Perguruan Tinggi: Jeopardy Kebijakan

Senin, 23 April 2018 - 07:52 WIB
Perguruan Tinggi: Jeopardy...
Perguruan Tinggi: Jeopardy Kebijakan
A A A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

PENANDATANGANAN Peraturan Presiden Nomor 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) pada akhirnya memunculkan serentetan polemik. Era interaksi yang sangat terbuka di mana kegiatan ekonomi antarwilayah dan antarnegara semakin intens dan menggeliat turut melahirkan tuntutan adanya suplai tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pasar (market needs).

Isu terbaru mulai merambah dunia akademik dengan diundangnya dosen asing yang akan disebar pada berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta. Kemenristek Dikti sedianya akan menggunakan 200 dosen luar negeri untuk menunjang aktivitas transfer ilmu dan pengembangan penelitian di perguruan tinggi domestik.

Keberadaan perguruan tinggi memang sangat vital di dalam kerangka pembangunan di suatu negara. Perguruan tinggi baik yang berstatus negeri maupun swasta memiliki kewajiban yang setara dan sangat jelas untuk menghasilkan output yang mampu mendorong perekonomian.

Output yang diharapkan tidak hanya berupa lulusan perguruan tinggi, tetapi juga inovasi yang mendorong perbaikan secara menyeluruh pada sektor-sektor perekonomian mulai dari primer (pertanian dan pertambangan), sekunder (industri pengolahan) hingga tersier (jasa).

Saat ini beberapa provinsi tengah berada pada masa bonus demografi dan secara nasional diprediksi akan dimulai pada kisaran tahun 2020. Bonus demografi dimaknai sebagai momentum melimpahnya rasio penduduk di usia produktif (15–65 tahun) ketimbang usia non-produktif.

Peluang ini tentu harus dimanfaatkan secara optimal melalui penguatan kualitas SDM dan normalnya diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan yang moderat (memadai). Karena jika tidak, momentum bonus demografi akan justru menjadi ancaman demografi.

Ancaman yang didapat pemerintah adalah minimal tingginya tingkat pengangguran, meningkatnya ketimpangan, dan snowball effects-nya akan segera berimbas pada resistensi terhadap stabilitas sosial dan politik. Tentu ancaman ini perlu segera ditindak dengan cara yang tepat dan akurat. Akan tetapi betulkah perekrutan dosen asing menjadi solusi yang terbaik?

Pendidikan dan Ketimpangan
Saat ini banyak yang menilai bahwa hulu dari masalah ketimpangan di Indonesia adalah kualitas SDM dan daya dukung produksi yang tidak merata, baik apakah itu komparasi antarpenduduk maupun antarwilayah. Peran pendidikan turut menjadi salah satu faktor pemicu mengapa kualitas SDM dan akses untuk produktif menjadi kurang simetris.

Ada sekolah/perguruan tinggi dengan dukungan kualitas akademiknya mampu mengantarkan lulusannya menjadi SDM yang unggul di berbagai bidang. Ada juga sekolah/perguruan tinggi yang dengan bantuan jaringan alumninya mampu memiliki akses-akses “khusus” yang cenderung bernuansa kolusi/modal sosial.

Selain itu ada pula sekolah/perguruan tinggi yang pandai mengombinasikan keduanya sehingga menjadikan mereka sebagai institusi pendidikan yang sulit disaingi oleh sejawatnya. Faktor-faktor inilah yang kemudian membuat kualitas pendidikan (sebagai hulu pembangunan SDM) sulit merata, bahkan cenderung menciptakan aglomerasi (pemusatan) SDM berkualitas.

Kendati demikian, kondisi yang ada tidak lantas kita abaikan hingga terkesan “merawat” ketimpangan yang ada. Pekerjaan rumah yang sangat besar ini justru seharusnya turut mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah bibit-bibit pemerataan pembangunan.

Fokus kebijakan yang kita perlukan adalah bagaimana agar kualitas pendidikan menjadi lebih proporsional. Sebelum kita berkontemplasi tentang wacana penggunaan dosen asing, mari kita sejenak mereviu bagaimana kondisi eksisting dunia pendidikan kita, khususnya di tataran perguruan tinggi.

Pertama, dari sisi daya saing perguruan tinggi berdasarkan peringkat nasional yang disusun Kemenristek Dikti 2017 kemarin, praktis 10 besar perguruan tinggi untuk kategori non-politeknik hampir dimonopoli secara total oleh kampus dari Pulau Jawa. Hanya ada satu perguruan tinggi di luar Pulau Jawa, itu pun berada di peringkat 9 nasional.

Adapun untuk kategori politeknik, distribusi peringkat 10 besarnya cenderung lebih merata antara kampus dari Jawa dan non-Jawa. Politeknik dari Pulau Jawa “hanya” mengirimkan 6 delegasinya di peringkat 10 besar nasional. Sisanya dibagi antara perwakilan dari Pulau Sumatera (3 politeknik) dan Pulau Kalimantan (1 politeknik).

Meskipun belum tentu menjadi faktor utama penyebab munculnya ketimpangan antardaerah, fenomena ini bisa menjadi sebuah praduga bahwa Pulau Jawa sudah diuntungkan dengan keberadaan perguruan tinggi unggulan sebagai penyedia tenaga kerja berkualitas. Apalagi indikator yang digunakan dalam pemeringkatan tersebut terdiri atas empat komponen utama mulai dari kualitas SDM, kualitas kelembagaan, kualitas kemahasiswaan hingga kualitas penelitian dan publikasi ilmiah.

Keempat komponen sudah merefleksikan norma-norma ideal yang memang seharusnya dilahirkan dari rahim perguruan tinggi. Tugas kita adalah mendorong agar kampus-kampus yang lain mampu mengatasi ketertinggalan serta mendorong tiap daerah memiliki basis keunggulan melalui ketersediaan tenaga kerja berkualitas.

Kedua, koneksitas antara pengembangan keilmuan dan keterampilan dengan kebutuhan pasar ketenagakerjaan menjadi sebuah hal yang mutlak untuk dilakukan. Karena ada anekdot sederhana yang mengatakan apalah arti tingginya pendidikan jika tak mampu dimanfaatkan.
Tampaknya fenomena ini sedang menjangkiti negeri kita di mana jumlah pengangguran dari lulusan pendidikan menengah dan tinggi banyak yang tidak terserap oleh dunia kerja.

Berdasarkan data BPS (2017), jumlah pengangguran terbuka kita pada Agustus 2017 total mencapai 7,04 juta orang dan tercatat meningkat sekitar 10.000 orang bila dibandingkan dengan periode Agustus 2016. Dari jumlah tersebut, tingkat pengangguran terbuka (TPT) tertinggi ditempati lulusan SMK dan SMA yang masing-masing memiliki TPT sebesar 11,41% dan 8,29%. Adapun lulusan perguruan tinggi yang diwakili kategori diploma dan universitas tercatat memiliki TPT yang tidak kalah tinggi, yakni masing-masing sebesar 6,88% dan 5,18%.

Ironisnya, jumlah TPT di kategori SMK, diploma, dan universitas mengalami kenaikan dalam satu tahun terakhir. Padahal ketiga kategori tersebut justru yang diharapkan dapat mendongkrak produktivitas dan nilai tambah dalam negeri dengan basis keterampilan dan keilmuan yang lebih tinggi serta mendalam bila dibandingkan dengan jenjang-jenjang pendidikan lainnya.

Bagi yang telah bekerja pun belum tentu linier dengan pendidikan yang selama ini mereka tekuni. Justru tenaga kerja di tingkat pendidikan SD ke bawah, SMP, dan SMA yang lebih beruntung karena TPT-nya berhasil turun meskipun angkanya tidak terlalu signifikan.

Atas dasar tersebut, kita perlu ber-muhasabah mengapa kondisinya justru menjauh dari yang diharapkan. Dalam kacamata penulis, memang ada gejala-gejala yang membuat lingkungan pendidikan kita ibarat seperti kata pepatah “jauh tungku dari api”. Di lingkungan perguruan tinggi sendiri, tidak sedikit kolega kita yang lebih banyak disibukkan dengan serangkaian aturan yang malah menjauhkan diri dari norma kebutuhan. Misalnya terkait dengan pengembangan program studi (prodi) yang harus sesuai dengan nomenklatur.

Kebijakan ini sedikit banyak dinilai ikut menghambat perguruan tinggi untuk dapat mengembangkan prodi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, termasuk melibatkan local content yang seluas-luasnya karena terhalang ketentuan administratif. Kerja kelembagaan terhitung lebih melelahkan ketimbang sesuatu yang lebih kontekstual. Tentu dalam pandangan sistem kelembagaan hal tersebut jangan sampai dibiarkan.

Untungnya beberapa hari yang lalu, Kemenristek Dikti sudah berlaku arif dengan mempersilakan kampus untuk membuka prodi yang sesuai dengan kompetensi, kebutuhan pasar, dan SDM yang dimiliki, khususnya dikaitkan dengan kebutuhan pembangunan wilayah setempat. Jika tren ini terus berlanjut dan berkembang cepat, peran Kemenristek Dikti perlu didorong untuk bisa menjalankan penjaminan mutu (quality assurance) agar prodi tersebut tidak asal buka dan terus berkelanjutan.

Dengan demikian nantinya tidak sekadar menambah jumlah pengangguran terdidik yang lagi-lagi akan secara otomatis menambah kegalauan masyarakat, apakah pendidikan betul-betul menunjang kesejahteraan?

Hal lain yang perlu dievaluasi adalah eksistensi kebijakan sertifikasi dosen (serdos). Sejatinya program serdos dapat menggairahkan kinerja para dosen agar lebih profesional dan berkualitas dalam jumlah yang “wah”.

Selain itu pertukaran dosen antarperguruan tinggi seharusnya juga difasilitasi (melalui anggaran Kemenristek Dikti) untuk mendorong pemerataan kualitas pendidikan, khususnya di kampus yang tergolong masih berusia muda dan memang membutuhkan stimulan.

Sayangnya program serdos masih lebih banyak hanya dimanfaatkan sebagai instrumen insentif bagi pendapatan dosen. Belum menjadi motor tukar-menukar dosen antar-perguruan tinggi untuk bertukar pengalaman dan mencapai standar tertentu PT.

Mengenai isu yang tengah menghangat saat ini di mana Kemenristek Dikti berencana mendatangkan dosen asing (termasuk yang berstatus guru besar), bisa jadi hal itu merupakan wacana yang baik. Akan tetapi prognosisnya harus betul-betul pas, apakah kebijakan ini akan berjalan efektif?

Penulis berharap pemerintah dapat lebih bersabar untuk menunggu perkembangan karena bisa jadi permasalahan dasarnya bukan karena kualitas dosen-dosen kita yang biasa-biasa saja. Malah penulis menduga bahwa (sekali lagi) ada masalah reward and punishment yang lebih mendasar.

Selain itu isu penggunaan tenaga kerja asing masih cukup sensitif untuk sebagian masyarakat. Apalagi banyak tenaga kerja kita yang masih membutuhkan lapangan pekerjaan, termasuk di antaranya lulusan-lulusan perguruan tinggi potensial yang perlu di-make over agar menjadi dosen bertaraf internasional.

Andaikata Kemenristek Dikti tetap akan “nekat”, perlu ada jurus-jurus yang jitu agar wacana tersebut tidak menjadi salah kaprah di masa mendatang. Misalnya bagaimana proses kebijakan impor dosen asing akan bisa meningkatkan kualitas pendidikan bangsa.

Hal yang perlu digarisbawahi adalah di mana letak perbedaan kapasitas, hak, dan kewajiban antara dosen asing dan dosen lokal. Kalau semata-mata dari materi pembelajaran, buku, dan kurikulum di sebagian besar kampus dalam negeri sepertinya juga sudah menggunakan acuan/sumber literasi yang sama.

Selain itu dalam aktivitas penelitian juga perlu ditegaskan bagaimana nanti skema kerjanya. Kalau para dosen dan peneliti kita hanya akan menjadi pembuka jalan atau bahkan lebih buruknya lagi sekadar petugas lapangan atau co-author (bukan pelaku utamanya), apakah nanti akan berjalan sesuai dengan ekspektasi?

Dalam kondisi tertentu, khususnya penelitian yang bersifat sosial dan budaya, justru para dosen dan peneliti kita lebih menguasai struktur dan kultur sosial masyarakat. Mengapa bukan guru besar lokal yang diberi insentif (gaji dan fasilitas) sebesar itu dengan tuntutan hasil seperti yang hendak ditargetkan kepada dosen asing, yaitu fokus di publikasi jurnal dan pengembangan dunia akademik?

Insentif lain yang juga dibutuhkan adalah pola birokrasi penelitian yang melibatkan perguruan tinggi selama ini yang dinilai berbelit-belit hingga akhirnya banyak peneliti kita yang turun semangatnya karena proses penelitiannya relatif “terganggu” dengan persyaratan administratif.

Selama skema kelembagaannya belum dipersiapkan secara tuntas, ada baiknya jika pemerintah (dalam hal ini khususnya Kemenristek Dikti) untuk tidak lagi berspekulasi agar semangat pengembangan perguruan tinggi tidak menjadi pasang surut.

Perekrutan dosen asing belum tentu menjadi shortcut yang efektif jika tidak mempertimbangkan cost and benefit yang akan didapatkan dunia pendidikan kita. Justru kampus-kampus dalam negeri perlu lebih diapresiasi lagi agar mereka lebih bergairah untuk meningkatkan kinerjanya, khususnya melalui pengembangan SDM dan riset-riset terapan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan industri.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0652 seconds (0.1#10.140)