Ontologi Terorisme

Senin, 28 Mei 2018 - 07:43 WIB
Ontologi Terorisme
Ontologi Terorisme
A A A
Satrio Wahono
Magister Filsafat UI dan Pengajar Filsafat Pancasila di Universitas Pancasila

SEIRING rangkaian peristiwa teror be­la­kangan ini yang terjadi mulai dari penyanderaan aparat penegak hukum oleh narapidana teroris di Mako Brimob Kelapa Dua, aksi bom bunuh diri di gereja di Surabaya hingga meledaknya bom di rumah susun Sidoarjo dan sebagainya membuat upaya pemberantasan terorisme kian mendapatkan urgensinya.

Se­telah cukup lama terlena dengan persepsi kesuksesan polisi meng­gulung sejumlah aksi teror, rangkaian aksi teror ter­baru di atas—yang kian ter­eskalasi karena melibatkan pula anak kecil—menjadi semacam wake-up call (alarm keras) bahwa terorisme masih jauh dari padam di bumi Nusantara ini. Tak kurang dari pemerintah dan DPR sampai harus mengebut pembahasan revisi UU Teror­isme yang akhirnya disahkan pada Kamis 24 Mei 2018.

Di sisi lain, di luar upaya kon­kret untuk merapatkan barisan pertahanan bangsa melawan terorisme, ikhtiar untuk mene­laah hakikat terorisme juga tak kalah penting. Dengan kata lain, kita harus berupaya menelisik ontologi terorisme atau mencari hakikat tentang realitas teror­isme mengingat ontologi adalah salah satu cabang filsafat yang membahas apa yang ada (being) sebagaimana terkandung dalam pengertian etimologisnya: ilmu (logos) tentang ontik atau pengada.

Idealis-Materialis
Dalam ranah ontologi, ter­dapat dua aliran besar. Pertama, idealisme yang menyatakan bahwa Realitas yang hakiki adalah Ide, yang dalam hal ini bisa di­sederhanakan sebagai Ide Absolut yang memiliki berbagai nama seperti Nan Ada atau Tuhan. Kedua, materialisme yang berdalil bahwa realitas yang hakiki adalah materi yang kemu­dian menyusun dirinya sendiri guna membentuk realitas se­bagai­mana yang kita kenal saat ini. Alhasil penganut material­isme ini biasanya tidak meyakini keberadaan Tuhan sebagai pen­cipta realitas.

Dari kerangka di atas, kita bisa berargumen bahwa pangkal utama ontologi terorisme ada­lah pandangan tentang tatanan Ilahi (Ide Absolut) di muka bumi se­bagai hal yang ideal untuk meng­gantikan tatanan dunia masa kini yang penuh ke­rusak­an, pem­berhalaan terhadap materi, dan berkubang dosa. Karena itu mun­cul­lah cita-cita untuk meng­ganti­kan sistem politik yang ada de­ngan sistem politik baru ber­basis­kan nilai-nilai teologis (agama) yang diklaim para peng­anutnya sebagai yang paling benar.

Selanjutnya, akibat dari ke­inginan untuk meng­implemen­tasi­kan cita-cita idealisme itu secara konkret dalam bentuk gerakan, diperlukan pengenal­an terhadap realitas materi berupa telaah terhadap kondisi sosial-budaya masyarakat yang ingin diubah.

Artinya tercakup pula pengakuan terhadap materi beserta hukum-hukum universalnya sebagai realitas dalam rangka mengejawan­tah­kan kesadaran materialistis ini ke dalam gerakan praksis yang konkret untuk mengubah ke­adaan yang diidealkan.

Dengan kata lain, ontologi terorisme adalah racikan antara idealisme dengan materialisme di mana idealisme adalah bahan (ingredient) pokoknya. Langkah selanjutnya dari ontologi ini adalah perumusan satu format teologi yang kian mengeraskan cita-cita perombakan tatanan sekuler yang rusak.

Ringkasnya, ontologi perlu menubuh men­jadi teologi guna memberikan orien­tasi yang lebih pasti bagi satu gerakan, dalam hal ini gerak­an terorisme. Merujuk pada Ilyasin, Abzar, dan Kamaluddin (Teroris dan Agama, Prenada, 2017), teologi yang dianut mayoritas pelaku aksi teror adalah teologi eksklusif yang meyakini kebe­naran hanya ada pada kelompok mereka hingga menafikan mereka yang memiliki keyakinan lain (the Other), baik mereka yang beragama lain (antaragama) mau­pun di dalam satu agama dengan varian teologis yang ber­beda (intraagama).

Kalangan Atas-Eksakta

Konsekuensi lebih jauh dari ontologi idealis-materialis da­lam gerakan terorisme ber­basis­kan teologi eksklusif adalah fakta bahwa terorisme tidak lagi dominan dilakukan atau dianut oleh mereka yang datang dari kalangan marginal, tertindas, kelas bawah, dan miskin.

Penelitian antropolog Diego dan Steffen Hertog sebagaimana dikutip Bagus Laksana dalam Seminar “Membuka Cakrawala Toleransi” (22 September 2017) menunjukkan kenyataan me­nge­jutkan bahwa gerakan radi­kal sekarang ini lebih menggoda mereka yang berlatar pen­didik­an universitas dan ilmu eksakta, terutama teknik.

Mengapa demikian? Karena para insinyur atau mereka yang berlatar belakang eksakta itu berdasarkan fitrah ilmunya me­mang berorientasi pada onto­logi materialisme dari segi di­siplin akademik.

Alhasil mereka sukses secara profesi dan finan­sial, tapi tidak memiliki ke­ta­han­an untuk bersikap terhadap ambiguitas dan kompromi. Justru mereka terobsesi pada keteraturan, presisi, dan kepas­ti­an sehingga teologi yang eks­klusif, kaku, tapi memberikan kepastian lebih cocok bagi me­reka.

Dan argumen ini men­dapatkan validitasnya tatkala kita melihat bahwa pe­laku bom bunuh diri se­keluarga di Surabaya adalah mereka yang mapan secara ekonomi dan berlatar belakang pendidikan eksakta.

Lantas bagaimana kita men­cegah kian menyebarluasnya ontologi idealis-materialis teror­isme yang kemudian me­wujud menjadi teologi eks­klusif? Caranya adalah dengan menyebarluaskan pula pola pikir kritis semaksimal mung­kin ke khalayak luas.

Sudah saatnya mata pelajaran-mata pelajaran atau mata kuliah-mata kuliah yang merangsang pemikiran kritis seperti etika, filsafat, dan dasar-dasar logika diberikan minimal sedari SMA dan lebih khusus lagi di jurusan-jurusan eksakta perguruan tinggi.

Tambahan lagi, penyisipan item-item HOTS (higher-order thinking skills) dalam soal-soal ujian—tidak semata-mata soal hafalan—juga akan merang­sang pemikiran kritis sejak dini. Berbekal solusi berbasiskan ontologi terorisme ini, semoga bumi pertiwi tidak akan menangis lagi karena aksi-aksi pelaku gerakan terorisme yang keji.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1187 seconds (0.1#10.140)