Membaca Politik China di Afrika

Rabu, 30 Mei 2018 - 07:43 WIB
Membaca Politik China...
Membaca Politik China di Afrika
A A A
Geliat dan ekspansi China ke penjuru dunia yang terus men­g­gurita tentu saja menarik untuk terus di­si­mak, diikuti, juga di­pe­lajari, termasuk me­rangseknya Ne­ge­ri Tirai Bambu ini ke Af­rika. Hal inilah yang menjadi salah satu potret yang terekam pada per­jalanan riset selama beberapa hari ke Addis Ababa, ibu kota Etiopia awal Mei lalu.

Di salah kota utama di Afrika Ti­mur itu berdiri menjulang ge­dung pencakar langit setinggi 113 meter, African Union, yang di­bangun oleh China senilai USD200 juta. Gedung ini men­ja­di ikon dan saksi persa­ha­bat­an dan komitmen China di ta­nah Afrika.

Namun, alih-alih langsung mencermati arah politik dan ekonomi Negeri Panda ke­ki­ni­an, ada baiknya kita menarik be­nang sejarah ke belakang lebih dulu. Mengapa? Karena, se­ja­ti­nya sejarah politik luar negeri dan diplomasi modern China di Afrika sudah dibangun sejak puluhan tahun silam. Bahkan termasuk bagian dari sejarah Konferensi Asia Afrika 1955.

Sejak saat itu China mem­bangun hubungan diplomatik dan ekonominya dengan bang­sa-bangsa Afrika. Bisa dibilang, China terus-menerus menaf­sir­kan dan mengonkretkan ide-ide dari KAA 1955. Dari ideo­logi, membantu gerakan per­jua­ngan kemerdekaan negara-ne­gara Afrika, ke bantuan eko­nomi dan teknologi.

Berbeda dengan kita, per­sa­ha­batan Indonesia-Afrika ter­hen­ti ketika negara-negara Af­ri­ka telah merdeka, dan kita cen­derung melupakan mereka. Kebijakan luar negeri kita bisa dibilang mengabaikan Afrika.

Dasar kebijakan politik luar negeri China pada negara ber­kembang terutama Afrika per­tama kali dikumandangkan oleh Zhou Enlai, perdana men­teri se­ka­ligus menteri luar ne­ge­ri per­ta­ma China, pada KAA 1955. China selalu menjadikan relasi dengan ne­gara ber­kem­ba­ng menjadi lan­dasan pokok politik luar negeri.

Monumen peradaban, sim­bol hubungan kuat, dan bukti bantuan infrastruktur China-Afrika di era Perang Dingin ada­lah Tanzania dan Zambia Rail­road. China membangun pro­yek raksasa rel kereta api se­pan­jang 1.860 km dari pedalaman Tanzania hingga Pelabuhan Zam­bia pada 1970-1975. Pro­yek ini adalah pinjaman tanpa bunga sebesar RMB988 juta dari Pemerintah China.

Keterbukaan dan reformasi ekonomi pada 1979 menjadi titik balik kebijakan luar negeri China. Jika semula menda­sar­kan kerja sama dari gerakan men­dukung kemerdekaan na­sio­nal, lantas bergeser ke babak baru berupa kerja sama eko­no­mi dan teknologi saling men­g­un­tungkan yang makin meluas.

China Membutuhkan Afrika

Dua pihak juga memiliki hu­bu­ngan saling membutuhkan, untuk tidak menyebut saling bergantung. China memer­lu­kan bahan baku dan pasar baru un­tuk produk industrinya ka­re­na Afrika kaya akan sumber daya mineral dan populasi yang besar.

Dari perspektif Afrika, China merupakan sumber in­ves­tasi tanpa syarat rumit, pa­sar baru penjualan sumber daya mineral dan bahan makanan untuk men­dorong pertum­buh­an dalam ne­geri yang sekaligus mengurangi ketergantungan pada Barat.

Bantuan China ke Afrika men­­­cakup hibah, pinjaman tan­­pa bunga, pinjaman lunak ber­bunga rendah, pembatalan pin­jaman, pelatihan profesional di bidang pertanian dan medis, proyek konstruksi pusat per­kan­toran, kereta api, jalan, ru­mah sakit, perjanjian pengu­ra­ng­an tarif ekspor, proyek dan fasilitas energi bersih, pelatihan guru, per­alatan medis dan ba­han an­ti­malaria, program per­tu­karan budaya, dan sebagainya.

Dalam amatan yang lebih cer­mat, sejauh ini dapat dirunut ada lima aktor dalam strategi kebi­ja­kan luar negeri Negeri Tirai Bam­bu itu di Afrika. Per­tama, pe­me­rin­tah pusat China yang tugas uta­manya adalah me­nyusun fo­kus dan strategi uta­ma serta mem­bangun koor­di­nasi dengan ber­ba­gai pihak di pemerintahan dan swasta. Ke­dua, ialah BUMN atau per­usa­haan negara yang pergi ke Af­rika untuk me­na­nam­kan inv­es­tasi terutama di sektor sumber daya alam mineral dan tek­nologi.

Selanjutnya, aktor ketiga, per­usahaan swasta yang hijrah ke benua tersebut karena terd­o­rong oleh begitu padat dan per­saingan pasar ketat di dalam ne­geri China demi peluang bisnis yang lebih baik. Keempat , kan­tor Kedutaan Besar China yang tugas utamanya memberikan in­formasi dan meng­hu­bung­kan dan mencipta koordinasi de­ngan berbagai pelaku bisnis di Afrika. Aktor lainnya seka­li­gus kelima adalah warga China yang bekerja dan mencari pe­luang usaha lebih baik di Afrika.

Indonesia dan Afrika

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Dengan sudut pan­dang yang lebih lebar, kita ba­rangkali bisa mengikuti lang­kah-langkah China dalam me­nanamkan investasi dan pe­ngaruh ekonomi di Afrika. Lagi pula, China secara langsung te­lah membukakan jalan bagi negara-negara Asia untuk tam­pil di gelanggang ekonomi dan bisnis di Afrika.

Tidak ada kata terlambat un­tuk pemerintah, BUMN, dan kor­porasi swasta nasional In­do­nesia. Sebagaimana China, ke­bi­jakan dan strateginya di Af­rika tidak di­serahkan hanya pada Ke­men­te­rian Luar Negeri se­mata. Ke­men­­terian Perda­ga­ngan Chi­na dan BUMN China sangat aktif me­la­kukan lobi dan menyusun in­for­ma­si bisnis bagi pelaku bisnis China.

Trio Kementerian Luar Ne­ge­ri, Perdagangan, dan BUMN kita dapat pula didorong mem­ben­tuk grand design dan strategi ber­sama untuk menggarap pa­sar Afrika. Kementerian Luar Ne­geri kiranya dapat mem­per­kuat dengan sebesar-besarnya sum­ber­ daya personalia dan ang­gar­an untuk Direktorat Afrika dan kedutaan-kedutaan besar Indo­nesia di Afrika.

Demikian juga, kantor-kan­tor kedutaan lebih fokus untuk menyusun informasi utama dan lengkap tentang potensi-po­tensi yang ada di negara-negara Afrika. Sementara itu, Ke­men­terian Per­da­gangan dan Ke­menterian BUMN meng­ada­kan pameran dan promosi pro­duk-produk In­do­nesia secara rutin di negara-n­egara Afrika dan me­lakukan lobi niaga kepada para diplomat dan pengusaha-pe­ng­usaha Afrika un­tuk berkunjung ke Indonesia.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0603 seconds (0.1#10.140)