Intensifkan Kembali Aplikasi 'Lapor!'
A
A
A
Ika Karlina Idris
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina
Kandidat Doktor, Ohio University
PEMERINTAH saat ini tengah gencar menggunakan teknologi informasi dan komunikasi atau ICT. Namun, disayangkan pada saat yang sama aplikasi Layanan Pengaduan Online Rakyat atau Lapor! yang sempat populer pada kurun 2013-2014 kini terabaikan. Pada masa pemerintahan sebelumnya, Lapor! satu-satunya aplikasi online pemerintah tempat masyarakat mengadukan payahnya pelayanan publik sekaligus memantau tindak lanjutnya.
Namun, faktanya aplikasi ini kini justru mati suri. Hari ini, jika kita masuk ke laman lapor.go.id, begitu banyak laporan yang masuk, namun tindak lanjut sangat sedikit. Jikapun ada, sebatas meneruskannya ke instansi terkait tanpa ada kejelasan sampai di mana proses pengaduan tersebut. Bank Dunia, dalam World Development Report 2016, bahkan menyebutkan bahwa 90% aduan di Lapor! tidak tertangani.
Kondisi ini berbeda pada kurun 2013-2014. Lapor! hadir sejak 2012 atas inisiatif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menjamin keterbukaan informasi, akuntabilitas pemerintah, dan pelayanan publik yang lebih baik. Saat itu Lapor!dikawal langsung oleh wakil presiden dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Masih menurut laporan Bank Dunia, Lapor! setidaknya menerima sekitar 800 aduan setiap hari. Saat itu aplikasi ini bahkan masuk nominasi Bright Spots Award pada Open Government Partnership Summit 2013 di London, Inggris.
Pemerintahan boleh berganti, namun inisiatif yang baik seharusnya tetap bisa dilanjutkan. Karena aplikasi ini tidak memiliki regulasi yang memayungi dan UKP4 pun bukan lembaga yang dibentuk atas amanat undang-undang, saat pemerintahan berganti, UKP4 dibubarkan. Lapor! menjadi sistem pengelolaan pengaduan pelayanan publik nasional (SP4N) yang pengelolaannya berada di bawah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) dan pengawasannya di bawah Ombudsman.
Menpan-RB saat itu mengeluarkan Permen Nomor 3/2015 tentang road map pengembangan SP4N. Meski demikian, kondisi sekarang sudah berbeda. Komplain tentang pelayanan publik di Lapor! kini banyak yang terabaikan dan tindak lanjutnya sudah tidak seintensif dulu saat diawasi UKP4.
Harapan terhadap Lapor! sebagai sebuah inisiatif sebenarnya sangat tinggi saat awal dibentuk. Aplikasi online ini dapat menerima pengaduan terkait 100 lembaga pemerintah, 48 pemerintah daerah, 90 BUMN, dan 130 kedutaan besar (Nugroho & Hikmat, 2017). Selain itu, perkembangan terbaru terkait aduan dapat diakses melalui aplikasi mobile dan Twitter.
Presiden Joko Widodo dan jajaran terkait seharusnya menyerukan kembali komitmen lembaga publik untuk menanggapi aduan melalui aplikasi ini. Menurut hemat saya, setidaknya ada dua alasan penting untuk itu.
Pertama, jika memang Presiden Jokowi dan pemerintahannya berkomitmen terhadap keterbukaan informasi, transparansi, dan akuntabilitas lembaga publik, seharusnya mereka juga memanfaatkan ICT untuk melayani aduan masyarakat. Sejauh ini ICT utamanya website dan media sosial hanya digunakan sebatas mendiseminasikan informasi mengenai program dan proyek pemerintah, serta untuk menguasai opini publik.
Profesor digital government dari Victoria University of Wellington, Miliam Lips, menyatakan bahwa para ilmuwan terbagi dalam dua kubu saat mengamati perilaku pemerintah dalam memanfaatkan ICT.
Kubu yang optimistis melihat ICT dapat meningkatkan transparansi, aksesabilitas, interaksi pemerintah dengan warganya, dan proses pengambilan keputusan yang melibatkan warga. Dengan demikian, akan tercipta hubungan yang lebih demokratis antara negara dan warga negaranya. Kubu yang pesimistis percaya bahwa pemerintah hanya menggunakan ICT sebagai alat untuk melakukan pekerjaan keseharian, tapi tidak menjadikannya alat untuk mentransformasi pemerintah. ICT, baik itu dalam bentuk website pemerintah, aplikasi mobile, maupun akun media sosial hanya akan digunakan sebagai alat propaganda untuk melenggangkan kekuasaan dan bahkan mengontrol warga negara.
Pengaduan memang memungkinkan untuk disampaikan langsung dengan datang ke instansi terkait atau melalui telepon, tapi prosesnya memakan waktu, uang, dan tenaga. Belum lagi kalau sampai ke tempat pengaduan ternyata begitu banyak birokrasi yang harus ditempuh sehingga masyarakat harus mendatangi instansi terkait berulangkali. Pengaduan melalui media sosial sebenarnya bisa menjadi alternatif yang lebih murah.
Sayangnya, pemerintah hanya mendengarkan dan menangani aduan melalui media sosial jika aduan itu menjadi viral sehingga terbentuk opini publik yang mengancam reputasi. Pemerintah hanya mau mendengar keluhan di media sosial jika terjadi krisis. Contohnya, kasus mengenai pajak bagi para penulis buku yang menjadi viral karena keluhan beberapa penulis kondang di halaman Facebook mereka.
Pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak, akhirnya membuat forum khusus untuk berdiskusi dengan para penulis. Tetapi, kalau Anda tidak sepopuler mereka yang bisa membuat sebuah curhatan menjadi viral, alih-alih ditanggapi pemerintah, keluhan didengarkan saja belum tentu.
Pada aplikasi Lapor! siapa saja bisa mengadu selama dapat melampirkan bukti terkait aduan. Pada era pemerintahan SBY ada jaminan aduan akan diteruskan dan ditindaklanjuti instansi terkait. Bahkan, pada saat Lapor! masih berada di bawah koordinasi UKP4, instansi terkait akan dipanggil dalam rapat khusus jika laporan mereka tidak ditindaklanjuti aduan dalam kurun waktu tertentu. Artinya, tidak hanya saluran untuk aduan publik yang disediakan, namun ada komitmen pimpinan dalam mengawal transparansi dan akuntabilitas lembaga publik. Dengan begitu, ICT dapat menjadi alat untuk mentransformasi pemerintah menjadi lebih baik.
Kedua, ICT memudahkan siapa saja untuk memproduksi dan mendiseminasikan informasi. Media sosial, sebagai salah satu bentuk media baru yang paling populer, adalah saluran komunikasi yang paling banyak digunakan oleh pemerintah untuk berkomunikasi dengan warganya. Media sosial sejauh ini satu-satunya media yang memungkinkan terjadi komunikasi dua arah yang intensif antara pemerintah dan warganya.
Sayangnya, potensi interaksi inilah yang paling minim digunakan oleh pemerintah. Media sosial lagi-lagi hanya digunakan untuk mendiseminasikan pesan yang sifatnya self-claimed. Memang benar, pemerintahan yang sekarang menggunakan cara-cara baru, bahkan bahasa milenial dalam menyampaikan informasi. Tapi, jika dicermati, pesannya sama saja: kesuksesan pemerintah. Kalau dulu pemerintah menggunakan media massa untuk menunjukkan prestasi pemerintahannya. Sekarang bentuknya bisa info grafis, video grafis, atau video blog.
Aplikasi Lapor!sangat relevan untuk mengimbangi informasi yang sifatnya satu arah dari pemerintah ke warganya menjadi saluran komunikasi dua arah. Setidaknya, meski bentuknya sebatas aduan, warga bisa memberi tahu jika ada layanan yang tidak memuaskan. Warga bisa memaksa mereka mendengarkan keluhan kita tanpa harus bersusah payah membuatnya menjadi viral. Harapannya, agar pemerintah bisa mengoreksi jika ada program atau regulasi yang belum efektif dan merugikan masyarakat.
Untuk dapat mentransformasi kinerja pemerintah, harus dimulai dengan meninggalkan pola-pola lama dalam berkomunikasi. Pola lama yang saya maksud adalah komunikasi satu arah tanpa ada interaksi dengan warga, tanpa ada evaluasi dari warga tentang layanan yang mereka terima. ICT tidak cukup sebatas membuat diseminasi informasi pemerintah yang tadinya buletin menjadi website, sekadar membuat layanan yang tadinya offline menjadi online, atau sekadar membuka fitur komentar di akun media sosial. ICT juga harus digunakan untuk menerima dan menindaklanjuti aduan serta aspirasi masyarakat. Syukur-syukur jika nanti aspirasi tersebut dapat jadi pertimbangan dalam membuat program, aturan, dan kebijakan pemerintah.
Karena itu, mengintensifkan kembali Lapor! adalah upaya awal. Selanjutnya adalah membangun kembali komitmen ratusan lembaga publik yang terlibat di awal dan menjaga komitmen agar siapa pun pemimpinnya, pemerintah akan selalu siap memperbaiki diri dan mendengarkan aspirasi.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina
Kandidat Doktor, Ohio University
PEMERINTAH saat ini tengah gencar menggunakan teknologi informasi dan komunikasi atau ICT. Namun, disayangkan pada saat yang sama aplikasi Layanan Pengaduan Online Rakyat atau Lapor! yang sempat populer pada kurun 2013-2014 kini terabaikan. Pada masa pemerintahan sebelumnya, Lapor! satu-satunya aplikasi online pemerintah tempat masyarakat mengadukan payahnya pelayanan publik sekaligus memantau tindak lanjutnya.
Namun, faktanya aplikasi ini kini justru mati suri. Hari ini, jika kita masuk ke laman lapor.go.id, begitu banyak laporan yang masuk, namun tindak lanjut sangat sedikit. Jikapun ada, sebatas meneruskannya ke instansi terkait tanpa ada kejelasan sampai di mana proses pengaduan tersebut. Bank Dunia, dalam World Development Report 2016, bahkan menyebutkan bahwa 90% aduan di Lapor! tidak tertangani.
Kondisi ini berbeda pada kurun 2013-2014. Lapor! hadir sejak 2012 atas inisiatif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menjamin keterbukaan informasi, akuntabilitas pemerintah, dan pelayanan publik yang lebih baik. Saat itu Lapor!dikawal langsung oleh wakil presiden dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Masih menurut laporan Bank Dunia, Lapor! setidaknya menerima sekitar 800 aduan setiap hari. Saat itu aplikasi ini bahkan masuk nominasi Bright Spots Award pada Open Government Partnership Summit 2013 di London, Inggris.
Pemerintahan boleh berganti, namun inisiatif yang baik seharusnya tetap bisa dilanjutkan. Karena aplikasi ini tidak memiliki regulasi yang memayungi dan UKP4 pun bukan lembaga yang dibentuk atas amanat undang-undang, saat pemerintahan berganti, UKP4 dibubarkan. Lapor! menjadi sistem pengelolaan pengaduan pelayanan publik nasional (SP4N) yang pengelolaannya berada di bawah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) dan pengawasannya di bawah Ombudsman.
Menpan-RB saat itu mengeluarkan Permen Nomor 3/2015 tentang road map pengembangan SP4N. Meski demikian, kondisi sekarang sudah berbeda. Komplain tentang pelayanan publik di Lapor! kini banyak yang terabaikan dan tindak lanjutnya sudah tidak seintensif dulu saat diawasi UKP4.
Harapan terhadap Lapor! sebagai sebuah inisiatif sebenarnya sangat tinggi saat awal dibentuk. Aplikasi online ini dapat menerima pengaduan terkait 100 lembaga pemerintah, 48 pemerintah daerah, 90 BUMN, dan 130 kedutaan besar (Nugroho & Hikmat, 2017). Selain itu, perkembangan terbaru terkait aduan dapat diakses melalui aplikasi mobile dan Twitter.
Presiden Joko Widodo dan jajaran terkait seharusnya menyerukan kembali komitmen lembaga publik untuk menanggapi aduan melalui aplikasi ini. Menurut hemat saya, setidaknya ada dua alasan penting untuk itu.
Pertama, jika memang Presiden Jokowi dan pemerintahannya berkomitmen terhadap keterbukaan informasi, transparansi, dan akuntabilitas lembaga publik, seharusnya mereka juga memanfaatkan ICT untuk melayani aduan masyarakat. Sejauh ini ICT utamanya website dan media sosial hanya digunakan sebatas mendiseminasikan informasi mengenai program dan proyek pemerintah, serta untuk menguasai opini publik.
Profesor digital government dari Victoria University of Wellington, Miliam Lips, menyatakan bahwa para ilmuwan terbagi dalam dua kubu saat mengamati perilaku pemerintah dalam memanfaatkan ICT.
Kubu yang optimistis melihat ICT dapat meningkatkan transparansi, aksesabilitas, interaksi pemerintah dengan warganya, dan proses pengambilan keputusan yang melibatkan warga. Dengan demikian, akan tercipta hubungan yang lebih demokratis antara negara dan warga negaranya. Kubu yang pesimistis percaya bahwa pemerintah hanya menggunakan ICT sebagai alat untuk melakukan pekerjaan keseharian, tapi tidak menjadikannya alat untuk mentransformasi pemerintah. ICT, baik itu dalam bentuk website pemerintah, aplikasi mobile, maupun akun media sosial hanya akan digunakan sebagai alat propaganda untuk melenggangkan kekuasaan dan bahkan mengontrol warga negara.
Pengaduan memang memungkinkan untuk disampaikan langsung dengan datang ke instansi terkait atau melalui telepon, tapi prosesnya memakan waktu, uang, dan tenaga. Belum lagi kalau sampai ke tempat pengaduan ternyata begitu banyak birokrasi yang harus ditempuh sehingga masyarakat harus mendatangi instansi terkait berulangkali. Pengaduan melalui media sosial sebenarnya bisa menjadi alternatif yang lebih murah.
Sayangnya, pemerintah hanya mendengarkan dan menangani aduan melalui media sosial jika aduan itu menjadi viral sehingga terbentuk opini publik yang mengancam reputasi. Pemerintah hanya mau mendengar keluhan di media sosial jika terjadi krisis. Contohnya, kasus mengenai pajak bagi para penulis buku yang menjadi viral karena keluhan beberapa penulis kondang di halaman Facebook mereka.
Pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak, akhirnya membuat forum khusus untuk berdiskusi dengan para penulis. Tetapi, kalau Anda tidak sepopuler mereka yang bisa membuat sebuah curhatan menjadi viral, alih-alih ditanggapi pemerintah, keluhan didengarkan saja belum tentu.
Pada aplikasi Lapor! siapa saja bisa mengadu selama dapat melampirkan bukti terkait aduan. Pada era pemerintahan SBY ada jaminan aduan akan diteruskan dan ditindaklanjuti instansi terkait. Bahkan, pada saat Lapor! masih berada di bawah koordinasi UKP4, instansi terkait akan dipanggil dalam rapat khusus jika laporan mereka tidak ditindaklanjuti aduan dalam kurun waktu tertentu. Artinya, tidak hanya saluran untuk aduan publik yang disediakan, namun ada komitmen pimpinan dalam mengawal transparansi dan akuntabilitas lembaga publik. Dengan begitu, ICT dapat menjadi alat untuk mentransformasi pemerintah menjadi lebih baik.
Kedua, ICT memudahkan siapa saja untuk memproduksi dan mendiseminasikan informasi. Media sosial, sebagai salah satu bentuk media baru yang paling populer, adalah saluran komunikasi yang paling banyak digunakan oleh pemerintah untuk berkomunikasi dengan warganya. Media sosial sejauh ini satu-satunya media yang memungkinkan terjadi komunikasi dua arah yang intensif antara pemerintah dan warganya.
Sayangnya, potensi interaksi inilah yang paling minim digunakan oleh pemerintah. Media sosial lagi-lagi hanya digunakan untuk mendiseminasikan pesan yang sifatnya self-claimed. Memang benar, pemerintahan yang sekarang menggunakan cara-cara baru, bahkan bahasa milenial dalam menyampaikan informasi. Tapi, jika dicermati, pesannya sama saja: kesuksesan pemerintah. Kalau dulu pemerintah menggunakan media massa untuk menunjukkan prestasi pemerintahannya. Sekarang bentuknya bisa info grafis, video grafis, atau video blog.
Aplikasi Lapor!sangat relevan untuk mengimbangi informasi yang sifatnya satu arah dari pemerintah ke warganya menjadi saluran komunikasi dua arah. Setidaknya, meski bentuknya sebatas aduan, warga bisa memberi tahu jika ada layanan yang tidak memuaskan. Warga bisa memaksa mereka mendengarkan keluhan kita tanpa harus bersusah payah membuatnya menjadi viral. Harapannya, agar pemerintah bisa mengoreksi jika ada program atau regulasi yang belum efektif dan merugikan masyarakat.
Untuk dapat mentransformasi kinerja pemerintah, harus dimulai dengan meninggalkan pola-pola lama dalam berkomunikasi. Pola lama yang saya maksud adalah komunikasi satu arah tanpa ada interaksi dengan warga, tanpa ada evaluasi dari warga tentang layanan yang mereka terima. ICT tidak cukup sebatas membuat diseminasi informasi pemerintah yang tadinya buletin menjadi website, sekadar membuat layanan yang tadinya offline menjadi online, atau sekadar membuka fitur komentar di akun media sosial. ICT juga harus digunakan untuk menerima dan menindaklanjuti aduan serta aspirasi masyarakat. Syukur-syukur jika nanti aspirasi tersebut dapat jadi pertimbangan dalam membuat program, aturan, dan kebijakan pemerintah.
Karena itu, mengintensifkan kembali Lapor! adalah upaya awal. Selanjutnya adalah membangun kembali komitmen ratusan lembaga publik yang terlibat di awal dan menjaga komitmen agar siapa pun pemimpinnya, pemerintah akan selalu siap memperbaiki diri dan mendengarkan aspirasi.
(kri)