Independensi Rakyat dalam Pilkada
A
A
A
Nurlia Dian Paramita
Ketua Bidang Organisasi PP Nasyiatul Aisyiah (PPNA) 2016-2020, Peneliti Senior Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR)
RAKYAT konon adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam soal pemilihan pemimpin politik (Dahana, 2017). Namun, rakyat seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak strategis, bahkan mengooptasi daya pilih mereka. Sejatinya proses regenerasi kepemimpinan di daerah melalui pilkada menghasilkan sebuah kesepakatan dan keberlanjutan yang terjalin antara pemimpin dan rakyatnya. Dengan begitu, tidak ada distorsi atas kebijakan baik yang telah dirumuskan bersama hingga akhirnya berganti hanya karena pemimpin yang terpilih bukan dari genre sebelumnya. Sekian lama proses pemilihan langsung berjalan, nasib kaum alit tidak jauh berubah (Muíti, 2018).
Apakah rakyat selama ini sudah menjadi warga yang independen? Atau, malah rakyat bukan siapa-siapa di dalam konstruksi demokrasi kebangsaan di Indonesia ini. Fenomena peningkatan kasus kepala daerah yang terjerat korupsi tentu sangat kental sekali dengan persekongkolan elite dengan petinggi partai lokal ataupun pengusaha/cukong yang kerap menjadi salah satu bohir yang ikut andil dalam kontestasi daerah. Rakyat hanya dapat terkesima seraya bergeming, benarkah pemimpin kami adalah pemimpin yang korup, tercela, dan pengkhianat kepercayaan rakyat. Sebuah kondisi yang memprihatinkan sekaligus menjadi sebuah pertanda bahwa proses demokrasi Indonesia dalam kondisi masygul.
Rakyat Cenderung Apatis
Negara penting untuk menghadirkan sebuah regulasi yang mengatur agar tatanan politik bangsa ini dapat memberikan praktik baik dalam berdemokrasi. Tak dapat dipungkiri bahwa partai politik menjadi satu-satunya wadah yang dianggap mampu menjadi wadah dalam mencerdaskan pemilih. Jelas bahwa sistem demokrasi menghendaki partai politik menjadi penyangga utama yang menghasilkan wakil-wakil rakyat kredibel dan amanah.
Namun, hal tersebut tidak kunjung serius dilakukan, Partai-partai baru yang bermunculan, platform pendiriannya bahkan belum sepenuhnya menawarkan ihwal yang substansial, setidaknya mereka hanya membelah diri demi dramaturgi kekuasaan yang ultraradikal. Perburuan kekuasaan didasarkan pada perebutan antara satu “spesies” melawan “spesies” lain guna mengekalkan privilese yang dimiliki oleh segelintir elite yang telah lama mendominasi (Maliki, 2012).
Rakyat akhirnya menentukan pilihannya berdasarkan siapa yang memberikan bantuan (dana cash, pemberian sembako, program bersubsidi, dan iming-iming jabatan).
Peran Penyelenggara Pemilu
KPU dan Bawaslu mempunyai peran penting dalam menyosialisasikan para calon kepala daerah sekaligus memberikan pencerahan kepada masyarakat pemilih melalui teknis penyelenggaraan. KPU sebagai penyelenggara teknis dapat memastikan bahwa proses pendaftaran termasuk kelengkapan ijazah calon tidak bodong, perkenalan calon kepala daerah melalui mekanisme kampanye sungguh-sungguh dilakukan dengan muatan materi yang telah dicanangkan, visi misi harus sesuai dengan rencana pembangunan daerah, bukan omong kosong apalagi membual janji kepada rakyat.
Bawaslu memberikan informasi mengenai catatan fiktif atau potensi pelanggaran yang dilakukan oleh calon kepala daerah, termasuk apabila yang bersangkutan tidak transparan dalam pendanaan kampanye serta tidak melakukan kampanye yang edukatif dan bernuansa SARA terhadap masyarakat.
Tagih Janji Politik
Memproduksi dan membangun persepsi bahwa politik yang baik dan sehat itu mendesak untuk dilakukan. Jangan sampai rakyat terus terjebak pada apatisme yang membuat mereka kehilangan selera untuk terlibat aktif dalam partisipasi politik. Independensi dalam memberikan hak pilih terhadap pemimpin yang dianggap kredibel dan amanah diharapkan mampu mengurangi produksi kepemimpinan yang korup dan rentan penyelewengan.
Pertama, mengikat kontrak politik dengan calon pemimpin kepala daerah, ada hak dan kewajiban yang akan diterima sebagai konsekuensi calon pemimpin kepala daerah. Timses kampanye pasangan calon sebaiknya berasal dari rakyat setempat, bukan titipan elite pusat, apalagi pihak yang tidak paham daerah pemilihan. Kedua, menyisir kontestan yang dinilai merugikan publik (kebijakan yang manipulatif) dengan menyosialisasikan dalam rapat RT/RW.
Ketiga, menggerakkan partisipasi produktif warga dalam lokus “selamatkan pilkada daerah”. Hal ini diharapkan mampu membangkitkan tanggung jawab publik untuk turut memonitor sekaligus aktif dalam ikut memberikan investasi politik khususnya yang sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.
Untuk itu, pada 2018 ini menjadi salah satu perjalanan sejarah yang tak boleh disia-siakan. Harapan dan cita-cita mulia bangsa ini sebaiknya segera terwujud. Bahwa rakyat adalah subjek vital perubahan yang tak pernah redup.
Ketua Bidang Organisasi PP Nasyiatul Aisyiah (PPNA) 2016-2020, Peneliti Senior Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR)
RAKYAT konon adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam soal pemilihan pemimpin politik (Dahana, 2017). Namun, rakyat seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak strategis, bahkan mengooptasi daya pilih mereka. Sejatinya proses regenerasi kepemimpinan di daerah melalui pilkada menghasilkan sebuah kesepakatan dan keberlanjutan yang terjalin antara pemimpin dan rakyatnya. Dengan begitu, tidak ada distorsi atas kebijakan baik yang telah dirumuskan bersama hingga akhirnya berganti hanya karena pemimpin yang terpilih bukan dari genre sebelumnya. Sekian lama proses pemilihan langsung berjalan, nasib kaum alit tidak jauh berubah (Muíti, 2018).
Apakah rakyat selama ini sudah menjadi warga yang independen? Atau, malah rakyat bukan siapa-siapa di dalam konstruksi demokrasi kebangsaan di Indonesia ini. Fenomena peningkatan kasus kepala daerah yang terjerat korupsi tentu sangat kental sekali dengan persekongkolan elite dengan petinggi partai lokal ataupun pengusaha/cukong yang kerap menjadi salah satu bohir yang ikut andil dalam kontestasi daerah. Rakyat hanya dapat terkesima seraya bergeming, benarkah pemimpin kami adalah pemimpin yang korup, tercela, dan pengkhianat kepercayaan rakyat. Sebuah kondisi yang memprihatinkan sekaligus menjadi sebuah pertanda bahwa proses demokrasi Indonesia dalam kondisi masygul.
Rakyat Cenderung Apatis
Negara penting untuk menghadirkan sebuah regulasi yang mengatur agar tatanan politik bangsa ini dapat memberikan praktik baik dalam berdemokrasi. Tak dapat dipungkiri bahwa partai politik menjadi satu-satunya wadah yang dianggap mampu menjadi wadah dalam mencerdaskan pemilih. Jelas bahwa sistem demokrasi menghendaki partai politik menjadi penyangga utama yang menghasilkan wakil-wakil rakyat kredibel dan amanah.
Namun, hal tersebut tidak kunjung serius dilakukan, Partai-partai baru yang bermunculan, platform pendiriannya bahkan belum sepenuhnya menawarkan ihwal yang substansial, setidaknya mereka hanya membelah diri demi dramaturgi kekuasaan yang ultraradikal. Perburuan kekuasaan didasarkan pada perebutan antara satu “spesies” melawan “spesies” lain guna mengekalkan privilese yang dimiliki oleh segelintir elite yang telah lama mendominasi (Maliki, 2012).
Rakyat akhirnya menentukan pilihannya berdasarkan siapa yang memberikan bantuan (dana cash, pemberian sembako, program bersubsidi, dan iming-iming jabatan).
Peran Penyelenggara Pemilu
KPU dan Bawaslu mempunyai peran penting dalam menyosialisasikan para calon kepala daerah sekaligus memberikan pencerahan kepada masyarakat pemilih melalui teknis penyelenggaraan. KPU sebagai penyelenggara teknis dapat memastikan bahwa proses pendaftaran termasuk kelengkapan ijazah calon tidak bodong, perkenalan calon kepala daerah melalui mekanisme kampanye sungguh-sungguh dilakukan dengan muatan materi yang telah dicanangkan, visi misi harus sesuai dengan rencana pembangunan daerah, bukan omong kosong apalagi membual janji kepada rakyat.
Bawaslu memberikan informasi mengenai catatan fiktif atau potensi pelanggaran yang dilakukan oleh calon kepala daerah, termasuk apabila yang bersangkutan tidak transparan dalam pendanaan kampanye serta tidak melakukan kampanye yang edukatif dan bernuansa SARA terhadap masyarakat.
Tagih Janji Politik
Memproduksi dan membangun persepsi bahwa politik yang baik dan sehat itu mendesak untuk dilakukan. Jangan sampai rakyat terus terjebak pada apatisme yang membuat mereka kehilangan selera untuk terlibat aktif dalam partisipasi politik. Independensi dalam memberikan hak pilih terhadap pemimpin yang dianggap kredibel dan amanah diharapkan mampu mengurangi produksi kepemimpinan yang korup dan rentan penyelewengan.
Pertama, mengikat kontrak politik dengan calon pemimpin kepala daerah, ada hak dan kewajiban yang akan diterima sebagai konsekuensi calon pemimpin kepala daerah. Timses kampanye pasangan calon sebaiknya berasal dari rakyat setempat, bukan titipan elite pusat, apalagi pihak yang tidak paham daerah pemilihan. Kedua, menyisir kontestan yang dinilai merugikan publik (kebijakan yang manipulatif) dengan menyosialisasikan dalam rapat RT/RW.
Ketiga, menggerakkan partisipasi produktif warga dalam lokus “selamatkan pilkada daerah”. Hal ini diharapkan mampu membangkitkan tanggung jawab publik untuk turut memonitor sekaligus aktif dalam ikut memberikan investasi politik khususnya yang sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.
Untuk itu, pada 2018 ini menjadi salah satu perjalanan sejarah yang tak boleh disia-siakan. Harapan dan cita-cita mulia bangsa ini sebaiknya segera terwujud. Bahwa rakyat adalah subjek vital perubahan yang tak pernah redup.
(pur)