Inovasi Kebijakan Mendesak
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
KITA lagi-lagi dituntut harus bijak dalam menyikapi hasil akhir pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2017. Pasalnya seperti dugaan sebelumnya, tingkat realisasinya tidak mencapai target yang ditetapkan pemerintah.
BPS (2018) mencatat pada 2017 tingkat pertumbuhan ekonomi kita hanya mencapai 5,07%. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya yang hanya sebesar 5,03%.
Target pemerintah untuk mewujudkan pertumbuhan sebesar 5,2% melalui APBN-P 2017 urung tercapai. Dengan demikian kita tidak dapat memungkiri lagi bahwa perekonomian kita tengah mengalami cobaan yang sangat berat. Dari sini pemerintah perlu banyak belajar dari pengalaman selama 2017, terutama mengelola perekonomian dalam negeri yang seharusnya tidak terjadi dan terulang kembali pada 2018.
Kondisi di tahun 2017 kemudian menjadi sarana refleksi untuk menebak bagaimana nantinya hasil akhir di tahun 2018. Nah, menariknya di sini ternyata Dana Moneter Internasional (IMF) berani mengatakan bahwa tahun 2022 nanti tren pertumbuhan ekonomi kita akan terus meningkat hingga bisa lebih dari 6%.
Tahun ini, IMF masih memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan di kisaran 5,3%. Tebakan IMF seakan-akan bergerak melawan arus dari asumsi pihak-pihak lainnya yang justru mengatakan target pertumbuhan yang paling realistis hanyalah kenaikan tipis. Pemerintah sendiri juga masih optimistis bahwa target pertumbuhan di APBN 2018 yang sebesar 5,4% masih cukup kredibel untuk terus diupayakan.
Justifikasi yang digunakan pemerintah dan IMF juga nyaris sama, yakni terkait dengan stabilitas makro yang terkendali, inflasi yang terjaga tetap rendah, dan proyeksi harga komoditas andalan ekspor yang diprediksi akan semakin menguat sehingga berpengaruh pada defisit transaksi berjalan. Apalagi hasil-hasil reformasi kebijakan dan paket deregulasi yang terhitung gila-gilaan akan semakin tampak pada beberapa waktu ke depan.
Namun IMF juga mengingatkan kita bahwa masih ada beberapa rintangan yang harus siap dihadapi. Termasuk di dalamnya adalah risiko perekonomian global yang masih menghantui, potensi penurunan penerimaan pajak, dan kecenderungan kenaikan suku bunga di pasar keuangan mengingat adanya pengetatan likuiditas pasar keuangan global.
Kendati demikian kita tetap perlu waspada karena gambaran kondisi pada 2017 relatif sama dengan kondisi pada tahun sebelumnya. Alhasil kenaikan pertumbuhan yang diidam-idamkan tetap sulit direalisasikan.
Setidaknya hal ini menggambarkan bahwa ada persoalan struktural yang belum terentaskan. Dari sisi muara perekonomian seperti hasil ekspor-impor sudah cukup kentara apa saja penyebabnya.
Ekspor kita masih saja terjebak pada komoditas barang mentah yang nilai ekonominya tidak cukup banyak mendorong pertumbuhan. Adapun dari sisi impor juga masih terbelit dengan ketergantungan distribusi bahan baku dan bahan penolong yang kebanyakan digunakan untuk produksi domestik.
Kita juga belum membahas sejauh mana perjalanan efisiensi perekonomian dalam negeri terus bergerak. Publikasi BPS mengenai PDB Indonesia kemarin menyisipkan pesan yang menarik. Intinya, jika tidak ada gebrakan dan inovasi kebijakan berarti dari pemerintah, penulis khawatir perekonomian kita mengalami stagnasi untuk waktu yang relatif lebih lama. Semoga saja tidak demikian.
Persoalan Struktural
Dalam struktur PDB 2017 menurut lapangan usaha, tiga sektor lapangan usaha yakni industri pengolahan, pertanian, dan perdagangan masih dinobatkan sebagai sektor utama karena kontribusinya yang besar terhadap pembentukan PDB. Ketiganya menyumbang secara berurutan, yakni masing-masing sebesar 20,16%, 13,14%, dan 13,01%.
Sektor konstruksi perlahan tetapi pasti kontribusinya terus mengejar ketiga sektor yang tadi disebutkan seiring masifnya upaya pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur. Tahun kemarin kontribusinya tercatat sebesar 10,38%. Dari sisi pertumbuhan parsial, sektor konstruksi juga tumbuh secara meyakinkan dengan kenaikan sebesar 6,79%.
Sementara itu industri pengolahan justru bertingkah sebaliknya. Kontribusinya terhadap pembentukan PDB kian mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir.
Pada tahun 2015 kontribusinya masih relatif lebih tinggi sebesar 20,99%. Tahun berikutnya lantas turun menjadi 20,51%. Adapun tahun kemarin lagi-lagi turun menjadi 20,16%. Posisinya semakin tergerus sektor-sektor jasa yang value added-nya relatif lebih rendah ketimbang industri pengolahan.
Adapun dari sisi PDB menurut pengeluaran, komponen konsumsi rumah tangga kembali ditahbiskan sebagai tulang punggung utama dalam perekonomian Indonesia. Kontribusinya tahun lalu mencapai 56,13% dari total PDB. Komponen pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang dikaitkan dengan proyek investasi juga bertahan di posisi kedua dengan kontribusi sebesar 32,16%.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kontribusi keduanya terhitung menurun yang salah satunya disebabkan membaiknya kontribusi ekspor barang dan jasa. Tahun kemarin tercatat komponen ekspor memiliki kontribusi sebesar 20,37% dengan tingkat pertumbuhan 9,09% dan menjadi kenaikan tertinggi di antara komponen PDB pengeluaran lainnya.
Namun peningkatan kinerja ekspor ini menjadi kurang berarti karena komponen pembandingnya (yakni impor barang dan jasa) juga ikut tumbuh. Karenan itu dalam neraca PDB menurut pengeluaran, kontribusi net ekspor menjadi tampak kurang signifikan.
Dari data yang sama, pandangan penulis sedikit muram ketika melihat bagaimana kinerja konsumsi rumah tangga yang tingkat pertumbuhannya mengalami perlambatan, dari tahun 2016 sebesar 5,01% dan tahun berikutnya menurun hanya menjadi 4,95%. Angka tersebut dapat menegaskan bahwa kita mengalami masalah pada tingkat konsumsi dan daya beli meskipun target inflasi yang rendah terhitung sukses untuk terus dikendalikan. Inflasi sebagai hasil dari tarik-menarik antara kurva penawaran (supply) dan permintaan (demand).
Secara ideal tingkat inflasi yang rendah dapat terjadi karena ada keseimbangan yang berkesinambungan antara peningkatan demand dan supply. Kekhawatiran yang muncul adalah rendahnya inflasi ini lebih banyak disebabkan menurunnya daya beli dan pendapatan masyarakat mengingat jumlah pangan saat ini dari sisi produksi dan kebutuhan dalam negeri sudah cukup, ditambah pemerintah mendatangkannya dari negara lain. Semoga saja kekhawatiran tersebut tidak perlu ada dan tidak terjadi.
Meskipun pemerintah rajin membantah terkait isu penurunan daya beli, namun fakta di lapangan tidak dapat sepenuhnya dipungkiri. Pembangunan infrastruktur yang masif menjadi ikut-ikutan terseret arus paradoksal (menjadi debatable). Megahnya aspal jalanan dan beton yang menjulang dianggap tidak berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Malahan jika kita hitung angka incremental capital output ratio (ICOR) sebagai parameter tingkat efisiensi investasi justru mengalami kenaikan. Setidaknya pada tahun 2016 yang lalu, nilai ICOR kita masih 6,73%. Tahun berikutnya justru meningkat menjadi 6,75%. Meskipun kinerja investasi pada waktu yang sama meningkat, tetapi inefisiensi investasi juga ikut meningkat.
Tidak berhenti disitu, perdebatan mengenai manfaat infrastruktur juga merembet pada kepentingan jangka pendek, misalnya terkait upah buruh, kinerja perekonomian pada industri penopangnya, dan beban utang.
Kenaikan jumlah buruh di sektor kontruksi tidak lantas diikuti dengan perbaikan upah buruh. BPS (2017) mencatat upah buruh bangunan sebesar Rp84.378 pada September, naik naik tipis sebesar 0,02% secara bulanan dan 2,3% secara tahunan. Namun upah riilnya kian menyusut lantaran tergerus inflasi yakni sebesar Rp64.867, atau turun 0,11% (bulanan) dan 1,37% (tahunan).
Pentingnya Inovasi Kebijakan
Berdasarkan fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa upaya untuk melakukan reformasi struktur melalui paket deregulasi maupun pembangunan infrastruktur besar-besaran, belum menjamin pada penguatan perekonomian melalui investasi, konsumsi, dan daya beli.
Jikalau konsumsi rumah tangga yang akan didorong untuk memacu pertumbuhan, maka perlu adanya inovasi kebijakan dari pemerintah yang menjamin daya beli dan pendapatan masyarakat tetap naik.
Tahun ini harapan perbaikan daya beli dan pendapatan masyarakat muncul seiring dengan meningkatnya harga komoditas. Namun kenaikan harga minyak dunia memaksa kita juga harus bersiap dengan inflasi dari kelompok bahan bakar minyak.
Peluang lainnya muncul dari kebijakan pemerintah untuk meningkatkan dana bantuan sosial (bansos), program padat karya melalui dana desa, dan momentum pilkada serentak. Akan tetapi secara khusus penulis menggarisbawahi, bahwa program bansos dan momentum pilkada hanyalah peluang jangka pendek.
Sementara itu program padat karya melalui dana desa, umur manfaatnya juga hanya akan berjangka pendek ketika program-program pembangunannya terbatas pada proyek infrastruktur di perdesaan. Alangkah lebih baiknya jika program padat karya juga merembet pada lini-lini lapangan usaha lainnya. Misalnya berkat program padat karya yang sementara ini dimapatkan pada pembangunan infrastruktur di desa, kinerja pertanian dan industri berskala perdesaan juga dapat meningkat.
Kondisi ini juga bisa dikaitkan dengan effort pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur, agar mampu menciptakan lapangan kerja dan mendorong industri terkait berkembang. Pemerintah harus jeli mana kebijakan yang melahirkan outcome, mana kebijakan yang melahirkan output.
Dalam pandangan penulis, paket deregulasi dan infrastruktur lebih banyak perannya sebagai outcome. Nah tugas pemerintah berikutnya adalah untuk menjalin interkoneksi agar peningkatan outcome ini dapat mendorong perbaikan output.
Pemerintah perlu menjaga untuk terus meningkatkan kinerja sektor industri tumbuh agar dapat mendorong ekspor. Seperti yang dilakukan negara-negara maju, sektor manufaktur menjadi andalan karena menghasilkan nilai tambah yang lebih menjanjikan ketimbang terfokus pada sektor jasa. Apalagi jika industri yang dikembangkan mampu memanfaatkan SDM dan SDA lokal.
Di luar urusan sosial politik yang disinyalir makin ribet di tahun 2018, pemerintah tetap harus me-manage ekonomi yang seharusnya semakin baik. Kita jangan sampai lengah karena harga komoditi dan minyak semakin baik.
Selain itu, perlu perlibatan daerah dalam mengelola keuangan negara perlu ditingkatkan. Karena hampir sepertiga APBN sudah ditransfer ke daerah dan desa, maka seharusnya daerah (dan desa) juga diberikan tanggung jawab yang lebih besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas.
Kuncinya terletak pada bagaimana pola belanja dan desain kelembagaan yang berkualitas. Misalnya dengan meningkatkan nilai dana alokasi khusus (DAK).
Dalam pengamatan penulis, DAK jauh lebih efektif karena diasumsikan lebih merepresentasikan kepentingan pusat terhadap kebijakan pemerintah daerah. Selama ini ketidaksinkronan antara pusat dan daerah menjadi cerita klasik yang pada akhirnya melahirkan kebijakan yang kurang efektif. Karena masing-masing pemerintah tidak berhasil menuntaskan persoalan secara terpadu, dan lebih mengedepankan ego politiknya.
Era desentralisasi seharusnya tidak melahirkan roda pemerintahan yang semakin parsial. Tujuan desentralisasi dapat dikatakan berhasil, justru ketika semakin banyak inovasi kebijakan yang lahir dari semakin dekatnya pemerintah daerah dan masyarakat, dan terintegrasinya pusat dan daerah dalam menuntaskan persoalan-persoalan struktural di tengah-tengah masyarakat. Semoga.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
KITA lagi-lagi dituntut harus bijak dalam menyikapi hasil akhir pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2017. Pasalnya seperti dugaan sebelumnya, tingkat realisasinya tidak mencapai target yang ditetapkan pemerintah.
BPS (2018) mencatat pada 2017 tingkat pertumbuhan ekonomi kita hanya mencapai 5,07%. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya yang hanya sebesar 5,03%.
Target pemerintah untuk mewujudkan pertumbuhan sebesar 5,2% melalui APBN-P 2017 urung tercapai. Dengan demikian kita tidak dapat memungkiri lagi bahwa perekonomian kita tengah mengalami cobaan yang sangat berat. Dari sini pemerintah perlu banyak belajar dari pengalaman selama 2017, terutama mengelola perekonomian dalam negeri yang seharusnya tidak terjadi dan terulang kembali pada 2018.
Kondisi di tahun 2017 kemudian menjadi sarana refleksi untuk menebak bagaimana nantinya hasil akhir di tahun 2018. Nah, menariknya di sini ternyata Dana Moneter Internasional (IMF) berani mengatakan bahwa tahun 2022 nanti tren pertumbuhan ekonomi kita akan terus meningkat hingga bisa lebih dari 6%.
Tahun ini, IMF masih memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan di kisaran 5,3%. Tebakan IMF seakan-akan bergerak melawan arus dari asumsi pihak-pihak lainnya yang justru mengatakan target pertumbuhan yang paling realistis hanyalah kenaikan tipis. Pemerintah sendiri juga masih optimistis bahwa target pertumbuhan di APBN 2018 yang sebesar 5,4% masih cukup kredibel untuk terus diupayakan.
Justifikasi yang digunakan pemerintah dan IMF juga nyaris sama, yakni terkait dengan stabilitas makro yang terkendali, inflasi yang terjaga tetap rendah, dan proyeksi harga komoditas andalan ekspor yang diprediksi akan semakin menguat sehingga berpengaruh pada defisit transaksi berjalan. Apalagi hasil-hasil reformasi kebijakan dan paket deregulasi yang terhitung gila-gilaan akan semakin tampak pada beberapa waktu ke depan.
Namun IMF juga mengingatkan kita bahwa masih ada beberapa rintangan yang harus siap dihadapi. Termasuk di dalamnya adalah risiko perekonomian global yang masih menghantui, potensi penurunan penerimaan pajak, dan kecenderungan kenaikan suku bunga di pasar keuangan mengingat adanya pengetatan likuiditas pasar keuangan global.
Kendati demikian kita tetap perlu waspada karena gambaran kondisi pada 2017 relatif sama dengan kondisi pada tahun sebelumnya. Alhasil kenaikan pertumbuhan yang diidam-idamkan tetap sulit direalisasikan.
Setidaknya hal ini menggambarkan bahwa ada persoalan struktural yang belum terentaskan. Dari sisi muara perekonomian seperti hasil ekspor-impor sudah cukup kentara apa saja penyebabnya.
Ekspor kita masih saja terjebak pada komoditas barang mentah yang nilai ekonominya tidak cukup banyak mendorong pertumbuhan. Adapun dari sisi impor juga masih terbelit dengan ketergantungan distribusi bahan baku dan bahan penolong yang kebanyakan digunakan untuk produksi domestik.
Kita juga belum membahas sejauh mana perjalanan efisiensi perekonomian dalam negeri terus bergerak. Publikasi BPS mengenai PDB Indonesia kemarin menyisipkan pesan yang menarik. Intinya, jika tidak ada gebrakan dan inovasi kebijakan berarti dari pemerintah, penulis khawatir perekonomian kita mengalami stagnasi untuk waktu yang relatif lebih lama. Semoga saja tidak demikian.
Persoalan Struktural
Dalam struktur PDB 2017 menurut lapangan usaha, tiga sektor lapangan usaha yakni industri pengolahan, pertanian, dan perdagangan masih dinobatkan sebagai sektor utama karena kontribusinya yang besar terhadap pembentukan PDB. Ketiganya menyumbang secara berurutan, yakni masing-masing sebesar 20,16%, 13,14%, dan 13,01%.
Sektor konstruksi perlahan tetapi pasti kontribusinya terus mengejar ketiga sektor yang tadi disebutkan seiring masifnya upaya pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur. Tahun kemarin kontribusinya tercatat sebesar 10,38%. Dari sisi pertumbuhan parsial, sektor konstruksi juga tumbuh secara meyakinkan dengan kenaikan sebesar 6,79%.
Sementara itu industri pengolahan justru bertingkah sebaliknya. Kontribusinya terhadap pembentukan PDB kian mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir.
Pada tahun 2015 kontribusinya masih relatif lebih tinggi sebesar 20,99%. Tahun berikutnya lantas turun menjadi 20,51%. Adapun tahun kemarin lagi-lagi turun menjadi 20,16%. Posisinya semakin tergerus sektor-sektor jasa yang value added-nya relatif lebih rendah ketimbang industri pengolahan.
Adapun dari sisi PDB menurut pengeluaran, komponen konsumsi rumah tangga kembali ditahbiskan sebagai tulang punggung utama dalam perekonomian Indonesia. Kontribusinya tahun lalu mencapai 56,13% dari total PDB. Komponen pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang dikaitkan dengan proyek investasi juga bertahan di posisi kedua dengan kontribusi sebesar 32,16%.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kontribusi keduanya terhitung menurun yang salah satunya disebabkan membaiknya kontribusi ekspor barang dan jasa. Tahun kemarin tercatat komponen ekspor memiliki kontribusi sebesar 20,37% dengan tingkat pertumbuhan 9,09% dan menjadi kenaikan tertinggi di antara komponen PDB pengeluaran lainnya.
Namun peningkatan kinerja ekspor ini menjadi kurang berarti karena komponen pembandingnya (yakni impor barang dan jasa) juga ikut tumbuh. Karenan itu dalam neraca PDB menurut pengeluaran, kontribusi net ekspor menjadi tampak kurang signifikan.
Dari data yang sama, pandangan penulis sedikit muram ketika melihat bagaimana kinerja konsumsi rumah tangga yang tingkat pertumbuhannya mengalami perlambatan, dari tahun 2016 sebesar 5,01% dan tahun berikutnya menurun hanya menjadi 4,95%. Angka tersebut dapat menegaskan bahwa kita mengalami masalah pada tingkat konsumsi dan daya beli meskipun target inflasi yang rendah terhitung sukses untuk terus dikendalikan. Inflasi sebagai hasil dari tarik-menarik antara kurva penawaran (supply) dan permintaan (demand).
Secara ideal tingkat inflasi yang rendah dapat terjadi karena ada keseimbangan yang berkesinambungan antara peningkatan demand dan supply. Kekhawatiran yang muncul adalah rendahnya inflasi ini lebih banyak disebabkan menurunnya daya beli dan pendapatan masyarakat mengingat jumlah pangan saat ini dari sisi produksi dan kebutuhan dalam negeri sudah cukup, ditambah pemerintah mendatangkannya dari negara lain. Semoga saja kekhawatiran tersebut tidak perlu ada dan tidak terjadi.
Meskipun pemerintah rajin membantah terkait isu penurunan daya beli, namun fakta di lapangan tidak dapat sepenuhnya dipungkiri. Pembangunan infrastruktur yang masif menjadi ikut-ikutan terseret arus paradoksal (menjadi debatable). Megahnya aspal jalanan dan beton yang menjulang dianggap tidak berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Malahan jika kita hitung angka incremental capital output ratio (ICOR) sebagai parameter tingkat efisiensi investasi justru mengalami kenaikan. Setidaknya pada tahun 2016 yang lalu, nilai ICOR kita masih 6,73%. Tahun berikutnya justru meningkat menjadi 6,75%. Meskipun kinerja investasi pada waktu yang sama meningkat, tetapi inefisiensi investasi juga ikut meningkat.
Tidak berhenti disitu, perdebatan mengenai manfaat infrastruktur juga merembet pada kepentingan jangka pendek, misalnya terkait upah buruh, kinerja perekonomian pada industri penopangnya, dan beban utang.
Kenaikan jumlah buruh di sektor kontruksi tidak lantas diikuti dengan perbaikan upah buruh. BPS (2017) mencatat upah buruh bangunan sebesar Rp84.378 pada September, naik naik tipis sebesar 0,02% secara bulanan dan 2,3% secara tahunan. Namun upah riilnya kian menyusut lantaran tergerus inflasi yakni sebesar Rp64.867, atau turun 0,11% (bulanan) dan 1,37% (tahunan).
Pentingnya Inovasi Kebijakan
Berdasarkan fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa upaya untuk melakukan reformasi struktur melalui paket deregulasi maupun pembangunan infrastruktur besar-besaran, belum menjamin pada penguatan perekonomian melalui investasi, konsumsi, dan daya beli.
Jikalau konsumsi rumah tangga yang akan didorong untuk memacu pertumbuhan, maka perlu adanya inovasi kebijakan dari pemerintah yang menjamin daya beli dan pendapatan masyarakat tetap naik.
Tahun ini harapan perbaikan daya beli dan pendapatan masyarakat muncul seiring dengan meningkatnya harga komoditas. Namun kenaikan harga minyak dunia memaksa kita juga harus bersiap dengan inflasi dari kelompok bahan bakar minyak.
Peluang lainnya muncul dari kebijakan pemerintah untuk meningkatkan dana bantuan sosial (bansos), program padat karya melalui dana desa, dan momentum pilkada serentak. Akan tetapi secara khusus penulis menggarisbawahi, bahwa program bansos dan momentum pilkada hanyalah peluang jangka pendek.
Sementara itu program padat karya melalui dana desa, umur manfaatnya juga hanya akan berjangka pendek ketika program-program pembangunannya terbatas pada proyek infrastruktur di perdesaan. Alangkah lebih baiknya jika program padat karya juga merembet pada lini-lini lapangan usaha lainnya. Misalnya berkat program padat karya yang sementara ini dimapatkan pada pembangunan infrastruktur di desa, kinerja pertanian dan industri berskala perdesaan juga dapat meningkat.
Kondisi ini juga bisa dikaitkan dengan effort pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur, agar mampu menciptakan lapangan kerja dan mendorong industri terkait berkembang. Pemerintah harus jeli mana kebijakan yang melahirkan outcome, mana kebijakan yang melahirkan output.
Dalam pandangan penulis, paket deregulasi dan infrastruktur lebih banyak perannya sebagai outcome. Nah tugas pemerintah berikutnya adalah untuk menjalin interkoneksi agar peningkatan outcome ini dapat mendorong perbaikan output.
Pemerintah perlu menjaga untuk terus meningkatkan kinerja sektor industri tumbuh agar dapat mendorong ekspor. Seperti yang dilakukan negara-negara maju, sektor manufaktur menjadi andalan karena menghasilkan nilai tambah yang lebih menjanjikan ketimbang terfokus pada sektor jasa. Apalagi jika industri yang dikembangkan mampu memanfaatkan SDM dan SDA lokal.
Di luar urusan sosial politik yang disinyalir makin ribet di tahun 2018, pemerintah tetap harus me-manage ekonomi yang seharusnya semakin baik. Kita jangan sampai lengah karena harga komoditi dan minyak semakin baik.
Selain itu, perlu perlibatan daerah dalam mengelola keuangan negara perlu ditingkatkan. Karena hampir sepertiga APBN sudah ditransfer ke daerah dan desa, maka seharusnya daerah (dan desa) juga diberikan tanggung jawab yang lebih besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas.
Kuncinya terletak pada bagaimana pola belanja dan desain kelembagaan yang berkualitas. Misalnya dengan meningkatkan nilai dana alokasi khusus (DAK).
Dalam pengamatan penulis, DAK jauh lebih efektif karena diasumsikan lebih merepresentasikan kepentingan pusat terhadap kebijakan pemerintah daerah. Selama ini ketidaksinkronan antara pusat dan daerah menjadi cerita klasik yang pada akhirnya melahirkan kebijakan yang kurang efektif. Karena masing-masing pemerintah tidak berhasil menuntaskan persoalan secara terpadu, dan lebih mengedepankan ego politiknya.
Era desentralisasi seharusnya tidak melahirkan roda pemerintahan yang semakin parsial. Tujuan desentralisasi dapat dikatakan berhasil, justru ketika semakin banyak inovasi kebijakan yang lahir dari semakin dekatnya pemerintah daerah dan masyarakat, dan terintegrasinya pusat dan daerah dalam menuntaskan persoalan-persoalan struktural di tengah-tengah masyarakat. Semoga.
(poe)