Islam Wasathiyah sebagai Jalan Dialog Agama

Senin, 07 Mei 2018 - 08:00 WIB
Islam Wasathiyah sebagai Jalan Dialog Agama
Islam Wasathiyah sebagai Jalan Dialog Agama
A A A
Nafik Muthohirin
Direktur Riset Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang

Penyelenggaraan fo­rum Konsultasi Ting­­kat Tinggi Ula­ma Sedunia (High Level Consultation of World Muslim Scholars), yang di­ada­kan oleh Utusan Khusus Pre­si­den untuk Dialog dan Ker­ja­sa­ma Antar-Agama dan Pera­dab­an (UKP-DKAAP) di Bogor, Se­lasa-Kamis (1-3/5) merupakan momentum yang tepat di te­ngah kondisi sosial-keagamaan bangsa Indonesia yang sedang dihadapkan pada sejumlah ma­sa­lah pelik, mulai problem eks­tremisme, radikalisme, ujaran kebencian, hingga retaknya hu­bungan antarumat beragama.

Kaitannya dengan acara KTT Ulama Sedunia, artikel ini ingin lebih memusatkan per­ha­tian pada relasi antarumat ber­agama yang sedang tercabik, ter­utama pascabeberapa peris­ti­wa yang masih memenuhi ba­nyak pikiran warga Indonesia.

Pertalian antarpemeluk aga­ma berbeda di Indonesia kini mengalami pengenduran. Ke­nyataan tersebut dila­tar­be­la­kangi paling tidak oleh dua fak­tor dominan: Pertama, po­pu­lis­me agama yang dihadirkan ke ruang publik yang dibumbui dengan nada kebencian ter­ha­dap pemeluk agama, ras, dan su­ku tertentu; dan kedua, politik sek­tarian yang sengaja meng­gu­nakan simbol-simbol ke­aga­ma­an untuk menjustifikasi atas ke­benaran manuver politik ter­tentu sehingga menggiring ma­syarakat ke arah konservatisme radikal secara pemikiran.

Dua faktor yang disebut di atas sesungguhnya berikatan satu sama lain. Keduanya sama-sama dihadirkan ke ruang pub­lik dalam rangka kepen­ting­an politik praktis, di mana pada sisi yang lain mengorbankan nalar sehat masyarakat beragama. Sebab, tidak ada doktrin agama yang mengajarkan kebencian, kekerasan, apalagi pengafiran hanya karena perbedaan pi­lih­an politik. Walhasil, dampak bu­ruk yang kita rasakan sekarang adalah menunggu aksi-aksi ke­bencian ini menjalar dari dunia maya ke dunia nyata.

Di tengah situasi yang me­mi­lukan, rasa syukur perlu te­rus didengungkan karena relasi antarumat beragama yang ken­dur ini tidak sampai berujung pada pertikaian fisik dan men­jalar ke tingkat nasional.

Paradigma Transformasi Aktif
Untuk menyambung per­talian agar kembali kuat, temali dialog hubungan antaragama harus diikat kencang-kencang. Bukan seperti yang dicon­toh­kan Orde Baru (1966-1998), yang merekatkan kerukunan antarumat beragama melalui pendekatan politik, me­ngon­trol jalannya relasi umat ber­agama dengan alat-alat ke­kuasaan sehingga ketika rezim otoritarian tersebut tumbang, konflik bersentimen SARA ber­munculan (Ibnu Mujib dan Yance Z Rumahuru, 2010: 1). Ha­rusnya, membangun dialog antaragama lebih didasarkan pada kesadaran doktrinal dan kultural, yaitu selain karena dok­trin setiap agama yang menga­jarkan pada nilai-nilai toleransi, juga atas keinginan yang sama untuk hidup dalam bonsai perdamaian.

Namun, substansi dialog aga­ma-agama tidak akan ter­capai bila program yang di­mak­sudkan tidak menyentuh pada pe­ma­ham­an fondasi setiap aga­ma. Hans Kung, seorang teolog asal Swiss yang menulis A Global Ethic for Global Politics and Eco­no­mics (1997), menegaskan bah­wa pemahaman mengenai fondasi agama-agama itu pada prak­tik­nya meliputi: (1) kons­truk­si teo­logi yang dipahami; (2) praktik-praktik ritus yang ditunaikan; (3) serta nilai-nilai humani­ta­ri­an yang dimengerti oleh masing-masing umat aga­ma yang ber­peran membentuk watak relasi sosial mereka se­hari-hari.

Setelah memiliki pe­ma­ham­an utuh mengenai fondasi agama-agama, langkah selan­jut­nya adalah mendorong ter­cip­tanya bina-damai dengan meng­upayakan perjumpaan, me­na­ruh sikap saling percaya dan me­mahami, serta bersedia saling berbagi dan melayani (Martin Forward, 2001: 11). Se­jujurnya, prinsip-prinsip bina-damai ter­se­but tidak jauh ber­beda dengan pemikiran Islam Wasathiyah yang dikemukakan Utusan Khusus Presiden DKAAP Din Syam­suddin di te­ngah acara KTT Ula­ma Sedunia, Selasa (1/5). Me­nu­rut­nya, Islam Wasathiyah ber­orien­tasi pada toleransi, pe­nengah, peng­hargaan terhadap agama lain, pluralisme, dan m­e­nyelesaikan ma­salah dengan jalan musya­warah.

Penjelasan mantan ketua umum Pimpinan Pusat Mu­ham­madiyah tersebut mem­be­rikan gambaran yang jelas bah­wa Islam Wasathiyah meng­apre­siasi akan sikap beragama yang inklusif, moderat, dan me­ma­nusiakan manusia. Dengan de­mi­kian, ide ini selaras dengan apa yang disebut John B Cobb (1999) sebagai "paradigma trans­for­matif", sebuah pen­de­kat­an dialog agama-agama yang ingin mengupayakan jalan damai dengan memberikan peng­har­ga­an pada setiap tradisi agama.

Cara memperlakukan pesan penting Islam Wasathiyah ini mestinya tidak cukup bila hanya dipromosikan. Pada konteks keindonesiaan seperti seka­rang, di mana populisme agama yang dipolitisasi untuk kepen­tingan politik tertentu sedang merajalela, implementasi Islam Wasathiyah menjadi kerja yang sangat mendesak.

Gagasan ini sangat layak menjadi sebuah ide praksis gerakan yang akan ber­kon­tri­busi dalam merajut tali per­da­maian intra dan antaragama di Indonesia. Sebab itu, aktua­li­sasi atas ide dan gagasan ini memerlukan paradigma trans­formatif yang mengerti dan me­mahami masing-masing tradisi keagamaan sehingga setiap orang yang beragama tidak mu­dah memberikan predikat salah kepada pemeluk agama lain.

Terakhir, implementasi Islam Wasathiyah memerlukan peran semua pihak, baik elite agama maupun penggerak civil society. Dengan demikian, program-program yang ber­orientasi pada dialog antar­agama hendaknya tidak stag­nan pada perbincangan di ta­taran elite saja. Jalan penyelesaian konflik yang lebih nyata perlu disentuh dengan mempertimbangkan gagasan Islam Wasathiyahsebagai se­buah pendekatan berpa­ra­dig­ma transformasi aktif.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5639 seconds (0.1#10.140)