Program Rumah untuk Rakyat, Antara FLPP dan SSB

Rabu, 31 Januari 2018 - 07:14 WIB
Program Rumah untuk...
Program Rumah untuk Rakyat, Antara FLPP dan SSB
A A A
Winang Budoyo

Chief Economist Bank BTN

MEMILIKI rumah layak huni merupakan salah satu ke­butuhan dasar manusia. Namun, da­lam pelak­sa­naannya sangat di­perlukan campur tangan pe­me­rintah agar setiap penduduk mem­punyai kesempatan yang sama untuk bisa memperoleh rumah layak huni tersebut. Upa­ya pemerintah Indonesia da­lam menyediakan rumah ba­gi rak­yat sebenarnya sudah di­mu­lai pada tahun 1970-an me­la­lui program KPR Subsidi.

Dan sejak tahun 2015, pe­me­rintah mencanangkan Pro­gram Sejuta Rumah yang me­ru­pakan salah satu upaya pe­me­rin­tah untuk mempercepat ke­pe­milikan rumah, terutama bagi Masyarakat Berpeng­ha­sil­an Rendah (MBR). Kepedulian pemerintah terhadap penye­dia­an rumah untuk rakyat ini ti­dak terlepas dari tambahan ang­garan yang didapat dari upaya mengalokasikan ang­gar­an untuk pengeluaran yang le­bih produktif, salah satunya de­ngan mengurangi subsidi.

Namun pertanyaan be­sar­nya adalah bagaimana profil sek­tor perumahan di Indo­ne­sia? Dan apakah sektor pe­ru­mah­an di Indonesia memiliki pe­luang yang besar untuk di­kembangkan? Untuk men­ja­wab pertanyaan tersebut, dapat dilihat dari struktur penawaran dan permintaan di sektor pe­rumahan di Indonesia.

Struktur penawaran sektor perumahan tidak terlepas dari koor­dinasi antara para pe­mang­ku kepentingannya yaitu regu­la­tor, pengembang, dan juga bank. Perhatian dan dukungan re­gulator menjadi faktor yang penting dalam mendorong sek­tor perumahan, terutama jika kita berbicara mengenai pe­ru­mah­an bersubsidi.

Dukungan pemerintah ter­ha­dap sektor perumahan ter­li­hat jelas pada Nawa Cita kelima, yaitu Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia, yang diimplementasikan dalam ben­tuk menyediakan rumah yang layak bagi masyarakat melalui Program Sejuta Rumah. Pro­gram ini pertama kali di­ca­nang­kan oleh Presiden Jokowi pada tang­gal 29 April 2015 di Ungar­an, Jawa Tengah. Selain itu pe­merintah juga mengeluarkan be­berapa paket kebijakan eko­nomi yang bertujuan men­do­rong pertumbuhan sektor pe­ru­mahan. Sementara dukung­an Bank Indonesia terlihat pada relaksasi kebijakan LTV/FTV sejak tahun 2015.

Pengembang tentu saja men­­jadi ujung tombak pe­ngem­bang­an sektor pe­ru­mah­an, namun jumlah pe­ngembang di Indo­ne­sia yang masih ter­ba­tas (hanya sekitar 4.700) me­nye­babkan selalu ter­jadinya gap antara k­e­tersediaan rumah ba­ru dengan per­min­ta­an­nya. Se­tiap tahun tumbuh per­mintaan akan ru­mah baru se­banyak 800.000 unit, namun ka­pasitas ba­ngun para pe­ngem­bang mak­si­mal hanya 400.000 unit, se­hing­ga setiap tahunnya paling tidak terjadi gap seba­nyak 400.000 unit rumah baru.

Karena itulah perlu dorongan untuk mem­ben­tuk pe­ngem­bang-pengem­bang baru di In­do­nesia. Namun tidak di­pung­kiri bahwa masa­lah lahan dan infrastruktur da­sar akan men­ja­di faktor awal yang meng­gang­gu, yang pada ujungnya ber­muara pada ke­terbatasan pe­ngembang dalam mem­ba­ngun rumah baru. Pem­ben­tuk­an Bank Tanah sedikit banyak akan memberikan so­lu­si bagi ma­sa­lah penyediaan lahan ter­sebut.

Tidak kalah pentingnya po­sisi bank yang bertindak sebagai mediator antara pengembang dan pembeli rumah karena sam­pai saat ini sekitar 75% pem­belian rumah dilakukan de­ngan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) melalui bank. Dan tentu saja posisi bank juga penting ba­gi pengembang, meskipun se­ba­gian besar pem­biayaan pe­ngem­bang saat ini masih ber­asal dari dana sendiri (sekitar 56%), se­men­­tara pin­jam­an bank hanya 31%.

Struktur permintaan pe­ru­mah­an dapat dilihat dari po­tensi yang muncul dari struktur demografi Indonesia. Pen­du­duk usia produktif, yaitu ber­umur antara 15-55 tahun, di Indo­nesia mencapai sekitar 156 juta jiwa atau 60% dari total pen­duduk. Ini menunjukkan po­tensi permintaan akan ru­mah yang sangat tinggi, namun dalam kenyataannya tidak se­mua mampu mendapatkan ru­mah yang layak. Sehingga sam­pai saat ini muncul backlog pe­rumahan sebesar 11,4 juta yang artinya ada 11,4 juta kepala ke­luarga yang belum memiliki ru­mah.

Dan jika dihitung dari ke­mampuan pengembang mem­ba­ngun rumah setiap ta­hun­nya, maka backlog ini baru akan terselesaikan dalam waktu 26 tahun. Dengan kondisi ini, tidak heran kontribusi sektor pe­ru­mahan terhadap Produk Do­mes­tik Bruto (PDB) masih sa­ngat rendah, hanya sekitar 2,8%, yang jauh di bawah Thai­land yang mencapai 8% apalagi Singapura yang mencapai 23%.

Masalah yang muncul dari sisi permintaan adalah masih ting­ginya jumlah Ma­sya­ra­kat Ber­penghasilan Rendah (MBR) dan di bawah MBR. Meng­ingat se­bagian besar dari me­re­ka itu ma­sih un­ban­kable, tentunya akan berpengaruh pa­da akses mereka untuk men­dapatkan KPR dari bank, terutama untuk rumah bersubsidi. KPR Mikro bisa menjadi al­ter­natif solusi bagi ke­lompok masyarakat yang masih unban­kable ter­sebut.

Jejak Program KPR Subsidi

Jejak pemerintah dalam me­nye­diakan pe­ru­mah­an ber­sub­sidi dapat ditarik mundur sejak tahun 1976 ke­tika untuk per­tama ka­linya pe­me­rintah, Bank In­do­ne­sia dan Bank BTN me­rea­li­sa­sikan KPR Subsidi yang per­tama di In­do­nesia pada tang­gal 10 Desember 1976 di kota Se­ma­rang. Bentuk KPR sub­sidi yang diberikan pa­da saat itu adalah dengan model angsuran tetap dan program ini terus berjalan sampai tahun 1997.

Memasuki awal 2000an, kem­bali diberikan KPR Subsidi dalam bentuk Selisih Suku Bunga Interest Only Balloon Payment (SSB-IOBP) dan juga Subsidi Uang Muka (SUM). Dengan program SSB-IOBP ma­ka selama dua tahun pertama nasabah hanya mem­ba­yar bu­nganya saja, dan ang­suran pe­nuh (cicilan pokok + bunga) ba­ru dibayarkan pada tahun ke­ti­ga. Program KPR Sub­sidi ini dilakukan peme­rin­tah melalui Bank BTN.

Kemudian pada tanggal 1 Oktober 2010 pemerintah meng­ubah pola subsidi pe­ru­mah­an menjadi Fasilitas Li­kui­ditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang diberikan khusus bagi Masyarakat Berpeng­ha­sil­an Rendah (MBR). Pada awal­nya program FLPP ini hanya melalui Bank BTN, namun da­lam perjalanannya ada be­bera­pa bank lain yang juga ikut me­nya­lurkan. Suku bunga pro­gram FLPP ini awalnya 7,25% namun kemudian diturunkan menjadi 5% pada tahun 2015. Dalam program FLPP ini pe­me­rintah menyediakan 90% dari dana dan sisa 10%nya berasal dari bank penyalur. Selama pe­riode 2010-2015, program FLPP ini berhasil merea­li­sa­si­kan dana sebesar Rp23 tri­liun un­tuk mem­ba­ngun sekitar 438 ribu unit rumah untuk MBR.

Untuk mendorong lebih ba­nyak realisasi KPR subsidi, ma­ka sejak tahun 2016 kembali di­luncurkan KPR SSB (Subsidi Se­lisih Bunga), dimana sumber da­na sebagian besar berasal dari bank penyalur sementara pe­me­rintah akan mem­berikan sub­sidi sebesar selisih bu­nga antara bunga KPR non subsidi de­ngan bunga KPR sub­sidi. Di luar itu semua, pe­me­rin­tah juga mem­beri­kan Sub­si­di Ban­tu­an Uang Mu­ka (SBUM) sebesar Rp4 juta per unit kepada MBR.

Dengan demikian, skema KPR subsidi k­epada MBR saat ini ada dua yaitu KPR Subsidi FLPP (plus SBUM) dan KPR SSB (plus SBUM). Dan untuk dapat lebih banyak menyalurkan KPR Subsidi maka pe­merintah mem­punyai rencana untuk me­nyalurkan KPR BP2BT atau KPR Bantuan Pembiayaan Peru­mah­an Ber­ba­sis Tabungan, di­ma­na pemohon KPR harus me­na­bung terlebih dahulu selama 6 bulan sebelum dapat mene­ri­ma KPR Subsidi.

Di luar itu semua, peme­rin­tah sudah membentuk BP TAPERA (Badan Pengelola Ta­bungan Perumahan Rakyat) de­ngan modal awal sebesar Rp2,5 triliun. Program Tapera ini mempunyai tujuan untuk dapat mengumpulkan dana murah yang bisa digunakan untuk mem­bantu pembiayaan pe­ru­mahan, tanpa membebani ang­gar­an pemerintah. Dana murah ini merupakan dana tabungan yang dihimpun dari iuran ma­syarakat pekerja di sektor for­mal dan informal. Dana yang ter­kumpul akan dikelola dan di­jadikan dana bergulir, ke­mu­di­an diberikan kepada ma­sya­ra­kat yang membutuhkan ban­tu­an pembiayaan perumahan de­ngan bunga yang rendah.

Bagi bank penyalur KPR sub­sidi, ada plus minus dari ma­sing-masing jenis subsidi ter­sebut. Dengan KPR FLPP, bank ha­nya perlu menyediakan 10% da­na untuk masing-masing KPR karena 90% dana berasal dari APBN. Pada tahap awal, me­mang dengan model se­perti ini bank penyalur men­jadi sa­ngat ter­gan­tung pada anggaran pemerintah. Seperti yang ter­jadi pada tahun 2017 ini dimana anggaran FLPP awalnya sebesar Rp9,7 triliun namun ke­mudian turun menjadi hanya Rp3,1 tri­liun pada APBN Peru­bah­an 2017 dan untuk ta­hun 2018 tu­run lagi 30% menjadi Rp2,18 tri­liun. Dan dari sudut pandang pe­merintah, mungkin saja dana yang dikeluarkan se­tiap ta­hun­nya besar namun per­lu diingat bahwa ini adalah dana bergulir yang terus bertumbuh dan se­telah tenor KPR ini selesai maka pemerintah tidak perlu lagi menyediakan dana untuk KPR Subsidi ini.

Sementara dengan KPR SSB memang bank harus dapat men­cari pendanaan sendiri, namun di sisi lain akan lebih “lincah” dalam menyalurkan KPR Subsidi karena tidak terlalu tergantung pada anggaran pemerintah. Sebaliknya bagi pemerintah, mungkin terlihat bahwa anggar­an yang harus dialokasikan untuk program ini jauh lebih kecil daripada KPR FLPP, namun perlu diingat bahwa dana tersebut bukan dana bergulir tetapi dana yang akan hilang dan peme­rin­tah harus terus menyediakan da­na­nya setiap tahun. Dan juga aku­­mu­lasi atas SSB akan sema­kin besar yang tentunya akan men­jadi biaya yang membebani ang­garan pemerintah. Artinya, se­makin lama biaya yang harus di­tanggung pemerintah akan se­ma­kin besar.

Dari plus minus yang ada, dengan model dana bergulir yang tidak akan hilang maka penulis melihat bahwa KPR FLPP merupakan program yang lebih berkesinambungan yang akan memberikan keuntungan bagi pemerintah dan juga bank penyalur. Karena merupakan dana bergulir, maka setelah tahun 2030 (atau 20 tahun setelah KPR FLPP pertama kali diluncurkan) pemerintah tidak perlu lagi menyediakan dana baru untuk KPR Subsidi. Arti­nya dana pemerintah tersebut dapat dialokasikan untuk pe­nge­luaran yang lain.

Program Sejuta Rumah memang bukan panacea yang dapat menyelesaikan semua ma­salah yang ada, namun seti­daknya merupakan salah satu upaya untuk memperkecil backlog perumahan yang sekarang terjadi. Dan meskipun jumlah bank yang terlibat dalam Program Sejuta Rumah ini masih terbatas, namun dengan adanya dukungan dari seluruh pemangku kebijakan, bukan tidak mungkin akan lebih banyak lagi bank yang bersemangat untuk terlibat dalam program KPR Subsidi.

Namun perlu menjadi catatan pula bahwa penyaluran KPR Subsidi berbeda dengan KPR biasa (“lebih rempong” kalau memakai istilah anak jaman now), sehingga yang diperlukan bukan sekedar banyaknya bank yang terlibat namun lebih penting adalah kemampuan dan pengalaman bank yang terlibat dalam program ini. Artinya, kita memang berkejaran dengan waktu namun jangan sampai kualitas dilupakan demi mengejar kuantitas.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0568 seconds (0.1#10.140)