Upaya Kreatif Melawan Ekstremisme
A
A
A
Khelmy K Pribadi
Direktur Program Islam dan Media MAARIF Institute Alumnus Pascasarjana Sosiologi UI
VIDEO kekerasan di Gereja Santa Lidwina Bedog, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Minggu (11/2) lalu, begitu mengerikan. Teror atas nama fanatisme agama kembali mencekam bangsa Indonesia. Misa pagi yang seharusnya khusyuk mesti dikoyak dengan aksi biadab Suliono (23 tahun), pemuda yang bermimpi menikahi bidadari. Akibat peristiwa ini, tiga orang jemaat dan seorang Romo mengalami luka serius.
Kekerasan ekstremisme atas nama agama sering kali melibatkan anak muda, seperti beberapa kasus bom bunuh diri. Perilaku kekerasan melibatkan anak muda tak bisa dilepaskan dari penetrasi pengetahuan dan pengalaman yang menerpa anak muda.
Generasi Rentan
Peristiwa ini mengingatkan kita pada penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (2017) yang melibatkan 1.522 siswa SMA atau sederajat dan 337 mahasiswa. Survei ini menyebut 58,8% responden menyetujui ideologi kekerasan radikalisme dan 51,1% intoleran terhadap kelompok yang berbeda agama.
Temuan menarik dari riset ini 54,87% para anak muda ini memiliki tren pembelajaran keagamaan melalui internet, baik visual maupun audio visual, seperti blog , situs web, maupun media sosial. Persis dengan rilis data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) Tahun 2017 menyebutkan 42,55% pengguna internet di Indonesia mengakses internet untuk mendapatkan informasi keagamaan.
Ini menunjukkan sumber informasi yang diserap memiliki relasi cukup kuat pada sikap intoleransi dan potensi ekstremisme pada anak muda. Kesimpulan ini kongruen dengan temuan riset MAARIF Institute pada April-Oktober 2017 kepada pelajar SMA dan sederajat di empat kota, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang, sebanyak 63% pelajar berpendapat bahwa paparan intoleransi mereka didapatkan melalui saluran internet.
Sementara data Kementerian Komunikasi dan Informatika sejak 1 Januari hingga 18 September 2017 tercatat bahwa setidaknya terdapat 13.829 aduan pernyataan ujaran kebencian daring (online hate speech) dan berita palsu (hoax-fake news) sebanyak 6.973 aduan.
MAARIF Institute meyakini bahwa intoleransi pada anak muda terjadi tidak hanya karena kurangnya informasi yang disebabkan minimnya ketersediaan infrastruktur informasi, tapi juga bisa disebabkan terlalu banyaknya informasi namun informasi tersebut palsu (hoaks) dan dipenuhi dengan ujaran kebencian. Inilah tantangan hari ini berkaitan dengan informasi dan ekstremisme, yakni menyediakan informasi yang akurat dan bervisi pada keadilan serta perdamaian, tapi tetap kontekstual.
Oleh sebab itu, upaya melakukan intervensi dan pencegahan ekstremisme tidak hanya memerlukan substansi namun juga kreasi.
Kerja-kerja kreatif untuk melawan ekstremisme telah banyak dilakukan masyarakat sipil di Indonesia dengan beragam produknya.
Komik strip, Board Game, aplikasi berbagi cerita pengalaman adalah tiga di antara program kreatif yang sedang dihelat. Produk-produk kreatif ini telah menempuh jalan baru intervensi sosial yang kontekstual dengan subjek intervensinya.
Konten-Konteks,
Subjek-Objek
Berdasarkan pengelolaan program di atas setidaknya ada dua hal penting perlu dicatat. Pertama, pentingnya menilik konten dan konteks. Penguatan konten informasi setidaknya memiliki dua elan vital, yakni konten dan konteks (kemasan).
Keduanya memiliki keterkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Menyusun sebuah konten yang kontekstual membutuhkan kedalaman dan kejelian sekaligus. Terutama jika dikaitkan dengan sosok anak muda hari ini yang begitu cepat menyecap perubahan zaman.
Anak muda hari ini adalah akumulasi dari generasi Y dan generasi Z yang secara periodikal dijelaskan oleh Sosiolog Jerman kelahiran Hongaria Karl Mannheim (1893-1947) dalam artikel berjudul The Problems of Generations. Sebagaimana dilaporkan oleh Aulia Adam dalam sebuah laman bahwa pengertian tentang generasi Z masih sangat beragam, tapi setidaknya bisa disebutkan bahwa generasi Z adalah generasi yang lahir setelah kelahiran teknologi internet atau lahir setelah tahun 2000. Sementara generasi Y atau milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1980-1997 dan melewati milenium kedua.
Menurut Tom Brokaw dalam The Greatest Generation (1998) sebagaimana dikutip Nuran Wibisono dalam artikel “Memahami Generasi Milenial” menjelaskan ada lima ciri generasi milenial antara lain, melek teknologi, bergantung pada mesin pencari, learning by doing, tertarik pada multimedia, dan membuat konten internet. Sementara itu, dalam buku Indonesia 2020: The Urban Middle Class Millenials (2016), Hasanuddin Ali dan Lilik Purwandi menyebutkan, urban middle class millenials memiliki ciri 3C, yakni Creative, Connected, dan Confidence. Ketiga ciri tersebut mengandaikan generasi milenial sebagai generasi yang lekat dengan kreativitas, selalu terkoneksi dengan internet, memiliki sikap dan perilaku yang lebih terbuka serta kepercayaan diri yang kuat.
Pelatihan video kebinekaan untuk anak SMA merupakan cara kreatif MAARIF Institute untuk memenuhi platform media sosial berbasis video, seperti YouTube, dengan konten-konten positif-alternatif untuk anak muda dengan beragam bentuk, seperti film pendek, video react, parodi, atau komedi situasi. Pilihan video sebagai medium kampanye sangat dipengaruhi oleh konteks generasi Y dan Z saat ini.
Video dinilai mewadahi beragam ekspresi baik audio, grafis maupun visual, serta cepat dibagikan. Hal ini kongruen dengan data Indonesia Digital Lanscape 2018 yang mendudukan Indonesia pada urutan ketiga negara dengan penggunaan internet terbesar untuk mengakses video, yakni sebesar 67,4%.
Kedua, pentingnya paradigma anak muda sebagai objek sekaligus subjek. Dari beragam kerja-kerja di atas memberikan benang merah bahwa melawan ekstremisme dengan cara kreatif mesti meletakkan anak muda pada dua aspek, yakni objek dan subjek, dari, oleh, dan untuk anak muda (partisipatif).
Paradigma ini menjadi penting untuk memastikan kontekstualitas konten yang akan disampaikan dalam beragam produk kampanye sosial tersebut. Sebagaimana penulis dapatkan dalam kesempatan hadir di Creators for Social Change Summit di London, Januari lalu. Salah satu aspek utama kampanye sosial untuk generasi Y dan Z saat ini adalah pentingnya mengenali pola pikir anak muda dengan bahasa, narasi, gestur, serta cara berpikir generasi Y dan Z yang khas dan unik.
Untuk itu, memperkuat anak muda untuk menciptakan konten positif dan alternatif adalah upaya kreatif anak muda berbicara kepada sebayanya tentang kengerian ekstremisme yang mengancam kebinekaan.
Direktur Program Islam dan Media MAARIF Institute Alumnus Pascasarjana Sosiologi UI
VIDEO kekerasan di Gereja Santa Lidwina Bedog, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Minggu (11/2) lalu, begitu mengerikan. Teror atas nama fanatisme agama kembali mencekam bangsa Indonesia. Misa pagi yang seharusnya khusyuk mesti dikoyak dengan aksi biadab Suliono (23 tahun), pemuda yang bermimpi menikahi bidadari. Akibat peristiwa ini, tiga orang jemaat dan seorang Romo mengalami luka serius.
Kekerasan ekstremisme atas nama agama sering kali melibatkan anak muda, seperti beberapa kasus bom bunuh diri. Perilaku kekerasan melibatkan anak muda tak bisa dilepaskan dari penetrasi pengetahuan dan pengalaman yang menerpa anak muda.
Generasi Rentan
Peristiwa ini mengingatkan kita pada penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (2017) yang melibatkan 1.522 siswa SMA atau sederajat dan 337 mahasiswa. Survei ini menyebut 58,8% responden menyetujui ideologi kekerasan radikalisme dan 51,1% intoleran terhadap kelompok yang berbeda agama.
Temuan menarik dari riset ini 54,87% para anak muda ini memiliki tren pembelajaran keagamaan melalui internet, baik visual maupun audio visual, seperti blog , situs web, maupun media sosial. Persis dengan rilis data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) Tahun 2017 menyebutkan 42,55% pengguna internet di Indonesia mengakses internet untuk mendapatkan informasi keagamaan.
Ini menunjukkan sumber informasi yang diserap memiliki relasi cukup kuat pada sikap intoleransi dan potensi ekstremisme pada anak muda. Kesimpulan ini kongruen dengan temuan riset MAARIF Institute pada April-Oktober 2017 kepada pelajar SMA dan sederajat di empat kota, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang, sebanyak 63% pelajar berpendapat bahwa paparan intoleransi mereka didapatkan melalui saluran internet.
Sementara data Kementerian Komunikasi dan Informatika sejak 1 Januari hingga 18 September 2017 tercatat bahwa setidaknya terdapat 13.829 aduan pernyataan ujaran kebencian daring (online hate speech) dan berita palsu (hoax-fake news) sebanyak 6.973 aduan.
MAARIF Institute meyakini bahwa intoleransi pada anak muda terjadi tidak hanya karena kurangnya informasi yang disebabkan minimnya ketersediaan infrastruktur informasi, tapi juga bisa disebabkan terlalu banyaknya informasi namun informasi tersebut palsu (hoaks) dan dipenuhi dengan ujaran kebencian. Inilah tantangan hari ini berkaitan dengan informasi dan ekstremisme, yakni menyediakan informasi yang akurat dan bervisi pada keadilan serta perdamaian, tapi tetap kontekstual.
Oleh sebab itu, upaya melakukan intervensi dan pencegahan ekstremisme tidak hanya memerlukan substansi namun juga kreasi.
Kerja-kerja kreatif untuk melawan ekstremisme telah banyak dilakukan masyarakat sipil di Indonesia dengan beragam produknya.
Komik strip, Board Game, aplikasi berbagi cerita pengalaman adalah tiga di antara program kreatif yang sedang dihelat. Produk-produk kreatif ini telah menempuh jalan baru intervensi sosial yang kontekstual dengan subjek intervensinya.
Konten-Konteks,
Subjek-Objek
Berdasarkan pengelolaan program di atas setidaknya ada dua hal penting perlu dicatat. Pertama, pentingnya menilik konten dan konteks. Penguatan konten informasi setidaknya memiliki dua elan vital, yakni konten dan konteks (kemasan).
Keduanya memiliki keterkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Menyusun sebuah konten yang kontekstual membutuhkan kedalaman dan kejelian sekaligus. Terutama jika dikaitkan dengan sosok anak muda hari ini yang begitu cepat menyecap perubahan zaman.
Anak muda hari ini adalah akumulasi dari generasi Y dan generasi Z yang secara periodikal dijelaskan oleh Sosiolog Jerman kelahiran Hongaria Karl Mannheim (1893-1947) dalam artikel berjudul The Problems of Generations. Sebagaimana dilaporkan oleh Aulia Adam dalam sebuah laman bahwa pengertian tentang generasi Z masih sangat beragam, tapi setidaknya bisa disebutkan bahwa generasi Z adalah generasi yang lahir setelah kelahiran teknologi internet atau lahir setelah tahun 2000. Sementara generasi Y atau milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1980-1997 dan melewati milenium kedua.
Menurut Tom Brokaw dalam The Greatest Generation (1998) sebagaimana dikutip Nuran Wibisono dalam artikel “Memahami Generasi Milenial” menjelaskan ada lima ciri generasi milenial antara lain, melek teknologi, bergantung pada mesin pencari, learning by doing, tertarik pada multimedia, dan membuat konten internet. Sementara itu, dalam buku Indonesia 2020: The Urban Middle Class Millenials (2016), Hasanuddin Ali dan Lilik Purwandi menyebutkan, urban middle class millenials memiliki ciri 3C, yakni Creative, Connected, dan Confidence. Ketiga ciri tersebut mengandaikan generasi milenial sebagai generasi yang lekat dengan kreativitas, selalu terkoneksi dengan internet, memiliki sikap dan perilaku yang lebih terbuka serta kepercayaan diri yang kuat.
Pelatihan video kebinekaan untuk anak SMA merupakan cara kreatif MAARIF Institute untuk memenuhi platform media sosial berbasis video, seperti YouTube, dengan konten-konten positif-alternatif untuk anak muda dengan beragam bentuk, seperti film pendek, video react, parodi, atau komedi situasi. Pilihan video sebagai medium kampanye sangat dipengaruhi oleh konteks generasi Y dan Z saat ini.
Video dinilai mewadahi beragam ekspresi baik audio, grafis maupun visual, serta cepat dibagikan. Hal ini kongruen dengan data Indonesia Digital Lanscape 2018 yang mendudukan Indonesia pada urutan ketiga negara dengan penggunaan internet terbesar untuk mengakses video, yakni sebesar 67,4%.
Kedua, pentingnya paradigma anak muda sebagai objek sekaligus subjek. Dari beragam kerja-kerja di atas memberikan benang merah bahwa melawan ekstremisme dengan cara kreatif mesti meletakkan anak muda pada dua aspek, yakni objek dan subjek, dari, oleh, dan untuk anak muda (partisipatif).
Paradigma ini menjadi penting untuk memastikan kontekstualitas konten yang akan disampaikan dalam beragam produk kampanye sosial tersebut. Sebagaimana penulis dapatkan dalam kesempatan hadir di Creators for Social Change Summit di London, Januari lalu. Salah satu aspek utama kampanye sosial untuk generasi Y dan Z saat ini adalah pentingnya mengenali pola pikir anak muda dengan bahasa, narasi, gestur, serta cara berpikir generasi Y dan Z yang khas dan unik.
Untuk itu, memperkuat anak muda untuk menciptakan konten positif dan alternatif adalah upaya kreatif anak muda berbicara kepada sebayanya tentang kengerian ekstremisme yang mengancam kebinekaan.
(whb)