Program Rumah untuk Rakyat, Antara FLPP dan SSB
A
A
A
Winang Budoyo
Chief Economist Bank BTN
MEMILIKI rumah layak huni merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Namun, dalam pelaksanaannya sangat diperlukan campur tangan pemerintah agar setiap penduduk mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa memperoleh rumah layak huni tersebut. Upaya pemerintah Indonesia dalam menyediakan rumah bagi rakyat sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1970-an melalui program KPR Subsidi.
Dan sejak tahun 2015, pemerintah mencanangkan Program Sejuta Rumah yang merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mempercepat kepemilikan rumah, terutama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Kepedulian pemerintah terhadap penyediaan rumah untuk rakyat ini tidak terlepas dari tambahan anggaran yang didapat dari upaya mengalokasikan anggaran untuk pengeluaran yang lebih produktif, salah satunya dengan mengurangi subsidi.
Namun pertanyaan besarnya adalah bagaimana profil sektor perumahan di Indonesia? Dan apakah sektor perumahan di Indonesia memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat dilihat dari struktur penawaran dan permintaan di sektor perumahan di Indonesia.
Struktur penawaran sektor perumahan tidak terlepas dari koordinasi antara para pemangku kepentingannya yaitu regulator, pengembang, dan juga bank. Perhatian dan dukungan regulator menjadi faktor yang penting dalam mendorong sektor perumahan, terutama jika kita berbicara mengenai perumahan bersubsidi.
Dukungan pemerintah terhadap sektor perumahan terlihat jelas pada Nawa Cita kelima, yaitu Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia, yang diimplementasikan dalam bentuk menyediakan rumah yang layak bagi masyarakat melalui Program Sejuta Rumah. Program ini pertama kali dicanangkan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 29 April 2015 di Ungaran, Jawa Tengah. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan beberapa paket kebijakan ekonomi yang bertujuan mendorong pertumbuhan sektor perumahan. Sementara dukungan Bank Indonesia terlihat pada relaksasi kebijakan LTV/FTV sejak tahun 2015.
Pengembang tentu saja menjadi ujung tombak pengembangan sektor perumahan, namun jumlah pengembang di Indonesia yang masih terbatas (hanya sekitar 4.700) menyebabkan selalu terjadinya gap antara ketersediaan rumah baru dengan permintaannya. Setiap tahun tumbuh permintaan akan rumah baru sebanyak 800.000 unit, namun kapasitas bangun para pengembang maksimal hanya 400.000 unit, sehingga setiap tahunnya paling tidak terjadi gap sebanyak 400.000 unit rumah baru.
Karena itulah perlu dorongan untuk membentuk pengembang-pengembang baru di Indonesia. Namun tidak dipungkiri bahwa masalah lahan dan infrastruktur dasar akan menjadi faktor awal yang mengganggu, yang pada ujungnya bermuara pada keterbatasan pengembang dalam membangun rumah baru. Pembentukan Bank Tanah sedikit banyak akan memberikan solusi bagi masalah penyediaan lahan tersebut.
Tidak kalah pentingnya posisi bank yang bertindak sebagai mediator antara pengembang dan pembeli rumah karena sampai saat ini sekitar 75% pembelian rumah dilakukan dengan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) melalui bank. Dan tentu saja posisi bank juga penting bagi pengembang, meskipun sebagian besar pembiayaan pengembang saat ini masih berasal dari dana sendiri (sekitar 56%), sementara pinjaman bank hanya 31%.
Struktur permintaan perumahan dapat dilihat dari potensi yang muncul dari struktur demografi Indonesia. Penduduk usia produktif, yaitu berumur antara 15-55 tahun, di Indonesia mencapai sekitar 156 juta jiwa atau 60% dari total penduduk. Ini menunjukkan potensi permintaan akan rumah yang sangat tinggi, namun dalam kenyataannya tidak semua mampu mendapatkan rumah yang layak. Sehingga sampai saat ini muncul backlog perumahan sebesar 11,4 juta yang artinya ada 11,4 juta kepala keluarga yang belum memiliki rumah.
Dan jika dihitung dari kemampuan pengembang membangun rumah setiap tahunnya, maka backlog ini baru akan terselesaikan dalam waktu 26 tahun. Dengan kondisi ini, tidak heran kontribusi sektor perumahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih sangat rendah, hanya sekitar 2,8%, yang jauh di bawah Thailand yang mencapai 8% apalagi Singapura yang mencapai 23%.
Masalah yang muncul dari sisi permintaan adalah masih tingginya jumlah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan di bawah MBR. Mengingat sebagian besar dari mereka itu masih unbankable, tentunya akan berpengaruh pada akses mereka untuk mendapatkan KPR dari bank, terutama untuk rumah bersubsidi. KPR Mikro bisa menjadi alternatif solusi bagi kelompok masyarakat yang masih unbankable tersebut.
Jejak Program KPR Subsidi
Jejak pemerintah dalam menyediakan perumahan bersubsidi dapat ditarik mundur sejak tahun 1976 ketika untuk pertama kalinya pemerintah, Bank Indonesia dan Bank BTN merealisasikan KPR Subsidi yang pertama di Indonesia pada tanggal 10 Desember 1976 di kota Semarang. Bentuk KPR subsidi yang diberikan pada saat itu adalah dengan model angsuran tetap dan program ini terus berjalan sampai tahun 1997.
Memasuki awal 2000an, kembali diberikan KPR Subsidi dalam bentuk Selisih Suku Bunga Interest Only Balloon Payment (SSB-IOBP) dan juga Subsidi Uang Muka (SUM). Dengan program SSB-IOBP maka selama dua tahun pertama nasabah hanya membayar bunganya saja, dan angsuran penuh (cicilan pokok + bunga) baru dibayarkan pada tahun ketiga. Program KPR Subsidi ini dilakukan pemerintah melalui Bank BTN.
Kemudian pada tanggal 1 Oktober 2010 pemerintah mengubah pola subsidi perumahan menjadi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang diberikan khusus bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Pada awalnya program FLPP ini hanya melalui Bank BTN, namun dalam perjalanannya ada beberapa bank lain yang juga ikut menyalurkan. Suku bunga program FLPP ini awalnya 7,25% namun kemudian diturunkan menjadi 5% pada tahun 2015. Dalam program FLPP ini pemerintah menyediakan 90% dari dana dan sisa 10%nya berasal dari bank penyalur. Selama periode 2010-2015, program FLPP ini berhasil merealisasikan dana sebesar Rp23 triliun untuk membangun sekitar 438 ribu unit rumah untuk MBR.
Untuk mendorong lebih banyak realisasi KPR subsidi, maka sejak tahun 2016 kembali diluncurkan KPR SSB (Subsidi Selisih Bunga), dimana sumber dana sebagian besar berasal dari bank penyalur sementara pemerintah akan memberikan subsidi sebesar selisih bunga antara bunga KPR non subsidi dengan bunga KPR subsidi. Di luar itu semua, pemerintah juga memberikan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) sebesar Rp4 juta per unit kepada MBR.
Dengan demikian, skema KPR subsidi kepada MBR saat ini ada dua yaitu KPR Subsidi FLPP (plus SBUM) dan KPR SSB (plus SBUM). Dan untuk dapat lebih banyak menyalurkan KPR Subsidi maka pemerintah mempunyai rencana untuk menyalurkan KPR BP2BT atau KPR Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan, dimana pemohon KPR harus menabung terlebih dahulu selama 6 bulan sebelum dapat menerima KPR Subsidi.
Di luar itu semua, pemerintah sudah membentuk BP TAPERA (Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat) dengan modal awal sebesar Rp2,5 triliun. Program Tapera ini mempunyai tujuan untuk dapat mengumpulkan dana murah yang bisa digunakan untuk membantu pembiayaan perumahan, tanpa membebani anggaran pemerintah. Dana murah ini merupakan dana tabungan yang dihimpun dari iuran masyarakat pekerja di sektor formal dan informal. Dana yang terkumpul akan dikelola dan dijadikan dana bergulir, kemudian diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan pembiayaan perumahan dengan bunga yang rendah.
Bagi bank penyalur KPR subsidi, ada plus minus dari masing-masing jenis subsidi tersebut. Dengan KPR FLPP, bank hanya perlu menyediakan 10% dana untuk masing-masing KPR karena 90% dana berasal dari APBN. Pada tahap awal, memang dengan model seperti ini bank penyalur menjadi sangat tergantung pada anggaran pemerintah. Seperti yang terjadi pada tahun 2017 ini dimana anggaran FLPP awalnya sebesar Rp9,7 triliun namun kemudian turun menjadi hanya Rp3,1 triliun pada APBN Perubahan 2017 dan untuk tahun 2018 turun lagi 30% menjadi Rp2,18 triliun. Dan dari sudut pandang pemerintah, mungkin saja dana yang dikeluarkan setiap tahunnya besar namun perlu diingat bahwa ini adalah dana bergulir yang terus bertumbuh dan setelah tenor KPR ini selesai maka pemerintah tidak perlu lagi menyediakan dana untuk KPR Subsidi ini.
Sementara dengan KPR SSB memang bank harus dapat mencari pendanaan sendiri, namun di sisi lain akan lebih “lincah” dalam menyalurkan KPR Subsidi karena tidak terlalu tergantung pada anggaran pemerintah. Sebaliknya bagi pemerintah, mungkin terlihat bahwa anggaran yang harus dialokasikan untuk program ini jauh lebih kecil daripada KPR FLPP, namun perlu diingat bahwa dana tersebut bukan dana bergulir tetapi dana yang akan hilang dan pemerintah harus terus menyediakan dananya setiap tahun. Dan juga akumulasi atas SSB akan semakin besar yang tentunya akan menjadi biaya yang membebani anggaran pemerintah. Artinya, semakin lama biaya yang harus ditanggung pemerintah akan semakin besar.
Dari plus minus yang ada, dengan model dana bergulir yang tidak akan hilang maka penulis melihat bahwa KPR FLPP merupakan program yang lebih berkesinambungan yang akan memberikan keuntungan bagi pemerintah dan juga bank penyalur. Karena merupakan dana bergulir, maka setelah tahun 2030 (atau 20 tahun setelah KPR FLPP pertama kali diluncurkan) pemerintah tidak perlu lagi menyediakan dana baru untuk KPR Subsidi. Artinya dana pemerintah tersebut dapat dialokasikan untuk pengeluaran yang lain.
Program Sejuta Rumah memang bukan panacea yang dapat menyelesaikan semua masalah yang ada, namun setidaknya merupakan salah satu upaya untuk memperkecil backlog perumahan yang sekarang terjadi. Dan meskipun jumlah bank yang terlibat dalam Program Sejuta Rumah ini masih terbatas, namun dengan adanya dukungan dari seluruh pemangku kebijakan, bukan tidak mungkin akan lebih banyak lagi bank yang bersemangat untuk terlibat dalam program KPR Subsidi.
Namun perlu menjadi catatan pula bahwa penyaluran KPR Subsidi berbeda dengan KPR biasa (“lebih rempong” kalau memakai istilah anak jaman now), sehingga yang diperlukan bukan sekedar banyaknya bank yang terlibat namun lebih penting adalah kemampuan dan pengalaman bank yang terlibat dalam program ini. Artinya, kita memang berkejaran dengan waktu namun jangan sampai kualitas dilupakan demi mengejar kuantitas.
Chief Economist Bank BTN
MEMILIKI rumah layak huni merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Namun, dalam pelaksanaannya sangat diperlukan campur tangan pemerintah agar setiap penduduk mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa memperoleh rumah layak huni tersebut. Upaya pemerintah Indonesia dalam menyediakan rumah bagi rakyat sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1970-an melalui program KPR Subsidi.
Dan sejak tahun 2015, pemerintah mencanangkan Program Sejuta Rumah yang merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mempercepat kepemilikan rumah, terutama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Kepedulian pemerintah terhadap penyediaan rumah untuk rakyat ini tidak terlepas dari tambahan anggaran yang didapat dari upaya mengalokasikan anggaran untuk pengeluaran yang lebih produktif, salah satunya dengan mengurangi subsidi.
Namun pertanyaan besarnya adalah bagaimana profil sektor perumahan di Indonesia? Dan apakah sektor perumahan di Indonesia memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat dilihat dari struktur penawaran dan permintaan di sektor perumahan di Indonesia.
Struktur penawaran sektor perumahan tidak terlepas dari koordinasi antara para pemangku kepentingannya yaitu regulator, pengembang, dan juga bank. Perhatian dan dukungan regulator menjadi faktor yang penting dalam mendorong sektor perumahan, terutama jika kita berbicara mengenai perumahan bersubsidi.
Dukungan pemerintah terhadap sektor perumahan terlihat jelas pada Nawa Cita kelima, yaitu Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia, yang diimplementasikan dalam bentuk menyediakan rumah yang layak bagi masyarakat melalui Program Sejuta Rumah. Program ini pertama kali dicanangkan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 29 April 2015 di Ungaran, Jawa Tengah. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan beberapa paket kebijakan ekonomi yang bertujuan mendorong pertumbuhan sektor perumahan. Sementara dukungan Bank Indonesia terlihat pada relaksasi kebijakan LTV/FTV sejak tahun 2015.
Pengembang tentu saja menjadi ujung tombak pengembangan sektor perumahan, namun jumlah pengembang di Indonesia yang masih terbatas (hanya sekitar 4.700) menyebabkan selalu terjadinya gap antara ketersediaan rumah baru dengan permintaannya. Setiap tahun tumbuh permintaan akan rumah baru sebanyak 800.000 unit, namun kapasitas bangun para pengembang maksimal hanya 400.000 unit, sehingga setiap tahunnya paling tidak terjadi gap sebanyak 400.000 unit rumah baru.
Karena itulah perlu dorongan untuk membentuk pengembang-pengembang baru di Indonesia. Namun tidak dipungkiri bahwa masalah lahan dan infrastruktur dasar akan menjadi faktor awal yang mengganggu, yang pada ujungnya bermuara pada keterbatasan pengembang dalam membangun rumah baru. Pembentukan Bank Tanah sedikit banyak akan memberikan solusi bagi masalah penyediaan lahan tersebut.
Tidak kalah pentingnya posisi bank yang bertindak sebagai mediator antara pengembang dan pembeli rumah karena sampai saat ini sekitar 75% pembelian rumah dilakukan dengan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) melalui bank. Dan tentu saja posisi bank juga penting bagi pengembang, meskipun sebagian besar pembiayaan pengembang saat ini masih berasal dari dana sendiri (sekitar 56%), sementara pinjaman bank hanya 31%.
Struktur permintaan perumahan dapat dilihat dari potensi yang muncul dari struktur demografi Indonesia. Penduduk usia produktif, yaitu berumur antara 15-55 tahun, di Indonesia mencapai sekitar 156 juta jiwa atau 60% dari total penduduk. Ini menunjukkan potensi permintaan akan rumah yang sangat tinggi, namun dalam kenyataannya tidak semua mampu mendapatkan rumah yang layak. Sehingga sampai saat ini muncul backlog perumahan sebesar 11,4 juta yang artinya ada 11,4 juta kepala keluarga yang belum memiliki rumah.
Dan jika dihitung dari kemampuan pengembang membangun rumah setiap tahunnya, maka backlog ini baru akan terselesaikan dalam waktu 26 tahun. Dengan kondisi ini, tidak heran kontribusi sektor perumahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih sangat rendah, hanya sekitar 2,8%, yang jauh di bawah Thailand yang mencapai 8% apalagi Singapura yang mencapai 23%.
Masalah yang muncul dari sisi permintaan adalah masih tingginya jumlah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan di bawah MBR. Mengingat sebagian besar dari mereka itu masih unbankable, tentunya akan berpengaruh pada akses mereka untuk mendapatkan KPR dari bank, terutama untuk rumah bersubsidi. KPR Mikro bisa menjadi alternatif solusi bagi kelompok masyarakat yang masih unbankable tersebut.
Jejak Program KPR Subsidi
Jejak pemerintah dalam menyediakan perumahan bersubsidi dapat ditarik mundur sejak tahun 1976 ketika untuk pertama kalinya pemerintah, Bank Indonesia dan Bank BTN merealisasikan KPR Subsidi yang pertama di Indonesia pada tanggal 10 Desember 1976 di kota Semarang. Bentuk KPR subsidi yang diberikan pada saat itu adalah dengan model angsuran tetap dan program ini terus berjalan sampai tahun 1997.
Memasuki awal 2000an, kembali diberikan KPR Subsidi dalam bentuk Selisih Suku Bunga Interest Only Balloon Payment (SSB-IOBP) dan juga Subsidi Uang Muka (SUM). Dengan program SSB-IOBP maka selama dua tahun pertama nasabah hanya membayar bunganya saja, dan angsuran penuh (cicilan pokok + bunga) baru dibayarkan pada tahun ketiga. Program KPR Subsidi ini dilakukan pemerintah melalui Bank BTN.
Kemudian pada tanggal 1 Oktober 2010 pemerintah mengubah pola subsidi perumahan menjadi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang diberikan khusus bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Pada awalnya program FLPP ini hanya melalui Bank BTN, namun dalam perjalanannya ada beberapa bank lain yang juga ikut menyalurkan. Suku bunga program FLPP ini awalnya 7,25% namun kemudian diturunkan menjadi 5% pada tahun 2015. Dalam program FLPP ini pemerintah menyediakan 90% dari dana dan sisa 10%nya berasal dari bank penyalur. Selama periode 2010-2015, program FLPP ini berhasil merealisasikan dana sebesar Rp23 triliun untuk membangun sekitar 438 ribu unit rumah untuk MBR.
Untuk mendorong lebih banyak realisasi KPR subsidi, maka sejak tahun 2016 kembali diluncurkan KPR SSB (Subsidi Selisih Bunga), dimana sumber dana sebagian besar berasal dari bank penyalur sementara pemerintah akan memberikan subsidi sebesar selisih bunga antara bunga KPR non subsidi dengan bunga KPR subsidi. Di luar itu semua, pemerintah juga memberikan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) sebesar Rp4 juta per unit kepada MBR.
Dengan demikian, skema KPR subsidi kepada MBR saat ini ada dua yaitu KPR Subsidi FLPP (plus SBUM) dan KPR SSB (plus SBUM). Dan untuk dapat lebih banyak menyalurkan KPR Subsidi maka pemerintah mempunyai rencana untuk menyalurkan KPR BP2BT atau KPR Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan, dimana pemohon KPR harus menabung terlebih dahulu selama 6 bulan sebelum dapat menerima KPR Subsidi.
Di luar itu semua, pemerintah sudah membentuk BP TAPERA (Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat) dengan modal awal sebesar Rp2,5 triliun. Program Tapera ini mempunyai tujuan untuk dapat mengumpulkan dana murah yang bisa digunakan untuk membantu pembiayaan perumahan, tanpa membebani anggaran pemerintah. Dana murah ini merupakan dana tabungan yang dihimpun dari iuran masyarakat pekerja di sektor formal dan informal. Dana yang terkumpul akan dikelola dan dijadikan dana bergulir, kemudian diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan pembiayaan perumahan dengan bunga yang rendah.
Bagi bank penyalur KPR subsidi, ada plus minus dari masing-masing jenis subsidi tersebut. Dengan KPR FLPP, bank hanya perlu menyediakan 10% dana untuk masing-masing KPR karena 90% dana berasal dari APBN. Pada tahap awal, memang dengan model seperti ini bank penyalur menjadi sangat tergantung pada anggaran pemerintah. Seperti yang terjadi pada tahun 2017 ini dimana anggaran FLPP awalnya sebesar Rp9,7 triliun namun kemudian turun menjadi hanya Rp3,1 triliun pada APBN Perubahan 2017 dan untuk tahun 2018 turun lagi 30% menjadi Rp2,18 triliun. Dan dari sudut pandang pemerintah, mungkin saja dana yang dikeluarkan setiap tahunnya besar namun perlu diingat bahwa ini adalah dana bergulir yang terus bertumbuh dan setelah tenor KPR ini selesai maka pemerintah tidak perlu lagi menyediakan dana untuk KPR Subsidi ini.
Sementara dengan KPR SSB memang bank harus dapat mencari pendanaan sendiri, namun di sisi lain akan lebih “lincah” dalam menyalurkan KPR Subsidi karena tidak terlalu tergantung pada anggaran pemerintah. Sebaliknya bagi pemerintah, mungkin terlihat bahwa anggaran yang harus dialokasikan untuk program ini jauh lebih kecil daripada KPR FLPP, namun perlu diingat bahwa dana tersebut bukan dana bergulir tetapi dana yang akan hilang dan pemerintah harus terus menyediakan dananya setiap tahun. Dan juga akumulasi atas SSB akan semakin besar yang tentunya akan menjadi biaya yang membebani anggaran pemerintah. Artinya, semakin lama biaya yang harus ditanggung pemerintah akan semakin besar.
Dari plus minus yang ada, dengan model dana bergulir yang tidak akan hilang maka penulis melihat bahwa KPR FLPP merupakan program yang lebih berkesinambungan yang akan memberikan keuntungan bagi pemerintah dan juga bank penyalur. Karena merupakan dana bergulir, maka setelah tahun 2030 (atau 20 tahun setelah KPR FLPP pertama kali diluncurkan) pemerintah tidak perlu lagi menyediakan dana baru untuk KPR Subsidi. Artinya dana pemerintah tersebut dapat dialokasikan untuk pengeluaran yang lain.
Program Sejuta Rumah memang bukan panacea yang dapat menyelesaikan semua masalah yang ada, namun setidaknya merupakan salah satu upaya untuk memperkecil backlog perumahan yang sekarang terjadi. Dan meskipun jumlah bank yang terlibat dalam Program Sejuta Rumah ini masih terbatas, namun dengan adanya dukungan dari seluruh pemangku kebijakan, bukan tidak mungkin akan lebih banyak lagi bank yang bersemangat untuk terlibat dalam program KPR Subsidi.
Namun perlu menjadi catatan pula bahwa penyaluran KPR Subsidi berbeda dengan KPR biasa (“lebih rempong” kalau memakai istilah anak jaman now), sehingga yang diperlukan bukan sekedar banyaknya bank yang terlibat namun lebih penting adalah kemampuan dan pengalaman bank yang terlibat dalam program ini. Artinya, kita memang berkejaran dengan waktu namun jangan sampai kualitas dilupakan demi mengejar kuantitas.
(pur)