Dramaturgi Politik Jelang Pilpres

Rabu, 09 Mei 2018 - 09:30 WIB
Dramaturgi Politik Jelang...
Dramaturgi Politik Jelang Pilpres
A A A
Nurudin
Kepala Pusat Kajian Sosial Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

NEGERI ini penuh dengan skenario politik. Inilah sebenarnya kalimat yang perlu dijelaskan kepada masyarakat luas. Pemerintah punya skenario, kelompok masyarakat yang berseberangan dengan pemerintah juga punya skenario. Sementara itu, masyarakat seringkali menjadi korban dari skenario elite politik itu.

Mengapa ini perlu dijelaskan? Agar masyarakat tidak mudah tergiring dengan opini atau perilaku skenario elite-elite politik. Selamanya elite-elite adalah para pemain politik, sementara masyarakat sering dijadikan “alat” untuk mencapai tujuan skenarionya. Dengan kata lain, elite politik sering meminjam tangan masyarakat untuk meraih ambisi politiknya.

Mengapa kenyataan tersebut perlu disampaikan ke masyarakat luas? Pertama, agar masyarakat tidak terantuk batu kesekian kali untuk memilih elite politik di masa datang. Kedua, agar masyarakat tidak mudah tergiring pada perilaku di luar kenyataan yang ada. Alasannya, sebagian besar perilaku elite politik hanya sebuah drama yang sedang diperankan dengan lakon politik. Ketiga, untuk menyindir elite politik bahwa perilakunya selama ini penuh dengan kesemuan saja.

Dunia ini panggung sandiwara. Namun demikian, apakah kita benar-benar paham bahwa negara ini juga termasuk panggung sandiwara? Inilah yang akan dijelaskan dalam tulisan ini.

Dramaturgi
Untuk menjelaskan fenomena politik di atas, kita diingatkan pada penelitian Erving Goffman The Presentational of Self in Everyday Life (1959) yang membicarakan tentang dramaturgi. Sekilas dramaturgi adalah sebuah sandiwara yang disajikan oleh kehidupan manusia.

Jadi yang memerankan adalah manusia-manusia di sekitar kita. Karena itu, masing-masing manusia diperbolehkan memilih perannya. Kehidupan manusia penuh dengan panggung sandiwara yang lengkap degan setting panggung dan akting individu sebagai aktor dalam kehidupan.

Sebagaimana umumnya sebuah lakon drama, Goffman menyebut ada rekayasa panggung. Misalnya, seseorang harus pandai memerankan dirinya di bagian depan (front stage) dan bagian belakang (back stage) dengan peran yang berbeda.

Bagian depan itu mencakup setting dan personal front (penampilan diri). Sementara itu, bagian belakang berkaitan dengan the self yakni semua aktivitas tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan akting atau penampilan diri yang ada di depan itu.

Bisa dikatakan, wilayah depan biasanya adalah wilayah individu bergaya dan formal. Mengapa? Karena mereka sedang memainkan perannya di panggung. Sedangkan wilayah belakang biasanya merujuk pada tempat dan peristiwa yang memungkinkan mempersiapkan perannya di wilayah depan. Jadi, wilayah belakang akan ikut mendukung peran depan apa yang akan dimainkan. Tentu saja, peran depan itu hanya rekayasa semata.

Kita sekarang menganalogikan dengan sebuah panggung pertunjukan. Panggung depan biasanya panggung terlembagakan yang mewakili kepentingan kelompok/organisasi. Agar pertunjukan berlangsung dengan baik, seorang aktor perlu mengabaikan kepentingan dan karakter pribadi agar pertunjukan sesuai skenario.

Sementara itu, pembuat skenario, tata rias menyiapkan semuanya. Kaum dramaturgis memandang manusia adalah aktor panggung metaforis yang sedang memainkan peran masing-masing.

Politik
Sebagaimana kehidupan ini, politik tak lain juga sebuah panggung dengan banyak aktor yang terlibat. Dalam politik, seorang individu juga menampilkan fornt stage dan back stage secara berbeda. Seseorang tentu akan menjadi lain dari sebenarnya setelah ia tampil menjadi politisi.

Sebagai sebuah panggung politik juga penuh dengan skenario sesuai tujuan akhir lembaga politik. Perilaku individu akan dipengaruhi oleh peran dirinya di depan dengan didukung oleh aktor di belakang layar.

Sebagaimana panggung sandiwara, panggung politik depan tidak mencerminkan apa adanya seorang individu. Individu hanya melakoni tujuan skenario dari belakang panggung. Tak heran pula jika seseorang yang sifat aslinya baik bisa berubah total setelah ia terlibat dalam politik (front stage).

Panggungnya memang menghendaki seperti itu. Bahkan bisa dikatakan, citra seseorang sering merupakan rekayasa tertentu agar kelihatan baik di mata orang lain.

Sekadar contoh sebut saja para politisi dari partai politik (parpol) tertentu. Parpol adalah lembaga dimana seseorang memainkan front stage-nya berdasar keberadaan lembaga itu. Apa tujuan lakon skenario parpol? Tak lain adalah usaha untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan.

Tak heran jika politisi parpol penguasa akan membela kekuasaannya dengan berbagai macam cara, sementara parpol oposisi akan terlibat untuk merebut kekuasaan dengan berbagai macam cara pula. Kita bisa cermati tingkah politisi di tanah air.

Pelajaran ke Masyarakat
Dalam konteks kekinian, mengapa masyarakat bingung dengan tanda pagar yang riuh dan seolah-olah Indonesia mau perang? Lihat saja perseteruan #2019GantiPresiden dan #Jokowi2Periode. Sebagaimana dramaturgi, para aktor di balik hashtag itu hanya pemain yang digerakkan oleh kepentinan-kepentingan tertentu dengan tujuan untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan.

Partai pemerintah seperti PDIP tentu akan membela mati-matian Joko Widodo (Jokowi) karena ia partai penguasa. Segala yang berkaitan dengan usaha melanggengkan kekuasaan Jokowi tentu akan dilakukan. Mereka yang dahulunya mengkritik kebijakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menaikkan harga BBM, sekarang diam. Partai dan pendukungnya sedang memainkan dramaturgi politik.

Bagaimana dengan partai non pemerintah? Tidak jauh berbeda. Partai-partai itu sedang berusaha untuk merebut kekuasaan. Apakah saat mengkritik kebijakan pemerintah partai-partai itu bisa dikatakan ideal? Nanti dulu. Partai-partai ini juga sedang memainkan sebuah lakon antagonis yang bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah.

Jadi, ini juga bagian dari skenario dramaturgi politik. Kedua Parpol yang berseberangan di atas sedang melakonkan sebuah drama saja. Drama dalam lingkup besar bernama negara Indonesia.

Terus apa yang sebaiknya kita lakukan melihat kondisi di atas? Bagaimana mungkin dilakukan perubahan-perubahan jika semua sudah dalam skenario masing-masing? Kita tidak perlu menyalahkan semua pihak. Semua sudah punya tugas masing-masing. Pendukung pemerintah memang punya tugas membela kebijakan.

Yang penting apa yang bisa dilakukan untuk kemajuan bangsa ini di masa datang. Mengapa pemerintah dianggap mempermudah masuknya pekerja China ke Indonesia? Karena pemerintah jelas punya kepentingan.

Sehebat apapun kritik dari masyarakat tetapi masyarakat bukan pihak pengambil keputusan. Pihak opisisi tentu akan menjadikan kebijakan pemerintah sebagai kritik jika tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Jadi, mereka sedang memainkan sebuah drama politik di front stage yang direkayasa dari back stage. Yang perlu diingatkan ke masyarakat kita adalah sebaiknya jangan ikut hanyut untuk terlibat dalam permainan dramaturgi politik itu. Masyarakat itu hanya menonton saja, meskipun berkoar-koar di luar panggung posisinya tetap penonton. Peran utamanya ada pada pembuat skenario dan para aktor panggung.

Jika penonton tidak suka dengan peran aktor-aktor itu, suatu saat jika lakonnya sudah berubah tentu harus dibuat “cerita lain”. Jika memang ceritanya bagus, layak didukung kembali. Semua akan tergantung penonton alias masyarakat.

Jadi, dunia ini memang panggung sandiwara dengan cerita yang sudah ditetapkan. Sebaiknya masyarakat ikut menentukan pembuatan skenario itu dengan memilih aktor-aktor yang mewadahi kepentingan mereka karena merekalah pemilik kedaulatan panggung bernama Indonesia.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0823 seconds (0.1#10.140)