Politik Elektoral Tanpa Ujaran Kebencian
A
A
A
Eko Sulistyo
Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden
Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat yang diuntungkan dengan maraknya politik identitas, seperti anti-imigran dan anti-Islam menjadi penanda mundurnya kualitas politik elektoral di tingkat global. Slogan Trump "Make America Great Again" menjadi rallying cause berbagai kelompok anti-imigran dan anti-Islam di Amerika. Ini mengingatkan pada slogan "Jerman Raya" yang menjadi pusat konsolidasi kelompok-kelompok kanan dan anti-Yahudi ke dalam Partai Nazinya Hitler. Majalah The Economist dalam edisi 4 Juli 2016 menyatakan, "Trumpisme" akan mendapatkan entri kamusnya sendiri berupa campuran populisme, nativisme, dan xenofobia yang tidak menyenangkan namun sering berhasil secara politis.
Setelah terpilihnya Trump, pola politik identitas dengan cepat menyebar ke berbagai negeri, termasuk di Indonesia. Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, penggunaan ujaran kebencian (hate speech) berbasis agama, suku, ras, dan antargolongan (SARA) berpotensi menciptakan ketegangan sosial serta pembelahan masyarakat. Sentimen agama yang dibawa ke ranah politik pada akhirnya menjadi ujian bagi demokrasi di Indonesia.
Strategi memanfaatkan maraknya politik identitas dan ujaran kebencian menjadi jalan mudah dan murah untuk menang dalam kompetisi elektoral. Mencegahnya tentu tidak mudah. Kunci utamanya adalah penegakan hukum tanpa hitung-hitungan politik. Karena upaya menghasilkan pemilu yang jujur tidak cukup dengan imbauan moral. Harus diperkuat koridor hukum yang jelas dan tegas agar bisa diminimalisasikan dampak merusaknya bagi sistem demokrasi.
Standar Internasional
Dalam Konvensi Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diratifikasi Indonesia, ujaran kebencian dalam kompetisi elektoral adalah sebuah bentuk pelanggaran HAM. Karena itu, ujaran kebencian tidak bisa dianggap sebagai masalah bagi Indonesia, tapi juga bagi dunia. Konvensi tersebut mengatur aturan dan standar yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh negara yang menandatanganinya seperti dalam pasal-pasal Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Dalam DUHAM dinyatakan bahwa semua orang mempunyai martabat dan hak sama. Pasal 2 menyatakan kesetaraan dalam hak dan kebebasan tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, asal-usul kebangsaan, hak milik, ataupun kelahiran. Pasal 7 memberikan perlindungan setara bagi semua orang dari diskriminasi.
Norma universal lainnya adalah Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang diadopsi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1965. Pasal 4 konvensi ini mengidentifikasi empat jenis kebencian, yaitu penyebaran ide berdasarkan superioritas rasial, kebencian rasial, penghasutan untuk diskriminasi rasial, dan penghasutan untuk tindak kekerasan berbasis rasial.
Konvensi yang juga melarang ujaran kebencian adalah Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik yang diadopsi tahun 1976. Dalam Pasal 20 negara diberi wewenang untuk mwlarang secara hukum hasutan kebencian dalam bentuk apa pun melalui advokasi kebencian nasional, rasial, dan keagamaan, termasuk hasutan untuk diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Dalam Pilkada DKI Jakarta lalu, ujaran kebencian menggunakan sentimen agama dan anti-China dipakai untuk mencegah publik memilih Ahok sebagai gubernur.
Konvensi lain yang melarang ujaran kebencian adalah Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Konvensi ini secara spesifik melarang ujaran kebencian terhadap perempuan dan mengecam diskriminasi atas perempuan dalam segala bentuk. Di Indonesia, penggunaan fatwa agama untuk melarang pemimpin perempuan pernah digunakan dalam Pemilihan Presiden 1999, diarahkan untuk menggalang kekuatan di MPR oleh pihak yang anti-Megawati Soekarnoputri.
Selain itu, ujaran kebencian juga dapat dianggap melanggar beberapa konvensi lainnya, seperti Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Tindak Pidana Genosida, Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, dan Deklarasi PBB Tentang Hak Penduduk Asli.
Hukum dan Sanksi Tegas
Dalam hukum Indonesia sebetulnya sudah diatur produk perundangan terkait dengan ujaran kebencian. Misalnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156-157. Beberapa undang-undang (UU) dan ketentuan lain juga bisa menjadi landasan memidanakan ujaran kebencian, seperti UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.
Dalam Laporan Resmi International Foundation for Electoral System (IFES) yang berjudul "Melawan Ujaran Kebencian Dalam Pemilu", Januari 2018, disebutkan berbagai negara demokratis telah melakukan tindakan hukum yang tegas atas ujaran kebencian. KUHP Kanada mengatur tindakan menghasut kebencian sebagai sebuah pelanggaran yang dapat dituntut ke pengadilan dengan sanksi penjara maksimum 2 tahun. KUHP Norwegia melarang ujaran kebencian didefinisikan sebagai pernyataan publik yang mengancam atau mencemooh seseorang atau menghasut kebencian, persekusi, atau merendahkan seseorang berdasarkan warna kulit, etnis, orientasi seksual, agama, atau filosofi hidup.
Di Republik Ceko, negara melarang ujaran kebencian dengan sanksi penjara maksimal dua tahun bagi setiap orang yang melakukan hasutan kebencian berbasis ras, etnis, agama, kelas, atau kelompok manapun. Namun, dalam kasus politik elektoral yang melibatkan partai politik tidak cukup hanya mendasarkan hukum normatif. Karena perlu ada panduan harus dipatuhi partai politik yang menjadi pelaku pemilu.
Di Kenya, pemerintah mengeluarkan panduan perilaku untuk partai politik dengan melarang penggunaan kekerasan, mencegah digunakannya kebencian, penghasutan etnis, dan fitnah. Di Nigeria, Komisi Independen Pemilihan Umum Nasional melarang penggunaan ujaran kebencian dan retorika diskriminasi dalam kampanye.
Di India, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mereka mengeluarkan Pedoman Perilaku yang menyatakan bahwa partai politik atau kandidat tidak diperbolehkan melakukan kegiatan memperburuk perbedaan serta menciptakan kebencian atau ketegangan antar-kasta dan agama.
Panduan dan hukum akan berwibawa jika mampu menyeret politisi yang dianggap menganjurkan ujaran kebencian ke pengadilan. Namun, pemberian sanksi hukum pada politisi bukan perkara mudah. Karena akses dan pengaruh politik mereka dalam lembaga negara, hukum, sistem peradilan, dan pembangunan opini melalui media. Keberhasilan sebagian pendukung Trump menggunakan ujaran kebencian untuk memenangkan pemilihan presiden di Amerika Serikat menunjukkan bahwa menjerat politisi bukanlah soal mudah.
Di beberapa negara sanksi hukum diberlakukan pada elite politik yang menggunakan ujaran kebencian. Di Belgia, anggota parlemen dari partai sayap kanan Front Nasional Belgia diadili karena mendistribusikan selebaran anti-muslim dan anti-imigran. Di Turki pada 2006, Perdana Menteri juga diajukan ke pengadilan karena dituduh dalam pidatonya melakukan penghasutan kebencian dan intoleransi agama. Namun, putusan pengadilan membebaskan dari semua tuduhan dengan alasan kebebasan berpendapat diperlukan dalam masyarakat demokratis.
Di India, siapa pun yang pernah divonis dengan pasal ujaran kebencian kehilangan hak untuk ikut dalam kompetisi elektoral. KPU India mendapatkan dukungan dari Mahkamah Agung agar pemerintah mengambil tindakan untuk mengekang ujaran kebencian.
Di Indonesia sendiri sekarang masih dalam perdebatan apakah KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat mendiskualifikasi atau menghentikan kampanye bagi partai politik atau kandidat menggunakan ujaran kebencian. Perlu konsensus bersama, terutama partai politik dan politisi, untuk tidak menggunakan ujaran kebencian. Kita berharap agar agenda politik elektoral; Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu Serentak 2019 berlangsung tanpa ujaran kebencian.
Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden
Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat yang diuntungkan dengan maraknya politik identitas, seperti anti-imigran dan anti-Islam menjadi penanda mundurnya kualitas politik elektoral di tingkat global. Slogan Trump "Make America Great Again" menjadi rallying cause berbagai kelompok anti-imigran dan anti-Islam di Amerika. Ini mengingatkan pada slogan "Jerman Raya" yang menjadi pusat konsolidasi kelompok-kelompok kanan dan anti-Yahudi ke dalam Partai Nazinya Hitler. Majalah The Economist dalam edisi 4 Juli 2016 menyatakan, "Trumpisme" akan mendapatkan entri kamusnya sendiri berupa campuran populisme, nativisme, dan xenofobia yang tidak menyenangkan namun sering berhasil secara politis.
Setelah terpilihnya Trump, pola politik identitas dengan cepat menyebar ke berbagai negeri, termasuk di Indonesia. Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, penggunaan ujaran kebencian (hate speech) berbasis agama, suku, ras, dan antargolongan (SARA) berpotensi menciptakan ketegangan sosial serta pembelahan masyarakat. Sentimen agama yang dibawa ke ranah politik pada akhirnya menjadi ujian bagi demokrasi di Indonesia.
Strategi memanfaatkan maraknya politik identitas dan ujaran kebencian menjadi jalan mudah dan murah untuk menang dalam kompetisi elektoral. Mencegahnya tentu tidak mudah. Kunci utamanya adalah penegakan hukum tanpa hitung-hitungan politik. Karena upaya menghasilkan pemilu yang jujur tidak cukup dengan imbauan moral. Harus diperkuat koridor hukum yang jelas dan tegas agar bisa diminimalisasikan dampak merusaknya bagi sistem demokrasi.
Standar Internasional
Dalam Konvensi Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diratifikasi Indonesia, ujaran kebencian dalam kompetisi elektoral adalah sebuah bentuk pelanggaran HAM. Karena itu, ujaran kebencian tidak bisa dianggap sebagai masalah bagi Indonesia, tapi juga bagi dunia. Konvensi tersebut mengatur aturan dan standar yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh negara yang menandatanganinya seperti dalam pasal-pasal Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Dalam DUHAM dinyatakan bahwa semua orang mempunyai martabat dan hak sama. Pasal 2 menyatakan kesetaraan dalam hak dan kebebasan tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, asal-usul kebangsaan, hak milik, ataupun kelahiran. Pasal 7 memberikan perlindungan setara bagi semua orang dari diskriminasi.
Norma universal lainnya adalah Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang diadopsi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1965. Pasal 4 konvensi ini mengidentifikasi empat jenis kebencian, yaitu penyebaran ide berdasarkan superioritas rasial, kebencian rasial, penghasutan untuk diskriminasi rasial, dan penghasutan untuk tindak kekerasan berbasis rasial.
Konvensi yang juga melarang ujaran kebencian adalah Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik yang diadopsi tahun 1976. Dalam Pasal 20 negara diberi wewenang untuk mwlarang secara hukum hasutan kebencian dalam bentuk apa pun melalui advokasi kebencian nasional, rasial, dan keagamaan, termasuk hasutan untuk diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Dalam Pilkada DKI Jakarta lalu, ujaran kebencian menggunakan sentimen agama dan anti-China dipakai untuk mencegah publik memilih Ahok sebagai gubernur.
Konvensi lain yang melarang ujaran kebencian adalah Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Konvensi ini secara spesifik melarang ujaran kebencian terhadap perempuan dan mengecam diskriminasi atas perempuan dalam segala bentuk. Di Indonesia, penggunaan fatwa agama untuk melarang pemimpin perempuan pernah digunakan dalam Pemilihan Presiden 1999, diarahkan untuk menggalang kekuatan di MPR oleh pihak yang anti-Megawati Soekarnoputri.
Selain itu, ujaran kebencian juga dapat dianggap melanggar beberapa konvensi lainnya, seperti Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Tindak Pidana Genosida, Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, dan Deklarasi PBB Tentang Hak Penduduk Asli.
Hukum dan Sanksi Tegas
Dalam hukum Indonesia sebetulnya sudah diatur produk perundangan terkait dengan ujaran kebencian. Misalnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156-157. Beberapa undang-undang (UU) dan ketentuan lain juga bisa menjadi landasan memidanakan ujaran kebencian, seperti UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.
Dalam Laporan Resmi International Foundation for Electoral System (IFES) yang berjudul "Melawan Ujaran Kebencian Dalam Pemilu", Januari 2018, disebutkan berbagai negara demokratis telah melakukan tindakan hukum yang tegas atas ujaran kebencian. KUHP Kanada mengatur tindakan menghasut kebencian sebagai sebuah pelanggaran yang dapat dituntut ke pengadilan dengan sanksi penjara maksimum 2 tahun. KUHP Norwegia melarang ujaran kebencian didefinisikan sebagai pernyataan publik yang mengancam atau mencemooh seseorang atau menghasut kebencian, persekusi, atau merendahkan seseorang berdasarkan warna kulit, etnis, orientasi seksual, agama, atau filosofi hidup.
Di Republik Ceko, negara melarang ujaran kebencian dengan sanksi penjara maksimal dua tahun bagi setiap orang yang melakukan hasutan kebencian berbasis ras, etnis, agama, kelas, atau kelompok manapun. Namun, dalam kasus politik elektoral yang melibatkan partai politik tidak cukup hanya mendasarkan hukum normatif. Karena perlu ada panduan harus dipatuhi partai politik yang menjadi pelaku pemilu.
Di Kenya, pemerintah mengeluarkan panduan perilaku untuk partai politik dengan melarang penggunaan kekerasan, mencegah digunakannya kebencian, penghasutan etnis, dan fitnah. Di Nigeria, Komisi Independen Pemilihan Umum Nasional melarang penggunaan ujaran kebencian dan retorika diskriminasi dalam kampanye.
Di India, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mereka mengeluarkan Pedoman Perilaku yang menyatakan bahwa partai politik atau kandidat tidak diperbolehkan melakukan kegiatan memperburuk perbedaan serta menciptakan kebencian atau ketegangan antar-kasta dan agama.
Panduan dan hukum akan berwibawa jika mampu menyeret politisi yang dianggap menganjurkan ujaran kebencian ke pengadilan. Namun, pemberian sanksi hukum pada politisi bukan perkara mudah. Karena akses dan pengaruh politik mereka dalam lembaga negara, hukum, sistem peradilan, dan pembangunan opini melalui media. Keberhasilan sebagian pendukung Trump menggunakan ujaran kebencian untuk memenangkan pemilihan presiden di Amerika Serikat menunjukkan bahwa menjerat politisi bukanlah soal mudah.
Di beberapa negara sanksi hukum diberlakukan pada elite politik yang menggunakan ujaran kebencian. Di Belgia, anggota parlemen dari partai sayap kanan Front Nasional Belgia diadili karena mendistribusikan selebaran anti-muslim dan anti-imigran. Di Turki pada 2006, Perdana Menteri juga diajukan ke pengadilan karena dituduh dalam pidatonya melakukan penghasutan kebencian dan intoleransi agama. Namun, putusan pengadilan membebaskan dari semua tuduhan dengan alasan kebebasan berpendapat diperlukan dalam masyarakat demokratis.
Di India, siapa pun yang pernah divonis dengan pasal ujaran kebencian kehilangan hak untuk ikut dalam kompetisi elektoral. KPU India mendapatkan dukungan dari Mahkamah Agung agar pemerintah mengambil tindakan untuk mengekang ujaran kebencian.
Di Indonesia sendiri sekarang masih dalam perdebatan apakah KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat mendiskualifikasi atau menghentikan kampanye bagi partai politik atau kandidat menggunakan ujaran kebencian. Perlu konsensus bersama, terutama partai politik dan politisi, untuk tidak menggunakan ujaran kebencian. Kita berharap agar agenda politik elektoral; Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu Serentak 2019 berlangsung tanpa ujaran kebencian.
(zik)