Menyoal Momentum Amendemen Kelima UUD
A
A
A
Bambang Soesatyo Ketua DPR RI Fraksi Partai Golkar dan Anggota Dewan Pakar KAHMI 2017-2022
WACANA amendemen kelima Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kembali bergulir. Namun, sebelum itu direalisasikan, terlebih dulu harus dibuat persiapan matang melalui proses dan mekanisme yang transparan dan memberi ruang seluas-luasnya bagi seluruh elemen rakyat untuk menyampaikan aspirasi. Tak perlu terburu-buru, amendemen sebaiknya berproses setelah berakhirnya tahun politik 2019 ketika pemerintah baru dan formasi baru DPR sudah terbentuk.
Memproses amendemen UUD saat ini jelas sangat tidak efektif. Sebab hampir seluruh elemen masyarakat sudah memasuki suasana tahun politik 2018 untuk menyelenggarakan pilkada serentak di 171 daerah. Setelah Pilkada 2018 selesai, semua kekuatan politik memasuki tahap konsolidasi menuju pemilihan legislatif dan pemilihan presiden (Pileg dan Pilpres) 2019.
Sejumlah agenda politik yang tak bisa dihindari itu akan menyebabkan para politisi, terutamanya anggota DPR/MPR, akan sulit fokus pada tugas legislasi. Hitung-hitungan kasarnya, baik DPR maupun MPR hanya punya waktu kerja sekitar 18 bulan lagi. Selebihnya libur dan masa reses. Di DPR sendiri masih ada 50 rancangan undang-undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang harus diselesaikan. Kalau ditambahkan lagi dengan kerja amendemen UUD, bebannya tampak menjadi berlebihan dan sudah barang tentu tidak efektif.
Karena itu, kesepakatan MPR dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tentang amendemen UUD 45 mungkin baru berstatus inisiatif. Apakah cukup dengan kesepakatan MPR dan BPIP atau masih dibutuhkan kesepakatan dan dukungan dari institusi atau unsur lain? Dengan begitu, inisiatif tentang amendemen UUD 1945 itu harus disosialisasikan terlebih dahulu. Semua elemen rakyat harus mendapat informasi akurat. Karena itu, harus ada transparansi dalam merumuskan amendemen tersebut.
Hal ini sangat penting bagi seluruh elemen rakyat untuk mengetahui apa saja yang akan diamendemenkan. Sebagai inisiator, MPR dan BPIP hendaknya memberi penjelasan kepada masyarakat tentang pasal-pasal UUD yang akan diamendemenkan dan mengapa pasal-pasal dimaksud harus diamendemenkan. Inisiatif mengamendemenkan UUD sudah menuai pro-kontra. Ada yang khawatir bahwa amendemen akan kembali meligitimasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Kalau tidak segera direspons dengan penjelasan dari MPR dan BPIP, kekhawatiran ini berpotensi menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu.
Konsep awal amendemen hendaknya segera disosialisasikan kepada semua elemen masyarakat, akademisi atau ahli, para elite, para pemerhati, dan pimpinan organisasi kemasyarakatan (ormas). Jadikan inisiatif dan konsep awal amendemen itu sebagai bahan diskusi terbuka sekaligus menyerap aspirasi dari berbagai elemen rakyat.
Kalau akhirnya amendemen UUD yang digagas MPR dan BPIP nanti terlaksana, itu merupakan perubahan kelima dalam rentang waktu 18 tahun seusia reformasi republik ini. Dalam periode 1999-2002, UUD 1945 sudah mengalami empat (4) kali perubahan. Amendemen pertama pada 19 Oktober 1999 mengubah sembilan (9) pasal. Amendemen kedua pada 18 Agustus 2000 mengubah 24 pasal. Pada 9 November 2001 dilakukan amendemen ketiga dengan mengubah 19 pasal. Amendemen terakhir atau keempat dilakukan pada 10 Agustus 2002 dengan mengubah 17 pasal.
Terdapat beragam fakta yang menjelaskan bahwa UUD 1945 hasil dari empat amendemen itu tidak memuaskan semua pihak. Akibatnya, beberapa elemen masyarakat sering menyuarakan keinginan mereka agar bangsa dan negara ini kembali pada UUD 1945 yang asli atau yang belum diamendemenkan. Aspirasi seperti itu tetap harus didengar dan disikapi, walaupun amendemen UUD kadang menjadi pilihan sulit ditolak karena alasan perubahan zaman. UUD dan peraturan perundang-undangan di bawahnya pada dasarnya harus beradaptasi dengan perubahan sehingga amendemen bukanlah sesuatu yang tabu. Baru-baru ini Parlemen China meloloskan amendemen UUD yang salah satu pasalnya menetapkan Presiden China sekarang, Xi Jinping, bisa menjabat seumur hidup. Tentu China punya alasan khusus dalam amendemen itu.
Mengubah pasal-pasal tertentu dalam konstitusi memang harus dipersiapkan dengan matang. Arah dan tujuan perubahan UUD itu harus jelas dan sebisa mungkin mengakomodasi aspirasi semua elemen rakyat. Selain itu, pasal-pasal tertentu dalam konstitusi pun harus antisipatif karena dunia terus berubah dengan cepat.
Politik Pembangunan
MPR dan BPIP bersepakat bahwa amendemen kelima atas UUD 1945 bersifat terbatas. Ada niat menetapkan kerangka dan pola pembangunan nasional berjangka panjang yang rumusannya kurang mirip dengan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dirumuskan oleh pemerintahan Orde Baru. Pasal UUD mengatur sistem politik pun akan menjadi target amendemen kelima, termasuk soal fungsi dan tugas Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pasal yang mengatur penguasaan sumber daya alam pun akan diamendemenkan karena saat ini ada inkonsistensi antara UUD dan aturan di bawahnya.
Selama belasan sejak reformasi dimulai, banyak kalangan merasakan bahwa arah dan target pembangunan nasional tak pernah jelas. Rezim berganti, program prioritas dan target pun berubah. Kecenderungan ini terjadi karena negara tak pernah lagi menetapkan politik pembangunan nasional jangka panjang.
Pada era pemerintahan sekarang ini, Presiden Joko Widodo mencanangkan politik pembangunan berorientasi Indonesia Centris. Hingga tahun keempat periode kepresidenannya, Jokowi fokus membangun infrastruktur di semua daerah, berupaya mewujudkan tol laut hingga menerapkan politik satu harga. Barang kali esensi politik pembangunan Indonesia Centris adalah nama lain dari GBHN yang mengharuskan semua daerah mendapatkan jatah dari kue pembangunan.
Amendemen UUD kelima hendaknya merumuskan politik pembangunan jangka panjang dan mewajibkan setiap rezim pemerintahan melanjutkan program rezim sebelumnya. Benar bahwa setiap presiden dipilih langsung oleh rakyat dan berhak memprioritaskan program-program yang dijanjikan. Namun, agar pembangunan nasional berkelanjutan itu tetap terjaga, program prioritas dari setiap pemerintahan hendaknya mengacu pada politik pembangunan jangka panjang tersebut.
Selain menyoal politik pembangunan jangka panjang, amendemen kelima UUD 1945 juga perlu mengkaji lagi sistem politik nasional, terutama berkaitan dengan mekanisme pemilihan kepala daerah. Dirasakan bahwa sistem politik sekarang ini memberikan akses seluas-luasnya bagi siapa saja untuk menjadi kandidat dan pemenang pilkada. Sistem politik sekarang ini tidak peduli dengan kapabilitas, kredibilitas, reputasi, atau rekam jejak calon pemimpin daerah. Seorang calon pemimpin daerah tidak pernah dipersiapkan dengan matang, padahal dia memimpin dan mengurusi kepentingan jutaan orang.
Fakta menunjukkan bahwa banyak oknum kepala daerah tidak berorientasi membangun daerah dan melayani warganya. Mereka lebih fokus pada perilaku koruptif. Kerusakan akibat perilaku seperti itu sudah dirasakan warga di banyak daerah. Awal 2018 saja, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menjerat lima kepala daerah sebagai tersangka. Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, tidak kurang dari 392 kepala daerah tersangkut masalah hukum.
Fakta ini menjadi pertanda bahwa pola pilkada yang diterapkan sekarang mengandung kelemahan sangat mendasar. Kalau kelemahan mendasar itu tidak segera ditutupi, kerusakannya akan semakin parah dari waktu ke waktu. Bisa dipastikan bahwa rakyat mengharapkan adanya perbaikan dan perubahan dalam tata cara pemilihan kepala daerah. Amendemen UUD kelima hendaknya juga menyoal masalah ini. Syarat menjadi pemimpin daerah sekali-kali tidak boleh disederhanakan.
Pada beberapa institusi negara, calon pimpinan institusi itu harus menjalani proses seleksi hingga uji kelayakan dan kepatutan yang ketat. Baik di tingkat panitia seleksi (pansel) yang dibentuk pemerintah melibatkan para pakar dan tokoh maupun saat fit and proper test di DPR.
Karena itu, idealnya, seorang calon kepala daerah juga menjalani proses dan mekanisme kurang lebih sama ketat seperti itu dalam mekanisme yang diatur oleh kelompok partai pengusung pasangan kepala daerah tersebut. Bukan hanya sekadar dimintakan mahar dalam jumlah fantastis dan kemudian melepas tanggung jawab.
WACANA amendemen kelima Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kembali bergulir. Namun, sebelum itu direalisasikan, terlebih dulu harus dibuat persiapan matang melalui proses dan mekanisme yang transparan dan memberi ruang seluas-luasnya bagi seluruh elemen rakyat untuk menyampaikan aspirasi. Tak perlu terburu-buru, amendemen sebaiknya berproses setelah berakhirnya tahun politik 2019 ketika pemerintah baru dan formasi baru DPR sudah terbentuk.
Memproses amendemen UUD saat ini jelas sangat tidak efektif. Sebab hampir seluruh elemen masyarakat sudah memasuki suasana tahun politik 2018 untuk menyelenggarakan pilkada serentak di 171 daerah. Setelah Pilkada 2018 selesai, semua kekuatan politik memasuki tahap konsolidasi menuju pemilihan legislatif dan pemilihan presiden (Pileg dan Pilpres) 2019.
Sejumlah agenda politik yang tak bisa dihindari itu akan menyebabkan para politisi, terutamanya anggota DPR/MPR, akan sulit fokus pada tugas legislasi. Hitung-hitungan kasarnya, baik DPR maupun MPR hanya punya waktu kerja sekitar 18 bulan lagi. Selebihnya libur dan masa reses. Di DPR sendiri masih ada 50 rancangan undang-undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang harus diselesaikan. Kalau ditambahkan lagi dengan kerja amendemen UUD, bebannya tampak menjadi berlebihan dan sudah barang tentu tidak efektif.
Karena itu, kesepakatan MPR dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tentang amendemen UUD 45 mungkin baru berstatus inisiatif. Apakah cukup dengan kesepakatan MPR dan BPIP atau masih dibutuhkan kesepakatan dan dukungan dari institusi atau unsur lain? Dengan begitu, inisiatif tentang amendemen UUD 1945 itu harus disosialisasikan terlebih dahulu. Semua elemen rakyat harus mendapat informasi akurat. Karena itu, harus ada transparansi dalam merumuskan amendemen tersebut.
Hal ini sangat penting bagi seluruh elemen rakyat untuk mengetahui apa saja yang akan diamendemenkan. Sebagai inisiator, MPR dan BPIP hendaknya memberi penjelasan kepada masyarakat tentang pasal-pasal UUD yang akan diamendemenkan dan mengapa pasal-pasal dimaksud harus diamendemenkan. Inisiatif mengamendemenkan UUD sudah menuai pro-kontra. Ada yang khawatir bahwa amendemen akan kembali meligitimasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Kalau tidak segera direspons dengan penjelasan dari MPR dan BPIP, kekhawatiran ini berpotensi menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu.
Konsep awal amendemen hendaknya segera disosialisasikan kepada semua elemen masyarakat, akademisi atau ahli, para elite, para pemerhati, dan pimpinan organisasi kemasyarakatan (ormas). Jadikan inisiatif dan konsep awal amendemen itu sebagai bahan diskusi terbuka sekaligus menyerap aspirasi dari berbagai elemen rakyat.
Kalau akhirnya amendemen UUD yang digagas MPR dan BPIP nanti terlaksana, itu merupakan perubahan kelima dalam rentang waktu 18 tahun seusia reformasi republik ini. Dalam periode 1999-2002, UUD 1945 sudah mengalami empat (4) kali perubahan. Amendemen pertama pada 19 Oktober 1999 mengubah sembilan (9) pasal. Amendemen kedua pada 18 Agustus 2000 mengubah 24 pasal. Pada 9 November 2001 dilakukan amendemen ketiga dengan mengubah 19 pasal. Amendemen terakhir atau keempat dilakukan pada 10 Agustus 2002 dengan mengubah 17 pasal.
Terdapat beragam fakta yang menjelaskan bahwa UUD 1945 hasil dari empat amendemen itu tidak memuaskan semua pihak. Akibatnya, beberapa elemen masyarakat sering menyuarakan keinginan mereka agar bangsa dan negara ini kembali pada UUD 1945 yang asli atau yang belum diamendemenkan. Aspirasi seperti itu tetap harus didengar dan disikapi, walaupun amendemen UUD kadang menjadi pilihan sulit ditolak karena alasan perubahan zaman. UUD dan peraturan perundang-undangan di bawahnya pada dasarnya harus beradaptasi dengan perubahan sehingga amendemen bukanlah sesuatu yang tabu. Baru-baru ini Parlemen China meloloskan amendemen UUD yang salah satu pasalnya menetapkan Presiden China sekarang, Xi Jinping, bisa menjabat seumur hidup. Tentu China punya alasan khusus dalam amendemen itu.
Mengubah pasal-pasal tertentu dalam konstitusi memang harus dipersiapkan dengan matang. Arah dan tujuan perubahan UUD itu harus jelas dan sebisa mungkin mengakomodasi aspirasi semua elemen rakyat. Selain itu, pasal-pasal tertentu dalam konstitusi pun harus antisipatif karena dunia terus berubah dengan cepat.
Politik Pembangunan
MPR dan BPIP bersepakat bahwa amendemen kelima atas UUD 1945 bersifat terbatas. Ada niat menetapkan kerangka dan pola pembangunan nasional berjangka panjang yang rumusannya kurang mirip dengan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dirumuskan oleh pemerintahan Orde Baru. Pasal UUD mengatur sistem politik pun akan menjadi target amendemen kelima, termasuk soal fungsi dan tugas Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pasal yang mengatur penguasaan sumber daya alam pun akan diamendemenkan karena saat ini ada inkonsistensi antara UUD dan aturan di bawahnya.
Selama belasan sejak reformasi dimulai, banyak kalangan merasakan bahwa arah dan target pembangunan nasional tak pernah jelas. Rezim berganti, program prioritas dan target pun berubah. Kecenderungan ini terjadi karena negara tak pernah lagi menetapkan politik pembangunan nasional jangka panjang.
Pada era pemerintahan sekarang ini, Presiden Joko Widodo mencanangkan politik pembangunan berorientasi Indonesia Centris. Hingga tahun keempat periode kepresidenannya, Jokowi fokus membangun infrastruktur di semua daerah, berupaya mewujudkan tol laut hingga menerapkan politik satu harga. Barang kali esensi politik pembangunan Indonesia Centris adalah nama lain dari GBHN yang mengharuskan semua daerah mendapatkan jatah dari kue pembangunan.
Amendemen UUD kelima hendaknya merumuskan politik pembangunan jangka panjang dan mewajibkan setiap rezim pemerintahan melanjutkan program rezim sebelumnya. Benar bahwa setiap presiden dipilih langsung oleh rakyat dan berhak memprioritaskan program-program yang dijanjikan. Namun, agar pembangunan nasional berkelanjutan itu tetap terjaga, program prioritas dari setiap pemerintahan hendaknya mengacu pada politik pembangunan jangka panjang tersebut.
Selain menyoal politik pembangunan jangka panjang, amendemen kelima UUD 1945 juga perlu mengkaji lagi sistem politik nasional, terutama berkaitan dengan mekanisme pemilihan kepala daerah. Dirasakan bahwa sistem politik sekarang ini memberikan akses seluas-luasnya bagi siapa saja untuk menjadi kandidat dan pemenang pilkada. Sistem politik sekarang ini tidak peduli dengan kapabilitas, kredibilitas, reputasi, atau rekam jejak calon pemimpin daerah. Seorang calon pemimpin daerah tidak pernah dipersiapkan dengan matang, padahal dia memimpin dan mengurusi kepentingan jutaan orang.
Fakta menunjukkan bahwa banyak oknum kepala daerah tidak berorientasi membangun daerah dan melayani warganya. Mereka lebih fokus pada perilaku koruptif. Kerusakan akibat perilaku seperti itu sudah dirasakan warga di banyak daerah. Awal 2018 saja, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menjerat lima kepala daerah sebagai tersangka. Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, tidak kurang dari 392 kepala daerah tersangkut masalah hukum.
Fakta ini menjadi pertanda bahwa pola pilkada yang diterapkan sekarang mengandung kelemahan sangat mendasar. Kalau kelemahan mendasar itu tidak segera ditutupi, kerusakannya akan semakin parah dari waktu ke waktu. Bisa dipastikan bahwa rakyat mengharapkan adanya perbaikan dan perubahan dalam tata cara pemilihan kepala daerah. Amendemen UUD kelima hendaknya juga menyoal masalah ini. Syarat menjadi pemimpin daerah sekali-kali tidak boleh disederhanakan.
Pada beberapa institusi negara, calon pimpinan institusi itu harus menjalani proses seleksi hingga uji kelayakan dan kepatutan yang ketat. Baik di tingkat panitia seleksi (pansel) yang dibentuk pemerintah melibatkan para pakar dan tokoh maupun saat fit and proper test di DPR.
Karena itu, idealnya, seorang calon kepala daerah juga menjalani proses dan mekanisme kurang lebih sama ketat seperti itu dalam mekanisme yang diatur oleh kelompok partai pengusung pasangan kepala daerah tersebut. Bukan hanya sekadar dimintakan mahar dalam jumlah fantastis dan kemudian melepas tanggung jawab.
(kri)