The Power of Impulse and Instinct
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
ADA ungkapan bijak yang mengatakan: Without meaning life is guided by impulse and instinct. Hidup tanpa kesadaran makna adalah tak ubahnya manusia hidup dalam level hewani yang hanya digerakkan oleh dorongan emosi dan insting.
Meminjam frase Hobbes, hidup hanya digerakkan oleh motif avoiding the pain, searching for the pleasure. Menghindari kepedihan dan mengejar kenikmatan, yang keduanya bersifat fisikalemosional.
Dua kecenderungan ini secara simbolis dan kasatmata terlihat pada dua hal, seperti banyaknya rumah sakit dan restoran. Rumah sakit menunjukkan ketakutan orang agar terhindar dari derita hidup, sedangkan restoran adalah simbol pusat kelezatan. Tentu saja apa yang masuk kategori derita dan kelezatan hidup bisa diperluas variasinya. Kelezatan tidak sekadar makan memenuhi selera lidah, ada juga sexual need dan sebagainya.
Kekuatan nalar, nurani, dan agama memberikan perspektif lebih luas dan lebih tinggi jika kita bicara tentang hidup yang bermakna (meaningful life). Pertama sebuah kesadaran bahwa hidup itu sebuah perjalanan dan pencarian makna tanpa akhir, yang sekaligus juga merupakan anugerah dan amanah. Seseorang akan merasa bahagia dan bermakna ketika dirinya produktif dan bermakna bagi orang lain.
Agama dan peradaban apapun akan sepakat terhadap konsep summum honum, bahwa manusia selalu ingin meraih kebaikan tertinggi. Itulah fitrah manusia, yang memang merupakan blueprint Ilahi. Selalu ingin meraih kebaikan, kebenaran, keindahan, kedamaian, dan kemerdekaan diri.
Jika kita tidak mampu naik tingkat berada pada tataran dan gelombang hidup yang lebih rasional dan spiritual, kehidupan akan terjatuh dan berputar-putar pada level hidup hewani yang semata berdasarkan insting. Hiruk-pikuk politik hari ini bisa saja menyimpan blind spot, sebuah lubang dalam kegelapan, yang bisa membuat kita terjatuh, masuk kubangan politik murahan karena semata dorongan nafsu untuk berkuasa tanpa bimbingan dan komitmen nalar sehat, jernih, dan hati nurani.
Orang sibuk memikirkan kepentingan dirinya, tetapi menggunakan dalih agama dan kepentingan negara dan bangsa. Tidak jelas konsep dan agenda membangun bangsa dan melayani masyarakat, terkalahkan oleh nafsu pribadi yang mengakumulasi dan menggurita dalam kelompok.
Orang kehilangan autentisitas jati dirinya, lebur dalam identitas dan kerumunan massa. Ciri massa cenderung mengedepankan emosi, mudah diprovokasi, mudah hanyut dalam solidaritas kelompok sesaat, namun semakin jauh dari nalar sehat. Karena impulse dan instinct hanya mengetahui enak dan tidak enak, hanya merasakan suka dan tidak suka, maka pertimbangan nalar tentang benar dan salah lalu terpinggirkan. Itulah kerja insinct hewani. Secara psikologis, apa yang disebut tindakan dosa semuanya adalah akibat dari kelemahan nalar seseorang dalam mengendalikan instingnya.
Gunanya pendidikan dan agama adalah untuk mengangkat derajat seseorang dari level hewani agar naik ke level insani dan rohani. Namun, tingkat kepintaran dan pendidikan seseorang tidak menjamin seseorang semakin bijak dan arif, jika tidak membiasakan untuk berpikir, berbicara, dan bertindak yang benar serta rasional, tidak semata untuk mengejar hal-hal yang menyenangkan. Ketika melihat para politisi tampil debat di televisi kadang terlihat nyata, ada di antara mereka yang tidak mampu mengontrol emosinya dan egonya.
Ketika sedikit saja egonya tersentuh, langsung emosinya terbakar, lupa bahwa mereka berbicara di depan publik, lupa bahwa mereka seorang sarjana, lupa bahwa mereka tokoh publik atau statusnya sebagai wakil rakyat. Jadi, ketika ruang kebebasan terbuka lebar atau tak lagi di bayangi oleh peraturan negara yang mengekang, sekarang terlihat bahwa banyak dari kita yang perilakunya ternyata belum dewasa.
Mereka terkena the dizzy of freedom atau mabuk kebebasan. Mereka melupakan kepantasan sosial sehingga justru bisa menjatuh kan martabat dirinya. Wacana di ruang publik menjadi pengap dan turun kualitasnya. Kata-kata lalu ke hilangan wibawa dan maknanya.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
ADA ungkapan bijak yang mengatakan: Without meaning life is guided by impulse and instinct. Hidup tanpa kesadaran makna adalah tak ubahnya manusia hidup dalam level hewani yang hanya digerakkan oleh dorongan emosi dan insting.
Meminjam frase Hobbes, hidup hanya digerakkan oleh motif avoiding the pain, searching for the pleasure. Menghindari kepedihan dan mengejar kenikmatan, yang keduanya bersifat fisikalemosional.
Dua kecenderungan ini secara simbolis dan kasatmata terlihat pada dua hal, seperti banyaknya rumah sakit dan restoran. Rumah sakit menunjukkan ketakutan orang agar terhindar dari derita hidup, sedangkan restoran adalah simbol pusat kelezatan. Tentu saja apa yang masuk kategori derita dan kelezatan hidup bisa diperluas variasinya. Kelezatan tidak sekadar makan memenuhi selera lidah, ada juga sexual need dan sebagainya.
Kekuatan nalar, nurani, dan agama memberikan perspektif lebih luas dan lebih tinggi jika kita bicara tentang hidup yang bermakna (meaningful life). Pertama sebuah kesadaran bahwa hidup itu sebuah perjalanan dan pencarian makna tanpa akhir, yang sekaligus juga merupakan anugerah dan amanah. Seseorang akan merasa bahagia dan bermakna ketika dirinya produktif dan bermakna bagi orang lain.
Agama dan peradaban apapun akan sepakat terhadap konsep summum honum, bahwa manusia selalu ingin meraih kebaikan tertinggi. Itulah fitrah manusia, yang memang merupakan blueprint Ilahi. Selalu ingin meraih kebaikan, kebenaran, keindahan, kedamaian, dan kemerdekaan diri.
Jika kita tidak mampu naik tingkat berada pada tataran dan gelombang hidup yang lebih rasional dan spiritual, kehidupan akan terjatuh dan berputar-putar pada level hidup hewani yang semata berdasarkan insting. Hiruk-pikuk politik hari ini bisa saja menyimpan blind spot, sebuah lubang dalam kegelapan, yang bisa membuat kita terjatuh, masuk kubangan politik murahan karena semata dorongan nafsu untuk berkuasa tanpa bimbingan dan komitmen nalar sehat, jernih, dan hati nurani.
Orang sibuk memikirkan kepentingan dirinya, tetapi menggunakan dalih agama dan kepentingan negara dan bangsa. Tidak jelas konsep dan agenda membangun bangsa dan melayani masyarakat, terkalahkan oleh nafsu pribadi yang mengakumulasi dan menggurita dalam kelompok.
Orang kehilangan autentisitas jati dirinya, lebur dalam identitas dan kerumunan massa. Ciri massa cenderung mengedepankan emosi, mudah diprovokasi, mudah hanyut dalam solidaritas kelompok sesaat, namun semakin jauh dari nalar sehat. Karena impulse dan instinct hanya mengetahui enak dan tidak enak, hanya merasakan suka dan tidak suka, maka pertimbangan nalar tentang benar dan salah lalu terpinggirkan. Itulah kerja insinct hewani. Secara psikologis, apa yang disebut tindakan dosa semuanya adalah akibat dari kelemahan nalar seseorang dalam mengendalikan instingnya.
Gunanya pendidikan dan agama adalah untuk mengangkat derajat seseorang dari level hewani agar naik ke level insani dan rohani. Namun, tingkat kepintaran dan pendidikan seseorang tidak menjamin seseorang semakin bijak dan arif, jika tidak membiasakan untuk berpikir, berbicara, dan bertindak yang benar serta rasional, tidak semata untuk mengejar hal-hal yang menyenangkan. Ketika melihat para politisi tampil debat di televisi kadang terlihat nyata, ada di antara mereka yang tidak mampu mengontrol emosinya dan egonya.
Ketika sedikit saja egonya tersentuh, langsung emosinya terbakar, lupa bahwa mereka berbicara di depan publik, lupa bahwa mereka seorang sarjana, lupa bahwa mereka tokoh publik atau statusnya sebagai wakil rakyat. Jadi, ketika ruang kebebasan terbuka lebar atau tak lagi di bayangi oleh peraturan negara yang mengekang, sekarang terlihat bahwa banyak dari kita yang perilakunya ternyata belum dewasa.
Mereka terkena the dizzy of freedom atau mabuk kebebasan. Mereka melupakan kepantasan sosial sehingga justru bisa menjatuh kan martabat dirinya. Wacana di ruang publik menjadi pengap dan turun kualitasnya. Kata-kata lalu ke hilangan wibawa dan maknanya.
(poe)