Menimbang Usulan Kenaikan Gaji PNS
A
A
A
Bagong Suyanto Guru Besar Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
PEMERINTAH dikabarkan tengah menggodok rencana perubahan struktur gaji pegawai negeri sipil (PNS). Seperti ditulis dalam Tajuk KORAN SINDO 1 Maret 2018, Badan Kepegawaian Negara (BKN) melalui Direktorat Kompensasi ASN saat ini tengah menyusun konsep usulan kenaikan gaji pokok bagi pegawai negeri sipil (PNS) untuk 2019. BKN menyebut pengajuan usulan kenaikan gaji pokok tersebut akan dibahas dalam forum antarkementerian/lembaga (K/L) dengan menganalisis kebutuhan anggaran berikut simulasi dampak fiskalnya.
Komposisi penghasilan PNS yang selama ini lebih besar dari pos tunjangan daripada gaji pokok, menurut rencana akan diubah. Bagi para PNS, kabar ini tentu menjadi angin segar, karena seperti diketahui sejak 2016 gaji PNS tidak naik. Ini artinya sudah selama tiga tahun berturut-turut gaji PNS tetap seperti tiga tahun lalu, sehingga kalau pemerintah jadi mengubah struktur gaji tentu yang diharapkan kesejahteraan PNS akan terdongkrak naik.
Berbeda dengan gaji pekerja pabrik dan karyawan swasta yang setiap tahun naik, para PNS harus puas dengan gaji yang tak berubah selama tiga tahun terakhir. Pada 2018 ini, jika gaji pekerja pabrik naik sekitar 8,6%, untuk gaji PNS sama sekali tidak bertambah. Namun demikian, untuk PNS aktif dan pensiunan, seperti tahun sebelumnya diberikan tambahan gaji ke-13 dan THR (tunjangan hari raya). Kebijakan tidak menaikkan gaji PNS, tetapi hanya memberi gaji ke-13 dan THR ini dipilih pemerintah sebagai bagian dari upaya untuk menghemat anggaran pembangunan.
Dengan jumlah PNS yang mencapai 4,3 juta lebih, tampaknya kemampuan keuangan negara tidak memungkinkan untuk menambah gaji PNS setiap tahunnya. Lebih dari sekadar beban jumlah PNS yang dirasa terlalu besar, kebijakan pemerintah selama tiga tahun tidak menaikkan gaji PNS sebetulnya ada kaitan dengan struktur dan kemampuan anggaran yang rapuh. Benarkah demikian?
Beban Negara
Sejak harga minyak dunia anjlok dan sumber pemasukan anggaran pembangunan tidak lagi mampu mengandalkan pada pemasukan dari keuntungan migas, diakui atau tidak kondisi anggaran negara memang menjadi rapuh.
Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencari sumber-sumber alternatif pemasukan negara, seperti melalui kebijakan tax amnesty dan mengintensifkan sumber pemasukan pajak dalam negeri, ternyata gagal. Sementara itu, di saat yang sama kondisi keuangan negara menjadi lebih rapuh ketika jumlah utang luar negeri dari waktu ke waktu terus bertambah.
Di 2018, jumlah utang luar negeri diperkirakan akan terus naik hingga menjadi Rp4.300 triliun. Ketika program tax amnesty hanya mampu merealisasi tidak lebih dari 20% dari target yang ditetapkan, jumlah utang luar negeri yang terus meningkat tentu membuat beban anggaran negara menjadi makin berat.
Alih-alih mampu memenuhi kebutuhan dana pembangunan, fokus pemerintahan Jokowi-JK yang berusaha mempercepat pembangunan infrastruktur fisik di berbagai daerah, dan kebutuhan dana untuk program-program pembangunan yang sifatnya amal-karitatif menyebabkan kemampuan keuangan nasional terancam tekor. Katakanlah jika untuk tahun 2018 gaji PNS dinaikkan 3,5% saja, maka kebutuhan alokasi anggaran untuk PNS akan menyedot dana APBN sebesar Rp105,79 triliun.
Pemerintah telah menyatakan bahwa besaran belanja negara dalam APBN 2018 sebesar Rp.2.204,4 triliun. Rinciannya terdiri dari Belanja pemerintah pusat sebesar rp1.443,3 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp761,1 triliun. Sementara itu, ironisnya jumlah pendapatan negara dalam APBN 2018 diperkirakan hanya sebesar Rp1.878,4 triliun. Dari jumlah tersebut, penerimaan perpajakan direncanakan sebesar Rp1.609,4 triliun dan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp267,9 triliun.
Dengan perkiraan Pendapatan Negara dan Belanja Negara pada 2018 yang lebih kecil dari kebutuhan dana pembangunan, defisit anggaran dalam RAPBN tahun 2018 diperkirakan sebesar Rp325,9 triliun atau setara dengan 2,19% dari PDB. Lantas, dari mana pemerintah akan dapat menambal defisit anggaran pembangunan, jika bukan melalui penambahan jumlah utang luar negeri?
Pekerjaan Rumah Pemerintah
Kebutuhan untuk membayar gaji PNS selama ini memang cukup membebani APBN. Pemerintah sendiri telah berkali-kali mengeluhkan soal gendutnya anggaran belanja untuk membayar gaji PNS selama ini. Persoalannya di sini bukan sekadar karena jumlah anggaran yang dinilai terlalu besar untuk gaji PNS, tetapi di luar itu ada dua hal yang menjadi sorotan.
Pertama, berkaitan dengan pararelitas besarnya alokasi anggaran untuk gaji PNS dengan kinerja PNS. Sudah bukan rahasia lagi, di berbagai daerah kinerja PNS umumnya masih belum berkembang optimal, dan bahkan tidak sedikit PNS yang inefisien. Alih-alih memperlihatkan kinerja yang makin baik, di banyak kasus kinerja PNS acap masih mewarisi pola kerja di masa lalu yang jauh dari profesional. Keluhan bahwa PNS lebih banyak mengisi hari-hari kerja mereka dengan membaca koran, membaca dan membalas SMS, memeriksa media sosial, dan lain sebagainya adalah kritik yang selama ini dilontarkan banyak pihak terhadap kinerja PNS.
Kedua, berkaitan dengan perbedaan kesejahteraan antara PNS departemen satu dengan PNS departemen lain, atau PNS daerah satu dengan daerah yang lain, yang tak jarang sangat senjang. PNS di Kementerian Keuangan, dan PNS yang dinas di kantor pemerintah daerah yang kaya seperti DKI Jakarta atau Surabaya, misalnya, bukan rahasia lagi kalau gaji PNS-nya jauh lebih besar daripada gaji PNS daerah lain.
Jadi, kalau ada keluhan tentang tidak adanya kenaikan gaji PNS selama tiga tahun terakhir, sesungguhnya hal ini tidak terjadi pada semua PNS, karena di departemen dan daerah tertentu gaji PNS justru naik berkali-kali lipat. Di Jakarta dan Surabaya, gaji PNS Golongan IV bahkan mengalahkan gaji seorang guru besar yang telah mengabdi selama 30 tahun lebih.
Bagi PNS yang berdinas di daerah yang telah melakukan remunerasi, sebenarnya keputusan pemerintah tidak menaikkan gaji PNS selama tiga tahun terakhir, itu semua tidak menjadi masalah karena take home pay yang mereka terima sudah jauh di atas UMR. Cuma, yang menjadi masalah adalah masih adanya ketidakmerataan kesejahteraan gaji PNS satu dengan yang lain, dan juga soal PNS yang beruntung berdinas di dinas yang “basah”, dan PNS yang bernasib sial karena berdinas di dinas yang “kering”.
Pekerjaan rumah (PR) penting pemerintah di tahun-tahun mendatang bukan hanya bagaimana memperkuat APBN dan menyediakan alokasi dana yang cukup untuk gaji PNS, tetapi yang tak kalah penting adalah bagaimana memperbaiki mekanisme penggajian antardinas dan antardaerah, serta proses penempatan karier PNS yang benar-benar menjamin rasa keadilan. Tanpa adanya kepastian perlakuan yang adil, jangan harap kinerja PNS akan meningkat seperti yang diharapkan.
PEMERINTAH dikabarkan tengah menggodok rencana perubahan struktur gaji pegawai negeri sipil (PNS). Seperti ditulis dalam Tajuk KORAN SINDO 1 Maret 2018, Badan Kepegawaian Negara (BKN) melalui Direktorat Kompensasi ASN saat ini tengah menyusun konsep usulan kenaikan gaji pokok bagi pegawai negeri sipil (PNS) untuk 2019. BKN menyebut pengajuan usulan kenaikan gaji pokok tersebut akan dibahas dalam forum antarkementerian/lembaga (K/L) dengan menganalisis kebutuhan anggaran berikut simulasi dampak fiskalnya.
Komposisi penghasilan PNS yang selama ini lebih besar dari pos tunjangan daripada gaji pokok, menurut rencana akan diubah. Bagi para PNS, kabar ini tentu menjadi angin segar, karena seperti diketahui sejak 2016 gaji PNS tidak naik. Ini artinya sudah selama tiga tahun berturut-turut gaji PNS tetap seperti tiga tahun lalu, sehingga kalau pemerintah jadi mengubah struktur gaji tentu yang diharapkan kesejahteraan PNS akan terdongkrak naik.
Berbeda dengan gaji pekerja pabrik dan karyawan swasta yang setiap tahun naik, para PNS harus puas dengan gaji yang tak berubah selama tiga tahun terakhir. Pada 2018 ini, jika gaji pekerja pabrik naik sekitar 8,6%, untuk gaji PNS sama sekali tidak bertambah. Namun demikian, untuk PNS aktif dan pensiunan, seperti tahun sebelumnya diberikan tambahan gaji ke-13 dan THR (tunjangan hari raya). Kebijakan tidak menaikkan gaji PNS, tetapi hanya memberi gaji ke-13 dan THR ini dipilih pemerintah sebagai bagian dari upaya untuk menghemat anggaran pembangunan.
Dengan jumlah PNS yang mencapai 4,3 juta lebih, tampaknya kemampuan keuangan negara tidak memungkinkan untuk menambah gaji PNS setiap tahunnya. Lebih dari sekadar beban jumlah PNS yang dirasa terlalu besar, kebijakan pemerintah selama tiga tahun tidak menaikkan gaji PNS sebetulnya ada kaitan dengan struktur dan kemampuan anggaran yang rapuh. Benarkah demikian?
Beban Negara
Sejak harga minyak dunia anjlok dan sumber pemasukan anggaran pembangunan tidak lagi mampu mengandalkan pada pemasukan dari keuntungan migas, diakui atau tidak kondisi anggaran negara memang menjadi rapuh.
Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencari sumber-sumber alternatif pemasukan negara, seperti melalui kebijakan tax amnesty dan mengintensifkan sumber pemasukan pajak dalam negeri, ternyata gagal. Sementara itu, di saat yang sama kondisi keuangan negara menjadi lebih rapuh ketika jumlah utang luar negeri dari waktu ke waktu terus bertambah.
Di 2018, jumlah utang luar negeri diperkirakan akan terus naik hingga menjadi Rp4.300 triliun. Ketika program tax amnesty hanya mampu merealisasi tidak lebih dari 20% dari target yang ditetapkan, jumlah utang luar negeri yang terus meningkat tentu membuat beban anggaran negara menjadi makin berat.
Alih-alih mampu memenuhi kebutuhan dana pembangunan, fokus pemerintahan Jokowi-JK yang berusaha mempercepat pembangunan infrastruktur fisik di berbagai daerah, dan kebutuhan dana untuk program-program pembangunan yang sifatnya amal-karitatif menyebabkan kemampuan keuangan nasional terancam tekor. Katakanlah jika untuk tahun 2018 gaji PNS dinaikkan 3,5% saja, maka kebutuhan alokasi anggaran untuk PNS akan menyedot dana APBN sebesar Rp105,79 triliun.
Pemerintah telah menyatakan bahwa besaran belanja negara dalam APBN 2018 sebesar Rp.2.204,4 triliun. Rinciannya terdiri dari Belanja pemerintah pusat sebesar rp1.443,3 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp761,1 triliun. Sementara itu, ironisnya jumlah pendapatan negara dalam APBN 2018 diperkirakan hanya sebesar Rp1.878,4 triliun. Dari jumlah tersebut, penerimaan perpajakan direncanakan sebesar Rp1.609,4 triliun dan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp267,9 triliun.
Dengan perkiraan Pendapatan Negara dan Belanja Negara pada 2018 yang lebih kecil dari kebutuhan dana pembangunan, defisit anggaran dalam RAPBN tahun 2018 diperkirakan sebesar Rp325,9 triliun atau setara dengan 2,19% dari PDB. Lantas, dari mana pemerintah akan dapat menambal defisit anggaran pembangunan, jika bukan melalui penambahan jumlah utang luar negeri?
Pekerjaan Rumah Pemerintah
Kebutuhan untuk membayar gaji PNS selama ini memang cukup membebani APBN. Pemerintah sendiri telah berkali-kali mengeluhkan soal gendutnya anggaran belanja untuk membayar gaji PNS selama ini. Persoalannya di sini bukan sekadar karena jumlah anggaran yang dinilai terlalu besar untuk gaji PNS, tetapi di luar itu ada dua hal yang menjadi sorotan.
Pertama, berkaitan dengan pararelitas besarnya alokasi anggaran untuk gaji PNS dengan kinerja PNS. Sudah bukan rahasia lagi, di berbagai daerah kinerja PNS umumnya masih belum berkembang optimal, dan bahkan tidak sedikit PNS yang inefisien. Alih-alih memperlihatkan kinerja yang makin baik, di banyak kasus kinerja PNS acap masih mewarisi pola kerja di masa lalu yang jauh dari profesional. Keluhan bahwa PNS lebih banyak mengisi hari-hari kerja mereka dengan membaca koran, membaca dan membalas SMS, memeriksa media sosial, dan lain sebagainya adalah kritik yang selama ini dilontarkan banyak pihak terhadap kinerja PNS.
Kedua, berkaitan dengan perbedaan kesejahteraan antara PNS departemen satu dengan PNS departemen lain, atau PNS daerah satu dengan daerah yang lain, yang tak jarang sangat senjang. PNS di Kementerian Keuangan, dan PNS yang dinas di kantor pemerintah daerah yang kaya seperti DKI Jakarta atau Surabaya, misalnya, bukan rahasia lagi kalau gaji PNS-nya jauh lebih besar daripada gaji PNS daerah lain.
Jadi, kalau ada keluhan tentang tidak adanya kenaikan gaji PNS selama tiga tahun terakhir, sesungguhnya hal ini tidak terjadi pada semua PNS, karena di departemen dan daerah tertentu gaji PNS justru naik berkali-kali lipat. Di Jakarta dan Surabaya, gaji PNS Golongan IV bahkan mengalahkan gaji seorang guru besar yang telah mengabdi selama 30 tahun lebih.
Bagi PNS yang berdinas di daerah yang telah melakukan remunerasi, sebenarnya keputusan pemerintah tidak menaikkan gaji PNS selama tiga tahun terakhir, itu semua tidak menjadi masalah karena take home pay yang mereka terima sudah jauh di atas UMR. Cuma, yang menjadi masalah adalah masih adanya ketidakmerataan kesejahteraan gaji PNS satu dengan yang lain, dan juga soal PNS yang beruntung berdinas di dinas yang “basah”, dan PNS yang bernasib sial karena berdinas di dinas yang “kering”.
Pekerjaan rumah (PR) penting pemerintah di tahun-tahun mendatang bukan hanya bagaimana memperkuat APBN dan menyediakan alokasi dana yang cukup untuk gaji PNS, tetapi yang tak kalah penting adalah bagaimana memperbaiki mekanisme penggajian antardinas dan antardaerah, serta proses penempatan karier PNS yang benar-benar menjamin rasa keadilan. Tanpa adanya kepastian perlakuan yang adil, jangan harap kinerja PNS akan meningkat seperti yang diharapkan.
(kri)