Pencarian Identitas Kebangsaan di Timur Tengah

Senin, 07 Mei 2018 - 09:00 WIB
Pencarian Identitas Kebangsaan di Timur Tengah
Pencarian Identitas Kebangsaan di Timur Tengah
A A A
Muhamad Syauqillah
Analis Politik Timur Tengah, Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI

Harus diakui per­go­lak­an politik di Ti­mur Tengah awal abad ke-20 bukan ha­nya menimbulkan persoalan per­gulatan pemikiran mo­der­nis Islam yang terdesiminasi di dunia Islam, tetapi berimplikasi juga pada perubahan konstelasi geopolitik Timur Tengah.

Dominasi Usmani mengecil, Anatolia berubah menjadi epi­sen­trum kekuasaan Republik Turki hingga saat ini. Wajah imperium besar Usmani di Timur Tengah dan Afrika Utara di­gan­tikan oleh kelahiran rezim baru. Wahabisme di Nejd yang mem­berontak di masa Usmani pada 1821, berkoalisi dengan klan Bani Saud, membentuk sebuah negara pada 1901.

Kelahiran Arab Saudi diikuti oleh Irak dan Suriah. Perubahan status teritorial koloni Usmani membentuk negara berdaulat sendiri tentu dengan sistem yang dianut masing-masing ne­ga­ra. Perubahan status pun ter­jadi di Mesir, salah satu provinsi dan wilayah penting di masa Usmani.

Pembentukan negara bang­sa pasca-Usmani dibarengi de­ngan identitas politik adalah suatu bentuk pencarian iden­ti­tas politik. Pilihan beberapa rezim pasca-Usmani jatuh pada sistem monarki absolut. Na­mun, pergolakan internal menyebabkan perubahan politik di masing-masing negara, Mesir, Irak, dan Suriah, mengubah sis­tem monarki menjadi sistem republik sosialis.

Kekuasaan Shah Iran yang da­pat dikategorikan sebagai ke­lanjutan dari Dinasti Safawid mengalami perubahan total dengan Revolusi Iran. Revolusi me­nempatkan sistem teokrasi Wilayah Al-Faqih berlaku sejak 1979 hingga saat ini. Uniknya, gerakan massa pada awal 2018 dikomentari oleh Khomeini de­ngan menyebut bahwa Iran mem­butuhkan revolusi baru, arti­nya Iran pun masih mencari for­mat ideal identitas politik se­ba­gai entitas negara-bangsa.

Perubahan politik terjadi di Iran, pada saat itu, sangat di­kha­watirkan oleh sebagian negara Timur Tengah yang notabene bercorak Sunni. Ekspor ideologi pasca-Revolusi Iran menjadi mo­mok tersendiri, selain tentu­nya kekhawatiran revolusi akan menggeser kekuasaan politik di negara-negara Timur Tengah.

Pada fase selanjutnya, gun­cangan politik di kawasan ter­jadi pada 1990-an, ditandai de­ngan invasi Irak ke Kuwait. Inva­si Kuwait adalah salah satu pin­tu masuk bagi ke­runtuhan rezim Saddam Hu­sain di Irak. Embargo pas­cain­vasi sangat berpengaruh besar bagi Irak, apa­la­gi bagi kekuat­an militer.

Selepas kekuasaan Saddam Husain, formasi politik internal Irak terbagi menjadi tiga faksi kekuatan besar. Kekuatan po­li­tik Sunni, kekuatan politik Syiah, dan kekuatan politik Kurdi. Yang menarik, fenomena ter­akhir bahwa kekuatan Kurdi di Irak bagian Utara melakukan referendum pemisahan diri dari Irak, yang kemudian tidak ba­nyak mendapatkan dukungan internasional. Lagi-lagi, Irak pun harus mengubah identitas politik, dari monarki menuju re­publik sosialis, kemudian menuju sistem demokrasi. Demo­kra­si di Irak pun ternyata masih mengalami problematika tran­sisi rentan, ditambah persoalan integrasi politik dalam kerang­ka demokrasi.

Seiring perubahan rezim di Irak dan kebijakan peme­rin­tah­an Obama, proses pencarian iden­titas politik negara-bangsa terjadi dengan ada momentum Arab Spring. Arab Spring diawa­li dengan gerakan massa di Tu­ni­sia, lalu merembet ke Mesir, Yaman, Libya, dan Suriah.

Momentum Arab Spring me­maksa rezim kekuasaan di Bahrain, Kuwait, Yordania, ter­masuk Arab Saudi menge­luar­kan regulasi kebijakan populis untuk meredam pengaruh po­litik regional.

Arab Saudi termasuk negara yang lambat merespons Arab Spring, menipisnya cadangan minyak dan gas memaksa Arab Saudi melakukan akselerasi kebijakan politik dan pene­tap­an visi 2030. Tercatat tiga tahun terakhir Arab Saudi melakukan reformasi internal, diawali pe­nun­jukan Pangeran Mu­ham­mad bin Salman sebagai putra mahkota. Regulasi tentang de­wan kota dan sejumlah k­e­bi­jak­an afirmatif terhadap pe­rem­puan adalah upaya rezim men­ciptakan ruang ekspresi publik dan membentuk saluran aspi­ra­si rakyat.

Respons beragam terhadap gerakan Arab Spring, deregulasi yang mengekang kebebasan ter­lihat pada kebijakan Arab Saudi, akomodasi dan distri­busi kekuatan politik dengan ber­bagai variabel ideologi cu­kup berhasil dilakukan oleh Tunisia.

Sayangnya, Arab Spring me­lahirkan masalah-masalah baru. Pertama, pengungsi Su­riah tersebar di Turki, Yordania, Lebanon, Mesir, Benua Eropa, dan Kanada. Kedua, per­ta­rungan politik identitas, ri­va­li­tas Persaudaraan Muslim de­ngan Abdul Fatah Al-Sisi, per­tarungan antara kelompok Houti dan rezim di Yaman, pe­re­butan kekuasaan teritorial anta­ra Khalifa dan beberapa fak­si di Libya, serta penguatan per­soalan etnik Kurdi di Irak bagian utara dan perseteruan Ke­lompok Kurdi Suriah (YPG/PYD) dengan Peme­rin­tah Turki pada operasi ranting Zaitun dan Afrin.

Kegagalan Pencarian Identitas
Dua pertemuan telah ber­lang­sung antara Turki, Iran, dan Rusia kendati tidak mem­per­li­hatkan ada blok politik dalam konteks perundingan masalah Suriah. Setidaknya peta ke­kuat­an tiga negara ini, jika dilihat dari fase konflik Suriah, memperlihatkan ada tarik-menarik ke­kuatan NATO dan sekutu Ame­rika di satu sisi dan ke­kuatan Rusia di sisi lain. Walau Amerika tidak sepenuhnya ber­ada dalam kutub politik Turki karena masalah dukungan Was­hington ke YPG, namun mustahil Amerika meninggalkan se­kutu potensialnya di Timur Tengah.

Intervensi kekuatan luar Suriah menjadi faktor kunci per­damaian. Konflik Suriah ba­gaimanapun sangat sarat ke­ter­libatan pihak eksternal sehing­ga konfigurasi konflik Suriah sangat kompleks. Namun, salah satu titik strategisnya adalah kekurangmampuan kelompok kekuatan politik internal me­la­ku­kan integrasi politik ke­bang­saan.

Lalu di manakah ideologi Pan Islamisme, Pan Arabisme, Baathisme di Irak dan Suriah yang pernah menghiasi kha­sanah identitas politik di Timur Tengah. Lalu, di manakah kon­tribusi pemikiran Per­sau­da­ra­an Muslim dan Hizbut Tahrir da­lam khasanah integrasi po­li­tik di Mesir misalnya atau se­berapa besar sumbangsih Sayyid Qutb dalam kerangka gerakan Islam politik di Timur Tengah, atau di manakah spirit pembaharuan Islam Mu­ham­mad Abduh dan Rasyid Ridho di tengah konstelasi politik Timur Tengah saat ini.

Indonesia sebagai Model
Indonesia pernah meng­alami persoalan yang mirip de­ngan suasana transisi politik di Timur Tengah saat ini. Gerakan sosial yang dipicu oleh kesen­jang­an sosial, persoalan akses eko­nomi, dan otoritarianisme rezim politik melanda beberapa negara di kawasan ini. Apalagi saat transisi demokrasi, Indo­ne­sia diwarnai gerakan pemi­sah­an diri (self determination), konflik sosial bernuansa suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA), kekerasan tindak pi­da­na terorisme. Di atas bebatuan ke­ri­kil, ternyata Indonesia mam­pu melalui dengan me­ram­pungkan amendemen kons­titusi tanpa referendum seka­lipun, menyelesaikan kon­flik sosial politik yang terjadi di Kalimantan, Poso, Ambon, dan Aceh.

Pendek kata, suasana tran­sisi yang pernah dialami In­do­ne­sia sebetulnya mampu ber­kon­tribusi bagi beberapa ne­ga­ra di Timur Tengah yang saat ini mencari identitas kebangsaan, identitas politik yang dapat meng­integrasikan berbagai faksi kekuatan politik. Peru­bah­an politik yang mampu mela­hir­kan sistem politik demokratis. Timur Tengah saat ini mem­bu­tuh­kan model transisi politik seperti Indonesia, tentu de­ngan memperhatikan kekhas­an yang dimiliki masing-masing negara.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6297 seconds (0.1#10.140)