Pencarian Identitas Kebangsaan di Timur Tengah
A
A
A
Muhamad Syauqillah
Analis Politik Timur Tengah, Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI
Harus diakui pergolakan politik di Timur Tengah awal abad ke-20 bukan hanya menimbulkan persoalan pergulatan pemikiran modernis Islam yang terdesiminasi di dunia Islam, tetapi berimplikasi juga pada perubahan konstelasi geopolitik Timur Tengah.
Dominasi Usmani mengecil, Anatolia berubah menjadi episentrum kekuasaan Republik Turki hingga saat ini. Wajah imperium besar Usmani di Timur Tengah dan Afrika Utara digantikan oleh kelahiran rezim baru. Wahabisme di Nejd yang memberontak di masa Usmani pada 1821, berkoalisi dengan klan Bani Saud, membentuk sebuah negara pada 1901.
Kelahiran Arab Saudi diikuti oleh Irak dan Suriah. Perubahan status teritorial koloni Usmani membentuk negara berdaulat sendiri tentu dengan sistem yang dianut masing-masing negara. Perubahan status pun terjadi di Mesir, salah satu provinsi dan wilayah penting di masa Usmani.
Pembentukan negara bangsa pasca-Usmani dibarengi dengan identitas politik adalah suatu bentuk pencarian identitas politik. Pilihan beberapa rezim pasca-Usmani jatuh pada sistem monarki absolut. Namun, pergolakan internal menyebabkan perubahan politik di masing-masing negara, Mesir, Irak, dan Suriah, mengubah sistem monarki menjadi sistem republik sosialis.
Kekuasaan Shah Iran yang dapat dikategorikan sebagai kelanjutan dari Dinasti Safawid mengalami perubahan total dengan Revolusi Iran. Revolusi menempatkan sistem teokrasi Wilayah Al-Faqih berlaku sejak 1979 hingga saat ini. Uniknya, gerakan massa pada awal 2018 dikomentari oleh Khomeini dengan menyebut bahwa Iran membutuhkan revolusi baru, artinya Iran pun masih mencari format ideal identitas politik sebagai entitas negara-bangsa.
Perubahan politik terjadi di Iran, pada saat itu, sangat dikhawatirkan oleh sebagian negara Timur Tengah yang notabene bercorak Sunni. Ekspor ideologi pasca-Revolusi Iran menjadi momok tersendiri, selain tentunya kekhawatiran revolusi akan menggeser kekuasaan politik di negara-negara Timur Tengah.
Pada fase selanjutnya, guncangan politik di kawasan terjadi pada 1990-an, ditandai dengan invasi Irak ke Kuwait. Invasi Kuwait adalah salah satu pintu masuk bagi keruntuhan rezim Saddam Husain di Irak. Embargo pascainvasi sangat berpengaruh besar bagi Irak, apalagi bagi kekuatan militer.
Selepas kekuasaan Saddam Husain, formasi politik internal Irak terbagi menjadi tiga faksi kekuatan besar. Kekuatan politik Sunni, kekuatan politik Syiah, dan kekuatan politik Kurdi. Yang menarik, fenomena terakhir bahwa kekuatan Kurdi di Irak bagian Utara melakukan referendum pemisahan diri dari Irak, yang kemudian tidak banyak mendapatkan dukungan internasional. Lagi-lagi, Irak pun harus mengubah identitas politik, dari monarki menuju republik sosialis, kemudian menuju sistem demokrasi. Demokrasi di Irak pun ternyata masih mengalami problematika transisi rentan, ditambah persoalan integrasi politik dalam kerangka demokrasi.
Seiring perubahan rezim di Irak dan kebijakan pemerintahan Obama, proses pencarian identitas politik negara-bangsa terjadi dengan ada momentum Arab Spring. Arab Spring diawali dengan gerakan massa di Tunisia, lalu merembet ke Mesir, Yaman, Libya, dan Suriah.
Momentum Arab Spring memaksa rezim kekuasaan di Bahrain, Kuwait, Yordania, termasuk Arab Saudi mengeluarkan regulasi kebijakan populis untuk meredam pengaruh politik regional.
Arab Saudi termasuk negara yang lambat merespons Arab Spring, menipisnya cadangan minyak dan gas memaksa Arab Saudi melakukan akselerasi kebijakan politik dan penetapan visi 2030. Tercatat tiga tahun terakhir Arab Saudi melakukan reformasi internal, diawali penunjukan Pangeran Muhammad bin Salman sebagai putra mahkota. Regulasi tentang dewan kota dan sejumlah kebijakan afirmatif terhadap perempuan adalah upaya rezim menciptakan ruang ekspresi publik dan membentuk saluran aspirasi rakyat.
Respons beragam terhadap gerakan Arab Spring, deregulasi yang mengekang kebebasan terlihat pada kebijakan Arab Saudi, akomodasi dan distribusi kekuatan politik dengan berbagai variabel ideologi cukup berhasil dilakukan oleh Tunisia.
Sayangnya, Arab Spring melahirkan masalah-masalah baru. Pertama, pengungsi Suriah tersebar di Turki, Yordania, Lebanon, Mesir, Benua Eropa, dan Kanada. Kedua, pertarungan politik identitas, rivalitas Persaudaraan Muslim dengan Abdul Fatah Al-Sisi, pertarungan antara kelompok Houti dan rezim di Yaman, perebutan kekuasaan teritorial antara Khalifa dan beberapa faksi di Libya, serta penguatan persoalan etnik Kurdi di Irak bagian utara dan perseteruan Kelompok Kurdi Suriah (YPG/PYD) dengan Pemerintah Turki pada operasi ranting Zaitun dan Afrin.
Kegagalan Pencarian Identitas
Dua pertemuan telah berlangsung antara Turki, Iran, dan Rusia kendati tidak memperlihatkan ada blok politik dalam konteks perundingan masalah Suriah. Setidaknya peta kekuatan tiga negara ini, jika dilihat dari fase konflik Suriah, memperlihatkan ada tarik-menarik kekuatan NATO dan sekutu Amerika di satu sisi dan kekuatan Rusia di sisi lain. Walau Amerika tidak sepenuhnya berada dalam kutub politik Turki karena masalah dukungan Washington ke YPG, namun mustahil Amerika meninggalkan sekutu potensialnya di Timur Tengah.
Intervensi kekuatan luar Suriah menjadi faktor kunci perdamaian. Konflik Suriah bagaimanapun sangat sarat keterlibatan pihak eksternal sehingga konfigurasi konflik Suriah sangat kompleks. Namun, salah satu titik strategisnya adalah kekurangmampuan kelompok kekuatan politik internal melakukan integrasi politik kebangsaan.
Lalu di manakah ideologi Pan Islamisme, Pan Arabisme, Baathisme di Irak dan Suriah yang pernah menghiasi khasanah identitas politik di Timur Tengah. Lalu, di manakah kontribusi pemikiran Persaudaraan Muslim dan Hizbut Tahrir dalam khasanah integrasi politik di Mesir misalnya atau seberapa besar sumbangsih Sayyid Qutb dalam kerangka gerakan Islam politik di Timur Tengah, atau di manakah spirit pembaharuan Islam Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho di tengah konstelasi politik Timur Tengah saat ini.
Indonesia sebagai Model
Indonesia pernah mengalami persoalan yang mirip dengan suasana transisi politik di Timur Tengah saat ini. Gerakan sosial yang dipicu oleh kesenjangan sosial, persoalan akses ekonomi, dan otoritarianisme rezim politik melanda beberapa negara di kawasan ini. Apalagi saat transisi demokrasi, Indonesia diwarnai gerakan pemisahan diri (self determination), konflik sosial bernuansa suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA), kekerasan tindak pidana terorisme. Di atas bebatuan kerikil, ternyata Indonesia mampu melalui dengan merampungkan amendemen konstitusi tanpa referendum sekalipun, menyelesaikan konflik sosial politik yang terjadi di Kalimantan, Poso, Ambon, dan Aceh.
Pendek kata, suasana transisi yang pernah dialami Indonesia sebetulnya mampu berkontribusi bagi beberapa negara di Timur Tengah yang saat ini mencari identitas kebangsaan, identitas politik yang dapat mengintegrasikan berbagai faksi kekuatan politik. Perubahan politik yang mampu melahirkan sistem politik demokratis. Timur Tengah saat ini membutuhkan model transisi politik seperti Indonesia, tentu dengan memperhatikan kekhasan yang dimiliki masing-masing negara.
Analis Politik Timur Tengah, Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI
Harus diakui pergolakan politik di Timur Tengah awal abad ke-20 bukan hanya menimbulkan persoalan pergulatan pemikiran modernis Islam yang terdesiminasi di dunia Islam, tetapi berimplikasi juga pada perubahan konstelasi geopolitik Timur Tengah.
Dominasi Usmani mengecil, Anatolia berubah menjadi episentrum kekuasaan Republik Turki hingga saat ini. Wajah imperium besar Usmani di Timur Tengah dan Afrika Utara digantikan oleh kelahiran rezim baru. Wahabisme di Nejd yang memberontak di masa Usmani pada 1821, berkoalisi dengan klan Bani Saud, membentuk sebuah negara pada 1901.
Kelahiran Arab Saudi diikuti oleh Irak dan Suriah. Perubahan status teritorial koloni Usmani membentuk negara berdaulat sendiri tentu dengan sistem yang dianut masing-masing negara. Perubahan status pun terjadi di Mesir, salah satu provinsi dan wilayah penting di masa Usmani.
Pembentukan negara bangsa pasca-Usmani dibarengi dengan identitas politik adalah suatu bentuk pencarian identitas politik. Pilihan beberapa rezim pasca-Usmani jatuh pada sistem monarki absolut. Namun, pergolakan internal menyebabkan perubahan politik di masing-masing negara, Mesir, Irak, dan Suriah, mengubah sistem monarki menjadi sistem republik sosialis.
Kekuasaan Shah Iran yang dapat dikategorikan sebagai kelanjutan dari Dinasti Safawid mengalami perubahan total dengan Revolusi Iran. Revolusi menempatkan sistem teokrasi Wilayah Al-Faqih berlaku sejak 1979 hingga saat ini. Uniknya, gerakan massa pada awal 2018 dikomentari oleh Khomeini dengan menyebut bahwa Iran membutuhkan revolusi baru, artinya Iran pun masih mencari format ideal identitas politik sebagai entitas negara-bangsa.
Perubahan politik terjadi di Iran, pada saat itu, sangat dikhawatirkan oleh sebagian negara Timur Tengah yang notabene bercorak Sunni. Ekspor ideologi pasca-Revolusi Iran menjadi momok tersendiri, selain tentunya kekhawatiran revolusi akan menggeser kekuasaan politik di negara-negara Timur Tengah.
Pada fase selanjutnya, guncangan politik di kawasan terjadi pada 1990-an, ditandai dengan invasi Irak ke Kuwait. Invasi Kuwait adalah salah satu pintu masuk bagi keruntuhan rezim Saddam Husain di Irak. Embargo pascainvasi sangat berpengaruh besar bagi Irak, apalagi bagi kekuatan militer.
Selepas kekuasaan Saddam Husain, formasi politik internal Irak terbagi menjadi tiga faksi kekuatan besar. Kekuatan politik Sunni, kekuatan politik Syiah, dan kekuatan politik Kurdi. Yang menarik, fenomena terakhir bahwa kekuatan Kurdi di Irak bagian Utara melakukan referendum pemisahan diri dari Irak, yang kemudian tidak banyak mendapatkan dukungan internasional. Lagi-lagi, Irak pun harus mengubah identitas politik, dari monarki menuju republik sosialis, kemudian menuju sistem demokrasi. Demokrasi di Irak pun ternyata masih mengalami problematika transisi rentan, ditambah persoalan integrasi politik dalam kerangka demokrasi.
Seiring perubahan rezim di Irak dan kebijakan pemerintahan Obama, proses pencarian identitas politik negara-bangsa terjadi dengan ada momentum Arab Spring. Arab Spring diawali dengan gerakan massa di Tunisia, lalu merembet ke Mesir, Yaman, Libya, dan Suriah.
Momentum Arab Spring memaksa rezim kekuasaan di Bahrain, Kuwait, Yordania, termasuk Arab Saudi mengeluarkan regulasi kebijakan populis untuk meredam pengaruh politik regional.
Arab Saudi termasuk negara yang lambat merespons Arab Spring, menipisnya cadangan minyak dan gas memaksa Arab Saudi melakukan akselerasi kebijakan politik dan penetapan visi 2030. Tercatat tiga tahun terakhir Arab Saudi melakukan reformasi internal, diawali penunjukan Pangeran Muhammad bin Salman sebagai putra mahkota. Regulasi tentang dewan kota dan sejumlah kebijakan afirmatif terhadap perempuan adalah upaya rezim menciptakan ruang ekspresi publik dan membentuk saluran aspirasi rakyat.
Respons beragam terhadap gerakan Arab Spring, deregulasi yang mengekang kebebasan terlihat pada kebijakan Arab Saudi, akomodasi dan distribusi kekuatan politik dengan berbagai variabel ideologi cukup berhasil dilakukan oleh Tunisia.
Sayangnya, Arab Spring melahirkan masalah-masalah baru. Pertama, pengungsi Suriah tersebar di Turki, Yordania, Lebanon, Mesir, Benua Eropa, dan Kanada. Kedua, pertarungan politik identitas, rivalitas Persaudaraan Muslim dengan Abdul Fatah Al-Sisi, pertarungan antara kelompok Houti dan rezim di Yaman, perebutan kekuasaan teritorial antara Khalifa dan beberapa faksi di Libya, serta penguatan persoalan etnik Kurdi di Irak bagian utara dan perseteruan Kelompok Kurdi Suriah (YPG/PYD) dengan Pemerintah Turki pada operasi ranting Zaitun dan Afrin.
Kegagalan Pencarian Identitas
Dua pertemuan telah berlangsung antara Turki, Iran, dan Rusia kendati tidak memperlihatkan ada blok politik dalam konteks perundingan masalah Suriah. Setidaknya peta kekuatan tiga negara ini, jika dilihat dari fase konflik Suriah, memperlihatkan ada tarik-menarik kekuatan NATO dan sekutu Amerika di satu sisi dan kekuatan Rusia di sisi lain. Walau Amerika tidak sepenuhnya berada dalam kutub politik Turki karena masalah dukungan Washington ke YPG, namun mustahil Amerika meninggalkan sekutu potensialnya di Timur Tengah.
Intervensi kekuatan luar Suriah menjadi faktor kunci perdamaian. Konflik Suriah bagaimanapun sangat sarat keterlibatan pihak eksternal sehingga konfigurasi konflik Suriah sangat kompleks. Namun, salah satu titik strategisnya adalah kekurangmampuan kelompok kekuatan politik internal melakukan integrasi politik kebangsaan.
Lalu di manakah ideologi Pan Islamisme, Pan Arabisme, Baathisme di Irak dan Suriah yang pernah menghiasi khasanah identitas politik di Timur Tengah. Lalu, di manakah kontribusi pemikiran Persaudaraan Muslim dan Hizbut Tahrir dalam khasanah integrasi politik di Mesir misalnya atau seberapa besar sumbangsih Sayyid Qutb dalam kerangka gerakan Islam politik di Timur Tengah, atau di manakah spirit pembaharuan Islam Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho di tengah konstelasi politik Timur Tengah saat ini.
Indonesia sebagai Model
Indonesia pernah mengalami persoalan yang mirip dengan suasana transisi politik di Timur Tengah saat ini. Gerakan sosial yang dipicu oleh kesenjangan sosial, persoalan akses ekonomi, dan otoritarianisme rezim politik melanda beberapa negara di kawasan ini. Apalagi saat transisi demokrasi, Indonesia diwarnai gerakan pemisahan diri (self determination), konflik sosial bernuansa suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA), kekerasan tindak pidana terorisme. Di atas bebatuan kerikil, ternyata Indonesia mampu melalui dengan merampungkan amendemen konstitusi tanpa referendum sekalipun, menyelesaikan konflik sosial politik yang terjadi di Kalimantan, Poso, Ambon, dan Aceh.
Pendek kata, suasana transisi yang pernah dialami Indonesia sebetulnya mampu berkontribusi bagi beberapa negara di Timur Tengah yang saat ini mencari identitas kebangsaan, identitas politik yang dapat mengintegrasikan berbagai faksi kekuatan politik. Perubahan politik yang mampu melahirkan sistem politik demokratis. Timur Tengah saat ini membutuhkan model transisi politik seperti Indonesia, tentu dengan memperhatikan kekhasan yang dimiliki masing-masing negara.
(zik)