Nasionalisme dan Perkuliahan Digital
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
Era perkuliahan digital sudah dimulai, meski masih terbatas pada sejumlah program studi di beberapa universitas. Otoritas pendidikan tinggi telah memberikan sinyal untuk mengurangi perkuliahan tatap muka.
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek-Dikti) dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa perguruan tinggi di Indonesia harus sudah mulai mengembangkan sistem perkuliahan berkonsep e-learning atau berbasis teknologi informasi. Perkembangan perguruan tinggi di masa datang tidak lagi mengandalkan gedung-gedung pusat kegiatan dan perkuliahan, tetapi berubah menjadi berbasis teknologi informasi. Sistem perkuliahan tidak dilakukan di dalam kelas, namun bisa hanya dengan sambungan komunikasi jarak jauh menggunakan komputer yang tersambung dengan internet.
Menjadi keniscayaan, memasuki era revolusi industri 4.0, pengelolaan pendidikan tinggi mesti berbasis digital. Sumber daya manusia perguruan tinggi perlu bersikap progresif, inovatif, agar mampu merespons masa depan yang sangat kompetitif.
Pertanyaannya: bagaimana menempatkan nasionalisme dalam perkuliahan digital? Jawaban pertanyaan ini akan menentukan arah kebijakan pendidikan tinggi pada masa akan datang. Kita berharap perkuliahan dengan model apa pun, tidak terjebak pada hal-hal teknis belaka. Diharapkan pula, jangan sampai perkuliahan digital, sekadar transfer pengetahuan (knowledge) semata, tetapi tunanasionalisme. Esensi pendidikan tinggi sebagai upaya pembentukan karakter bagi tunas-tunas bangsa yang cerdas, terampil, mandiri, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu terus-menerus dipedomani dan tidak boleh sekali-kali terabaikan.
Pada satu sisi, fenomena perkuliahan digital patut diapresiasi sebagai respons terhadap revolusi industri 4.0, tetapi pada sisi lain perlu disampaikan catatan-catatan kritis terkait dengan urgensi nasionalisme. Artinya, nasionalisme mesti dijadikan karakter segenap insan akademik yang terlibat dalam penyelenggaraan perkuliahan digital.
Pertama, perlu ada upaya-upaya mengejawantahkan nilai-nilai kebangsaan menjadi pemikiran, sikap, dan perilaku nyata. Cinta Tanah Air, siap bela negara, berdiri di atas kaki sendiri (berdikari), adalah contoh-contoh karakter kebangsaan. Karakter kebangsaan merupakan penanda yang terukir pada jiwa. Karakter kebangsaan memperlihatkan jati diri, dan sekaligus pembeda dari bangsa lain. Agar bangsa ini berkarakter, nilai-nilai kebangsaan perlu terus diaktualisasikan. Perkuliahan digital mesti bernapaskan nasionalisme.
Kedua, pendidikan karakter kebangsaan merupakan strategi untuk melepaskan diri dari belenggu "penjajahan". Bangsa berkarakter dipastikan militan dalam perjuangan membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan. Negara merdeka berkarakter kebangsaan, dipastikan sarat dengan aktivitas penjabaran nilai-nilai Pancasila di dalam penyelenggaraan pendidikan. Perkuliahan digital pun mesti sarat dengan pengamalan Pancasila.
Ketiga, strategi pendidikan karakter kebangsaan dapat dimulai dari persamaan persepsi tentang hakikat pendidikan. Pendidikan adalah proses humanisasi demi terwujudnya manusia bertakwa dan berwawasan kebangsaan. Di dalam pendidikan, terhubung manusia dengan manusia lain, dengan Tuhannya, dan dengan alam semesta. Hubungan bersifat lahir dan batin. Mahasiswa dan dosen, dalam posisi sebagai hamba-Nya, dan kalifah-Nya. Dalam posisi demikian, kesadaran dan pemahaman akan dirinya sendiri, merupakan awal dan syarat terselenggarakannya proses pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, perkuliahan digital pun tidak boleh bersifat sekuler, tak boleh hanya fokus pada materi, inovasi, dan percepatan aktivitas saja.
Keempat, dalam perkuliahan digital, peran seorang dosen masih penting. Dosen, ibarat pinandita satria, adalah pejuang berkarakter kebangsaan yang ikhlas berjuang demi masa depan mahasiswa agar kelak memiliki ilmu dan mampu mengamalkan ilmunya untuk kejayaan bangsanya. Seorang dosen bukan sekadar pengajar, melainkan juga pendidik. Pengajaran berada di ranah lahiriah. Pengajaran merupakan aktivitas transfer of knowledge and skills saja. Sementara itu, pendidikan mencakup transfer of values, knowledge, and skills. Pendidikan berada di ranah lahir maupun batin, jiwa maupun raga, urusan dunia sampai urusan akhirat. Dosen adalah pendidik berkarakter kebangsaan yang mampu memberi keteladanan, sekaligus memperluas cakrawala keilmuan bagi mahasiswa. Dosen adalah motivator dan komunikator paling efektif dan pengaruhnya sangat besar pada mahasiswa. Perilaku dosen akan digugu, ditiru, dan diaktualisasikan mahasiswa secara kontekstual.
Menurut Menristek-Dikti, di era revolusi industri 4.0, setidaknya dibutuhkan lima kualifikasi dan kompetensi dosen, yaitu: (1) educational competence, kompetensi berbasis Internet of Thing sebagai basic skill; (2) competence in research, kompetensi membangun jaringan untuk menumbuhkan ilmu, arah riset, dan terampil mendapatkan grant internasional; (3) competence for technological commercialization, punya kompetensi membawa grup dan mahasiswa pada komersialisasi dengan teknologi atas hasil inovasi dan penelitian; (4) competence in globalization, dunia tanpa sekat, tidak gagap terhadap berbagai budaya, kompetensi hybrid, yaitu global competence dan keunggulan memecahkan national problem; serta (5) competence in future strategies, di mana dunia mudah berubah dan berjalan cepat, sehingga punya kompetensi memprediksi dengan tepat apa yang akan terjadi di masa depan dan strateginya, dengan cara joint-lecture, joint-research, joint-publication, joint-lab, staff mobility dan rotasi, paham arah SDG’s dan industri, dan sebagainya.
Dicermati saksama, dari lima kualifikasi dan kompetensi di atas, tidak satu pun yang mampu menggaransi mahasiswa tetap memiliki karakter kebangsaan. Bila pendidikan karakter kebangsaan terabaikan, output perkuliahan digital dikhawatirkan hanya menghasilkan "orang pintar", inovatif, cekatan, tetapi tunanasionalisme. Masalah ini tidak boleh terjadi, dan perlu dicari solusinya. Wallahu’alam.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
Era perkuliahan digital sudah dimulai, meski masih terbatas pada sejumlah program studi di beberapa universitas. Otoritas pendidikan tinggi telah memberikan sinyal untuk mengurangi perkuliahan tatap muka.
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek-Dikti) dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa perguruan tinggi di Indonesia harus sudah mulai mengembangkan sistem perkuliahan berkonsep e-learning atau berbasis teknologi informasi. Perkembangan perguruan tinggi di masa datang tidak lagi mengandalkan gedung-gedung pusat kegiatan dan perkuliahan, tetapi berubah menjadi berbasis teknologi informasi. Sistem perkuliahan tidak dilakukan di dalam kelas, namun bisa hanya dengan sambungan komunikasi jarak jauh menggunakan komputer yang tersambung dengan internet.
Menjadi keniscayaan, memasuki era revolusi industri 4.0, pengelolaan pendidikan tinggi mesti berbasis digital. Sumber daya manusia perguruan tinggi perlu bersikap progresif, inovatif, agar mampu merespons masa depan yang sangat kompetitif.
Pertanyaannya: bagaimana menempatkan nasionalisme dalam perkuliahan digital? Jawaban pertanyaan ini akan menentukan arah kebijakan pendidikan tinggi pada masa akan datang. Kita berharap perkuliahan dengan model apa pun, tidak terjebak pada hal-hal teknis belaka. Diharapkan pula, jangan sampai perkuliahan digital, sekadar transfer pengetahuan (knowledge) semata, tetapi tunanasionalisme. Esensi pendidikan tinggi sebagai upaya pembentukan karakter bagi tunas-tunas bangsa yang cerdas, terampil, mandiri, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu terus-menerus dipedomani dan tidak boleh sekali-kali terabaikan.
Pada satu sisi, fenomena perkuliahan digital patut diapresiasi sebagai respons terhadap revolusi industri 4.0, tetapi pada sisi lain perlu disampaikan catatan-catatan kritis terkait dengan urgensi nasionalisme. Artinya, nasionalisme mesti dijadikan karakter segenap insan akademik yang terlibat dalam penyelenggaraan perkuliahan digital.
Pertama, perlu ada upaya-upaya mengejawantahkan nilai-nilai kebangsaan menjadi pemikiran, sikap, dan perilaku nyata. Cinta Tanah Air, siap bela negara, berdiri di atas kaki sendiri (berdikari), adalah contoh-contoh karakter kebangsaan. Karakter kebangsaan merupakan penanda yang terukir pada jiwa. Karakter kebangsaan memperlihatkan jati diri, dan sekaligus pembeda dari bangsa lain. Agar bangsa ini berkarakter, nilai-nilai kebangsaan perlu terus diaktualisasikan. Perkuliahan digital mesti bernapaskan nasionalisme.
Kedua, pendidikan karakter kebangsaan merupakan strategi untuk melepaskan diri dari belenggu "penjajahan". Bangsa berkarakter dipastikan militan dalam perjuangan membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan. Negara merdeka berkarakter kebangsaan, dipastikan sarat dengan aktivitas penjabaran nilai-nilai Pancasila di dalam penyelenggaraan pendidikan. Perkuliahan digital pun mesti sarat dengan pengamalan Pancasila.
Ketiga, strategi pendidikan karakter kebangsaan dapat dimulai dari persamaan persepsi tentang hakikat pendidikan. Pendidikan adalah proses humanisasi demi terwujudnya manusia bertakwa dan berwawasan kebangsaan. Di dalam pendidikan, terhubung manusia dengan manusia lain, dengan Tuhannya, dan dengan alam semesta. Hubungan bersifat lahir dan batin. Mahasiswa dan dosen, dalam posisi sebagai hamba-Nya, dan kalifah-Nya. Dalam posisi demikian, kesadaran dan pemahaman akan dirinya sendiri, merupakan awal dan syarat terselenggarakannya proses pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, perkuliahan digital pun tidak boleh bersifat sekuler, tak boleh hanya fokus pada materi, inovasi, dan percepatan aktivitas saja.
Keempat, dalam perkuliahan digital, peran seorang dosen masih penting. Dosen, ibarat pinandita satria, adalah pejuang berkarakter kebangsaan yang ikhlas berjuang demi masa depan mahasiswa agar kelak memiliki ilmu dan mampu mengamalkan ilmunya untuk kejayaan bangsanya. Seorang dosen bukan sekadar pengajar, melainkan juga pendidik. Pengajaran berada di ranah lahiriah. Pengajaran merupakan aktivitas transfer of knowledge and skills saja. Sementara itu, pendidikan mencakup transfer of values, knowledge, and skills. Pendidikan berada di ranah lahir maupun batin, jiwa maupun raga, urusan dunia sampai urusan akhirat. Dosen adalah pendidik berkarakter kebangsaan yang mampu memberi keteladanan, sekaligus memperluas cakrawala keilmuan bagi mahasiswa. Dosen adalah motivator dan komunikator paling efektif dan pengaruhnya sangat besar pada mahasiswa. Perilaku dosen akan digugu, ditiru, dan diaktualisasikan mahasiswa secara kontekstual.
Menurut Menristek-Dikti, di era revolusi industri 4.0, setidaknya dibutuhkan lima kualifikasi dan kompetensi dosen, yaitu: (1) educational competence, kompetensi berbasis Internet of Thing sebagai basic skill; (2) competence in research, kompetensi membangun jaringan untuk menumbuhkan ilmu, arah riset, dan terampil mendapatkan grant internasional; (3) competence for technological commercialization, punya kompetensi membawa grup dan mahasiswa pada komersialisasi dengan teknologi atas hasil inovasi dan penelitian; (4) competence in globalization, dunia tanpa sekat, tidak gagap terhadap berbagai budaya, kompetensi hybrid, yaitu global competence dan keunggulan memecahkan national problem; serta (5) competence in future strategies, di mana dunia mudah berubah dan berjalan cepat, sehingga punya kompetensi memprediksi dengan tepat apa yang akan terjadi di masa depan dan strateginya, dengan cara joint-lecture, joint-research, joint-publication, joint-lab, staff mobility dan rotasi, paham arah SDG’s dan industri, dan sebagainya.
Dicermati saksama, dari lima kualifikasi dan kompetensi di atas, tidak satu pun yang mampu menggaransi mahasiswa tetap memiliki karakter kebangsaan. Bila pendidikan karakter kebangsaan terabaikan, output perkuliahan digital dikhawatirkan hanya menghasilkan "orang pintar", inovatif, cekatan, tetapi tunanasionalisme. Masalah ini tidak boleh terjadi, dan perlu dicari solusinya. Wallahu’alam.
(zik)