UN dan Penilaian Autentik
A
A
A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel,
Anggota BAN PAUD dan PNF
UJIAN nasional (UN) SMA dan yang sederajat telah selesai. Selanjutnya UN untuk SMP dan sederajat yang dilaksanakan pada 23-26 April 2018. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pasti telah menyiapkan pelaksanaan UN dengan cermat. Hal itu penting agar persoalan teknis yang potensial muncul selama UN dapat diantisipasi. Sebab, harus disadari UN merupakan hajatan nasional sehingga dapat memengaruhi kehormatan (marwah) negara di mata dunia.
Jika berkaca pada pelaksanaan UN SMA, tampak bahwa keluhan yang terjadi di lapangan telah bergeser dari persoalan teknis penyelenggaraan ke bobot materi ujian. Rata-rata siswa SMA mengalami kesulitan mengerjakan soal-soal UN. Menjawab keluhan siswa SMA, Mendikbud Muhadjir Effendy menjelaskan bahwa tingkat kesulitan soal UN memang dinaikkan ke level higher order thinking skill (HOTS). Karena itu, dapat dipahami jika banyak siswa kurang siap. Apalagi pembelajaran guru-guru, terutama di daerah, belum beranjak ke level HOTS.
Pada 2018, Kemendikbud juga tetap melaksanakan UN dengan dua model, yakni ujian nasional berbasis komputer (UNBK) dan ujian nasional berbasis kertas dan pensil (UNBKP). Data Kemendikbud menginformasikan bahwa pada tahun ini ada 16 provinsi yang telah melaksanakan UNBK untuk seluruh SMA dan SMP. Provinsi lainnya masih menggunakan UN model UNBK dan UNBKP.
Kemendikbud juga menoleransi sekolah berkategori terpencil, terluar, dan tertinggal (3T) untuk tidak mengikuti UNBK. Sekolah di wilayah 3T tetap diperbolehkan untuk melaksanakan UN model UNBKP. Toleransi itu diberikan karena fasilitas sekolah di daerah 3T umumnya juga belum memadai, termasuk ketersediaan jaringan internet.
Untuk menyukseskan penyelenggaraan UN secara serentak pemerintah pasti mengeluarkan sumber daya dan anggaran yang sangat besar. Persoalannya, haruskah UN diselenggarakan setiap tahun? Bukankah sejak tiga tahun terakhir pemerintah telah membuat kebijakan UN tidak lagi menentukan kelulusan siswa? Pertanyaan ini terus mengemuka seiring hilangnya daya “keramat” UN. Kesakralan UN tergerus tajam karena tidak lagi menjadi penentu kelulusan. UN sekadar menjadi alat memetakan mutu pendidikan.
Di samping karena tidak lagi menentukan kelulusan, UN masih dinodai insiden ketakjujuran (dishonesty). Ironisnya, dalam era demokrasi langsung ini UN telah menjadi perhatian pejabat publik mulai presiden, wakil presiden, gubernur, bupati/wali kota, dan kepala dinas pendidikan karena keberhasilan pelaksanaannya dapat menjadi media pencitraan. Bahkan sejumlah kepala daerah dengan gagah memberikan target pada kepala dinas pendidikan untuk meningkatkan kelulusan siswa. Seakan tidak mau kalah, kepala dinas pendidikan mengundang kepala sekolah dengan tujuan menyukseskan UN. Berbagai langkah ditempuh, termasuk cara-cara yang tidak jujur.
Kepala sekolah juga menyelenggarakan doa bersama untuk memperkuat kondisi spiritualitas siswa. Hal itu menunjukkan bahwa perspektif stakeholders pendidikan terhadap UN belum berubah. UN masih dipandang keramat dan sakral. Padahal, kebijakan tentang UN sangat dinamis. Jika melihat dari awal penentuan kebijakannya, UN merupakan hasil dari sebuah proses politik. Kebijakan UN merupakan kesepakatan pemerintah dan legislatif sehingga harus dilaksanakan. Alokasi biaya dari anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah (APBN/D) juga disiapkan.
Dengan alasan itulah pemerintah menolak tuntutan moratorium UN. Karena merupakan produk politik, untuk melakukan moratorium UN pun butuh lobi-lobi politik.Di samping itu, penting dilakukan kajian mendalam tentang dampak kebijakan moratorium UN. Hasil kajian dapat menjadi pijakan untuk merumuskan kebijakan revitalisasi pelaksanaan UN.
Karena tujuan UN untuk memetakan mutu pendidikan, idealnya kelulusan siswa menjadi otoritas guru. Rasanya sudah saatnya stakeholders pendidikan memberikan kepercayaan pada guru. Apalagi guru-guru sejatinya memiliki pengalaman menilai siswa dengan model penilaian autentik (authentic assessment). Penilaian autentik meniscayakan guru menilai apa yang seharusnya dinilai, menilai dari banyak aspek, dan menilai dari berbagai sumber.
Dari perspektif teori evaluasi pendidikan dapat dipastikan bahwa penilaian otentik jauh lebih kredibel dari hasil UN. Syaratnya, guru-guru menilai siswa dengan jujur dan objektif. Melalui kegiatan ulangan harian, ujian tengah semester, ujian akhir semester, penugasan, dan mengobservasi perilaku siswa setiap hari, para guru sejatinya telah melakukan penilaian otentik. Jika serangkaian kegiatan penilaian itu dilakukan dengan jujur, hasilnya pasti lebih tepercaya.
Pertanyaannya, jika guru telah terlatih dengan penilaian autentik, bagaimana dengan UN? Sebagaimana fungsi awalnya, UN penting untuk memetakan mutu pendidikan. Tetapi pelaksanaan UN tidak harus setiap tahun. Yang terpenting, hasil UN dijadikan rujukan pembinaan sekolah. Dana besar yang dialokasikan untuk pelaksanaan UN dapat dimanfaatkan untuk membina sekolah-sekolah yang belum memenuhi standar minimal pelayanan pendidikan.
Dosen UIN Sunan Ampel,
Anggota BAN PAUD dan PNF
UJIAN nasional (UN) SMA dan yang sederajat telah selesai. Selanjutnya UN untuk SMP dan sederajat yang dilaksanakan pada 23-26 April 2018. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pasti telah menyiapkan pelaksanaan UN dengan cermat. Hal itu penting agar persoalan teknis yang potensial muncul selama UN dapat diantisipasi. Sebab, harus disadari UN merupakan hajatan nasional sehingga dapat memengaruhi kehormatan (marwah) negara di mata dunia.
Jika berkaca pada pelaksanaan UN SMA, tampak bahwa keluhan yang terjadi di lapangan telah bergeser dari persoalan teknis penyelenggaraan ke bobot materi ujian. Rata-rata siswa SMA mengalami kesulitan mengerjakan soal-soal UN. Menjawab keluhan siswa SMA, Mendikbud Muhadjir Effendy menjelaskan bahwa tingkat kesulitan soal UN memang dinaikkan ke level higher order thinking skill (HOTS). Karena itu, dapat dipahami jika banyak siswa kurang siap. Apalagi pembelajaran guru-guru, terutama di daerah, belum beranjak ke level HOTS.
Pada 2018, Kemendikbud juga tetap melaksanakan UN dengan dua model, yakni ujian nasional berbasis komputer (UNBK) dan ujian nasional berbasis kertas dan pensil (UNBKP). Data Kemendikbud menginformasikan bahwa pada tahun ini ada 16 provinsi yang telah melaksanakan UNBK untuk seluruh SMA dan SMP. Provinsi lainnya masih menggunakan UN model UNBK dan UNBKP.
Kemendikbud juga menoleransi sekolah berkategori terpencil, terluar, dan tertinggal (3T) untuk tidak mengikuti UNBK. Sekolah di wilayah 3T tetap diperbolehkan untuk melaksanakan UN model UNBKP. Toleransi itu diberikan karena fasilitas sekolah di daerah 3T umumnya juga belum memadai, termasuk ketersediaan jaringan internet.
Untuk menyukseskan penyelenggaraan UN secara serentak pemerintah pasti mengeluarkan sumber daya dan anggaran yang sangat besar. Persoalannya, haruskah UN diselenggarakan setiap tahun? Bukankah sejak tiga tahun terakhir pemerintah telah membuat kebijakan UN tidak lagi menentukan kelulusan siswa? Pertanyaan ini terus mengemuka seiring hilangnya daya “keramat” UN. Kesakralan UN tergerus tajam karena tidak lagi menjadi penentu kelulusan. UN sekadar menjadi alat memetakan mutu pendidikan.
Di samping karena tidak lagi menentukan kelulusan, UN masih dinodai insiden ketakjujuran (dishonesty). Ironisnya, dalam era demokrasi langsung ini UN telah menjadi perhatian pejabat publik mulai presiden, wakil presiden, gubernur, bupati/wali kota, dan kepala dinas pendidikan karena keberhasilan pelaksanaannya dapat menjadi media pencitraan. Bahkan sejumlah kepala daerah dengan gagah memberikan target pada kepala dinas pendidikan untuk meningkatkan kelulusan siswa. Seakan tidak mau kalah, kepala dinas pendidikan mengundang kepala sekolah dengan tujuan menyukseskan UN. Berbagai langkah ditempuh, termasuk cara-cara yang tidak jujur.
Kepala sekolah juga menyelenggarakan doa bersama untuk memperkuat kondisi spiritualitas siswa. Hal itu menunjukkan bahwa perspektif stakeholders pendidikan terhadap UN belum berubah. UN masih dipandang keramat dan sakral. Padahal, kebijakan tentang UN sangat dinamis. Jika melihat dari awal penentuan kebijakannya, UN merupakan hasil dari sebuah proses politik. Kebijakan UN merupakan kesepakatan pemerintah dan legislatif sehingga harus dilaksanakan. Alokasi biaya dari anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah (APBN/D) juga disiapkan.
Dengan alasan itulah pemerintah menolak tuntutan moratorium UN. Karena merupakan produk politik, untuk melakukan moratorium UN pun butuh lobi-lobi politik.Di samping itu, penting dilakukan kajian mendalam tentang dampak kebijakan moratorium UN. Hasil kajian dapat menjadi pijakan untuk merumuskan kebijakan revitalisasi pelaksanaan UN.
Karena tujuan UN untuk memetakan mutu pendidikan, idealnya kelulusan siswa menjadi otoritas guru. Rasanya sudah saatnya stakeholders pendidikan memberikan kepercayaan pada guru. Apalagi guru-guru sejatinya memiliki pengalaman menilai siswa dengan model penilaian autentik (authentic assessment). Penilaian autentik meniscayakan guru menilai apa yang seharusnya dinilai, menilai dari banyak aspek, dan menilai dari berbagai sumber.
Dari perspektif teori evaluasi pendidikan dapat dipastikan bahwa penilaian otentik jauh lebih kredibel dari hasil UN. Syaratnya, guru-guru menilai siswa dengan jujur dan objektif. Melalui kegiatan ulangan harian, ujian tengah semester, ujian akhir semester, penugasan, dan mengobservasi perilaku siswa setiap hari, para guru sejatinya telah melakukan penilaian otentik. Jika serangkaian kegiatan penilaian itu dilakukan dengan jujur, hasilnya pasti lebih tepercaya.
Pertanyaannya, jika guru telah terlatih dengan penilaian autentik, bagaimana dengan UN? Sebagaimana fungsi awalnya, UN penting untuk memetakan mutu pendidikan. Tetapi pelaksanaan UN tidak harus setiap tahun. Yang terpenting, hasil UN dijadikan rujukan pembinaan sekolah. Dana besar yang dialokasikan untuk pelaksanaan UN dapat dimanfaatkan untuk membina sekolah-sekolah yang belum memenuhi standar minimal pelayanan pendidikan.
(kri)