Islam Wasathiyah sebagai Jalan Dialog Agama
A
A
A
Nafik Muthohirin
Direktur Riset Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang
Penyelenggaraan forum Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama Sedunia (High Level Consultation of World Muslim Scholars), yang diadakan oleh Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar-Agama dan Peradaban (UKP-DKAAP) di Bogor, Selasa-Kamis (1-3/5) merupakan momentum yang tepat di tengah kondisi sosial-keagamaan bangsa Indonesia yang sedang dihadapkan pada sejumlah masalah pelik, mulai problem ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian, hingga retaknya hubungan antarumat beragama.
Kaitannya dengan acara KTT Ulama Sedunia, artikel ini ingin lebih memusatkan perhatian pada relasi antarumat beragama yang sedang tercabik, terutama pascabeberapa peristiwa yang masih memenuhi banyak pikiran warga Indonesia.
Pertalian antarpemeluk agama berbeda di Indonesia kini mengalami pengenduran. Kenyataan tersebut dilatarbelakangi paling tidak oleh dua faktor dominan: Pertama, populisme agama yang dihadirkan ke ruang publik yang dibumbui dengan nada kebencian terhadap pemeluk agama, ras, dan suku tertentu; dan kedua, politik sektarian yang sengaja menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk menjustifikasi atas kebenaran manuver politik tertentu sehingga menggiring masyarakat ke arah konservatisme radikal secara pemikiran.
Dua faktor yang disebut di atas sesungguhnya berikatan satu sama lain. Keduanya sama-sama dihadirkan ke ruang publik dalam rangka kepentingan politik praktis, di mana pada sisi yang lain mengorbankan nalar sehat masyarakat beragama. Sebab, tidak ada doktrin agama yang mengajarkan kebencian, kekerasan, apalagi pengafiran hanya karena perbedaan pilihan politik. Walhasil, dampak buruk yang kita rasakan sekarang adalah menunggu aksi-aksi kebencian ini menjalar dari dunia maya ke dunia nyata.
Di tengah situasi yang memilukan, rasa syukur perlu terus didengungkan karena relasi antarumat beragama yang kendur ini tidak sampai berujung pada pertikaian fisik dan menjalar ke tingkat nasional.
Paradigma Transformasi Aktif
Untuk menyambung pertalian agar kembali kuat, temali dialog hubungan antaragama harus diikat kencang-kencang. Bukan seperti yang dicontohkan Orde Baru (1966-1998), yang merekatkan kerukunan antarumat beragama melalui pendekatan politik, mengontrol jalannya relasi umat beragama dengan alat-alat kekuasaan sehingga ketika rezim otoritarian tersebut tumbang, konflik bersentimen SARA bermunculan (Ibnu Mujib dan Yance Z Rumahuru, 2010: 1). Harusnya, membangun dialog antaragama lebih didasarkan pada kesadaran doktrinal dan kultural, yaitu selain karena doktrin setiap agama yang mengajarkan pada nilai-nilai toleransi, juga atas keinginan yang sama untuk hidup dalam bonsai perdamaian.
Namun, substansi dialog agama-agama tidak akan tercapai bila program yang dimaksudkan tidak menyentuh pada pemahaman fondasi setiap agama. Hans Kung, seorang teolog asal Swiss yang menulis A Global Ethic for Global Politics and Economics (1997), menegaskan bahwa pemahaman mengenai fondasi agama-agama itu pada praktiknya meliputi: (1) konstruksi teologi yang dipahami; (2) praktik-praktik ritus yang ditunaikan; (3) serta nilai-nilai humanitarian yang dimengerti oleh masing-masing umat agama yang berperan membentuk watak relasi sosial mereka sehari-hari.
Setelah memiliki pemahaman utuh mengenai fondasi agama-agama, langkah selanjutnya adalah mendorong terciptanya bina-damai dengan mengupayakan perjumpaan, menaruh sikap saling percaya dan memahami, serta bersedia saling berbagi dan melayani (Martin Forward, 2001: 11). Sejujurnya, prinsip-prinsip bina-damai tersebut tidak jauh berbeda dengan pemikiran Islam Wasathiyah yang dikemukakan Utusan Khusus Presiden DKAAP Din Syamsuddin di tengah acara KTT Ulama Sedunia, Selasa (1/5). Menurutnya, Islam Wasathiyah berorientasi pada toleransi, penengah, penghargaan terhadap agama lain, pluralisme, dan menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah.
Penjelasan mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut memberikan gambaran yang jelas bahwa Islam Wasathiyah mengapresiasi akan sikap beragama yang inklusif, moderat, dan memanusiakan manusia. Dengan demikian, ide ini selaras dengan apa yang disebut John B Cobb (1999) sebagai "paradigma transformatif", sebuah pendekatan dialog agama-agama yang ingin mengupayakan jalan damai dengan memberikan penghargaan pada setiap tradisi agama.
Cara memperlakukan pesan penting Islam Wasathiyah ini mestinya tidak cukup bila hanya dipromosikan. Pada konteks keindonesiaan seperti sekarang, di mana populisme agama yang dipolitisasi untuk kepentingan politik tertentu sedang merajalela, implementasi Islam Wasathiyah menjadi kerja yang sangat mendesak.
Gagasan ini sangat layak menjadi sebuah ide praksis gerakan yang akan berkontribusi dalam merajut tali perdamaian intra dan antaragama di Indonesia. Sebab itu, aktualisasi atas ide dan gagasan ini memerlukan paradigma transformatif yang mengerti dan memahami masing-masing tradisi keagamaan sehingga setiap orang yang beragama tidak mudah memberikan predikat salah kepada pemeluk agama lain.
Terakhir, implementasi Islam Wasathiyah memerlukan peran semua pihak, baik elite agama maupun penggerak civil society. Dengan demikian, program-program yang berorientasi pada dialog antaragama hendaknya tidak stagnan pada perbincangan di tataran elite saja. Jalan penyelesaian konflik yang lebih nyata perlu disentuh dengan mempertimbangkan gagasan Islam Wasathiyahsebagai sebuah pendekatan berparadigma transformasi aktif.
Direktur Riset Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang
Penyelenggaraan forum Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama Sedunia (High Level Consultation of World Muslim Scholars), yang diadakan oleh Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar-Agama dan Peradaban (UKP-DKAAP) di Bogor, Selasa-Kamis (1-3/5) merupakan momentum yang tepat di tengah kondisi sosial-keagamaan bangsa Indonesia yang sedang dihadapkan pada sejumlah masalah pelik, mulai problem ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian, hingga retaknya hubungan antarumat beragama.
Kaitannya dengan acara KTT Ulama Sedunia, artikel ini ingin lebih memusatkan perhatian pada relasi antarumat beragama yang sedang tercabik, terutama pascabeberapa peristiwa yang masih memenuhi banyak pikiran warga Indonesia.
Pertalian antarpemeluk agama berbeda di Indonesia kini mengalami pengenduran. Kenyataan tersebut dilatarbelakangi paling tidak oleh dua faktor dominan: Pertama, populisme agama yang dihadirkan ke ruang publik yang dibumbui dengan nada kebencian terhadap pemeluk agama, ras, dan suku tertentu; dan kedua, politik sektarian yang sengaja menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk menjustifikasi atas kebenaran manuver politik tertentu sehingga menggiring masyarakat ke arah konservatisme radikal secara pemikiran.
Dua faktor yang disebut di atas sesungguhnya berikatan satu sama lain. Keduanya sama-sama dihadirkan ke ruang publik dalam rangka kepentingan politik praktis, di mana pada sisi yang lain mengorbankan nalar sehat masyarakat beragama. Sebab, tidak ada doktrin agama yang mengajarkan kebencian, kekerasan, apalagi pengafiran hanya karena perbedaan pilihan politik. Walhasil, dampak buruk yang kita rasakan sekarang adalah menunggu aksi-aksi kebencian ini menjalar dari dunia maya ke dunia nyata.
Di tengah situasi yang memilukan, rasa syukur perlu terus didengungkan karena relasi antarumat beragama yang kendur ini tidak sampai berujung pada pertikaian fisik dan menjalar ke tingkat nasional.
Paradigma Transformasi Aktif
Untuk menyambung pertalian agar kembali kuat, temali dialog hubungan antaragama harus diikat kencang-kencang. Bukan seperti yang dicontohkan Orde Baru (1966-1998), yang merekatkan kerukunan antarumat beragama melalui pendekatan politik, mengontrol jalannya relasi umat beragama dengan alat-alat kekuasaan sehingga ketika rezim otoritarian tersebut tumbang, konflik bersentimen SARA bermunculan (Ibnu Mujib dan Yance Z Rumahuru, 2010: 1). Harusnya, membangun dialog antaragama lebih didasarkan pada kesadaran doktrinal dan kultural, yaitu selain karena doktrin setiap agama yang mengajarkan pada nilai-nilai toleransi, juga atas keinginan yang sama untuk hidup dalam bonsai perdamaian.
Namun, substansi dialog agama-agama tidak akan tercapai bila program yang dimaksudkan tidak menyentuh pada pemahaman fondasi setiap agama. Hans Kung, seorang teolog asal Swiss yang menulis A Global Ethic for Global Politics and Economics (1997), menegaskan bahwa pemahaman mengenai fondasi agama-agama itu pada praktiknya meliputi: (1) konstruksi teologi yang dipahami; (2) praktik-praktik ritus yang ditunaikan; (3) serta nilai-nilai humanitarian yang dimengerti oleh masing-masing umat agama yang berperan membentuk watak relasi sosial mereka sehari-hari.
Setelah memiliki pemahaman utuh mengenai fondasi agama-agama, langkah selanjutnya adalah mendorong terciptanya bina-damai dengan mengupayakan perjumpaan, menaruh sikap saling percaya dan memahami, serta bersedia saling berbagi dan melayani (Martin Forward, 2001: 11). Sejujurnya, prinsip-prinsip bina-damai tersebut tidak jauh berbeda dengan pemikiran Islam Wasathiyah yang dikemukakan Utusan Khusus Presiden DKAAP Din Syamsuddin di tengah acara KTT Ulama Sedunia, Selasa (1/5). Menurutnya, Islam Wasathiyah berorientasi pada toleransi, penengah, penghargaan terhadap agama lain, pluralisme, dan menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah.
Penjelasan mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut memberikan gambaran yang jelas bahwa Islam Wasathiyah mengapresiasi akan sikap beragama yang inklusif, moderat, dan memanusiakan manusia. Dengan demikian, ide ini selaras dengan apa yang disebut John B Cobb (1999) sebagai "paradigma transformatif", sebuah pendekatan dialog agama-agama yang ingin mengupayakan jalan damai dengan memberikan penghargaan pada setiap tradisi agama.
Cara memperlakukan pesan penting Islam Wasathiyah ini mestinya tidak cukup bila hanya dipromosikan. Pada konteks keindonesiaan seperti sekarang, di mana populisme agama yang dipolitisasi untuk kepentingan politik tertentu sedang merajalela, implementasi Islam Wasathiyah menjadi kerja yang sangat mendesak.
Gagasan ini sangat layak menjadi sebuah ide praksis gerakan yang akan berkontribusi dalam merajut tali perdamaian intra dan antaragama di Indonesia. Sebab itu, aktualisasi atas ide dan gagasan ini memerlukan paradigma transformatif yang mengerti dan memahami masing-masing tradisi keagamaan sehingga setiap orang yang beragama tidak mudah memberikan predikat salah kepada pemeluk agama lain.
Terakhir, implementasi Islam Wasathiyah memerlukan peran semua pihak, baik elite agama maupun penggerak civil society. Dengan demikian, program-program yang berorientasi pada dialog antaragama hendaknya tidak stagnan pada perbincangan di tataran elite saja. Jalan penyelesaian konflik yang lebih nyata perlu disentuh dengan mempertimbangkan gagasan Islam Wasathiyahsebagai sebuah pendekatan berparadigma transformasi aktif.
(zik)