Operasi Pasar Beras
A
A
A
Khudori Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010–sekarang)
OPERASI pasar masih jadi jurus andalan pemerintah untuk menekan harga-harga pangan. Dari sekian banyak komoditas, baru dua yang kini dilakukan operasi pasar: beras dan telur. Operasi pasar dilakukan serentak di sejumlah kota-kota besar di Indonesia. Pemerintah yakin operasi pasar bakal membuat harga-harga pangan kembali stabil. Selain untuk menjaga daya beli masyarakat, operasi pasar diyakini bisa menjinakkan inflasi.
Operasi pasar beras digelar sejak Oktober dan kian intensif menjelang Natal dan tahun baru 2018. Karena harga tidak kunjung turun, titik operasi pasar diperluas. Semula hanya 1.100 titik, Januari 2018 menjadi 1.800 titik, sesuai rekomen-dasi Kementerian Perdagangan. Untuk operasi pasar, Bulog menggunakan cadangan beras medium milik pemerintah (CBP) yang ada saat ini 260.000 ton. Beras operasi pasar dijual Rp8.100/kg, di bawah harga eceran tertinggi beras medium di wilayah produsen sebesar Rp9.450/kg.
Namun, dengan operasi pasar tak berarti masalah langsung selesai. Ibarat memadamkan kebakaran, apinya bisa saja mati, tetapi akar sumber api tidak tersentuh. Secara teori, tambahan pasokan beras ke pasar lewat operasi pasar akan membuat harga stabil, bahkan menurun. Pasokan dan permintaan yang seimbang akan membuat harga stabil. Tetapi teori itu tidak selalu berlaku. Pertama, keseimbangan supply-demand mensyaratkan kelancaran distribusi. Sumbatan distribusi membuat harga melentik tinggi.
Kedua, distribusi akan lancar apabila pemerintah memiliki informasi memadai tentang harga, pergerakan barang, dan gudang. Ketiga, supply-demand yang seimbang tak berarti apa-apa bila struktur pasar tak sehat dan ada posisi dominan.
Sejarah perberasan puluhan tahun di negeri ini mengajarkan, operasi pasar beras adalah instrumen jangka pendek. Tujuannya memengaruhi harga, tapi efektivitas dalam memengaruhi harga beras tergantung pada banyak hal: stok pedagang; stok pemerintah; volume, jenis dan harga beras yang digerojok di pasar; dan psikologi publik. Dengan satu jenis beras, yakni medium, mustahil operasi pasar bisa meredam harga seluruh jenis beras di pasar. Apalagi bila beras operasi pasar Bulog berasal dari stok lama. Di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, ada 17 jenis beras, sedangkan di kota lain ada 3-5 jenis beras.
Zaman Presiden Soeharto, operasi pasar menuai kritik. Karena itu, sejak 1998 operasi pasar beras ditinggalkan lalu diganti pendekatan subsidi terarah lewat beras untuk rakyat miskin (raskin), yang kemudian diubah jadi beras untuk keluarga prasejahtera sejahtera (rastra). Namun, sejak Presiden SBY dan Jokowi beleid operasi pasar kembali dipakai sebagai instrumen stabilisasi harga. Pemerintah sepertinya lupa operasi pasar beras tidak adil karena bukan cuma rakyat miskin yang merasakan manfaat, tapi kelompok kaya dan pedagang/pengecer juga bisa menikmatinya. Sebagai pemain, keterlibatan kelompok terakhir ini membuat operasi pasar tak efektif.
Operasi pasar beras akan efektif kalau volume beras yang digerejok ke pasar tidak terbatas jumlahnya dan siapa pun boleh membelinya, baik konsumen, pedagang, maupun pengecer. Apa tidak terjadi moral hazard ? Jika pasar diisi sampai jenuh, kecil peluang praktik penyalahgunaan. Namun, cara ini memerlukan biaya besar karena butuh stok beras yang besar pula. Dan yang lebih penting, cara ini tidak adil karena tidak jelas pemerintah mau membantu kelompok mana: kelompok miskin, kelompok kaya, atau kedua-duanya?
Kalau pemerintah kon-sisten, seharusnya bukan operasi pasar beras yang digalakkan, melainkan memperbesar volume subsidi pangan. Ketika ada subsidi pangan dalam bentuk beras, seharusnya tidak ada lagi operasi pasar beras. Saat keduanya berlaku terjadi double standard : subsidi umum dan subsidi terarah. Selain tidak adil bagi warga miskin, langkah standar ganda semacam ini bakal menguras anggaran yang besar.
Menjadi masalah karena kini pemerintah justru secara gradual menghapus subsidi pangan. Raskin yang berubah rastra diganti bantuan pangan nontunai (BPNT). Berbeda dengan raskin/rastra yang berbentuk natura 15 kg beras per bulan, dalam BPNT keluarga penerima manfaat (KPM) menerima transfer Rp110.000 per bulan dari bank yang ditunjuk. Uang hanya bisa dibelanjakan kebutuhan pokok, seperti beras, gula, telur di pengecer yang ditunjuk. Uang tidak bisa diambil tunai. Jika tidak habis, uang sisa di voucher bakal menjadi tabungan.
Meskipun diyakini akan lebih baik dan tepat sasaran, skema penyaluran baru ini masih menyisakan sejumlah masalah. Pertama , harga pangan di luar Jawa relatif tinggi dibandingkan di Jawa. Artinya, KPM di luar Jawa akan menerima manfaat lebih rendah ketimbang mereka yang di Jawa. Kedua , dengan harga beras medium Rp9.450/kg (di daerah produsen) dan Rp9.950 hingga Rp10.250/kg (di daerah kon-sumen), KPM hanya menerima beras setara 10,7 hingga 11,6 kg, lebih rendah dari raskin/rastra selama ini. Artinya, manfaat yang diterima KPM dalam BPNT lebih rendah dari raskin/rastra.
Ketiga, apabila pengecer yang ditunjuk tidak menjual beras dan pangan seperti yang dianjurkan, warga perlu menambah ongkos transportasi karena harus bolak-balik. Ini membuat manfaat juga lebih rendah. Keempat , besar bantuan sama, yakni Rp110.000 per KPM. Padahal, anggota keluarga tiap KPM beda. Idealnya, besar bantuan sesuai jumlah anggota keluarga. Kelima , siapa yang mengontrol bila setelah uang bantuan nontunai ditukar dengan pangan, lalu pa-ngan dijual untuk membeli rokok atau pulsa?
Dalam kondisi demikian, instrumen stabilisasi harga beras sepenuhnya tergantung pada cadangan beras pemerintah (CBP). Padahal, CBP harus hanya 350.000 ton atau setara kebutuhan konsumsi beras tiga hari. Di APBN 2018, anggaran CBP juga tidak diperbesar. CBP ini mustahil bisa jadi instrumen pengendali harga. Bisa dipahami apabila kemudian pemerintah mengandalkan operasi pasar sebagai jurus pengendali harga. Padahal, semua tahu efektivitas operasi pasar amat rendah. Buat apa operasi pasar beras?
OPERASI pasar masih jadi jurus andalan pemerintah untuk menekan harga-harga pangan. Dari sekian banyak komoditas, baru dua yang kini dilakukan operasi pasar: beras dan telur. Operasi pasar dilakukan serentak di sejumlah kota-kota besar di Indonesia. Pemerintah yakin operasi pasar bakal membuat harga-harga pangan kembali stabil. Selain untuk menjaga daya beli masyarakat, operasi pasar diyakini bisa menjinakkan inflasi.
Operasi pasar beras digelar sejak Oktober dan kian intensif menjelang Natal dan tahun baru 2018. Karena harga tidak kunjung turun, titik operasi pasar diperluas. Semula hanya 1.100 titik, Januari 2018 menjadi 1.800 titik, sesuai rekomen-dasi Kementerian Perdagangan. Untuk operasi pasar, Bulog menggunakan cadangan beras medium milik pemerintah (CBP) yang ada saat ini 260.000 ton. Beras operasi pasar dijual Rp8.100/kg, di bawah harga eceran tertinggi beras medium di wilayah produsen sebesar Rp9.450/kg.
Namun, dengan operasi pasar tak berarti masalah langsung selesai. Ibarat memadamkan kebakaran, apinya bisa saja mati, tetapi akar sumber api tidak tersentuh. Secara teori, tambahan pasokan beras ke pasar lewat operasi pasar akan membuat harga stabil, bahkan menurun. Pasokan dan permintaan yang seimbang akan membuat harga stabil. Tetapi teori itu tidak selalu berlaku. Pertama, keseimbangan supply-demand mensyaratkan kelancaran distribusi. Sumbatan distribusi membuat harga melentik tinggi.
Kedua, distribusi akan lancar apabila pemerintah memiliki informasi memadai tentang harga, pergerakan barang, dan gudang. Ketiga, supply-demand yang seimbang tak berarti apa-apa bila struktur pasar tak sehat dan ada posisi dominan.
Sejarah perberasan puluhan tahun di negeri ini mengajarkan, operasi pasar beras adalah instrumen jangka pendek. Tujuannya memengaruhi harga, tapi efektivitas dalam memengaruhi harga beras tergantung pada banyak hal: stok pedagang; stok pemerintah; volume, jenis dan harga beras yang digerojok di pasar; dan psikologi publik. Dengan satu jenis beras, yakni medium, mustahil operasi pasar bisa meredam harga seluruh jenis beras di pasar. Apalagi bila beras operasi pasar Bulog berasal dari stok lama. Di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, ada 17 jenis beras, sedangkan di kota lain ada 3-5 jenis beras.
Zaman Presiden Soeharto, operasi pasar menuai kritik. Karena itu, sejak 1998 operasi pasar beras ditinggalkan lalu diganti pendekatan subsidi terarah lewat beras untuk rakyat miskin (raskin), yang kemudian diubah jadi beras untuk keluarga prasejahtera sejahtera (rastra). Namun, sejak Presiden SBY dan Jokowi beleid operasi pasar kembali dipakai sebagai instrumen stabilisasi harga. Pemerintah sepertinya lupa operasi pasar beras tidak adil karena bukan cuma rakyat miskin yang merasakan manfaat, tapi kelompok kaya dan pedagang/pengecer juga bisa menikmatinya. Sebagai pemain, keterlibatan kelompok terakhir ini membuat operasi pasar tak efektif.
Operasi pasar beras akan efektif kalau volume beras yang digerejok ke pasar tidak terbatas jumlahnya dan siapa pun boleh membelinya, baik konsumen, pedagang, maupun pengecer. Apa tidak terjadi moral hazard ? Jika pasar diisi sampai jenuh, kecil peluang praktik penyalahgunaan. Namun, cara ini memerlukan biaya besar karena butuh stok beras yang besar pula. Dan yang lebih penting, cara ini tidak adil karena tidak jelas pemerintah mau membantu kelompok mana: kelompok miskin, kelompok kaya, atau kedua-duanya?
Kalau pemerintah kon-sisten, seharusnya bukan operasi pasar beras yang digalakkan, melainkan memperbesar volume subsidi pangan. Ketika ada subsidi pangan dalam bentuk beras, seharusnya tidak ada lagi operasi pasar beras. Saat keduanya berlaku terjadi double standard : subsidi umum dan subsidi terarah. Selain tidak adil bagi warga miskin, langkah standar ganda semacam ini bakal menguras anggaran yang besar.
Menjadi masalah karena kini pemerintah justru secara gradual menghapus subsidi pangan. Raskin yang berubah rastra diganti bantuan pangan nontunai (BPNT). Berbeda dengan raskin/rastra yang berbentuk natura 15 kg beras per bulan, dalam BPNT keluarga penerima manfaat (KPM) menerima transfer Rp110.000 per bulan dari bank yang ditunjuk. Uang hanya bisa dibelanjakan kebutuhan pokok, seperti beras, gula, telur di pengecer yang ditunjuk. Uang tidak bisa diambil tunai. Jika tidak habis, uang sisa di voucher bakal menjadi tabungan.
Meskipun diyakini akan lebih baik dan tepat sasaran, skema penyaluran baru ini masih menyisakan sejumlah masalah. Pertama , harga pangan di luar Jawa relatif tinggi dibandingkan di Jawa. Artinya, KPM di luar Jawa akan menerima manfaat lebih rendah ketimbang mereka yang di Jawa. Kedua , dengan harga beras medium Rp9.450/kg (di daerah produsen) dan Rp9.950 hingga Rp10.250/kg (di daerah kon-sumen), KPM hanya menerima beras setara 10,7 hingga 11,6 kg, lebih rendah dari raskin/rastra selama ini. Artinya, manfaat yang diterima KPM dalam BPNT lebih rendah dari raskin/rastra.
Ketiga, apabila pengecer yang ditunjuk tidak menjual beras dan pangan seperti yang dianjurkan, warga perlu menambah ongkos transportasi karena harus bolak-balik. Ini membuat manfaat juga lebih rendah. Keempat , besar bantuan sama, yakni Rp110.000 per KPM. Padahal, anggota keluarga tiap KPM beda. Idealnya, besar bantuan sesuai jumlah anggota keluarga. Kelima , siapa yang mengontrol bila setelah uang bantuan nontunai ditukar dengan pangan, lalu pa-ngan dijual untuk membeli rokok atau pulsa?
Dalam kondisi demikian, instrumen stabilisasi harga beras sepenuhnya tergantung pada cadangan beras pemerintah (CBP). Padahal, CBP harus hanya 350.000 ton atau setara kebutuhan konsumsi beras tiga hari. Di APBN 2018, anggaran CBP juga tidak diperbesar. CBP ini mustahil bisa jadi instrumen pengendali harga. Bisa dipahami apabila kemudian pemerintah mengandalkan operasi pasar sebagai jurus pengendali harga. Padahal, semua tahu efektivitas operasi pasar amat rendah. Buat apa operasi pasar beras?
(mhd)