Membaca Politik China di Afrika
A
A
A
Geliat dan ekspansi China ke penjuru dunia yang terus menggurita tentu saja menarik untuk terus disimak, diikuti, juga dipelajari, termasuk merangseknya Negeri Tirai Bambu ini ke Afrika. Hal inilah yang menjadi salah satu potret yang terekam pada perjalanan riset selama beberapa hari ke Addis Ababa, ibu kota Etiopia awal Mei lalu.
Di salah kota utama di Afrika Timur itu berdiri menjulang gedung pencakar langit setinggi 113 meter, African Union, yang dibangun oleh China senilai USD200 juta. Gedung ini menjadi ikon dan saksi persahabatan dan komitmen China di tanah Afrika.
Namun, alih-alih langsung mencermati arah politik dan ekonomi Negeri Panda kekinian, ada baiknya kita menarik benang sejarah ke belakang lebih dulu. Mengapa? Karena, sejatinya sejarah politik luar negeri dan diplomasi modern China di Afrika sudah dibangun sejak puluhan tahun silam. Bahkan termasuk bagian dari sejarah Konferensi Asia Afrika 1955.
Sejak saat itu China membangun hubungan diplomatik dan ekonominya dengan bangsa-bangsa Afrika. Bisa dibilang, China terus-menerus menafsirkan dan mengonkretkan ide-ide dari KAA 1955. Dari ideologi, membantu gerakan perjuangan kemerdekaan negara-negara Afrika, ke bantuan ekonomi dan teknologi.
Berbeda dengan kita, persahabatan Indonesia-Afrika terhenti ketika negara-negara Afrika telah merdeka, dan kita cenderung melupakan mereka. Kebijakan luar negeri kita bisa dibilang mengabaikan Afrika.
Dasar kebijakan politik luar negeri China pada negara berkembang terutama Afrika pertama kali dikumandangkan oleh Zhou Enlai, perdana menteri sekaligus menteri luar negeri pertama China, pada KAA 1955. China selalu menjadikan relasi dengan negara berkembang menjadi landasan pokok politik luar negeri.
Monumen peradaban, simbol hubungan kuat, dan bukti bantuan infrastruktur China-Afrika di era Perang Dingin adalah Tanzania dan Zambia Railroad. China membangun proyek raksasa rel kereta api sepanjang 1.860 km dari pedalaman Tanzania hingga Pelabuhan Zambia pada 1970-1975. Proyek ini adalah pinjaman tanpa bunga sebesar RMB988 juta dari Pemerintah China.
Keterbukaan dan reformasi ekonomi pada 1979 menjadi titik balik kebijakan luar negeri China. Jika semula mendasarkan kerja sama dari gerakan mendukung kemerdekaan nasional, lantas bergeser ke babak baru berupa kerja sama ekonomi dan teknologi saling menguntungkan yang makin meluas.
China Membutuhkan Afrika
Dua pihak juga memiliki hubungan saling membutuhkan, untuk tidak menyebut saling bergantung. China memerlukan bahan baku dan pasar baru untuk produk industrinya karena Afrika kaya akan sumber daya mineral dan populasi yang besar.
Dari perspektif Afrika, China merupakan sumber investasi tanpa syarat rumit, pasar baru penjualan sumber daya mineral dan bahan makanan untuk mendorong pertumbuhan dalam negeri yang sekaligus mengurangi ketergantungan pada Barat.
Bantuan China ke Afrika mencakup hibah, pinjaman tanpa bunga, pinjaman lunak berbunga rendah, pembatalan pinjaman, pelatihan profesional di bidang pertanian dan medis, proyek konstruksi pusat perkantoran, kereta api, jalan, rumah sakit, perjanjian pengurangan tarif ekspor, proyek dan fasilitas energi bersih, pelatihan guru, peralatan medis dan bahan antimalaria, program pertukaran budaya, dan sebagainya.
Dalam amatan yang lebih cermat, sejauh ini dapat dirunut ada lima aktor dalam strategi kebijakan luar negeri Negeri Tirai Bambu itu di Afrika. Pertama, pemerintah pusat China yang tugas utamanya adalah menyusun fokus dan strategi utama serta membangun koordinasi dengan berbagai pihak di pemerintahan dan swasta. Kedua, ialah BUMN atau perusahaan negara yang pergi ke Afrika untuk menanamkan investasi terutama di sektor sumber daya alam mineral dan teknologi.
Selanjutnya, aktor ketiga, perusahaan swasta yang hijrah ke benua tersebut karena terdorong oleh begitu padat dan persaingan pasar ketat di dalam negeri China demi peluang bisnis yang lebih baik. Keempat , kantor Kedutaan Besar China yang tugas utamanya memberikan informasi dan menghubungkan dan mencipta koordinasi dengan berbagai pelaku bisnis di Afrika. Aktor lainnya sekaligus kelima adalah warga China yang bekerja dan mencari peluang usaha lebih baik di Afrika.
Indonesia dan Afrika
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Dengan sudut pandang yang lebih lebar, kita barangkali bisa mengikuti langkah-langkah China dalam menanamkan investasi dan pengaruh ekonomi di Afrika. Lagi pula, China secara langsung telah membukakan jalan bagi negara-negara Asia untuk tampil di gelanggang ekonomi dan bisnis di Afrika.
Tidak ada kata terlambat untuk pemerintah, BUMN, dan korporasi swasta nasional Indonesia. Sebagaimana China, kebijakan dan strateginya di Afrika tidak diserahkan hanya pada Kementerian Luar Negeri semata. Kementerian Perdagangan China dan BUMN China sangat aktif melakukan lobi dan menyusun informasi bisnis bagi pelaku bisnis China.
Trio Kementerian Luar Negeri, Perdagangan, dan BUMN kita dapat pula didorong membentuk grand design dan strategi bersama untuk menggarap pasar Afrika. Kementerian Luar Negeri kiranya dapat memperkuat dengan sebesar-besarnya sumber daya personalia dan anggaran untuk Direktorat Afrika dan kedutaan-kedutaan besar Indonesia di Afrika.
Demikian juga, kantor-kantor kedutaan lebih fokus untuk menyusun informasi utama dan lengkap tentang potensi-potensi yang ada di negara-negara Afrika. Sementara itu, Kementerian Perdagangan dan Kementerian BUMN mengadakan pameran dan promosi produk-produk Indonesia secara rutin di negara-negara Afrika dan melakukan lobi niaga kepada para diplomat dan pengusaha-pengusaha Afrika untuk berkunjung ke Indonesia.
Di salah kota utama di Afrika Timur itu berdiri menjulang gedung pencakar langit setinggi 113 meter, African Union, yang dibangun oleh China senilai USD200 juta. Gedung ini menjadi ikon dan saksi persahabatan dan komitmen China di tanah Afrika.
Namun, alih-alih langsung mencermati arah politik dan ekonomi Negeri Panda kekinian, ada baiknya kita menarik benang sejarah ke belakang lebih dulu. Mengapa? Karena, sejatinya sejarah politik luar negeri dan diplomasi modern China di Afrika sudah dibangun sejak puluhan tahun silam. Bahkan termasuk bagian dari sejarah Konferensi Asia Afrika 1955.
Sejak saat itu China membangun hubungan diplomatik dan ekonominya dengan bangsa-bangsa Afrika. Bisa dibilang, China terus-menerus menafsirkan dan mengonkretkan ide-ide dari KAA 1955. Dari ideologi, membantu gerakan perjuangan kemerdekaan negara-negara Afrika, ke bantuan ekonomi dan teknologi.
Berbeda dengan kita, persahabatan Indonesia-Afrika terhenti ketika negara-negara Afrika telah merdeka, dan kita cenderung melupakan mereka. Kebijakan luar negeri kita bisa dibilang mengabaikan Afrika.
Dasar kebijakan politik luar negeri China pada negara berkembang terutama Afrika pertama kali dikumandangkan oleh Zhou Enlai, perdana menteri sekaligus menteri luar negeri pertama China, pada KAA 1955. China selalu menjadikan relasi dengan negara berkembang menjadi landasan pokok politik luar negeri.
Monumen peradaban, simbol hubungan kuat, dan bukti bantuan infrastruktur China-Afrika di era Perang Dingin adalah Tanzania dan Zambia Railroad. China membangun proyek raksasa rel kereta api sepanjang 1.860 km dari pedalaman Tanzania hingga Pelabuhan Zambia pada 1970-1975. Proyek ini adalah pinjaman tanpa bunga sebesar RMB988 juta dari Pemerintah China.
Keterbukaan dan reformasi ekonomi pada 1979 menjadi titik balik kebijakan luar negeri China. Jika semula mendasarkan kerja sama dari gerakan mendukung kemerdekaan nasional, lantas bergeser ke babak baru berupa kerja sama ekonomi dan teknologi saling menguntungkan yang makin meluas.
China Membutuhkan Afrika
Dua pihak juga memiliki hubungan saling membutuhkan, untuk tidak menyebut saling bergantung. China memerlukan bahan baku dan pasar baru untuk produk industrinya karena Afrika kaya akan sumber daya mineral dan populasi yang besar.
Dari perspektif Afrika, China merupakan sumber investasi tanpa syarat rumit, pasar baru penjualan sumber daya mineral dan bahan makanan untuk mendorong pertumbuhan dalam negeri yang sekaligus mengurangi ketergantungan pada Barat.
Bantuan China ke Afrika mencakup hibah, pinjaman tanpa bunga, pinjaman lunak berbunga rendah, pembatalan pinjaman, pelatihan profesional di bidang pertanian dan medis, proyek konstruksi pusat perkantoran, kereta api, jalan, rumah sakit, perjanjian pengurangan tarif ekspor, proyek dan fasilitas energi bersih, pelatihan guru, peralatan medis dan bahan antimalaria, program pertukaran budaya, dan sebagainya.
Dalam amatan yang lebih cermat, sejauh ini dapat dirunut ada lima aktor dalam strategi kebijakan luar negeri Negeri Tirai Bambu itu di Afrika. Pertama, pemerintah pusat China yang tugas utamanya adalah menyusun fokus dan strategi utama serta membangun koordinasi dengan berbagai pihak di pemerintahan dan swasta. Kedua, ialah BUMN atau perusahaan negara yang pergi ke Afrika untuk menanamkan investasi terutama di sektor sumber daya alam mineral dan teknologi.
Selanjutnya, aktor ketiga, perusahaan swasta yang hijrah ke benua tersebut karena terdorong oleh begitu padat dan persaingan pasar ketat di dalam negeri China demi peluang bisnis yang lebih baik. Keempat , kantor Kedutaan Besar China yang tugas utamanya memberikan informasi dan menghubungkan dan mencipta koordinasi dengan berbagai pelaku bisnis di Afrika. Aktor lainnya sekaligus kelima adalah warga China yang bekerja dan mencari peluang usaha lebih baik di Afrika.
Indonesia dan Afrika
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Dengan sudut pandang yang lebih lebar, kita barangkali bisa mengikuti langkah-langkah China dalam menanamkan investasi dan pengaruh ekonomi di Afrika. Lagi pula, China secara langsung telah membukakan jalan bagi negara-negara Asia untuk tampil di gelanggang ekonomi dan bisnis di Afrika.
Tidak ada kata terlambat untuk pemerintah, BUMN, dan korporasi swasta nasional Indonesia. Sebagaimana China, kebijakan dan strateginya di Afrika tidak diserahkan hanya pada Kementerian Luar Negeri semata. Kementerian Perdagangan China dan BUMN China sangat aktif melakukan lobi dan menyusun informasi bisnis bagi pelaku bisnis China.
Trio Kementerian Luar Negeri, Perdagangan, dan BUMN kita dapat pula didorong membentuk grand design dan strategi bersama untuk menggarap pasar Afrika. Kementerian Luar Negeri kiranya dapat memperkuat dengan sebesar-besarnya sumber daya personalia dan anggaran untuk Direktorat Afrika dan kedutaan-kedutaan besar Indonesia di Afrika.
Demikian juga, kantor-kantor kedutaan lebih fokus untuk menyusun informasi utama dan lengkap tentang potensi-potensi yang ada di negara-negara Afrika. Sementara itu, Kementerian Perdagangan dan Kementerian BUMN mengadakan pameran dan promosi produk-produk Indonesia secara rutin di negara-negara Afrika dan melakukan lobi niaga kepada para diplomat dan pengusaha-pengusaha Afrika untuk berkunjung ke Indonesia.
(nag)