Benarkah Revolusi Belum Selesai?
A
A
A
Hasto Wardoyo
Bupati Kulonprogo
"Revolusi belum selesai", begitu pesan Bung Karno kepada kita semua. Revolusi adalah sebuah inovasi yang disertai dengan mengubah mindset karena hanyalah menjadi normal science jika tidak mengubah mindset meskipun ada inovasi (Thomas Kun, 1962).
Revolusi Mental dari Presiden Joko Widodo adalah revolusi yang paling mendasar karena mental itu sendiri sudah menjadi bagian dari inti mindset sehingga Revolusi Mental adalah mengubah substansi inti itu sendiri jika revolusi itu mengubah mindset.
Layaknya seorang ahli biologi yang melakukan rekayasa genetik untuk mengubah DNA agar berubah ekspresi semuanya.
Apakah status mentalitas bangsa kita sudah tidak normal (patologis) sehingga perlu dikalibrasi melalui gerakan Revolusi Mental? Banyak bukti yang menunjukkan masyarakat kita mengalami gejala "gangguan mental emosional".
Gangguan ini bisa berupa waham, yaitu isi pikiran yang diyakini sendiri benar dan tidak bisa dikoreksi orang lain. Waham yang negatif bisa berupa waham curiga, hilang rasa kepercayaan/paranoid, waham kebesaran (merasa paling hebat). Gangguan mental ini bisa menjadi sumber ekspresi sosial, konflik sosial, dan bahkan bencana sosial.
Hari ini warga bisa selalu mengatasnamakan masyarakat banyak untuk melakukan tuntutan kepada siapa pun yang berkuasa dengan bahasa "pokoke". Ketika tanahnya mau dibebaskan untuk kepentingan umum bisa bilang pokoke tidak boleh. Ketika jalannya rusak pokoke harus dibangun sekarang.
Kalau tidak, mereka mengancam dengan menanam pohon pisang di tengah jalan. Begitu juga ketika pemimpinnya ada kesalahan, pokoke harus turun sekarang juga. Pokoke ini bisa diterjemahkan dengan kata asal, tidak mau kompromi, tidak ada logika dan musyawarah.
Pokoke ini adalah contoh ekspresi waham, mental yang patologis, sedangkan normalnya (fisiologisnya) bangsa kita adalah bangsa yang sangat toleran, suka bermusyawarah, dan santun seperti yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasila sebagai nilai luhur bangsa.
Pemaksaan kehendak secara massal tersebut bisa menjadi kediktatoran yang disebut dengan diktator proletar, yang tidak kalah bahayanya dengan diktator kepemimpinan.
Waham dalam hal lain juga terjadi dalam menyikapi masalah bantuan pemberdayaan, tidak sedikit dana bergulir (PNPM Mandiri), pinjaman tanpa agunan dari pemerintah yang macet, bantuan sapi, kambing bergulir yang habis, bantuan traktor yang tiba-tiba hilang. Ada waham bahwa semua bantuan jika dari pemerintah bisa diambil saja tanpa harus mempertanggungjawabkan.
Ini adalah gangguan mental yang sangat patologis dalam bahasa kedokterannya kleptomania (tidak bisa menahan diri untuk mengambil yang bukan haknya). Ini menjadi sumber korupsi di semua kalangan, tidak terkecuali masyarakat bawah juga bisa menjadi koruptor proletar.
Di bidang demokrasi juga sangat dirasakan ada patologi mental terkait dengan budaya politik uang, baik pelaku politiknya maupun warga masyarakatnya. Sehingga, memilih yang membayar dan membayar yang memilih dikenal dengan politik wani piro (berani berapa) ini sangat merusak tatanan demokrasi itu sendiri.
Diktator proletar, koruptor proletar, dan politik uang semuanya adalah hasil dari ekspresi jiwa yang bersumber dari gangguan mental emosional masyarakat. Sebab dan proses awal terjadinya perubahan kondisi mental yang normal (fisiologis) menjadi abnormal/patologis ( initial process of pathology) memang membutuhkan kajian yang tidak sederhana ( root cause analysis).
Idealnya, kita harus bisa menjelaskan mekanisme terjadinya perubahan dari kondisi fisiologis menjadi patologis ini yang dikenal dengan istilah patofisiologis, sebelum melakukan "treatment ".
Banyak sekali hipotesis (dugaan) akar penyebab gangguan mental tersebut. Bisa mulai dari masih banyak pejabat yang korupsi sehingga membuat rakyat tidak percaya dan frustrasi, para politisi yang hanya menggunakan low politic, politik uang dan pragmatisme, sampai dengan ada reformasi kebablasan yang bisa menjadi penyebab diktator proletar, koruptor proletar, dan politik uang.
Revolusi Mental menjadi satu-satunya harapan sebagai terapi pilihan yang berspektrum luas (mengatasi banyak penyebab patologi mental). Secara teknis banyak dimensi program yang bisa dikembangkan untuk melaksanakan gerakan Revolusi Mental.
Tiga hal penting yang tidak boleh dilupakan dalam materi gerakan Revolusi Mental adalah, pertama, pengamalan Pancasila; kedua, gerakan hidup sederhana, tidak konsumtif; dan ketiga, gerakan kejujuran bagi semua. Khusus untuk para pemimpin harus bermental layaknya seorang pahlawan yang selalu hidup sederhana, niat ikhlas menjadi pelayan, dan harus visioner.
Revolusi harus kita lakukan tidak sekadar inovasi, revolusi harus didasari pada keinginan yang kuat untuk berlomba-lomba dalam kebaikan sehingga dengan revolusi, maka hari esok akan selalu lebih baik dari sekarang.
Bupati Kulonprogo
"Revolusi belum selesai", begitu pesan Bung Karno kepada kita semua. Revolusi adalah sebuah inovasi yang disertai dengan mengubah mindset karena hanyalah menjadi normal science jika tidak mengubah mindset meskipun ada inovasi (Thomas Kun, 1962).
Revolusi Mental dari Presiden Joko Widodo adalah revolusi yang paling mendasar karena mental itu sendiri sudah menjadi bagian dari inti mindset sehingga Revolusi Mental adalah mengubah substansi inti itu sendiri jika revolusi itu mengubah mindset.
Layaknya seorang ahli biologi yang melakukan rekayasa genetik untuk mengubah DNA agar berubah ekspresi semuanya.
Apakah status mentalitas bangsa kita sudah tidak normal (patologis) sehingga perlu dikalibrasi melalui gerakan Revolusi Mental? Banyak bukti yang menunjukkan masyarakat kita mengalami gejala "gangguan mental emosional".
Gangguan ini bisa berupa waham, yaitu isi pikiran yang diyakini sendiri benar dan tidak bisa dikoreksi orang lain. Waham yang negatif bisa berupa waham curiga, hilang rasa kepercayaan/paranoid, waham kebesaran (merasa paling hebat). Gangguan mental ini bisa menjadi sumber ekspresi sosial, konflik sosial, dan bahkan bencana sosial.
Hari ini warga bisa selalu mengatasnamakan masyarakat banyak untuk melakukan tuntutan kepada siapa pun yang berkuasa dengan bahasa "pokoke". Ketika tanahnya mau dibebaskan untuk kepentingan umum bisa bilang pokoke tidak boleh. Ketika jalannya rusak pokoke harus dibangun sekarang.
Kalau tidak, mereka mengancam dengan menanam pohon pisang di tengah jalan. Begitu juga ketika pemimpinnya ada kesalahan, pokoke harus turun sekarang juga. Pokoke ini bisa diterjemahkan dengan kata asal, tidak mau kompromi, tidak ada logika dan musyawarah.
Pokoke ini adalah contoh ekspresi waham, mental yang patologis, sedangkan normalnya (fisiologisnya) bangsa kita adalah bangsa yang sangat toleran, suka bermusyawarah, dan santun seperti yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasila sebagai nilai luhur bangsa.
Pemaksaan kehendak secara massal tersebut bisa menjadi kediktatoran yang disebut dengan diktator proletar, yang tidak kalah bahayanya dengan diktator kepemimpinan.
Waham dalam hal lain juga terjadi dalam menyikapi masalah bantuan pemberdayaan, tidak sedikit dana bergulir (PNPM Mandiri), pinjaman tanpa agunan dari pemerintah yang macet, bantuan sapi, kambing bergulir yang habis, bantuan traktor yang tiba-tiba hilang. Ada waham bahwa semua bantuan jika dari pemerintah bisa diambil saja tanpa harus mempertanggungjawabkan.
Ini adalah gangguan mental yang sangat patologis dalam bahasa kedokterannya kleptomania (tidak bisa menahan diri untuk mengambil yang bukan haknya). Ini menjadi sumber korupsi di semua kalangan, tidak terkecuali masyarakat bawah juga bisa menjadi koruptor proletar.
Di bidang demokrasi juga sangat dirasakan ada patologi mental terkait dengan budaya politik uang, baik pelaku politiknya maupun warga masyarakatnya. Sehingga, memilih yang membayar dan membayar yang memilih dikenal dengan politik wani piro (berani berapa) ini sangat merusak tatanan demokrasi itu sendiri.
Diktator proletar, koruptor proletar, dan politik uang semuanya adalah hasil dari ekspresi jiwa yang bersumber dari gangguan mental emosional masyarakat. Sebab dan proses awal terjadinya perubahan kondisi mental yang normal (fisiologis) menjadi abnormal/patologis ( initial process of pathology) memang membutuhkan kajian yang tidak sederhana ( root cause analysis).
Idealnya, kita harus bisa menjelaskan mekanisme terjadinya perubahan dari kondisi fisiologis menjadi patologis ini yang dikenal dengan istilah patofisiologis, sebelum melakukan "treatment ".
Banyak sekali hipotesis (dugaan) akar penyebab gangguan mental tersebut. Bisa mulai dari masih banyak pejabat yang korupsi sehingga membuat rakyat tidak percaya dan frustrasi, para politisi yang hanya menggunakan low politic, politik uang dan pragmatisme, sampai dengan ada reformasi kebablasan yang bisa menjadi penyebab diktator proletar, koruptor proletar, dan politik uang.
Revolusi Mental menjadi satu-satunya harapan sebagai terapi pilihan yang berspektrum luas (mengatasi banyak penyebab patologi mental). Secara teknis banyak dimensi program yang bisa dikembangkan untuk melaksanakan gerakan Revolusi Mental.
Tiga hal penting yang tidak boleh dilupakan dalam materi gerakan Revolusi Mental adalah, pertama, pengamalan Pancasila; kedua, gerakan hidup sederhana, tidak konsumtif; dan ketiga, gerakan kejujuran bagi semua. Khusus untuk para pemimpin harus bermental layaknya seorang pahlawan yang selalu hidup sederhana, niat ikhlas menjadi pelayan, dan harus visioner.
Revolusi harus kita lakukan tidak sekadar inovasi, revolusi harus didasari pada keinginan yang kuat untuk berlomba-lomba dalam kebaikan sehingga dengan revolusi, maka hari esok akan selalu lebih baik dari sekarang.
(nag)