Polemik Dokter Terawan

Selasa, 10 April 2018 - 07:56 WIB
Polemik Dokter Terawan
Polemik Dokter Terawan
A A A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Hari-hari ini tagar (#) save dokter Terawan menggema di berbagai macam media sosial. Ihwal menggemanya tagar tersebut adalah sanksi pemberhentian sementara dokter Terawan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Putusan sanksi pemberhentian sementara oleh MKEK tersebut disebabkan karena dokter Terawan dianggap melanggar Pasal 4 dan Pasal 6 kode etik kedokteran Indonesia.

Menyikapi pro-kontra pemberhentian dokter Terawan, kemarin, Pengurus Besar (PB) IDI menggelar konferensi pers untuk menyampaikan penundaan pelaksanaan keputusan MKEK karena keadaan tertentu. PB IDI juga menegaskan bahwa hingga saat ini dokter Terawan masih berstatus sebagai anggota IDI.

Terlepas dari penundaan pelaksanaan keputusan MKEK itu, persoalan ini perlu dijernihkan kepada publik. Perlu pemahaman bahwa sanksi yang dijatuhkan MKEK itu semata-mata karena ada pelanggaran kode etik profesi.

Publik perlu dijernihkan persoalan yang sebenarnya mengingat arah tagar (#) save dokter Terawan menjadi bias antara persoalan etik dan persoalan substansi metode pengobatan.

Situasi ini diramaikan dengan testimoni banyak tokoh negara tentang metode pengobatan yang dikembangkan dokter Terawan maupun testimoni bersifat memberi support pada dokter Terawan.

Tidak ada yang salah dengan tagar (#) save dokter Terawan maupun testimoni tentang metode pengobatan hingga karya ilmiah terkait metode pengobatan yang dikembangkannya. Dengan situasi yang berkembang, publik semakin memahami metode pengobatan yang dikembangkan dokter Terawan.

Persoalan ini harus dipersepsikan secara jernih, yaitu murni persoalan etik kedokteran. Pentingnya mendudukkan persoalan ini secara tepat adalah untuk menghindari trial by the press terhadap masing-masing pihak.

Tampak dalam beberapa hari belakangan ini banyak pihak sibuk dengan peristiwa ini, mulai dari Menteri Kesehatan yang memberi pernyataan akan memediasi dokter Terawan dengan IDI.

Pernyataan Menteri Kesehatan tersebut ditindaklanjuti DPR RI dengan melakukan sidak ke tempat dokter Terawan bekerja hingga mengadakan rapat dengar pendapat yang mengundang berbagai pihak termasuk MKEK, Konsil Medik, Menteri kesehatan, tampak jelas terlihat persoalan ini semakin melebar.

Restutio In Integrum

Di dalam dunia hukum dikenal asas restutio in integrum, yang artinya kekacauan dalam masyarakat haruslah dipulihkan pada keadaan semula. Menjernihkan pangkal persoalan adalah cara memberi pemahaman pada publik sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran yang semakin membuat bias informasi beredar.

Perlu segera harus dijernihkan bahwa persoalan ini adalah terkait kode etik dan kode etik beserta penegakannya merupakan ranah absolut dari organisasi profesi dalam hal ini IDI.

Persoalan ini adalah murni persoalan profesional antara dokter dan etika yang ditetapkan IDI. Persoalan pelanggaran kode etik kedokteran ini adalah hal sudah sangat sering ditangani MKEK IDI.

Dalam hal ini, perlu diberikan ruang komunikasi bilateral antara dokter Terawan dan IDI mengingat ini adalah persoalan profesional dan induk organisasinya. Tentu saja sebagai negara hukum, dalam hal ini dokter Terawan sesuai mekanisme etik dapat membela dirinya sesuai Undang-Undang Praktik Kedokteran beserta turunannya.

Para elite politik tentu memahami bahwa memberi ruang pada IDI untuk menyelesaikan persoalan ini adalah jalan terbaik tanpa kegaduhan. Sebagian publik tentu bertanya secara reflektif, apakah para elite akan menaruh perhatian sama jika dokter lain terkena sanksi oleh MKEK IDI.

Asumsi yang dapat berkembang adalah para elite berlomba-lomba memberi testimoni, baik untuk dokter Terawan maupun melakukan upaya yang sifatnya akomodatif, karena dokter Terawan adalah dokter kepresidenan.

IDI adalah organisasi profesi tertua dan dokter Terawan adalah salah satu dokter senior terbaik dimiliki Indonesia yang tentu saja, baik IDI maupun dokter Terawan dapat menyelesaikan persoalan etik ini sesuai mekanisme dan peraturan perundangan berlaku. Intervensi dari para elite justru akan memberi contoh tidak baik dalam negara hukum.

Para elite juga tentu harus mempertimbangkan walaupun dokter Terawan adalah dokter kepresidenan dan para pejabat negara, tetapi bersangkutan tetaplah dokter yang tunduk pada kode etik profesi kedokteran. Penegakan atas kode etik profesi kedokteran dalam hal ini dilakukan oleh MKEK.

Jika klaim pelanggaran kode etik oleh MKEK keliru, tentu saja dokter Terawan dapat membela diri melalui forum resmi pembelaan diri yang disediakan oleh peraturan yang ada.

Untuk menjernihkan persoalan ini kepada masyarakat, semua pihak perlu menyadari bahwa hidup yang baik menghasilkan perbuatan baik, perbuatan yang baik melahirkan etika baik, dan etika yang baik melahirkan peraturan hukum yang baik.

Refleksi UU Praktik Kedokteran

Persoalan dokter Terawan mungkin dapat diantisipasi jika Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 dan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran Nomor 20 Tahun 2013 tidak terjadi benturan norma.

Persoalan substansial yang menyebabkan berlarutnya persoalan dokter Terawan ini adalah persoalan check and balances yang belum diakomodasi dalam UU 29/2004. Belum terakomodasinya check and balances ini terlihat dari belum adanya pemisahan yang jelas antara organisasi profesi dan kolegium kedokteran Indonesia.

Dalam UU 29/2004 Pasal 1 ayat (12) yang disebut organisasi profesi adalah ikatan dokter Indonesia untuk dokter dan persatuan dokter gigi Indonesia untuk dokter gigi.

Selanjutnya pada Pasal 1 ayat (13) kolegium kedokteran Indonesia dan kolegium kedokteran gigi Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu, ini menunjukkan bahwa secara hukum kedudukan kolegium kedokteran Indonesia adalah di bawah IDI sehingga peran check and balances tidak dapat berjalan dengan optimal.

Bias persoalan dokter Terawan ini tentu tidak akan terjadi, jika ada pemisahan jelas antara organisasi profesi yang bergerak memberi pelayanan kesehatan dalam hal ini IDI dan kolegium profesi kedokteran yang bergerak di bidang pendidikan dan pengembangan ilmu kedokteran.

Antisipasi agar pada kemudian hari tidak terjadi persoalan seperti yang dialami dokter Terawan adalah DPR bersama Menteri Kesehatan harus segera memasukkan revisi UU 29/2004 ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) agar segera ditindaklanjuti.

Revisi UU 29/2004 ini selain menghindari peristiwa serupa sebagaimana dialami dokter Terawan, tetapi tujuan besarnya adalah kesejahteraan bangsa. Pemisahan akan membuat IDI fokus pada memperjuangkan kesejahteraan profesi dalam melayani masyarakat sesuai amanat konstitusi yakni memajukan kesejahteraan umum.

Kolegium fokus pada pengembangan pengetahuan kedokteran sebagaimana amanat konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian dapat terwujud pelayanan kesehatan yang optimal untuk segenap bangsa Indonesia, sebagaimana amanat konstitusi dan program Nawacita Presiden Joko Widodo.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6106 seconds (0.1#10.140)