Kebijakan Instan dan Instabilitas Harga Pangan

Senin, 15 Januari 2018 - 08:30 WIB
Kebijakan Instan dan...
Kebijakan Instan dan Instabilitas Harga Pangan
A A A
Fajar B Hirawan
Peneliti Departemen Ekonomi CSIS dan
Dosen School of Government and Public Policy

DI awal tahun 2018, Indonesia sebagai negara yang memiliki ambisi besar mewujudkan ketahanan pangan, bahkan bermimpi untuk mencapai kedaulatan pangan, mulai terganggu dengan gejolak harga beberapa bahan pokok, terutama beras. Harga beras medium di pasaran mencapai titik tertinggi pada awal 2018, yakni Rp10.500 hingga Rp11.500.

Ini lebih tinggi dari penetapan harga eceran ter­tinggi (HET) untuk beras medium yang berkisar Rp9.450-10.250. Regulasi harga yang dilakukan pemerintah untuk komoditas pangan seperti beras yang didasarkan atas Peraturan Menteri Perdagangan No 57 Tahun 2017 dan efektif diimplementasikan sejak 1 September 2017 terbukti tidak mampu meredam kenaikan harga beras di Indonesia.

Masih di tahun yang baru berjalan beberapa minggu, masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan rencana penetapan kebijakan HET untuk komoditas daging ayam dan telur. Ketidakseimbangan harga jual bibit ayam, daging ayam, telur, dan pakan ternak menjadi alasan utama mengapa kebijakan HET unggas dirasakan sangat pen­ting.

Dalam hal ini pemerintah sebaiknya tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti apa yang terjadi pada penetapan kebijakan HET pada komoditas beras. Buktinya, meskipun pihak pemerintah merasa bahwa kebijakan HET beras mampu menjaga kestabilan harga beras di pasar, baru beberapa bulan diimplementasikan, harga beras justru bergerak liar ke tingkatan harga yang lebih tinggi dari yang telah ditetapkan.

Berkaitan dengan fenomena di atas, Presiden Joko Widodo perlu mengingatkan para menteri dan pejabat di jajaran kementeriannya untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam hal penetapan kebijakan HET pada komoditas pangan apa pun. Dari beberapa pengalaman negara lain, tidak ada satu pun negara yang berhasil menjaga stabilitas harga pangan dengan menetapkan kebijakan regulasi harga seperti HET.

Thomas Sowell, ekonom Ame­rika Serikat yang menulis buku Basic Economics: A Citi­zenís Guide to the Economy juga pernah berargumen, price controls turned a minor adjustment into a major shortage atau yang dalam bahasa Indonesia kira-kira bermakna bahwa regulasi harga mengubah penyesuaian yang sifatnya kecil menjadi sebuah kekurangan yang sangat besar.

Berdasarkan hal tersebut, kebijakan regulasi harga, termasuk HET, bukanlah solusi untuk menjaga kestabilan harga pangan. Kebijakan HET justru cenderung menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah dalam memformulasikan sebuah strategi kebijakan pangan yang lebih efektif dan komprehensif.

Strategi kebijakan pangan untuk mewujudkan keta­hanan pangan sangatlah perlu dirumuskan secara lebih komprehensif. Pemerintah perlu mempertimbangkan seluruh kepentingan pihak terkait dan memperhatikan seluruh proses perumusan dan aplikasi kebijakan dari hulu hingga hilir.

Kebijakan pangan di sektor hulu meliputi upaya pemerintah dalam meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional. Perbaikan sarana dan prasarana pertanian se­perti akses kredit bagi petani, saluran irigasi, pemilihan pupuk dan bibit tanaman serta edukasi pertanian juga merupakan beberapa strategi kebijakan pangan di sektor hulu yang perlu diprioritaskan oleh pemerintah guna meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional.

Adapun kebijakan di sektor hilir di sini sangat erat kaitannya dengan proses pendistribusian hasil pertanian atau produk pangan hingga sampai ke konsumen. Strategi kebijakan semacam ini sepertinya lebih mampu mengatasi permasalahan klasik yang selalu muncul di sektor pangan seperti kelangkaan dan instabilitas harga pangan.

Pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, seharusnya sadar betul bahwa kebijakan regulasi harga, seperti HET, terkesan sebagai sebuah kebijakan instan atau jalan pintas (shortcut) yang cenderung salah fokus karena mengabaikan kepentingan beberapa pihak di sektor pertanian dan tidak memedulikan permasalahan di sektor hulu yang justru perlu menjadi prioritas utama pemerintah.

Regulasi harga sangat ideal diberlakukan apabila kebijakan pangan di sektor hulu telah berjalan dengan semestinya. Dengan kata lain, pemerintah dipersilakan untuk menerapkan kebijakan regulasi harga, seperti HET, apabila pemerintah sudah mampu membenahi kebijakan pangan di sektor hulu yang erat kaitannya dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi.

Kebijakan HET yang cenderung sebagai jalan pintas pemerintah menjaga stabilitas harga dan menjamin ketahanan pangan di Indonesia justru dikhawatirkan akan menimbulkan kelangkaan pada komoditas tersebut. Kekhawatiran kelangkaan ini didasarkan pada adanya kecenderungan enggannya produsen untuk menjual komoditas pangannya sesuai dengan kebijakan HET yang telah ditentukan pemerintah karena margin keuntungan penjualan yang semakin menurun.

Kondisi ini sangat berbahaya karena produsen sebagai pemasok bahan pangan dapat melakukan penimbunan atau hanya menjual produknya di pasar gelap (black market). Hal ini akan lebih diperparah lagi jika pemerintah tidak mempertimbangkan gangguan alam yang sulit diantisipasi siapa pun seperti hama dan faktor cuaca.
Hama wereng dan bencana kekeringan, misalnya, sudah nyata telah menyerang wilayah pertanian di Pulau Jawa dan kondisi ini dapat membahayakan pasokan pangan nasional, khususnya beras. Apabila gangguan ini terus terjadi yang berimbas pada penurunan kapasitas produksi komoditas pangan nasional tanpa adanya langkah preventif dari pemerintah, secara otomatis Indonesia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pangan nasionalnya dan sulit mengatasi kelangkaan pangan yang kemungkinan besar akan terjadi.

Pada kesimpulannya, kebijakan regulasi harga, termasuk HET, perlu dievaluasi kembali atau sebaiknya dibatalkan secara hukum karena terbukti gagal mewujudkan kestabilan harga pangan di Indonesia. Sebagai pembelajaran, pemerintah tidak boleh terburu-buru dalam menerapkan sebuah kebijakan, apalagi yang berkaitan dengan pangan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia.

Untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang optimal, pemerintah perlu merumuskan kebijakan dengan mengakomodasi seluruh pihak yang terkait serta perlu secara komprehensif memperhatikan sinergi antara kebijakan pangan di sektor hulu dan hilir.

Koordinasi antarkementerian dan lembaga negara lainnya ditambah dengan pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pangan juga perlu ditingkatkan. Selain itu pemerintah perlu mewujudkan suasana yang kondusif bagi iklim usaha untuk tumbuh dan berkembangnya produksi pangan serta meminimalkan tindakan yang cenderung membuat kegaduhan dan instabilitas di pasar pangan.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0806 seconds (0.1#10.140)