Menyoal Kitab Suci Itu Fiksi
A
A
A
Dalam program Indonesia Lawyers Club di sebuah televisi swasta pada 10 April 2018 Rocky Gerung mengatakan, kitab suci itu fiksi. Menurut dia, fiksi itu sangat bagus karena merupakan energi untuk membangkitkan imajinasi. Kitab suci itu, kata Rocky, adalah fiksi karena belum selesai.
Babad Jawa itu fiksi. Fungsi fiksi, kata dia menjelaskan, untuk mengaktifkan imajinasi, menuntun kita untuk berpikir lebih imajinatif. Rocky membedakan antara kata fiksi dan fiktif. Dia menerangkan, fiksi adalah kata benda, yaitu literatur, selalu ada pengertian literatur dalam fiksi. Dia mengklaim mempunyai argumen ketika mengatakan kitab suci itu fiksi karena dia berharap terhadap eskatologi dari kitab suci. “Tetapi kalau saya bilang kitab suci itu fiktif,” kata dia, “besok saya dipenjara.”
Dalam konteks ini kita perlu membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk mengetahui pengertian yang baku, akurat, dan benar tentang kata fiksi dan fiktif. Inilah metode ilmiah bagi ilmuwan untuk memahami makna yang baku dan benar tentang pengertian suatu kata atau istilah.
Rujukan kamus atau ensiklopedia sangat penting untuk menyamakan persepsi dan pengertian bagi para akademisi dan ilmuwan agar tidak terjadi silang pendapat yang menyebabkan topik atau wacana yang didiskusikan menjadi kacau dan simpang siur. Yang satu meng
artikan begini, yang lain mengartikan begitu. Diskursus atau topik yang dibahas tidak nyambung dan ngalor ngidul, tidak ilmiah, dan tidak akademis.
KBBI memberikan tiga makna tentang kata fiksi, yaitu (1) cerita rekaan (roman, novel, dsb); (2) rekaan, khayalan, tidak berdasarkan kenyataan. KBBI mengemukakan contoh: nama Menak Moncer adalah nama tokoh fiksi, bukan tokoh sejarah; (3) pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran. Selanjutnya, menurut KBBI, kata fiktif berarti bersifat fiksi; hanya terdapat di khayalan. KBBI memberikan
contoh: cerita “Pengantin Kali Ciliwung” ini adalah cerita fiktif belaka; contoh lain: bulan ini ia terpaksa membuat laporan fiktif kegiatan yang dikelolanya.
Itulah makna kata fiksi dan fiktif yang saya kutip dari kamus otoritatif KBBI yang disusun oleh para pakar bahasa Indonesia. Saya yakin, pengertian kata fiksi dan fiktif yang diberikan dalam KBBI itu merupakan pengertian yang baku, akurat, dan benar. Saya sedikit pun tidak meragukan pengertian kata fiksi dan fiktif yang terdapat dalam KBBI itu.
Jadi, menurut KBBI, pemakaian kata fiksi dan fiktif itu tergantung pada konteksnya. Kalau yang dimaksudkan adalah bendanya, maka yang digunakan adalah kata fiksi. Kalau yang dimaksudkan adalah kata sifatnya, maka yang dipakai adalah kata fiktif. Pada intinya, makna kata fiksi dan fiktif adalah identik, yaitu cerita rekaan, khayalan, dan tidak berdasarkan kenyataan. Berdasarkan makna, kata fiksi dan fiktif yang diberikan dalam KBBI ini, pemahaman Rocky Gerung yang membedakan pengertian kata fiksi dan fiktif adalah tidak akurat.
Pertanyaan kritis saya sebagai ilmuwan dan akademisi, Rocky Gerung merujuk kepada kamus atau ensiklopedia apa dalam mengartikan kata fiksi dan fiktif? Ini perlu dipertanyakan kepadanya karena dia-seperti dikutip di atas-membedakan pengertian kata fiksi dan fiktif. Menurut dia, kata fiksi memiliki konotasi positif karena merupakan kekuatan energi yang mengaktifkan dan membangkitkan imajinasi.
Adapun kata fiktif, menurut dia, mempunyai konotasi negatif yang berarti rekaan atau khayalan. Karena itu, dia mengatakan akan dipenjara kalau dia mengatakan kitab suci adalah fiktif. Jika pun dia memaknai kata fiksi itu menurut pengertian filsafat–jika menurut dia ada–saya tidak sependapat. Saya sebagai ilmuwan dan akademisi lebih percaya kepada kamus atau ensiklopedia yang menjadi rujukan baku dan acuan otoritatif keilmuan dan akademik dalam mengartikan kata fiksi dan fiktif.
Saya setuju dengan pernyataan Rocky Gerung yang meyakini bahwa kitab suci itu memberikan kekuatan energi yang membangkitkan dan mengaktifkan imajinasi dan menuntun para pemeluknya menjadi lebih imajinatif. Namun, dalam hal ini saya lebih suka berpendapat bahwa kitab suci itu memberikan energi kekuatan “inspirasi” dan “motivasi” selain berisi konten dan muatan pokoknya sebagai ajaran, petunjuk,
tuntunan, bimbingan, dan pedoman hidup para pemeluknya.
Artinya, kitab suci itu berfungsi dan berperan sebagai kekuatan penting dan strategis yang memberikan, mengaktifkan, dan membangkitkan inspirasi dan motivasi bagi para pemeluknya. Jadi kitab suci itu, menurut saya, memberikan tenaga kekuatan inspirasi dan motivasi, bukan kekuatan pembangkit imajinasi yang oleh Rocky Gerung disebut fiksi.
Dalam pernyataan kontroversialnya, Rocky Gerung menggeneralisasi semua kitab suci (tentunya termasuk Alquran) adalah fiksi. Dalam konteks ini saya ingin mengajukan argumentasi bahwa Alquran sebagai kitab suci adalah bukan fiksi (bukan hasil rekaan, karya khayalan, dan tidak berdasarkan fakta; catat, fiksi menurut pengertian KBBI, bukan menurut pengertian kontroversial Rocky Gerung).
Sejarah Alquran sebagai kitab suci sangat terang benderang. Alquran merupakan kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (570-632 M) melalui perantaraan Malaikat Jibril. Nabi Muhammad pertama kali menerima wahyu di Gua Hira pada 17 Ramadhan tahun pertama kenabian (610 M).
Nabi Muhammad menerima wahyu selama 23 tahun (13 tahun di Mekkah dan 10 di Madinah). Nabi membacakan wahyu itu kepada para
sahabatnya dan meminta para sahabatnya mencatat ayat-ayat Alquran itu di kulit binatang, pelepah kurma, atau di batu tipis karena pada masa itu belum ada kertas dan percetakan.
Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M) mulai mengumpulkan ayat-ayat Alquran dan upayanya diteruskan oleh Khalifah Usman bin Affan (644-656 M). Ringkas kata, sejarah turunnya dan pengumpulan wahyu yang kemudian dikompilasikan dalam bentuk kitab suci yang
dinamakan Alquran itu sangat jelas dan terang benderang. Alquran merupakan realitas ilahiah, fakta nubuwah (kenabian), bukan hasil rekaan, bukan karya khayalan, bukan kitab yang disusun berdasarkan imajinasi. Tegasnya, Kitab Suci Alquran bukan fiksi.
Babad Jawa itu fiksi. Fungsi fiksi, kata dia menjelaskan, untuk mengaktifkan imajinasi, menuntun kita untuk berpikir lebih imajinatif. Rocky membedakan antara kata fiksi dan fiktif. Dia menerangkan, fiksi adalah kata benda, yaitu literatur, selalu ada pengertian literatur dalam fiksi. Dia mengklaim mempunyai argumen ketika mengatakan kitab suci itu fiksi karena dia berharap terhadap eskatologi dari kitab suci. “Tetapi kalau saya bilang kitab suci itu fiktif,” kata dia, “besok saya dipenjara.”
Dalam konteks ini kita perlu membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk mengetahui pengertian yang baku, akurat, dan benar tentang kata fiksi dan fiktif. Inilah metode ilmiah bagi ilmuwan untuk memahami makna yang baku dan benar tentang pengertian suatu kata atau istilah.
Rujukan kamus atau ensiklopedia sangat penting untuk menyamakan persepsi dan pengertian bagi para akademisi dan ilmuwan agar tidak terjadi silang pendapat yang menyebabkan topik atau wacana yang didiskusikan menjadi kacau dan simpang siur. Yang satu meng
artikan begini, yang lain mengartikan begitu. Diskursus atau topik yang dibahas tidak nyambung dan ngalor ngidul, tidak ilmiah, dan tidak akademis.
KBBI memberikan tiga makna tentang kata fiksi, yaitu (1) cerita rekaan (roman, novel, dsb); (2) rekaan, khayalan, tidak berdasarkan kenyataan. KBBI mengemukakan contoh: nama Menak Moncer adalah nama tokoh fiksi, bukan tokoh sejarah; (3) pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran. Selanjutnya, menurut KBBI, kata fiktif berarti bersifat fiksi; hanya terdapat di khayalan. KBBI memberikan
contoh: cerita “Pengantin Kali Ciliwung” ini adalah cerita fiktif belaka; contoh lain: bulan ini ia terpaksa membuat laporan fiktif kegiatan yang dikelolanya.
Itulah makna kata fiksi dan fiktif yang saya kutip dari kamus otoritatif KBBI yang disusun oleh para pakar bahasa Indonesia. Saya yakin, pengertian kata fiksi dan fiktif yang diberikan dalam KBBI itu merupakan pengertian yang baku, akurat, dan benar. Saya sedikit pun tidak meragukan pengertian kata fiksi dan fiktif yang terdapat dalam KBBI itu.
Jadi, menurut KBBI, pemakaian kata fiksi dan fiktif itu tergantung pada konteksnya. Kalau yang dimaksudkan adalah bendanya, maka yang digunakan adalah kata fiksi. Kalau yang dimaksudkan adalah kata sifatnya, maka yang dipakai adalah kata fiktif. Pada intinya, makna kata fiksi dan fiktif adalah identik, yaitu cerita rekaan, khayalan, dan tidak berdasarkan kenyataan. Berdasarkan makna, kata fiksi dan fiktif yang diberikan dalam KBBI ini, pemahaman Rocky Gerung yang membedakan pengertian kata fiksi dan fiktif adalah tidak akurat.
Pertanyaan kritis saya sebagai ilmuwan dan akademisi, Rocky Gerung merujuk kepada kamus atau ensiklopedia apa dalam mengartikan kata fiksi dan fiktif? Ini perlu dipertanyakan kepadanya karena dia-seperti dikutip di atas-membedakan pengertian kata fiksi dan fiktif. Menurut dia, kata fiksi memiliki konotasi positif karena merupakan kekuatan energi yang mengaktifkan dan membangkitkan imajinasi.
Adapun kata fiktif, menurut dia, mempunyai konotasi negatif yang berarti rekaan atau khayalan. Karena itu, dia mengatakan akan dipenjara kalau dia mengatakan kitab suci adalah fiktif. Jika pun dia memaknai kata fiksi itu menurut pengertian filsafat–jika menurut dia ada–saya tidak sependapat. Saya sebagai ilmuwan dan akademisi lebih percaya kepada kamus atau ensiklopedia yang menjadi rujukan baku dan acuan otoritatif keilmuan dan akademik dalam mengartikan kata fiksi dan fiktif.
Saya setuju dengan pernyataan Rocky Gerung yang meyakini bahwa kitab suci itu memberikan kekuatan energi yang membangkitkan dan mengaktifkan imajinasi dan menuntun para pemeluknya menjadi lebih imajinatif. Namun, dalam hal ini saya lebih suka berpendapat bahwa kitab suci itu memberikan energi kekuatan “inspirasi” dan “motivasi” selain berisi konten dan muatan pokoknya sebagai ajaran, petunjuk,
tuntunan, bimbingan, dan pedoman hidup para pemeluknya.
Artinya, kitab suci itu berfungsi dan berperan sebagai kekuatan penting dan strategis yang memberikan, mengaktifkan, dan membangkitkan inspirasi dan motivasi bagi para pemeluknya. Jadi kitab suci itu, menurut saya, memberikan tenaga kekuatan inspirasi dan motivasi, bukan kekuatan pembangkit imajinasi yang oleh Rocky Gerung disebut fiksi.
Dalam pernyataan kontroversialnya, Rocky Gerung menggeneralisasi semua kitab suci (tentunya termasuk Alquran) adalah fiksi. Dalam konteks ini saya ingin mengajukan argumentasi bahwa Alquran sebagai kitab suci adalah bukan fiksi (bukan hasil rekaan, karya khayalan, dan tidak berdasarkan fakta; catat, fiksi menurut pengertian KBBI, bukan menurut pengertian kontroversial Rocky Gerung).
Sejarah Alquran sebagai kitab suci sangat terang benderang. Alquran merupakan kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (570-632 M) melalui perantaraan Malaikat Jibril. Nabi Muhammad pertama kali menerima wahyu di Gua Hira pada 17 Ramadhan tahun pertama kenabian (610 M).
Nabi Muhammad menerima wahyu selama 23 tahun (13 tahun di Mekkah dan 10 di Madinah). Nabi membacakan wahyu itu kepada para
sahabatnya dan meminta para sahabatnya mencatat ayat-ayat Alquran itu di kulit binatang, pelepah kurma, atau di batu tipis karena pada masa itu belum ada kertas dan percetakan.
Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M) mulai mengumpulkan ayat-ayat Alquran dan upayanya diteruskan oleh Khalifah Usman bin Affan (644-656 M). Ringkas kata, sejarah turunnya dan pengumpulan wahyu yang kemudian dikompilasikan dalam bentuk kitab suci yang
dinamakan Alquran itu sangat jelas dan terang benderang. Alquran merupakan realitas ilahiah, fakta nubuwah (kenabian), bukan hasil rekaan, bukan karya khayalan, bukan kitab yang disusun berdasarkan imajinasi. Tegasnya, Kitab Suci Alquran bukan fiksi.
(nag)