melibatkan sedikitnya 195.000 kepala keluarga pe­tani. Dalam pada itu, 455 pe­ta­ni dikriminalisasi, 229 petani mengalami tindak kekerasan dan penembakan, serta 18 pe­tani lain dinyatakan meninggal dunia.

Setali tiga uang, Pusat Ka­jian Maritim untuk Ke­ma­nu­siaan (Mei 2018) juga menemui fakta bahwa 75% wilayah pe­sisir dan pulau-pulau kecil di Ta­nah Air dikuasai oleh pe­bis­nis lokal dan investor asing yang bergerak di sektor pro­perti, pariwisata bahari, dan industri pertambangan skala besar.

Tak dimungkiri, ketim­pa­ng­an agraria yang terjadi di Tanah Air adalah pengalaman buruk penindasan politik dan pemiskinan ekonomi selama 350 tahun yang pernah dialami oleh rakyat. Dalam konteks itulah, sudah seyogianya pe­me­rintah menyelesaikan per­ma­sa­lahan tersebut berdasarkan Un­dang-Undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Po­kok-Pokok Agraria. Dengan cara inilah, kemakmuran rak­yat bisa tercapai, bukan ke­mak­muran orang seorang. Lantas, bagaimana mengatasi ketim­pa­ngan agraria di dalam pe­ngelolaan sumber daya alam yang diorientasikan untuk se­be­sar-besarnya kemakmuran rakyat tanpa terkecuali?

Ada empat tolok ukur yang diberikan oleh Mahkamah Kons­titusi (Juni 2011) untuk me­lihat sejauh mana pen­ge­lo­laan sumber daya alam mampu menghadirkan kemakmuran bersama, yakni (i) ke­man­faat­an sumber daya alam bagi rak­yat, (ii) tingkat pemerataan man­faat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan man­faat sumber daya alam, dan (iv) penghormatan terha­dap hak rakyat secara turun-temurun dalam me­man­faat­kan sumber daya alam.

Berkaca pada keempat tolok ukur “sebesar-besar kemak­mur­an rakyat” dan menelusuri penataan ruang di kota-kota besar, tampak bahwa prinsip laissez-faire lebih me­n­do­mi­na­si ketimbang cita-cita keadilan sosial sebagaimana dike­hen­daki oleh Pancasila. Buntutnya, praktik kapitalisasi ruang pu­blik masif terjadi. Di Jakarta, mi­salnya, tersebar sekitar 564 pusat perbelanjaan dan 132 di antaranya adalah mal.

Hal se­ru­pa juga tengah terjadi di Su­ra­baya, Medan, Makassar, Ma­na­do, Balikpapan, Semarang, dan Ambon. Padahal, pemilikan dan penguasaan tanah yang me­lampaui batas dan me­ru­gi­kan kepentingan umum ber­ten­tangan dengan Pancasila. Pada konteks inilah Bung Hatta mengajukan opsi kedua, "Apa­kah pemerintah sosialisme In­donesia hanya untuk meladeni kaum kapitalis saja?"

Di dalam suratnya kepada Pre­siden Soekarno pada 17 Juni 1963, Bung Hatta me­nyo­roti pertentangan sosial yang se­ma­kin hebat dan kini ter­ulang kem­bali setelah 73 tahun re­pu­blik merdeka. Ia me­nu­lis­kan,

"Tujuan kita sosialisme, te­tapi mis-management peme­rin­tah dalam hal ekonomi me­nim­bul­kan satu golongan ka­pi­ta­­lis baru yang memandang di­rinya ‘orang elite’, yang hi­dup­nya me­wah dan menganggap dirinya kelas yang diperlukan be­nar oleh orang-orang pe­me­rintah di pusat dan daerah. Per­ten­ta­ngan kaya dan miskin sangat mencolok mata, belum per­nah setajam sekarang ini. Tragisnya lagi, pembentukan kelas elite itu, yang tak tahu diri lagi, se­bagian besar sejalan de­ngan per­bedaan rasial. Ke­ada­an ini tidak saja mencemooh sosia­lis­me, tetapi juga meng­ham­bat ja­lan­nya proses per­sa­tuan bangsa."

Inilah jalan mulia untuk menghidupi Pancasila di saat kelahirannya kembali di­ra­ya­kan, Pak Presiden!
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6516 seconds (0.1#10.140)