Iman yang Membebaskan

Jum'at, 06 April 2018 - 07:53 WIB
Iman yang Membebaskan
Iman yang Membebaskan
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

KITA sering kali atau bahkan selalu, saat dalam suasana galau, memiliki keinginan yang paradoksal. Satu sisi ingin menikmati kebebasan, tetapi ketika kebebasan diberikan sepenuhnya, kita juga dibuat lelah dan pusing oleh suasana yang serbabebas.

Dulu semasa Orde Baru kita menginginkan kebebasan untuk berserikat, berbicara, dan mengekspresikan perasaan serta pikiran sebebas-bebasnya karena merasa terkekang dan terancam oleh penguasa yang dinilai sebagai tiran. Tapi sekarang ketika ruang kebebasan terbuka lebar, bahkan kebebasan berbicara itu difasilitasi oleh media sosial (medsos), kita merasa pusing dan gaduh. Kritik dan caci maki bermunculan terhadap mereka yang berbeda agama dan aspirasi politiknya.

Oleh karenanya, kalau kita cermati dengan jeli, salah satu produk manusia dalam sejarah adalah menciptakan pagar dan batasan-batasan. Ribuan undang-undang (UU), peraturan, konvensi, traktat, kesepakatan, dan berbagai formula lain dirumuskan guna mengatur dan membatasi kebebasan manusia.

Kalau tidak ada aturan yang dikawal dengan kekuasaan, jika perlu dengan ancaman senjata, kehidupan manusia bagaikan homo homini lupus, demikian kata Thomas Hobbes. Ibarat serigala yang siap menerkam yang lain.

Masing-masing akan mengintai kelemahan dan kelengahan yang lain untuk menentukan saat dan cara yang tepat menerkam. Namun ketika peraturan dan pembatasan sudah menyesakkan, muncullah pemberontakan untuk merobohkan tembok pembatas itu.

Pergulatan antara kebebasan dan pembatasan juga terjadi dalam kehidupan dan keyakinan beragama. Filsuf seperti Sartre dan Nietzche dengan lantang menyuarakan agenda pembebasan manusia dari suasana ketertindasan dan perbudakan yang membuat manusia tidak merdeka, pikiran terkekang, serbatakut dan melumpuhkan potensi kehebatan dirinya.

Tawarannya yang paling ekstrem adalah agar membuang atau membunuh gagasan dan kepercayaan kepada Tuhan. Selama orang masih membayangkan Tuhan yang paling tahu urusan manusia dan selalu hadir mengatur serta menakut-nakuti manusia, selama itu pula manusia akan tetap terkondisikan sebagai budak. Umat beragama akan mengidap mental budak.

Sebatas tataran argumen, banyak orang yang terpengaruh dengan logika yang ditawarkannya. Namun pada tataran praksis, ketika kehidupan ini tak lagi memiliki pijakan nilai dan keyakinan yang absolut, seseorang justru bisa mabuk dan gila karena kebebasan yang tak terbatas, yang berujung pada nihilisme, bukan sekadar relativisme.

Orang akan terjangkiti the dizzy of freedom. Di situlah suasana paradoksal manusia, selalu merasa terjepit antara dorongan untuk mengelana––fisik dan pikiran––dalam suasana kebebasan serta pencarian tempat yang aman dan nyaman karena kebebasan tanpa batas bagaikan hidup terbuang tanpa rumah tempat kembali. Membuatnya terlunta-lunta bagaikan cerita Adam.

Lalu apa arti iman dan agama jika hanya merampas kemerdekaan seseorang? Dalam konteks Islam, sejauh yang saya pahami, Tuhan juga mengenalkan dirinya sebagai al-fattaah. Sang Pembebas.

Manusia diajari untuk membebaskan diri dari berbagai bentuk penghambaan pada objek material-duniawi, bahkan juga pemujaan pada kehebatan nalarnya. Nalar digunakan secara optimal untuk mengaktualkan kemanusiaannya serta untuk membaca jejak-jejak keagungan dan kasih Tuhan, tetapi nalar tidak boleh dipertuhankan.

Alquran mengajarkan bahwa manusia merupakan magnum opus atau masterpiece Tuhan, yaitu puncak ciptaanNya, maka logis saja muncul pemikir-pemikir hebat yang cenderung memberhalakan kehebatan dirinya.

Alquran selalu menganjurkan untuk menggunakan nalar dan kebebasannya guna memaknai hidup sehingga diharapkan manusia akan sampai pada suatu pengalaman dan kesadaran eksistensial bahwa dirinya terbatas, lalu sujud bersimpuh di hadapan Dia Yang Mahaabsolut.

Sebuah loncatan iman (leap of faith) terhadap Tuhan, yaitu Tuhan yang tetap memberi ruang kepada manusia untuk menentukan pilihannya. Dengan kata lain, Tuhan yang diperkenalkan Alquran adalah Tuhan yang ingin diimani dengan pilihan sadar tanpa memberangus kebebasan manusia.

Makanya dikatakan dalam Alquran, tak ada paksaan dalam beriman. Paksaan tak akan melahirkan keikhlasan dan kesalehan. Immanuel Kant punya ungkapan, faith starts when reason stops.

Kebebasan beriman kepada Tuhan ini secara karikatural digambarkan dalam perintah puasa. Sifatnya sangat pribadi, suka-rela. Apakah seseorang melakukan puasa atau tidak, orang lain tidak tahu dan tidak diperintahkan untuk mengawasinya.

Paksaan beragama biasanya datang dari tradisi dan lingkungan sosial. Makanya sering terjadi kasus pembangkangan pada agama, tetapi sangat mungkin yang terjadi adalah pembangkangan pada pemahaman dan tradisi agama yang kesemuanya itu produk sejarah dan lingkungan budayanya.

Bahkan konflik sosial dalam masyarakat sering kali dipicu perbedaan afiliasi mazhab dan politik, padahal mereka mengaku beriman kepada Tuhan yang sama. Mereka menatap langit dan matahari yang sama. Tapi ketika melangkahkan kaki di bumi potensial terjadi tabrakan.

Jadi, ketika iman masuk ruang sosial bertemu dengan instrumen hukum dan pemahaman agama, semangat iman yang pada dasarnya untuk membebaskan manusia dari sikap mempertuhankan selain Allah bisa saja substansi dan panggilan iman itu lalu terkurung oleh formula, jargon, dan afiliasi komunitas beragama. Akibatnya agama malah membelenggu.

Kritik dan pemberontakan nalar pada agama yang membelenggu itu selalu terjadi dalam sejarah. Sejarah agama-agama di Barat banyak sekali memberi pelajaran dalam hal ini. Juga konflik ideologi politik keagamaan di Timur Tengah patut jadi pembelajaran kita di Indonesia.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3138 seconds (0.1#10.140)