Mereformasi Mindset Bank Kita
A
A
A
Raja Sapta Oktohari
Pengusaha, Ketua Dewan Pembina BPP Hipmi
BANK Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan kredit tahun ini pada kisaran 12-14%, sedikit di atas 10-12% dari tahun lalu. Berbeda dengan BI yang sedikit lebih optimistis, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mirip-mirip tahun lalu juga, memproyeksikan 11-12%, atau lebih tinggi sedikit 11,7% (2017). Menurut data statistik BI, kredit tumbuh 7,85% hingga September 2017. Angka itu menurun tipis 7,89% per Agustus 2017.
Berbeda dengan kredit, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan malah tumbuh tinggi sebesar 11,46% pada bulan sebelumnya. Sedikit aneh memang. Pada situasi normal semestinya kredit yang tumbuh lebih tinggi melampaui DPK.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan, perlambatan pertumbuhan kredit perbankan berpotensi menjadi penghalang pertumbuhan ekonomi tahun ini. Seperti diketahui, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4% di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.
Bukannya pesimistis, Menkeu sendiri telah melihat adanya gelagat kurang sedap tahun ini dari rendahnya kemampuan transmisi perbankan, utamanya di Kredit Modal Kerja (KMK) tahun 2017. Bila kinerja pertumbuhan KMK dan Kredit Investasi (KI) masih sama seperti tahun lalu, mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu pesimistis target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4% bakal tercapai.
Pertumbuhan kredit KMK dan KI diperkirakan sebesar 11 hingga 13% pada 2017. Sementara untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,4% tahun ini dibutuhkan tambahan kredit paling sedikit 13% hingga 15%.
Tren penurunan pertumbuhan kredit perbankan nasional sudah berjalan sejak 2011. Bahkan pada 2016, kredit hanya tumbuh satu digit. Beberapa faktor pencetus tren tersebut yakni krisis finansial yang melanda Amerika Serikat serta belum pulihnya ekonomi kawasan Eropa, yang mendorong permintaan komoditas andalan Indonesia ikut mengalami penurunan.
Situasi di atas membuat semua sektor ikut terpukul, sehingga daya beli masyarakat melemah. Hal ini tecermin dari konsumsi rumah tangga yang selalu tumbuh di bawah 5% sejak triwulan IV/2016. Bank-bank kecil yang masuk dalam Bank Kelompok Usaha (BUKU) I paling besar terkena dampaknya sehingga pertumbuhan kreditnya negatif.
Warisan Krisis 1998
Terlepas dari tren kredit di atas, situasi perekonomian tidak menjadi alasan tunggal pelemahan fungsi intermediasi perbankan. Salah satu penyebabnya regulator, regulasi, dan perbankan kita masih mewarisi pola pikir dan budaya pengetatan akibat krisis 1998.
Krisis 1998 memang ditandai oleh lemahnya fundamental industri perbankan yang sudah terakumulasi sejak beberapa tahun sebelumnya. Parahnya lagi, saat itu, kemampuan manajerial bank sangat rendah dan mengakibatkan penurunan kualitas aset produktif dan peningkatan risiko perbankan.
Dari sisi debitor (pengusaha dan korporasi), penyaluran kredit terasa begitu longgar tanpa mempertimbangkan reputasi debitor yang ketat sehingga telah mendorong tingginya kredit macet.
Di lain pihak, tagihan bank dalam bentuk kredit valuta asing, nilai ekuivalen rupiahnya dalam pembukuan bank juga mengalami kenaikan sehingga debitur yang bersangkutan tidak mampu membayar kembali hutangnya kepada bank. Akibatnya, bank-bank mengalami kesulitan untuk memenuhi penarikan dana oleh para krediturnya.
Melemahnya nilai tukar rupiah menjadi pemicu awal gelombang kesulitan likuiditas pada perbankan yang kemudian berlanjut sehingga kesulitan yang dialami perbankan makin bertambah besar. Pada saat itu, kredit macet (non performing loan /NPL) mencapai 30%.
Belajar dari krisis di atas, regulator dan perbankan kita kemudian melakukan pembenahan ke dalam industri. Parlemen, BI, dan pemerintah menopang sektor keuangan dengan regulasi berlapis-lapis mulai undang-undang (UU) sampai Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Berbagai sanksi keras telah dilakukan untuk mencegah pemberian kredit yang kurang wajar dan tidak sesuai dengan asas-asas perkreditan yang sehat. Terbentuknya OJK, atas perintah UU, salah satunya bertujuan untuk memperketat pengawasan terhadap industri perbankan.
Namun, krisis 1998 sudah selesai dan belum pernah lagi terulang krisis dengan skala dan magnitude serupa. Pernah ada krisis 2008, namun perbankan kita malah teruji sangat tangguh saat itu. Reformasi perbankan dinilai sukses. NPL saat itu tak sampai 5%. Kondisi kesehatan industri perbankan kita juga sudah sangat baik dan semakin membaik.
Reformasi Lanjutan
Sampai di sini, bisa dikatakan, sejak reformasi dan konsolidasi perbankan nasional 1999 digelar, industri keuangan kita sudah “menang banyak.” Perekonomian juga sudah semakin stabil, begitu pula dengan perpolitikan. Pada 2011-2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia berkisar USD878 miliar, dengan PDB per kapita USD3.550. Dalam periode tersebut, pertumbuhan ekonomi berada pada angka 6,4-7,5%.
Proyeksi ekonomi Indonesia pada 2015-2025 bisa lebih tinggi ketimbang sebelumnya. PDB Indonesia diperkirakan mencapai USD4,0 triliun hingga USD4,5 triliun. PDB per kapita optimistis dapat tembus USD14.250-15.500. Pertumbuhan ekonomi 2015-2025 juga diprediksi menyentuh 8,0-9,0%. Indonesia diperkirakan berada pada jajaran urutan GDP terbesar (nomor 9) dunia pada 2030 dan peringkat 4 pada 2050.
Di tengah kemajuan kinerja perbankan dan prospektifnya masa depan ekonomi kita, sayangnya stigma buruk kepada pengusaha–produk dari saat krisis 1998– belum juga tersingkir dari cara pandang para bankir dan regulasi dunia perbankan kita. Reputasi para pengusaha masih kerap dianggap sama seperti saat krisis 1998. Penilaian bankable company pun masih memakai standar-standar dan kriteria era krisis.
Di sinilah reformasi lanjutan di perbankan kita juga semakin mendesak. Di saat cara pandang perbankan kita masih belum berubah, berbagai inovasi dan paradigma baru sudah bermunculan. Saat ini, perusahaan yang sehat dan bukan lagi yang beraset besar, tetapi mereka yang memiliki customer based dan brand value yang tinggi.
Di sinilah para pengusaha atau perusahaan berprospek bagus kerap terhambat proses bankabilitasnya sebab lembaga keuangan kita masih keukeuh dengan kriteria-kriteria lamanya (zaman old). Para pengusaha oleh bank dianggap tidak compatible untuk me-leverage usaha, sebab bankir kita masih memakai rumusan dan kriteria lama dalam menyetujui proposal kredit.
Di luar perbankan sana, alam pikiran dunia usaha sudah berubah. Era industri tradisional yang berbasis aset sudah diganti kekuatan brand dan pelanggan (customer based). Fenomena perubahan ini tidak bisa dikesampingkan oleh perbankan kita, mengingat ke depan mereka ini akan menjadi penentu pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Perusahaan ritel berbasis jaringan toko telah tergantikan dengan e-commerce dengan aset jauh lebih rendah dan minim inventory. Kewirausahaan di Indonesia mulai didominasi oleh bidang teknologi dari bersifat software application, market place/e-commerce hingga yang berjenis Fintech.
Agen pertumbuhan memang masih didominasi oleh perbankan. Namun, bila reformasi dan inovasi terasa mandek di lembaga keuangan konvensional, maka tidak mengejutkan nanti bila peran peer to peer financing dalam pembiayaan usaha akan semakin membesar. Tantangan lain, reformasi maupun inovasi perbankan adalah operasional perbankan yang belum cukup efisien sehingga masih memberatkan debitor.
Efisiensi bank di Indonesia masih cukup rendah. Sebanyak 25 Bank mempunyai rasio biaya operasional dibanding pendapatan operasional atau BOPO di atas 95%. Bersamaan itu, perbankan mengambil bunga bersih atau NIM terlalu tinggi yakni, rata-rata di atas 5% bahkan untuk bank buku 4 masih di atas 6%. Beban inefisiensi dan NIM ini mesti ditanggung oleh pengusaha.
Di sinilah reformasi di perbankan kita menjadi sangat mendesak dan berkelanjutan. Saat ini, memperoleh pembiayaan ke sektor-sektor produktif jauh lebih susah. Sedangkan pembiayaan konsumtif malah aksesnya terbuka lebar sebab begitu gampang. Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kesulitan tertinggi mengakses Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi.
Sebaliknya, di negara kita sangat gampang untuk memperoleh kartu kredit, kredit tanpa agunan (KTA), kredit kepemilikan kendaraan (KKB), kredit kepemilikan rumah (KPR), kredit elektronik, kredit furnitur, dan sebagainya.
Pengusaha, Ketua Dewan Pembina BPP Hipmi
BANK Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan kredit tahun ini pada kisaran 12-14%, sedikit di atas 10-12% dari tahun lalu. Berbeda dengan BI yang sedikit lebih optimistis, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mirip-mirip tahun lalu juga, memproyeksikan 11-12%, atau lebih tinggi sedikit 11,7% (2017). Menurut data statistik BI, kredit tumbuh 7,85% hingga September 2017. Angka itu menurun tipis 7,89% per Agustus 2017.
Berbeda dengan kredit, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan malah tumbuh tinggi sebesar 11,46% pada bulan sebelumnya. Sedikit aneh memang. Pada situasi normal semestinya kredit yang tumbuh lebih tinggi melampaui DPK.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan, perlambatan pertumbuhan kredit perbankan berpotensi menjadi penghalang pertumbuhan ekonomi tahun ini. Seperti diketahui, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4% di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.
Bukannya pesimistis, Menkeu sendiri telah melihat adanya gelagat kurang sedap tahun ini dari rendahnya kemampuan transmisi perbankan, utamanya di Kredit Modal Kerja (KMK) tahun 2017. Bila kinerja pertumbuhan KMK dan Kredit Investasi (KI) masih sama seperti tahun lalu, mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu pesimistis target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4% bakal tercapai.
Pertumbuhan kredit KMK dan KI diperkirakan sebesar 11 hingga 13% pada 2017. Sementara untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,4% tahun ini dibutuhkan tambahan kredit paling sedikit 13% hingga 15%.
Tren penurunan pertumbuhan kredit perbankan nasional sudah berjalan sejak 2011. Bahkan pada 2016, kredit hanya tumbuh satu digit. Beberapa faktor pencetus tren tersebut yakni krisis finansial yang melanda Amerika Serikat serta belum pulihnya ekonomi kawasan Eropa, yang mendorong permintaan komoditas andalan Indonesia ikut mengalami penurunan.
Situasi di atas membuat semua sektor ikut terpukul, sehingga daya beli masyarakat melemah. Hal ini tecermin dari konsumsi rumah tangga yang selalu tumbuh di bawah 5% sejak triwulan IV/2016. Bank-bank kecil yang masuk dalam Bank Kelompok Usaha (BUKU) I paling besar terkena dampaknya sehingga pertumbuhan kreditnya negatif.
Warisan Krisis 1998
Terlepas dari tren kredit di atas, situasi perekonomian tidak menjadi alasan tunggal pelemahan fungsi intermediasi perbankan. Salah satu penyebabnya regulator, regulasi, dan perbankan kita masih mewarisi pola pikir dan budaya pengetatan akibat krisis 1998.
Krisis 1998 memang ditandai oleh lemahnya fundamental industri perbankan yang sudah terakumulasi sejak beberapa tahun sebelumnya. Parahnya lagi, saat itu, kemampuan manajerial bank sangat rendah dan mengakibatkan penurunan kualitas aset produktif dan peningkatan risiko perbankan.
Dari sisi debitor (pengusaha dan korporasi), penyaluran kredit terasa begitu longgar tanpa mempertimbangkan reputasi debitor yang ketat sehingga telah mendorong tingginya kredit macet.
Di lain pihak, tagihan bank dalam bentuk kredit valuta asing, nilai ekuivalen rupiahnya dalam pembukuan bank juga mengalami kenaikan sehingga debitur yang bersangkutan tidak mampu membayar kembali hutangnya kepada bank. Akibatnya, bank-bank mengalami kesulitan untuk memenuhi penarikan dana oleh para krediturnya.
Melemahnya nilai tukar rupiah menjadi pemicu awal gelombang kesulitan likuiditas pada perbankan yang kemudian berlanjut sehingga kesulitan yang dialami perbankan makin bertambah besar. Pada saat itu, kredit macet (non performing loan /NPL) mencapai 30%.
Belajar dari krisis di atas, regulator dan perbankan kita kemudian melakukan pembenahan ke dalam industri. Parlemen, BI, dan pemerintah menopang sektor keuangan dengan regulasi berlapis-lapis mulai undang-undang (UU) sampai Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Berbagai sanksi keras telah dilakukan untuk mencegah pemberian kredit yang kurang wajar dan tidak sesuai dengan asas-asas perkreditan yang sehat. Terbentuknya OJK, atas perintah UU, salah satunya bertujuan untuk memperketat pengawasan terhadap industri perbankan.
Namun, krisis 1998 sudah selesai dan belum pernah lagi terulang krisis dengan skala dan magnitude serupa. Pernah ada krisis 2008, namun perbankan kita malah teruji sangat tangguh saat itu. Reformasi perbankan dinilai sukses. NPL saat itu tak sampai 5%. Kondisi kesehatan industri perbankan kita juga sudah sangat baik dan semakin membaik.
Reformasi Lanjutan
Sampai di sini, bisa dikatakan, sejak reformasi dan konsolidasi perbankan nasional 1999 digelar, industri keuangan kita sudah “menang banyak.” Perekonomian juga sudah semakin stabil, begitu pula dengan perpolitikan. Pada 2011-2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia berkisar USD878 miliar, dengan PDB per kapita USD3.550. Dalam periode tersebut, pertumbuhan ekonomi berada pada angka 6,4-7,5%.
Proyeksi ekonomi Indonesia pada 2015-2025 bisa lebih tinggi ketimbang sebelumnya. PDB Indonesia diperkirakan mencapai USD4,0 triliun hingga USD4,5 triliun. PDB per kapita optimistis dapat tembus USD14.250-15.500. Pertumbuhan ekonomi 2015-2025 juga diprediksi menyentuh 8,0-9,0%. Indonesia diperkirakan berada pada jajaran urutan GDP terbesar (nomor 9) dunia pada 2030 dan peringkat 4 pada 2050.
Di tengah kemajuan kinerja perbankan dan prospektifnya masa depan ekonomi kita, sayangnya stigma buruk kepada pengusaha–produk dari saat krisis 1998– belum juga tersingkir dari cara pandang para bankir dan regulasi dunia perbankan kita. Reputasi para pengusaha masih kerap dianggap sama seperti saat krisis 1998. Penilaian bankable company pun masih memakai standar-standar dan kriteria era krisis.
Di sinilah reformasi lanjutan di perbankan kita juga semakin mendesak. Di saat cara pandang perbankan kita masih belum berubah, berbagai inovasi dan paradigma baru sudah bermunculan. Saat ini, perusahaan yang sehat dan bukan lagi yang beraset besar, tetapi mereka yang memiliki customer based dan brand value yang tinggi.
Di sinilah para pengusaha atau perusahaan berprospek bagus kerap terhambat proses bankabilitasnya sebab lembaga keuangan kita masih keukeuh dengan kriteria-kriteria lamanya (zaman old). Para pengusaha oleh bank dianggap tidak compatible untuk me-leverage usaha, sebab bankir kita masih memakai rumusan dan kriteria lama dalam menyetujui proposal kredit.
Di luar perbankan sana, alam pikiran dunia usaha sudah berubah. Era industri tradisional yang berbasis aset sudah diganti kekuatan brand dan pelanggan (customer based). Fenomena perubahan ini tidak bisa dikesampingkan oleh perbankan kita, mengingat ke depan mereka ini akan menjadi penentu pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Perusahaan ritel berbasis jaringan toko telah tergantikan dengan e-commerce dengan aset jauh lebih rendah dan minim inventory. Kewirausahaan di Indonesia mulai didominasi oleh bidang teknologi dari bersifat software application, market place/e-commerce hingga yang berjenis Fintech.
Agen pertumbuhan memang masih didominasi oleh perbankan. Namun, bila reformasi dan inovasi terasa mandek di lembaga keuangan konvensional, maka tidak mengejutkan nanti bila peran peer to peer financing dalam pembiayaan usaha akan semakin membesar. Tantangan lain, reformasi maupun inovasi perbankan adalah operasional perbankan yang belum cukup efisien sehingga masih memberatkan debitor.
Efisiensi bank di Indonesia masih cukup rendah. Sebanyak 25 Bank mempunyai rasio biaya operasional dibanding pendapatan operasional atau BOPO di atas 95%. Bersamaan itu, perbankan mengambil bunga bersih atau NIM terlalu tinggi yakni, rata-rata di atas 5% bahkan untuk bank buku 4 masih di atas 6%. Beban inefisiensi dan NIM ini mesti ditanggung oleh pengusaha.
Di sinilah reformasi di perbankan kita menjadi sangat mendesak dan berkelanjutan. Saat ini, memperoleh pembiayaan ke sektor-sektor produktif jauh lebih susah. Sedangkan pembiayaan konsumtif malah aksesnya terbuka lebar sebab begitu gampang. Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kesulitan tertinggi mengakses Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi.
Sebaliknya, di negara kita sangat gampang untuk memperoleh kartu kredit, kredit tanpa agunan (KTA), kredit kepemilikan kendaraan (KKB), kredit kepemilikan rumah (KPR), kredit elektronik, kredit furnitur, dan sebagainya.
(pur)