Menyoal Momentum Amendemen Kelima UUD

Selasa, 27 Maret 2018 - 08:09 WIB
Menyoal Momentum Amendemen...
Menyoal Momentum Amendemen Kelima UUD
A A A
Bambang Soesatyo Ketua DPR RI Fraksi Partai Golkar dan Anggota Dewan Pakar KAHMI 2017-2022

WACANA amendemen kelima Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kem­bali ber­­gulir. Na­mun, sebelum itu direalisasi­kan, terlebih dulu harus dibuat per­siapan matang melalui proses dan mekanisme yang transparan dan memberi ruang seluas-luas­nya bagi seluruh elemen rakyat untuk me­nyam­paikan aspirasi. Tak perlu terburu-buru, amen­demen se­baiknya berproses se­telah berakhirnya tahun politik 2019 ketika pemerintah baru dan formasi baru DPR sudah ter­bentuk.
Memproses amendemen UUD saat ini jelas sangat tidak efektif. Sebab hampir seluruh elemen masyarakat sudah me­masuki suasana tahun politik 2018 untuk menyelenggarakan pilkada serentak di 171 daerah. Setelah Pilkada 2018 selesai, se­mua kekuatan politik me­masuki tahap konsolidasi menuju pe­milihan legislatif dan pemilihan presiden (Pileg dan Pilpres) 2019.

Sejumlah agenda politik yang tak bisa dihindari itu akan me­nyebabkan para politisi, ter­utamanya anggota DPR/MPR, akan sulit fokus pada tugas le­gislasi. Hitung-hitungan kasar­­nya, baik DPR maupun MPR hanya punya waktu kerja sekitar 18 bulan lagi. Selebihnya libur dan masa reses. Di DPR sendiri masih ada 50 rancangan undang-undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang harus disele­sai­kan. Kalau ditambahkan lagi dengan kerja amendemen UUD, bebannya tampak menjadi berlebihan dan sudah barang tentu tidak efektif.

Karena itu, kesepakatan MPR dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ten­tang amendemen UUD 45 mungkin baru berstatus inisiatif. Apakah cukup dengan kesepakatan MPR dan BPIP atau masih di­butuhkan kesepakatan dan du­kungan dari institusi atau unsur lain? Dengan begitu, inisiatif tentang amendemen UUD 1945 itu harus disosialisasikan terlebih dahulu. Semua elemen rakyat harus mendapat infor­masi akurat. Karena itu, harus ada transparansi dalam meru­mus­kan amendemen tersebut.

Hal ini sangat penting bagi seluruh elemen rakyat untuk mengetahui apa saja yang akan diamendemenkan. Sebagai ini­siator, MPR dan BPIP hen­dak­nya memberi penjelasan ke­pada masyarakat tentang pasal-pasal UUD yang akan diamendemen­kan dan mengapa pasal-pasal dimaksud harus di­amen­demen­­kan. Inisiatif meng­amen­demen­kan UUD su­dah me­nuai pro-kon­tra. Ada yang khawatir bahwa amendemen akan kem­bali meligitimasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Kalau tidak segera di­respons dengan penjelasan dari MPR dan BPIP, ke­khawatiran ini berpotensi menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu.

Konsep awal amendemen hendaknya segera disosial­isasi­kan kepada semua elemen ma­syarakat, akademisi atau ahli, para elite, para pemerhati, dan pimpinan organisasi kemasya­ra­kat­an (ormas). Jadikan ini­siatif dan konsep awal amen­demen itu sebagai bahan dis­kusi terbuka sekaligus menye­rap aspirasi dari berbagai elemen rakyat.

Kalau akhirnya amendemen UUD yang digagas MPR dan BPIP nanti terlaksana, itu me­rupakan perubahan kelima dalam rentang waktu 18 tahun seusia reformasi republik ini. Dalam periode 1999-2002, UUD 1945 sudah mengalami empat (4) kali perubahan. Amendemen per­tama pada 19 Oktober 1999 mengubah sembilan (9) pasal. Amendemen kedua pada 18 Agustus 2000 mengubah 24 pasal. Pada 9 November 2001 dilakukan amendemen ketiga dengan mengubah 19 pasal. Amendemen terakhir atau keempat dilakukan pada 10 Agustus 2002 dengan meng­ubah 17 pasal.

Terdapat beragam fakta yang menjelaskan bahwa UUD 1945 hasil dari empat amen­demen itu tidak memuaskan se­mua pihak. Akibatnya, beber­apa elemen masyarakat sering me­nyuarakan keinginan me­reka agar bangsa dan negara ini kem­bali pada UUD 1945 yang asli atau yang belum diamendemen­kan. Aspirasi seperti itu tetap harus didengar dan di­sikapi, walau­pun amendemen UUD kadang menjadi pilihan sulit ditolak karena alasan perubahan za­man. UUD dan peraturan per­undang-undang­a­n di bawah­nya pada dasarnya harus ber­adaptasi dengan per­ubahan sehingga amendemen bukan­lah sesuatu yang tabu. Baru-baru ini Parlemen China me­lolos­kan amendemen UUD yang salah satu pasalnya me­netapkan Presiden China seka­rang, Xi Jinping, bisa menjabat seumur hidup. Tentu China punya alas­an khusus dalam amendemen itu.

Mengubah pasal-pasal ter­tentu dalam konstitusi me­mang harus dipersiapkan de­ngan matang. Arah dan tujuan perubahan UUD itu harus jelas dan sebisa mungkin meng­ako­modasi aspirasi semua elemen rakyat. Selain itu, pasal-pasal tertentu dalam konstitusi pun harus antisipatif karena dunia terus berubah dengan cepat.

Politik Pembangunan
MPR dan BPIP bersepakat bahwa amendemen kelima atas UUD 1945 bersifat terbatas. Ada niat menetapkan kerangka dan pola pembangunan nasio­nal berjangka panjang yang rumus­an­nya kurang mirip de­ngan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dirum­us­k­an oleh peme­rin­tahan Orde Baru. Pasal UUD mengatur sistem politik pun akan menjadi target amen­demen ke­lima, termasuk soal fungsi dan tugas Dewan Per­wakil­­an Daerah (DPD). Pasal yang mengatur pe­nguasaan sum­ber daya alam pun akan diamendemenkan karena saat ini ada inkonsistensi antara UUD dan aturan di bawahnya.

Selama belasan sejak refor­masi dimulai, banyak kalangan merasakan bahwa arah dan target pembangunan nasional tak pernah jelas. Rezim ber­ganti, program prioritas dan target pun berubah. Kecenderungan ini terjadi karena negara tak pernah lagi menetapkan politik pembangunan nasional jangka panjang.

Pada era pemerintahan seka­rang ini, Presiden Joko Widodo mencanangkan politik pem­bangunan berorientasi Indo­nesia Centris. Hingga tahun ke­empat periode kepre­si­denannya, Jokowi fokus mem­bangun infrastruktur di semua daerah, berupaya mewujudkan tol laut hingga menerapkan politik satu harga. Barang kali esensi politik pembangunan Indonesia Centris adalah nama lain dari GBHN yang meng­haruskan se­mua daerah men­dapatkan jatah dari kue pem­bangunan.

Amendemen UUD kelima hendaknya merumuskan po­litik pembangunan jangka pan­jang dan mewajibkan setiap re­zim pemerintahan melanjut­kan program rezim sebelum­nya. Benar bahwa setiap pre­si­den dipilih langsung oleh rakyat dan berhak memprioritaskan program-program yang dijan­ji­kan. Namun, agar pem­bangun­an nasional berkelanjutan itu tetap terjaga, program prioritas dari setiap pemerintahan hen­dak­nya mengacu pada politik pembangunan jangka panjang tersebut.

Selain menyoal politik pembangunan jangka panjang, amendemen kelima UUD 1945 juga perlu mengkaji lagi sistem politik nasional, terutama ber­kaitan dengan mekanisme pe­milihan kepala daerah. Dirasa­kan bahwa sistem politik seka­rang ini memberikan akses seluas-luasnya bagi siapa saja untuk menjadi kandidat dan pe­menang pilkada. Sistem politik sekarang ini tidak peduli de­ngan kapabilitas, kredibilitas, reputasi, atau rekam jejak calon pemimpin daerah. Seorang calon pemimpin daerah tidak pernah dipersiapkan dengan matang, padahal dia memimpin dan mengurusi kepentingan jutaan orang.

Fakta menunjukkan bahwa banyak oknum kepala daerah tidak berorientasi membangun daerah dan melayani warganya. Mereka lebih fokus pada peri­laku koruptif. Kerusakan akibat perilaku seperti itu sudah di­rasa­kan warga di banyak daerah. Awal 2018 saja, Komisi Pem­berantasan Korupsi (KPK) su­dah menjerat lima kepala da­erah sebagai tersangka. Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, tidak kurang dari 392 kepala daerah tersangkut masalah hukum.

Fakta ini menjadi pertanda bahwa pola pilkada yang dite­rap­kan sekarang mengandung kele­mah­an sangat mendasar. Kalau kelemahan mendasar itu tidak segera ditutupi, kerusak­annya akan semakin parah dari waktu ke waktu. Bisa dipastikan bahwa rakyat mengharapkan adanya perbaikan dan per­ubah­an dalam tata cara pemilihan kepala da­erah. Amendemen UUD kelima hendaknya juga menyoal ma­salah ini. Syarat men­jadi pemim­pin daerah se­kali-kali tidak boleh diseder­hanakan.

Pada beberapa institusi ne­gara, calon pimpinan institusi itu harus menjalani proses seleksi hingga uji kelayakan dan kepatutan yang ketat. Baik di tingkat panitia seleksi (pansel) yang dibentuk pemerintah me­libatkan para pakar dan tokoh maupun saat fit and proper test di DPR.
Karena itu, idealnya, se­orang calon kepala daerah juga menjalani proses dan meka­nisme kurang lebih sama ketat seperti itu dalam mekanisme yang diatur oleh kelompok par­tai pengusung pasangan kepala daerah tersebut. Bukan hanya sekadar dimintakan mahar dalam jumlah fantastis dan kemudian melepas tanggung jawab.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0615 seconds (0.1#10.140)