Kartini Zaman Now dalam Dunia yang Berubah
A
A
A
Marlinda Irwanti Anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI
ANAK-ANAK perempuan itu seharian berjalan-jalan di mal, sejak pukul 11.00 mereka sudah tiba di Tunjungan Plaza Surabaya. Halimah memilih kedai kue modern di plaza itu, menunggu temannya. Untuk mengisi waktu, ia memesan kue dan teh dan sambil terus-menerus melihat ponsel di tangannya. Halimah kemudian mencari tempat duduk yang dekat dengan colokan listrik untuk mengecas ponsel. Terlihat dari jauh dia menghampiri kasir, sepertinya bertanya password Wi-Fi di kedai itu. Namun sebelum sampai kembali di kursinya, Halimah menyempatkan diri berkali-kali berswafoto ria di dekat kasir.
Ketika jam menunjukkan pukul 18.00 WIB, Halimah masih terlihat duduk bercengkerama dengan teman-teman perempuannya yang menemuinya sejak siang tadi di kedai itu. Ketika Mal Tunjungan Plaza mulai ditinggal pengunjungnya pada hampir tengah malam, Halimah dan teman-temannya juga terlihat mulai bergegas meninggalkan kedai kue itu.
Hari ini Halimah bukan lagi wanita desa seperti ibunya, ia adalah wanita kota yang sibuk dan menjadi bagian dari hiruk-pikuk orang kota yang sibuk. Halimah juga adalah wajah lain wanita Indonesia zaman now.
Halimah mungkin salah satu dari sekian banyak perempuan Indonesia saat ini yang sibuk dengan aktivitas mereka. Mungkin juga Halimah adalah generasi kedua yang hidup di kota saat ini, keturunan dari ibunya yang bermigrasi ke kota setelah sawah dan ladang sudah tidak lagi bisa digarap karena sudah beralih fungsi menjadi perumahan real estate sejak 25 tahun lalu.
Populasi perempuan Indonesia usia sangat produktif mencapai 69,4 juta, lebih sedikit dibandingkan laki-laki yang mencapai 70,4 juta jiwa. Untuk usia produktif (50–64), perempuan lebih banyak dengan 16,91 juta, sedangkan laki-laki hanya 16,9 juta jiwa. Pada 2016, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 258 juta orang. Proporsi penduduk ini terdiri atas laki-laki 129,98 juta orang dan perempuan 128,71 juta orang.Rasio jenis kelamin penduduk Indonesia sebesar 101, artinya di antara 100 perempuan terdapat 101 laki-laki.
Jumlah laki-laki Indonesia yang lebih banyak daripada jumlah perempuan Indonesia memiliki implikasi bahwa usia harapan hidup dan kelahiran laki-laki lebih tinggi bila dibandingkan dengan perempuan. Sebagaimana yang terjadi juga di India, di mana jumlah laki-laki lebih banyak daripada perempuan menyebabkan populasi perempuan menghadapi ancaman, baik dari sisi budaya, fisik, maupun seksual. Kondisi ini menyebabkan perempuan Indonesia harus mampu hidup dalam kehidupan sosial dan budaya yang semakin terancam karena populasi yang semakin kecil.
Kekerasan terhadap perempuan jadi fenomena yang tidak bisa dihindari dalam situasi masyarakat Indonesia saat ini. Selama 2017, ada 348.000 kasus kekerasan terhadap perempuan yang didominasi KDRT dan pelecehan di duniasiber, yaitu 335.062 kasus. Pembunuhan terhadap istri, tingginya cerai gugat istri banyak disebabkan oleh situasi rumah tangga yang tidak aman menjadi kasus-kasus dominan. Selain itu, pada 2017 juga muncul kekerasan terhadap perempuan berbasis siber yang sering kali berhubungan dengan tubuh perempuan yang dijadikan objek pornografi. Komnas Perempuan mencatat ada 65 kasus yang dilaporkan. Salah satunya penyebaran foto dan video pribadi di media sosial (Eva, 2018).
Ruang Gerak yang Semakin Sempit
Perempuan Indonesia memiliki kebebasan yang luas, memasuki semua bidang kehidupan sosial. Namun pada kenyataannya, secara budaya, perempuan tidak mampu menguasai semua bidang kehidupan itu. Ada beberapa hal yang menyebabkan itu terjadi; pertama budaya patriarki yang ada di berbagai budaya masyarakat Indonesia menyebabkan perempuan menjadi properti dari masa ke masa. Budaya patriarki di berbagai bangsa di dunia menjadikan perempuan sebagai properti serta simbol-simbol penguasaan.
Kedua, ada mitos tentang kelemahan perempuan, secara fisik dan psikis. Bahwa perempuan memiliki kelemahan fisik dan psikis bilang dibandingkan dengan laki-laki yang lebih sempurna. Mitos ini kemudian memosisikan perempuan pada kaum yang lemah, yang harus dilindungi dan laki-laki adalah pahlawan perempuan. Mitos ini secara tidak langsung menempatkan perempuan menjadi masyarakat kelas dua dalam pandangan sosial-budaya.
Ketiga, beberapa budaya di Indonesia memiliki sistem sosial yang berbeda antara anak-anak laki dan anak perempuan. Bahkan, sistem ini dibentuk dalam pendidikan, pengetahuan, perkawinan, pembagian harta waris, sanksi, dan sebagainya. Hal ini berlawanan dengan hukum-hukum formal yang menempat laki-laki dan perempuan sama di mata hukum. Sistem sosial itu pula yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah. Salah satu contoh dalam sistem harta waris; perempuan mendapat satu bagian, sementara laki-laki mendapat dua bagian.
Paling tidak, tiga hal ini telah membelenggu perempuan Indonesia dalam sistem sosial sistem yang lebih luas dalam hubungan laki-laki dan perempuan di Indonesia.
Kelompok-kelompok postmodern melihat bahwa konstruksi sosial patriarki telah merugikan perempuan dalam berbagai hal. Hak-hak mendapat perhargaan di dunia kerja telah dibelenggu oleh konstruksi sosial patriarki ini. Secara psikologis, wanita memiliki kesadaran yang lemah terhadap persaingan hidup di berbagai segi kehidupan. Dominasi laki-laki telah membuat wanita kalah sebelum bertanding. Kendati saat ini perempuan Indonesia sudah banyak mengalami kemajuan, tidak banyak perempuan di pedesaan yang jumlahnya mayoritas mengalami kemajuan seperti perempuan di kota.
Euforia Emansipasi
Kehidupan perempuan Indonesia di kota dan di desa saat ini, terutama di pedesaan luar Jawa, memiliki perbedaan yang kontras. Perempuan-perempuan di desa sangat kuat terikat dengan bias budaya patriarki yang dijelaskan di atas. Sementara perempuan di pedesaan Jawa, saat ini sedikit demi sedikit melepaskan diri dari ikatan patriarki.
Perempuan Indonesia saat ini, terutama di kota, lebih banyak tenggelam dalam euforia emansipasi. Emansipasi yang paling besar adalah di bidang lapangan kerja. Perempuan-perempuan Indonesia merasa memasuki dunia kerja sebagai kewajiban, bukan lagi membantu ekonomi keluarga karena sokongan ekonomi suami tidaklah kuat. Emansipasi yang dulu diperjuangkan Kartini, untuk meningkatkan pendidikan perempuan-perempuan Indonesia serta memperjuangkan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan di bidang pendidikan, telah berubah menjadi euforia kesempatan mencari materialisme di luar keluarga dengan mengorbankan peran perempuan di dalam keluarga. Keberanian perempuan Indonesia ini terlihat dari begitu semangat mereka meninggalkan keluarga, pergi ke kota atau ke luar negeri untuk bekerja, sementara suami dan anak-anaknya ditinggal di desa.
Menjadi Perempuan Indonesia
Menjadi perempuan Indonesia adalah takdir yang tidak bisa dihindari, namun menjadi perempuan yang kuat dalam mempertahankan nilai-nilai sosial dan budaya Indonesia adalah pilihan yang dapat dibuat oleh seluruh perempuan Indonesia.
Pada kenyataannya, ketika perempuan-perempuan Indonesia harus berada jauh dari keluarganya atau berada di masyarakat yang berbeda budaya dan nilai-nilai sosial, sifat-sifat lemah mereka tidak dapat diatasi. Berbagai kasus menimpa perempuan Indonesia di perkotaan atau di luar negeri yang apabila dikaji secara teliti maka jawabannya adalah karena jauhnya perempuan itu dari keluarganya dan masyarakatnya. Dengan kata lain, sistem patriarki belum memberikan rasa aman terhadap perempuan yang ingin keluar dari sistem ini. Patriarki adalah sistem yang dibuat untuk kekuasaan laki-laki terhadap perempuan yang telah ada sejak masyarakat ada. Perempuan yang berada di luar sistem ini, maka dia hanya menjadi objek kekuasaan laki-laki tanpa harus mendapat perlindungan laki-laki. Dengan demikian maka dalam pandangan patriarki, selemah-lemahnya perempuan adalah mereka yang tak memiliki keluarga, dan sebaik-baiknya perempuan apabila ia masih berada dalam keluarganya.
Dengan demikian maka perempuan Indonesia boleh saja menjadi agen bangsa, agen perubahan, namun kesadarannya sebagai perempuan Indonesia tidak boleh ditinggalkan. Perempuan Indonesia yang selalu memiliki dan menjunjung tinggi nilai dan moral bangsa Indonesia adalah kelebihan perempuan Indonesia. Perubahan sosial dan budaya dalam kehidupan dunia yang “semakin kecil”, seperti saat ini, bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, namun perubahan itu sesungguhnya harus membawa perempuan Indonesia pada jalan yang benar, terang benderang setelah kegelapan, yaitu jalan yang memberikan kemajuan bagi perempuan Indonesia tanpa harus meninggalkan keindonesiaannya.
ANAK-ANAK perempuan itu seharian berjalan-jalan di mal, sejak pukul 11.00 mereka sudah tiba di Tunjungan Plaza Surabaya. Halimah memilih kedai kue modern di plaza itu, menunggu temannya. Untuk mengisi waktu, ia memesan kue dan teh dan sambil terus-menerus melihat ponsel di tangannya. Halimah kemudian mencari tempat duduk yang dekat dengan colokan listrik untuk mengecas ponsel. Terlihat dari jauh dia menghampiri kasir, sepertinya bertanya password Wi-Fi di kedai itu. Namun sebelum sampai kembali di kursinya, Halimah menyempatkan diri berkali-kali berswafoto ria di dekat kasir.
Ketika jam menunjukkan pukul 18.00 WIB, Halimah masih terlihat duduk bercengkerama dengan teman-teman perempuannya yang menemuinya sejak siang tadi di kedai itu. Ketika Mal Tunjungan Plaza mulai ditinggal pengunjungnya pada hampir tengah malam, Halimah dan teman-temannya juga terlihat mulai bergegas meninggalkan kedai kue itu.
Hari ini Halimah bukan lagi wanita desa seperti ibunya, ia adalah wanita kota yang sibuk dan menjadi bagian dari hiruk-pikuk orang kota yang sibuk. Halimah juga adalah wajah lain wanita Indonesia zaman now.
Halimah mungkin salah satu dari sekian banyak perempuan Indonesia saat ini yang sibuk dengan aktivitas mereka. Mungkin juga Halimah adalah generasi kedua yang hidup di kota saat ini, keturunan dari ibunya yang bermigrasi ke kota setelah sawah dan ladang sudah tidak lagi bisa digarap karena sudah beralih fungsi menjadi perumahan real estate sejak 25 tahun lalu.
Populasi perempuan Indonesia usia sangat produktif mencapai 69,4 juta, lebih sedikit dibandingkan laki-laki yang mencapai 70,4 juta jiwa. Untuk usia produktif (50–64), perempuan lebih banyak dengan 16,91 juta, sedangkan laki-laki hanya 16,9 juta jiwa. Pada 2016, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 258 juta orang. Proporsi penduduk ini terdiri atas laki-laki 129,98 juta orang dan perempuan 128,71 juta orang.Rasio jenis kelamin penduduk Indonesia sebesar 101, artinya di antara 100 perempuan terdapat 101 laki-laki.
Jumlah laki-laki Indonesia yang lebih banyak daripada jumlah perempuan Indonesia memiliki implikasi bahwa usia harapan hidup dan kelahiran laki-laki lebih tinggi bila dibandingkan dengan perempuan. Sebagaimana yang terjadi juga di India, di mana jumlah laki-laki lebih banyak daripada perempuan menyebabkan populasi perempuan menghadapi ancaman, baik dari sisi budaya, fisik, maupun seksual. Kondisi ini menyebabkan perempuan Indonesia harus mampu hidup dalam kehidupan sosial dan budaya yang semakin terancam karena populasi yang semakin kecil.
Kekerasan terhadap perempuan jadi fenomena yang tidak bisa dihindari dalam situasi masyarakat Indonesia saat ini. Selama 2017, ada 348.000 kasus kekerasan terhadap perempuan yang didominasi KDRT dan pelecehan di duniasiber, yaitu 335.062 kasus. Pembunuhan terhadap istri, tingginya cerai gugat istri banyak disebabkan oleh situasi rumah tangga yang tidak aman menjadi kasus-kasus dominan. Selain itu, pada 2017 juga muncul kekerasan terhadap perempuan berbasis siber yang sering kali berhubungan dengan tubuh perempuan yang dijadikan objek pornografi. Komnas Perempuan mencatat ada 65 kasus yang dilaporkan. Salah satunya penyebaran foto dan video pribadi di media sosial (Eva, 2018).
Ruang Gerak yang Semakin Sempit
Perempuan Indonesia memiliki kebebasan yang luas, memasuki semua bidang kehidupan sosial. Namun pada kenyataannya, secara budaya, perempuan tidak mampu menguasai semua bidang kehidupan itu. Ada beberapa hal yang menyebabkan itu terjadi; pertama budaya patriarki yang ada di berbagai budaya masyarakat Indonesia menyebabkan perempuan menjadi properti dari masa ke masa. Budaya patriarki di berbagai bangsa di dunia menjadikan perempuan sebagai properti serta simbol-simbol penguasaan.
Kedua, ada mitos tentang kelemahan perempuan, secara fisik dan psikis. Bahwa perempuan memiliki kelemahan fisik dan psikis bilang dibandingkan dengan laki-laki yang lebih sempurna. Mitos ini kemudian memosisikan perempuan pada kaum yang lemah, yang harus dilindungi dan laki-laki adalah pahlawan perempuan. Mitos ini secara tidak langsung menempatkan perempuan menjadi masyarakat kelas dua dalam pandangan sosial-budaya.
Ketiga, beberapa budaya di Indonesia memiliki sistem sosial yang berbeda antara anak-anak laki dan anak perempuan. Bahkan, sistem ini dibentuk dalam pendidikan, pengetahuan, perkawinan, pembagian harta waris, sanksi, dan sebagainya. Hal ini berlawanan dengan hukum-hukum formal yang menempat laki-laki dan perempuan sama di mata hukum. Sistem sosial itu pula yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah. Salah satu contoh dalam sistem harta waris; perempuan mendapat satu bagian, sementara laki-laki mendapat dua bagian.
Paling tidak, tiga hal ini telah membelenggu perempuan Indonesia dalam sistem sosial sistem yang lebih luas dalam hubungan laki-laki dan perempuan di Indonesia.
Kelompok-kelompok postmodern melihat bahwa konstruksi sosial patriarki telah merugikan perempuan dalam berbagai hal. Hak-hak mendapat perhargaan di dunia kerja telah dibelenggu oleh konstruksi sosial patriarki ini. Secara psikologis, wanita memiliki kesadaran yang lemah terhadap persaingan hidup di berbagai segi kehidupan. Dominasi laki-laki telah membuat wanita kalah sebelum bertanding. Kendati saat ini perempuan Indonesia sudah banyak mengalami kemajuan, tidak banyak perempuan di pedesaan yang jumlahnya mayoritas mengalami kemajuan seperti perempuan di kota.
Euforia Emansipasi
Kehidupan perempuan Indonesia di kota dan di desa saat ini, terutama di pedesaan luar Jawa, memiliki perbedaan yang kontras. Perempuan-perempuan di desa sangat kuat terikat dengan bias budaya patriarki yang dijelaskan di atas. Sementara perempuan di pedesaan Jawa, saat ini sedikit demi sedikit melepaskan diri dari ikatan patriarki.
Perempuan Indonesia saat ini, terutama di kota, lebih banyak tenggelam dalam euforia emansipasi. Emansipasi yang paling besar adalah di bidang lapangan kerja. Perempuan-perempuan Indonesia merasa memasuki dunia kerja sebagai kewajiban, bukan lagi membantu ekonomi keluarga karena sokongan ekonomi suami tidaklah kuat. Emansipasi yang dulu diperjuangkan Kartini, untuk meningkatkan pendidikan perempuan-perempuan Indonesia serta memperjuangkan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan di bidang pendidikan, telah berubah menjadi euforia kesempatan mencari materialisme di luar keluarga dengan mengorbankan peran perempuan di dalam keluarga. Keberanian perempuan Indonesia ini terlihat dari begitu semangat mereka meninggalkan keluarga, pergi ke kota atau ke luar negeri untuk bekerja, sementara suami dan anak-anaknya ditinggal di desa.
Menjadi Perempuan Indonesia
Menjadi perempuan Indonesia adalah takdir yang tidak bisa dihindari, namun menjadi perempuan yang kuat dalam mempertahankan nilai-nilai sosial dan budaya Indonesia adalah pilihan yang dapat dibuat oleh seluruh perempuan Indonesia.
Pada kenyataannya, ketika perempuan-perempuan Indonesia harus berada jauh dari keluarganya atau berada di masyarakat yang berbeda budaya dan nilai-nilai sosial, sifat-sifat lemah mereka tidak dapat diatasi. Berbagai kasus menimpa perempuan Indonesia di perkotaan atau di luar negeri yang apabila dikaji secara teliti maka jawabannya adalah karena jauhnya perempuan itu dari keluarganya dan masyarakatnya. Dengan kata lain, sistem patriarki belum memberikan rasa aman terhadap perempuan yang ingin keluar dari sistem ini. Patriarki adalah sistem yang dibuat untuk kekuasaan laki-laki terhadap perempuan yang telah ada sejak masyarakat ada. Perempuan yang berada di luar sistem ini, maka dia hanya menjadi objek kekuasaan laki-laki tanpa harus mendapat perlindungan laki-laki. Dengan demikian maka dalam pandangan patriarki, selemah-lemahnya perempuan adalah mereka yang tak memiliki keluarga, dan sebaik-baiknya perempuan apabila ia masih berada dalam keluarganya.
Dengan demikian maka perempuan Indonesia boleh saja menjadi agen bangsa, agen perubahan, namun kesadarannya sebagai perempuan Indonesia tidak boleh ditinggalkan. Perempuan Indonesia yang selalu memiliki dan menjunjung tinggi nilai dan moral bangsa Indonesia adalah kelebihan perempuan Indonesia. Perubahan sosial dan budaya dalam kehidupan dunia yang “semakin kecil”, seperti saat ini, bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, namun perubahan itu sesungguhnya harus membawa perempuan Indonesia pada jalan yang benar, terang benderang setelah kegelapan, yaitu jalan yang memberikan kemajuan bagi perempuan Indonesia tanpa harus meninggalkan keindonesiaannya.
(pur)