Kepemimpinan Gizi
A
A
A
Herwin Yatim
Bupati Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
Pada 1 Februari lalu saya mendapat undangan memberikan materi dalam Indonesian Young Nutrition Leaders Camp yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Gizi (Isagi) bekerja sama dengan Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan (Pergizi Pangan). Judul materi saya, yakni Pentingnya Strong Leadership dalam Implementasi Program Gizi.
Kenapa saya dipilih jadi pembicara? Alasan panitia karena saya dianggap menunjukkan kepedulian yang kuat terhadap pembangunan gizi. Saya kemudian baru sadar setelah tahu bahwa koordinator pelaksananya adalah seorang dosen muda yang sempat bertemu pada International Conggres of Nutrition (ICN) ke-21 di Argentina, Oktober 2017.
Bagi dosen tadi, mungkin kehadiran seorang bupati pada sebuah kongres gizi adalah hal yang istimewa sehingga patut diapresiasi. Apalagi, pada kongres tersebut saya menyajikan materi berjudul Multisectoral Action to Improve Nutrition in Banggai District.
Bila dianggap sebagai bentuk komitmen mungkin tidak ada salahnya. Namun, kehadiran saya pada perhelatan gizi berskala internasional itu bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba. Ini adalah buah dari kerja-kerja program gizi yang selama ini kami laksanakan.
Meskipun belum maksimal, saya yakin program gizi yang berfokus pada 1.000 hari pertama kehidupan (1.000 HPK) di daerah kami telah berada di jalur tepat. Ini karena sangat sesuai dengan salah satu misi pemerintahan kami, yakni meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan daya saing daerah.
Tentang bagaimana kaitan gizi dengan kualitas manusia tentu bukan kapasitas saya menjelaskannya. Yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana saya mendapatkan pemahaman itu kemudian menjadi sangat termotivasi untuk menggalakkan pembangunan gizi.
Inovasi
Ketertarikan saya pada gizi bermula ketika mendengarkan penjelasan seorang profesor tentang pentingnya gizi pada 1.000 HPK di forum NGO. Penjelasannya sangat gamblang dan masuk akal bagi orang awam. Meski banyak mengutip teori ahli gizi serta jurnal ilmiah, penjelasan itu membuat saya terkesima.
Hal paling menarik dari uraiannya adalah bagaimana gizi pada saat ibu hamil sampai dengan anak berusia 2 tahun itu berpengaruh pada tinggi badan anak, kecerdasan, produktivitas, serta penyakit yang bakal diderita saat dewasa nanti. Saat itulah saya pertama kali mengenal istilah 1.000 HPK. Saat itu pula saya berkesimpulan bahwa jika ingin meningkatkan kualitas manusia dan daya saing, perbaikan gizi pada 1.000 HPK harus menjadi prioritas.
Informasi lain yang saya peroleh adalah pentingnya kerja sama lintas sektor. Masalah gizi ternyata tidak berdiri sendiri. Ini terkait dengan kemiskinan, penyediaan air bersih, ketersediaan pangan, pendidikan, kesetaraan gender, bahkan dengan usia pernikahan pertama seorang wanita. Saat itu pula saya disadarkan akan pentingnya menghimpun kekuatan organisasi perangkat daerah agar programnya terkoordinasi untuk menyelesaikan masalah gizi.
Sekembalinya dari forum tersebut saya berdiskusi dengan kepala Dinas Kesehatan. Karena baru sekitar 5 bulan menjabat sebagai bupati, saya ingin mendengar bagaimana program gizi dilaksanakan. Ternyata, di daerah kami, program 1.000 HPK ini telah dilaksanakan sejak 2015, setahun sebelum saya menjadi bupati. Implementasinya pun bukan saja dimulai saat ibu hamil, melainkan sejak calon pengantin. Calon suami-istri telah dibekali informasi gizi saat kursus calon pengantin.
Sejak itu calon pengantin wanita diberi kapsul multivitamin dan mineral untuk mencegah anemia. Lalu mereka bertemu sebulan sekali dengan petugas kesehatan untuk mempersiapkan kehamilannya. Kegiatan ini dinamakan posyandu prakonsepsi. Pada sebuah festival praktik cerdas yang diselenggarakan oleh Wahana Visi Indonesia, inovasi posyandu prakonsepsi ini mendapat juara pertama.
Prestasi ini mengangkat nama baik daerah dan sudah pasti bupatinya. Jujur saja, setelah meraih prestasi tersebut saya makin bersemangat untuk memberikan perhatian kepada gizi. Diinisiasi oleh kepala Dinas Kesehatan, kami membentuk gugus tugas 1.000 HPK. Di bawah koordinasi kepala Bappeda, seluruh perangkat daerah terkait dihimpun dalam gugus kerja ini. Gugus ini mengidentifikasi program masing-masing perangkat daerah terkait dengan perbaikan gizi pada 1.000 HPK lalu fokus menyelenggarakannya.
Setelah setahun hasilnya dievaluasi. Beberapa indikator menunjukkan perbaikan. Contohnya cakupan air bersih, usia pernikahan, cakupan KB. Demikian pula terhadap indikator anemia ibu hamil, bayi berat lahir rendah, serta kematian ibu. Inilah yang kemudian kami sajikan saat kongres gizi di Argentina.
Pengakuan
Poin penting yang membuat saya berkomitmen membangun gizi adalah penjelasan yang sangat baik tentang gizi pada 1.000 HPK. Inilah yang kemudian membangun kesadaran saya akan pentingnya gizi. Berikut adanya pengakuan terhadap apa yang kami lakukan. Pernah suatu saat di Universitas Hasanuddin, Makassar, saya diminta memaparkan pencapaian program gizi di hadapan rektor dan menteri kesehatan. Kami juga pernah berceramah tentang gizi pada sebuah seminar nasional kependudukan di Jakarta. Ini membuat kami merasa bangga karena dipercaya.
Di tengah keseriusan pemerintah mengatasi masalah gizi, apa yang saya alami kiranya dapat menjadi model penggalangan komitmen pimpinan tertinggi di semua level. Saat ini Indonesia sedang menghadapi masalah gizi serius. Kasus gizi buruk di Asmat belum lepas dari ingatan kita. Masalah lain, ada sekitar 37% anak Indonesia mengalami stunting. Karena itu, program gizi harus benar-benar mendapat perhatian dari pemimpin di daerah.
Pada sambutannya di rapat kerja kesehatan nasional yang saya baca di media, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa tidak boleh ada satu pun anggota keluarga yang menderita gizi buruk. Demikian pula pada sebuah pidato kenegaraan, Presiden jelas-jelas menyebut pentingnya meningkatkan kualitas manusia dengan memperhatikan gizi pada 1.000 HPK. Komitmen presiden ini tentu sangat patut dicontoh oleh gubernur dan bupati se-Indonesia.
Bupati Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah
Pada 1 Februari lalu saya mendapat undangan memberikan materi dalam Indonesian Young Nutrition Leaders Camp yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Gizi (Isagi) bekerja sama dengan Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan (Pergizi Pangan). Judul materi saya, yakni Pentingnya Strong Leadership dalam Implementasi Program Gizi.
Kenapa saya dipilih jadi pembicara? Alasan panitia karena saya dianggap menunjukkan kepedulian yang kuat terhadap pembangunan gizi. Saya kemudian baru sadar setelah tahu bahwa koordinator pelaksananya adalah seorang dosen muda yang sempat bertemu pada International Conggres of Nutrition (ICN) ke-21 di Argentina, Oktober 2017.
Bagi dosen tadi, mungkin kehadiran seorang bupati pada sebuah kongres gizi adalah hal yang istimewa sehingga patut diapresiasi. Apalagi, pada kongres tersebut saya menyajikan materi berjudul Multisectoral Action to Improve Nutrition in Banggai District.
Bila dianggap sebagai bentuk komitmen mungkin tidak ada salahnya. Namun, kehadiran saya pada perhelatan gizi berskala internasional itu bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba. Ini adalah buah dari kerja-kerja program gizi yang selama ini kami laksanakan.
Meskipun belum maksimal, saya yakin program gizi yang berfokus pada 1.000 hari pertama kehidupan (1.000 HPK) di daerah kami telah berada di jalur tepat. Ini karena sangat sesuai dengan salah satu misi pemerintahan kami, yakni meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan daya saing daerah.
Tentang bagaimana kaitan gizi dengan kualitas manusia tentu bukan kapasitas saya menjelaskannya. Yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana saya mendapatkan pemahaman itu kemudian menjadi sangat termotivasi untuk menggalakkan pembangunan gizi.
Inovasi
Ketertarikan saya pada gizi bermula ketika mendengarkan penjelasan seorang profesor tentang pentingnya gizi pada 1.000 HPK di forum NGO. Penjelasannya sangat gamblang dan masuk akal bagi orang awam. Meski banyak mengutip teori ahli gizi serta jurnal ilmiah, penjelasan itu membuat saya terkesima.
Hal paling menarik dari uraiannya adalah bagaimana gizi pada saat ibu hamil sampai dengan anak berusia 2 tahun itu berpengaruh pada tinggi badan anak, kecerdasan, produktivitas, serta penyakit yang bakal diderita saat dewasa nanti. Saat itulah saya pertama kali mengenal istilah 1.000 HPK. Saat itu pula saya berkesimpulan bahwa jika ingin meningkatkan kualitas manusia dan daya saing, perbaikan gizi pada 1.000 HPK harus menjadi prioritas.
Informasi lain yang saya peroleh adalah pentingnya kerja sama lintas sektor. Masalah gizi ternyata tidak berdiri sendiri. Ini terkait dengan kemiskinan, penyediaan air bersih, ketersediaan pangan, pendidikan, kesetaraan gender, bahkan dengan usia pernikahan pertama seorang wanita. Saat itu pula saya disadarkan akan pentingnya menghimpun kekuatan organisasi perangkat daerah agar programnya terkoordinasi untuk menyelesaikan masalah gizi.
Sekembalinya dari forum tersebut saya berdiskusi dengan kepala Dinas Kesehatan. Karena baru sekitar 5 bulan menjabat sebagai bupati, saya ingin mendengar bagaimana program gizi dilaksanakan. Ternyata, di daerah kami, program 1.000 HPK ini telah dilaksanakan sejak 2015, setahun sebelum saya menjadi bupati. Implementasinya pun bukan saja dimulai saat ibu hamil, melainkan sejak calon pengantin. Calon suami-istri telah dibekali informasi gizi saat kursus calon pengantin.
Sejak itu calon pengantin wanita diberi kapsul multivitamin dan mineral untuk mencegah anemia. Lalu mereka bertemu sebulan sekali dengan petugas kesehatan untuk mempersiapkan kehamilannya. Kegiatan ini dinamakan posyandu prakonsepsi. Pada sebuah festival praktik cerdas yang diselenggarakan oleh Wahana Visi Indonesia, inovasi posyandu prakonsepsi ini mendapat juara pertama.
Prestasi ini mengangkat nama baik daerah dan sudah pasti bupatinya. Jujur saja, setelah meraih prestasi tersebut saya makin bersemangat untuk memberikan perhatian kepada gizi. Diinisiasi oleh kepala Dinas Kesehatan, kami membentuk gugus tugas 1.000 HPK. Di bawah koordinasi kepala Bappeda, seluruh perangkat daerah terkait dihimpun dalam gugus kerja ini. Gugus ini mengidentifikasi program masing-masing perangkat daerah terkait dengan perbaikan gizi pada 1.000 HPK lalu fokus menyelenggarakannya.
Setelah setahun hasilnya dievaluasi. Beberapa indikator menunjukkan perbaikan. Contohnya cakupan air bersih, usia pernikahan, cakupan KB. Demikian pula terhadap indikator anemia ibu hamil, bayi berat lahir rendah, serta kematian ibu. Inilah yang kemudian kami sajikan saat kongres gizi di Argentina.
Pengakuan
Poin penting yang membuat saya berkomitmen membangun gizi adalah penjelasan yang sangat baik tentang gizi pada 1.000 HPK. Inilah yang kemudian membangun kesadaran saya akan pentingnya gizi. Berikut adanya pengakuan terhadap apa yang kami lakukan. Pernah suatu saat di Universitas Hasanuddin, Makassar, saya diminta memaparkan pencapaian program gizi di hadapan rektor dan menteri kesehatan. Kami juga pernah berceramah tentang gizi pada sebuah seminar nasional kependudukan di Jakarta. Ini membuat kami merasa bangga karena dipercaya.
Di tengah keseriusan pemerintah mengatasi masalah gizi, apa yang saya alami kiranya dapat menjadi model penggalangan komitmen pimpinan tertinggi di semua level. Saat ini Indonesia sedang menghadapi masalah gizi serius. Kasus gizi buruk di Asmat belum lepas dari ingatan kita. Masalah lain, ada sekitar 37% anak Indonesia mengalami stunting. Karena itu, program gizi harus benar-benar mendapat perhatian dari pemimpin di daerah.
Pada sambutannya di rapat kerja kesehatan nasional yang saya baca di media, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa tidak boleh ada satu pun anggota keluarga yang menderita gizi buruk. Demikian pula pada sebuah pidato kenegaraan, Presiden jelas-jelas menyebut pentingnya meningkatkan kualitas manusia dengan memperhatikan gizi pada 1.000 HPK. Komitmen presiden ini tentu sangat patut dicontoh oleh gubernur dan bupati se-Indonesia.
(thm)