Benarkah Revolusi Belum Selesai?

Rabu, 10 Januari 2018 - 08:41 WIB
Benarkah Revolusi Belum...
Benarkah Revolusi Belum Selesai?
A A A
Hasto Wardoyo
Bupati Kulonprogo

"Revolusi belum se­le­sai", begitu pesan Bung Karno kepada ki­ta semua. Revolusi adalah se­buah inovasi yang disertai de­ngan mengubah mindset karena ha­­nyalah menjadi normal science ji­ka tidak mengubah mind­set mes­kipun ada inovasi (Tho­mas Kun, 1962).

Revolusi M­en­tal da­ri Presiden Joko W­i­do­­do adalah re­volusi yang pa­ling mendasar ka­rena mental itu sendiri sudah me­n­jadi ba­gi­an dari inti mindset se­hingga Re­vo­lusi Mental ada­lah meng­ubah substansi inti itu sen­diri jika revolusi itu men­g­ubah mindset.

Layaknya seorang ahli bio­logi yang melakukan rekayasa ge­ne­tik untuk mengubah DNA agar ber­ubah ekspresi semuanya.
Apakah status mentalitas bang­sa kita sudah tidak normal (pa­tologis) sehingga perlu di­ka­li­brasi melalui gerakan Revolusi Men­tal? Banyak bukti yang me­nun­jukkan masyarakat kita meng­a­lami gejala "gangguan men­tal emosional".

Gangguan ini bisa berupa waham, yaitu isi pi­kiran yang diyakini sendiri be­nar dan tidak bisa dikoreksi orang lain. Waham yang negatif bi­sa berupa waham curiga, hi­lang rasa ke­per­ca­ya­an/pa­ra­noid, waham kebesaran (me­ra­sa paling hebat). Gangguan men­tal ini bisa menjadi sumber eks­presi sosial, konflik sosial, dan bahkan bencana sosial.

Hari ini warga bisa selalu meng­atasnamakan masyara­kat banyak untuk melakukan tun­tutan kepada siapa pun yang ber­kuasa dengan bahasa "po­koke". Ketika tanahnya mau di­be­baskan untuk kepentingan umum bisa bilang pokoke tidak bo­leh. Ketika jalannya rusak po­koke harus di­ba­ngun sekarang.

Ka­­­lau tidak, me­re­­k­a meng­an­cam de­­ngan men­a­nam pohon pi­sang di tengah ja­lan. Begitu ju­ga ke­­tika pe­mim­pin­­nya ada ke­sa­­la­­h­an, pokoke ha­rus turun se­ka­rang juga. Pokoke ini bisa d­i­ter­je­mah­kan dengan ka­ta asal, ti­dak mau kompromi, ti­dak ada lo­gika dan musyawarah.

Po­­koke ini adalah con­­toh ekspresi wa­­­ham, mental yang patologis, se­­­dang­kan nor­mal­nya (fisio­lo­gis­­nya) bangsa ki­ta adalah bangsa yang sangat to­le­ran, suka ber­mu­s­yawarah, dan san­tun se­per­ti yang tertuang da­lam nilai-nilai Pancasila se­ba­gai nilai lu­hur bangsa.

Pemaksaan kehendak secara mas­sal tersebut bisa menjadi ke­d­iktatoran yang disebut de­ngan diktator proletar, yang ti­dak kalah bahayanya dengan dik­­tator kepemimpinan.

Waham dalam hal lain juga ter­jadi dalam menyikapi ma­sa­lah bantuan pemberdayaan, t­i­dak sedikit dana bergulir (PNPM Mandiri), pinjaman tan­pa agunan dari pemerintah yang macet, bantuan sapi, kam­bing bergulir yang habis, ban­tuan traktor yang tiba-tiba hi­lang. Ada waham bahwa semua ban­tuan jika dari pemerintah bi­sa diambil saja tanpa harus mem­pertanggungjawabkan.

Ini adalah gangguan mental yang sangat patologis dalam ba­hasa kedokterannya klept­o­ma­nia (tidak bisa menahan diri u­n­tuk mengambil yang bukan hak­nya). Ini menjadi sumber ko­rup­si di semua kalangan, tidak ter­kecuali masyarakat bawah ju­ga bisa menjadi koruptor pro­le­tar.

Di bidang demokrasi juga sa­ngat dirasakan ada patologi me­ntal terkait dengan budaya p­olitik uang, baik pelaku po­li­tik­nya maupun warga ma­sya­ra­kat­nya. Sehingga, memilih yang mem­bayar dan membayar yang me­milih dikenal dengan politik w­a­ni piro (berani berapa) ini sa­ngat merusak tatanan d­e­mo­kra­si itu sendiri.

Diktator proletar, koruptor pro­letar, dan politik uang se­mua­­nya adalah hasil dari eks­presi jiwa yang ber­sumber dari gang­­guan men­tal emosional ma­­­sya­­rakat. Se­bab dan proses awal ter­jadinya per­­ubah­an kon­di­­si men­tal yang nor­­mal (fis­io­lo­gis) men­jadi ab­nor­­­mal/p­a­to­lo­gis ( ini­tial process of pa­thology) me­mang mem­bu­tuh­kan kajian yang tidak se­der­ha­na ( root cause ana­­lysis).

Idea­l­nya, kita harus bi­sa me­n­je­las­kan me­kanisme ter­­j­a­di­nya per­ubah­an dari ko­n­di­­si fisiologis men­jadi pato­lo­gis ini yang di­ke­nal dengan is­ti­lah pa­tofisiologis, sebelum m­e­la­­ku­kan "treatment ".

Banyak sekali hipotesis (d­u­ga­an) akar penyebab gangguan men­tal tersebut. Bisa mulai dari ma­sih banyak pejabat yang ko­rup­­si sehingga membuat rakyat ti­d­ak percaya dan frustrasi, para po­litisi yang hanya meng­gu­na­kan low politic, politik uang dan prag­matisme, sampai dengan ada reformasi kebablasan yang bi­sa menjadi penyebab diktator pro­letar, koruptor proletar, dan po­litik uang.

Revolusi Mental menjadi satu-satunya harapan sebagai te­r­api pilihan yang ber­spek­trum luas (mengatasi banyak pe­nyebab patologi mental). Se­ca­ra teknis banyak dimensi prog­ram yang bisa di­kem­bang­kan untuk melaksanakan ge­rak­an Revolusi Mental.

Tiga hal pen­ting yang tidak boleh dil­u­pa­kan dalam materi gerakan Re­vo­lusi Mental adalah, per­ta­ma, pengamalan Pancasila; ke­dua, gerakan hidup sederhana, ti­d­ak konsumtif; dan ketiga, g­e­rak­an kejujuran bagi semua. Kh­u­sus untuk para pemimpin ha­rus bermental layaknya se­orang pahlawan yang selalu hi­dup sederhana, niat ikhlas men­jadi pelayan, dan harus visioner.

Revolusi harus kita la­ku­kan ti­­dak sekadar inovasi, re­vo­lusi ha­­rus didasari pada ke­inginan yang kuat untuk ber­lomba-lom­­ba dalam kebaikan se­h­ing­ga de­ngan revolusi, ma­ka hari esok akan selalu lebih baik dari sekarang.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0998 seconds (0.1#10.140)