Teror Tokoh Agama dan Tantangan Kemajemukan
A
A
A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur
INSIDEN kekerasan terhadap Pastor Karl Edmund Prier dan sejumlah jemaat Gereja Katolik Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta, oleh seorang pemuda bernama Suliono pada Sabtu (11/2/2018) pagi menambah panjang daftar kekerasan terhadap tokoh agama. Ironisnya, kekerasan itu terjadi di rumah ibadah.
Menurut catatan sejumlah media, sepanjang Januari-Februari 2018 setidaknya ada empat insiden kekerasan terhadap tokoh agama. Pertama, penganiayaan yang dialami KH Umar Basri, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah, Cicalengka, Jawa Barat. Dia diserang seorang bernama Asep sesaat setelah menunaikan salat subuh. Kedua, penganiayaan terhadap Ustaz Prawoto, Komandan Brigade Pondok Pesantren Persis Bandung, Jawa Barat.
Akibat penganiayaan itu, Ustadz Prawoto bahkan meninggal dunia. Ketiga, penolakan terhadap Biksu Mulyanto Nurhalim oleh warga di Kampung Kebun Baru, Legok, Tangerang. Mulyanto dan pengikutnya dilarang untuk beribadah oleh warga. Keempat, kejadian yang menimpa Romo Prier.
Terakhir, Minggu (18/2) malam tiga patung di Pura Mandhara Giri Semeru Agung, Senduro Lumajang, Jawa Timur, dirusak orang tak dikenal. Belum diketahui pelaku dan motif perusakan. Polisi menyita pecahan patung dan sebilah kapak yang digunakan pelaku.
Penyerangan kepada tokoh agama, apa pun agamanya, termasuk tempat ibadah, patut disesalkan. Peristiwa ini bukan saja mengganggu suasana kehidupan antarumat beragama yang sudah sangat toleran. Lebih dari itu, wajah negeri tercinta juga dapat tercoreng. Itu karena Indonesia telah dikenal sebagai laboratorium dunia untuk kehidupan umat beragama. Negeri ini dipandang sukses mewujudkan suasana kehidupan saling menghormati dan menghargai perbedaan di kalangan umat beragama. Padahal, sebagai negara besar yang multietnis, agama, dan budaya, negeri tercinta sangat rawan dengan konflik.
Jika diamati berdasarkan kasus yang terjadi akhir-akhir ini, modus insiden kekerasan terhadap tokoh agama sangat beragam. Bentuknya bisa berupa kekerasan fisik. Modus lainnya berbentuk penolakan kegiatan ceramah agama seperti pernah dialami dai kondang, Ustaz Abdul Somad. Insiden pembubaran kegiatan pengajian juga terjadi di sejumlah daerah. Dampaknya, sejumlah mubalig membatalkan ceramah karena ditolak oknum dan warga setempat.
Insiden kekerasan pada tokoh agama dan pembubaran pengajian merupakan intoleransi gaya baru. Apa pun alasannya dan siapa pun pelakunya harus menyadari bahwa praktik intoleransi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Pada konteks inilah semua elemen penting menjaga suasana kehidupan umat dengan mengedepankan nilai-nilai toleransi. Insiden yang menimpa sejumlah tokoh agama diharapkan tidak memicu konflik lebih luas. Pada konteks inilah, aparat keamanan dituntut adil mengusut semua insiden kekerasan terhadap tokoh agama dan umat beragama.
Sebagai negara berbineka, para pendiri bangsa sejatinya telah menekankan pentingnya bersatu dalam keragaman (unity in diversity). Motto nasional Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi spirit mewujudkan kehidupan yang toleran. Meski negeri ini ber-Bhinneka, namun harus tetap Tunggal Ika. Dengan spirit inilah, negeri tercinta sukses mempraktikkan kehidupan toleran di tengah keragaman. Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa juga telah menjadi daya tarik negara lain. Tidak mengherankan jika banyak negara ingin belajar dari Indonesia yang dinilai sukses mengelola kebinekaan.
Berkaitan dengan maraknya insiden intoleransi, semua elemen bangsa harus menyadari pentingnya pluralisme keagamaan. Pluralisme telah menjadi tantangan semua agama dan paham keagamaan. Kondisi negara yang majemuk juga potensial menjadi penyebab konflik. Itu terjadi jika individu dan kelompok yang berbeda tidak siap hidup berdampingan. Padahal, kemajemukan merupakan ketetapan Tuhan (sunnatullah). Pada konteks inilah dibutuhkan strategi baru dialog lintas agama dan paham keagamaan.
Sejauh ini dialog lintas agama lebih banyak dikemas dalam konteks perdebatan teologi. Dampaknya terjadi pandangan yang bercorak binaris; in group-out group, golongan kami (minna)-golongan kamu (minkum), dan benar-salah. Keinginan untuk saling bertemu, bertegur sapa, dan memahami ajaran setiap agama tidak akan tercapai melalui dialog bernuansa perdebatan teologis. Terasa lebih sejuk jika dialog dirancang secara informal sehingga antarumat beragama dan pengikut paham keagamaan saling bertegur sapa.
Di antara tantangan yang dihadapi umat beragama berkaitan dengan pluralisme adalah bahwa setiap agama dituntut untuk melahirkan ajaran yang inklusif dan toleran terhadap keragaman. Sementara pada saat yang sama agama mewajibkan pemeluknya untuk meyakini bahwa doktrin yang diajarkan memiliki kebenaran mutlak dan bersifat eksklusif. Dalam menghadapi problem ini, mayoritas tradisi keberagamaan mengambil sikap bahwa kebenaran hanya menjadi miliknya. Sementara kelompok lain diposisikan salah. Dampaknya, setiap pemeluk agama atau penganut paham keagamaan mengklaim ajarannya paling benar.
Diana L Eck dalam What is Pluralism (1993) menegaskan pluralisme berbeda dengan relativisme dan toleransi pasif. Pluralisme adalah pencarian yang aktif untuk memahami perbedaan. Pluralisme juga menekankan pentingnya dialog yang dilakukan secara tulus sehingga menghadirkan komitmen untuk berbagi pengalaman, saling mengkritik, dan bersedia dikritik. Jika pluralisme dipahami secara positif, akan melahirkan pandangan terbuka (open-minded) dan toleran.
Pemahaman keagamaan yang terbuka pasti menumbuhkan komitmen yang tulus untuk terlibat aktif dalam kegiatan lintas budaya, etnis, dan agama. Meminjam istilah Mukti Ali (1989), sudah waktunya elemen bangsa bersepakat dalam perbedaan (agree in disagreement). Dengan bahasa yang menyentuh hati, Allah SWT mengajak semua pemeluk agama dan pengikut paham keagamaan untuk berlomba-lomba menjadi yang terbaik (fastabiq al-khairat).
Dalam Alquran, Allah berfirman; Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS Al-Maidah: 48).
Kalam Ilahi tersebut penting menjadi spirit untuk mempersiapkan diri hidup saling menghormati dan menghargai perbedaan. Karena kemajemukan merupakan keniscayaan, mari kita rayakan perbedaan. Semoga bangsa ini terus belajar sehingga insiden kekerasan bernuansa agama tidak terulang.
Dosen UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur
INSIDEN kekerasan terhadap Pastor Karl Edmund Prier dan sejumlah jemaat Gereja Katolik Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta, oleh seorang pemuda bernama Suliono pada Sabtu (11/2/2018) pagi menambah panjang daftar kekerasan terhadap tokoh agama. Ironisnya, kekerasan itu terjadi di rumah ibadah.
Menurut catatan sejumlah media, sepanjang Januari-Februari 2018 setidaknya ada empat insiden kekerasan terhadap tokoh agama. Pertama, penganiayaan yang dialami KH Umar Basri, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah, Cicalengka, Jawa Barat. Dia diserang seorang bernama Asep sesaat setelah menunaikan salat subuh. Kedua, penganiayaan terhadap Ustaz Prawoto, Komandan Brigade Pondok Pesantren Persis Bandung, Jawa Barat.
Akibat penganiayaan itu, Ustadz Prawoto bahkan meninggal dunia. Ketiga, penolakan terhadap Biksu Mulyanto Nurhalim oleh warga di Kampung Kebun Baru, Legok, Tangerang. Mulyanto dan pengikutnya dilarang untuk beribadah oleh warga. Keempat, kejadian yang menimpa Romo Prier.
Terakhir, Minggu (18/2) malam tiga patung di Pura Mandhara Giri Semeru Agung, Senduro Lumajang, Jawa Timur, dirusak orang tak dikenal. Belum diketahui pelaku dan motif perusakan. Polisi menyita pecahan patung dan sebilah kapak yang digunakan pelaku.
Penyerangan kepada tokoh agama, apa pun agamanya, termasuk tempat ibadah, patut disesalkan. Peristiwa ini bukan saja mengganggu suasana kehidupan antarumat beragama yang sudah sangat toleran. Lebih dari itu, wajah negeri tercinta juga dapat tercoreng. Itu karena Indonesia telah dikenal sebagai laboratorium dunia untuk kehidupan umat beragama. Negeri ini dipandang sukses mewujudkan suasana kehidupan saling menghormati dan menghargai perbedaan di kalangan umat beragama. Padahal, sebagai negara besar yang multietnis, agama, dan budaya, negeri tercinta sangat rawan dengan konflik.
Jika diamati berdasarkan kasus yang terjadi akhir-akhir ini, modus insiden kekerasan terhadap tokoh agama sangat beragam. Bentuknya bisa berupa kekerasan fisik. Modus lainnya berbentuk penolakan kegiatan ceramah agama seperti pernah dialami dai kondang, Ustaz Abdul Somad. Insiden pembubaran kegiatan pengajian juga terjadi di sejumlah daerah. Dampaknya, sejumlah mubalig membatalkan ceramah karena ditolak oknum dan warga setempat.
Insiden kekerasan pada tokoh agama dan pembubaran pengajian merupakan intoleransi gaya baru. Apa pun alasannya dan siapa pun pelakunya harus menyadari bahwa praktik intoleransi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Pada konteks inilah semua elemen penting menjaga suasana kehidupan umat dengan mengedepankan nilai-nilai toleransi. Insiden yang menimpa sejumlah tokoh agama diharapkan tidak memicu konflik lebih luas. Pada konteks inilah, aparat keamanan dituntut adil mengusut semua insiden kekerasan terhadap tokoh agama dan umat beragama.
Sebagai negara berbineka, para pendiri bangsa sejatinya telah menekankan pentingnya bersatu dalam keragaman (unity in diversity). Motto nasional Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi spirit mewujudkan kehidupan yang toleran. Meski negeri ini ber-Bhinneka, namun harus tetap Tunggal Ika. Dengan spirit inilah, negeri tercinta sukses mempraktikkan kehidupan toleran di tengah keragaman. Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa juga telah menjadi daya tarik negara lain. Tidak mengherankan jika banyak negara ingin belajar dari Indonesia yang dinilai sukses mengelola kebinekaan.
Berkaitan dengan maraknya insiden intoleransi, semua elemen bangsa harus menyadari pentingnya pluralisme keagamaan. Pluralisme telah menjadi tantangan semua agama dan paham keagamaan. Kondisi negara yang majemuk juga potensial menjadi penyebab konflik. Itu terjadi jika individu dan kelompok yang berbeda tidak siap hidup berdampingan. Padahal, kemajemukan merupakan ketetapan Tuhan (sunnatullah). Pada konteks inilah dibutuhkan strategi baru dialog lintas agama dan paham keagamaan.
Sejauh ini dialog lintas agama lebih banyak dikemas dalam konteks perdebatan teologi. Dampaknya terjadi pandangan yang bercorak binaris; in group-out group, golongan kami (minna)-golongan kamu (minkum), dan benar-salah. Keinginan untuk saling bertemu, bertegur sapa, dan memahami ajaran setiap agama tidak akan tercapai melalui dialog bernuansa perdebatan teologis. Terasa lebih sejuk jika dialog dirancang secara informal sehingga antarumat beragama dan pengikut paham keagamaan saling bertegur sapa.
Di antara tantangan yang dihadapi umat beragama berkaitan dengan pluralisme adalah bahwa setiap agama dituntut untuk melahirkan ajaran yang inklusif dan toleran terhadap keragaman. Sementara pada saat yang sama agama mewajibkan pemeluknya untuk meyakini bahwa doktrin yang diajarkan memiliki kebenaran mutlak dan bersifat eksklusif. Dalam menghadapi problem ini, mayoritas tradisi keberagamaan mengambil sikap bahwa kebenaran hanya menjadi miliknya. Sementara kelompok lain diposisikan salah. Dampaknya, setiap pemeluk agama atau penganut paham keagamaan mengklaim ajarannya paling benar.
Diana L Eck dalam What is Pluralism (1993) menegaskan pluralisme berbeda dengan relativisme dan toleransi pasif. Pluralisme adalah pencarian yang aktif untuk memahami perbedaan. Pluralisme juga menekankan pentingnya dialog yang dilakukan secara tulus sehingga menghadirkan komitmen untuk berbagi pengalaman, saling mengkritik, dan bersedia dikritik. Jika pluralisme dipahami secara positif, akan melahirkan pandangan terbuka (open-minded) dan toleran.
Pemahaman keagamaan yang terbuka pasti menumbuhkan komitmen yang tulus untuk terlibat aktif dalam kegiatan lintas budaya, etnis, dan agama. Meminjam istilah Mukti Ali (1989), sudah waktunya elemen bangsa bersepakat dalam perbedaan (agree in disagreement). Dengan bahasa yang menyentuh hati, Allah SWT mengajak semua pemeluk agama dan pengikut paham keagamaan untuk berlomba-lomba menjadi yang terbaik (fastabiq al-khairat).
Dalam Alquran, Allah berfirman; Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS Al-Maidah: 48).
Kalam Ilahi tersebut penting menjadi spirit untuk mempersiapkan diri hidup saling menghormati dan menghargai perbedaan. Karena kemajemukan merupakan keniscayaan, mari kita rayakan perbedaan. Semoga bangsa ini terus belajar sehingga insiden kekerasan bernuansa agama tidak terulang.
(pur)