Memersepsikan DPR yang Kontributif dan Produktif
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua Komisi III DPR RI/ Sekretaris Fraksi Partai Golkar 2014-2016
KONTRIBUSI dan produktivitas DPR RI selama ini telanjur dibenamkan persepsi negatif yang sudah lama terbentuk. Sinisme itu tampak sulit diperbaiki karena rendahnya derajat sensitivitas berbagai elemen di DPR menyikapi kritik dan kecaman publik. DPR harus segera berevolusi menjadi institusi yang kontributif dan produktif mengingat peran dan fungsinya signifikan. Baik sebagai pembuat undang-undang, penyusun anggaran negara maupun sebagai pengawas jalannya pemerintahan.
Sudah sangat jelas bahwa DPR yang kontributif dan produktif pada semua tahapan dan proses pembangunan nasional adalah harapan seluruh rakyat. Kontributif dalam arti menyuarakan dan gigih memperjuangkan aspirasi konstituen dalam forum rapat Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Sebab pada setiap anggota DPR melekat asumsi bahwa dia paling tahu apa yang paling dibutuhkan daerah pemilihannya. Sebagai institusi, publik pun berharap agar DPR semakin produktif menjalankan fungsi dan kerja legislasi. Bangsa ini tak bisa mengelak dari perubahan zaman yang berkelanjutan. Perubahan zaman itu tak pelak mengubah banyak aspek dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan hidup bermasyarakat. Ragam perundang-undangan harus segera beradaptasi dengan perubahan-perubahan itu.
Dalam konteks ini, selain gagasan dari pemerintah, inisiatif DPR pun tentu saja sangat diharapkan. Tidak cukup berinisiatif, DPR pun wajib menuntaskan perumusan rancangan undang-undang (RUU) untuk diundangkan. Tidak berarti selama ini DPR tidak berbuat. Sudah menjadi fakta bahwa DPR telah berkontribusi. Namun publik menilai kontribusi DPR sejauh ini masih sangat-sangat minimal. Contohnya target penyelesaian program legislasi nasional (prolegnas) sudah berulang kali meleset.
DPR pun dinilai tidak produktif. Muncul kesan bahwa produktivitas DPR rendah karena banyak anggota DPR lebih sibuk menjalani lakon sebagai pelaku politik praktis dan menomorduakan fungsinya sebagai wakil rakyat dan legislator. Tingkat kehadiran anggota pada rapat-rapat AKD terbilang rendah dengan alasan yang tidak pernah jelas. Dari sudut pandang ini, muncul penilaian bahwa DPR sebagai institusi tidak pandai dan tidak arif dalam mengelola waktu.
Dari kecenderungan itulah lahir persepsi negatif terhadap DPR. Jangan lupa bahwa persepsi negatif sudah terbentuk puluhan tahun. Di masa lalu, ketika parlemen "dipaksa" menerapkan demokrasi terpimpin, DPR sering diolok-olok dengan lima kata berhuruf awal D (5D), yakni datang, duduk, diam, dengar, duit. Memasuki era Reformasi sekarang, DPR dituding sebagai salah satu institusi korup. Hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) yang disusun Transparency International pernah menyimpulkan bahwa masyarakat sudah menilai DPR sebagai lembaga negara paling korup. Survei GCB yang dilaksanakan pada periode April-Juni 2016 di 31 provinsi itu dipublikasikan pada pekan pertama Maret 2017.
Ketika masyarakat menghujani DPR dengan kritik dan kecaman, itu pertanda bahwa masyarakat masih sangat peduli kepada DPR. Masyarakat masih berkeyakinan bahwa jika berkeinginan kuat, DPR bisa menjadi institusi negara yang kontributif dan produktif. Kinerja yang mumpuni bisa diwujudkan jika DPR berani melakukan perubahan dan pembaruan sebagaimana perubahan dan pembaruan yang coba terus dilakukan pemerintah pusat, sejumlah institusi negara, dan sejumlah pemerintah daerah.
Progres perubahan dan pembaruan yang diupayakan pemerintah pusat setidaknya bisa dilihat dari tingkat kepuasan publik atas kinerja tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla. Hasil survei oleh sejumlah lembaga memperlihatkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah terbilang tinggi, mendekati angka 70% (hasil survei Kompas 70,8%, survei SMRC 68%, survei Indikator 68,3%, dan hasil survei Poltracking 67,9%).
Sejumlah sosok kepala daerah juga menjadi sangat populer karena kinerja kepemimpinan mereka mendapatkan apresiasi yang sangat tinggi dari masyarakat. Apresiasi yang tinggi itu diraih Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Konsistensi Polri melaksanakan reformasi internal pun mulai membuahkan hasil. Tidak seperti tahun-tahun terdahulu, Polri kini tidak lagi menyandang status institusi terkorup.
Kinerja mumpuni dan proses perbaikan citra itu bisa dicapai dan berproses karena hadirnya sensitivitas para pimpinan institusi dalam menyikapi pandangan, kritik, dan kecaman publik. Sensitivitas itu kemudian memicu semangat dan konsistensi melakukan perubahan dan pembaruan cara kerja internal dalam melayani publik.
Budaya kerja lama yang lelet, koruptif, dan berbelit-belit ditinggalkan, kemudian diperbarui dengan mekanisme kerja yang semakin efisien dan efektif. Tidak hanya puas, tetapi publik pun merasa bangga dan nyaman karena aparatur negara dan daerah mengutamakan pelayanan. Memang di sana-sini masih ditemukan penyimpangan perilaku oknum aparatur negara maupun daerah, tetapi kasus-kasus yang demikian tidak mengurangi keyakinan publik terhadap upaya dan semangat melakukan reformasi birokrasi.
Dengan begitu ada sejumlah fenomena yang mengindikasikan Indonesia sedang mengarungi arus perubahan dan pembaruan. Momentum ini jangan sampai disia-siakan oleh semua institusi negara, termasuk DPR. Salah satu indikator perubahan dan pembaruan paling mencolok adalah kebijakan politik pembangunan yang berpijak pada filosofi Indonesia sentris. Politik pembangunan ini sangat strategis karena negara berupaya keras membangun dari batas terluar, melengkapi semua pulau dengan ragam infrastruktur, mengalirkan dana pembangunan sampai ke desa (dana desa) hingga politik satu harga untuk komoditas bahan bakar minyak.
Maka sekarang adalah momentum bagi DPR untuk masuk dan ikut dalam arus perubahan dan pembaruan itu. Harus tumbuh semangat meningkatkan kinerja untuk kerja legislasi. Demikian pula untuk fungsi penganggaran (budgeting ). Kewajiban DPR mengkritisi semua institusi pemerintah (kementerian dan lembaga atau K/L) harus tetap dijalankan. Pemerintah butuh kritik yang konstruktif. Tanpa mengurangi fungsi pengawasan, DPR juga harus mengharmonisasi kemitraan antara komisi-komisi di DPR dan semua K/L. Negara butuh penguatan sinergi antara DPR dan pemerintah.
Transparansi Pembahasan RUU Tahun 2018 ini memang sarat kegiatan politik. Tidak hanya berkait dengan pelaksanaan pilkada serentak di 171 daerah pemilihan pada Juni 2017, tetapi juga kebutuhan partai politik dan politisi melakukan konsolidasi menuju agenda pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden pada 2019. Kendati sarat dengan agenda politik, rakyat tetap berharap DPR bisa fokus pada tugas dan fungsinya. Jangan sampai semua agenda politik itu menempatkan DPR dalam posisi dilematis.
Sebagaimana disepakati Baleg DPR dengan Menkumham Yasonna Laoly, DPR dan pemerintah pada November 2017 sudah memutuskan 50 rancangan undang-undang (RUU) masuk dalam Prolegnas 2018 prioritas, termasuk menuntaskan RUU MD3 yang selama ini tertunda. DPR mengajukan 31 RUU, pemerintah mengajukan 16 RUU, dan DPD mengusulkan 3 RUU. Ada sejumlah RUU yang pada tahap pembahasannya nanti akan mengundang perhatian publik, bahkan kemungkinan menjadi topik debat terbuka.
Bisa dipastikan bahwa pembahasan atas RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) akan menyita perhatian berbagai elemen masyarakat karena RUU ini merefleksikan langkah progresif pemerintah memperluas basis pajak dan transparansi. Apalagi RUU ini memuat rencana pemerintah memungut pajak bagi pelaku bisnis online dari dalam maupun luar negeri. Adapun para pemerhati, pegiat hak asasi manusia (HAM), dan praktisi hukum akan menyoroti pembahasan 8 RUU yang mengatur kebijakan kriminal.
Hal itu meliputi RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, RUU tentang Penyadapan, RUU tentang Narkotika dan Psikotropika, serta RUU tentang Pemasyarakatan. Pembahasan kedelapan RUU dimaksud akan menghadirkan banyak perdebatan. Selain karena 8 RUU itu mencerminkan dimulainya reformasi hukum pidana dan hukum acara pidana, juga karena muatan semua RUU itu bersinggungan langsung dengan prinsip-prinsip HAM. Semua elemen masyarakat tentu berkepentingan dengan 8 RUU itu.
Agar semua pihak merasa diperlakukan adil, DPR perlu mengundang dan mendengarkan pendapat dan masukan dari berbagai kalangan terhadap RUU yang sedang dibahas. Berikan akses seluas-luasnya bagi publik untuk mengetahui proses pembahasan pasal demi pasal. Jangan lagi pembahasan RUU dilakukan secara tertutup karena muatan RUU selalu bersinggungan dengan hak dan kewajiban semua individu tanpa terkecuali. Karena pembahasan 50 RUU itu diagendakan pada tahun politik ini, muncul pertanyaan, apakah semuanya bisa diselesaikan? Masalahnya terpulang kepada DPR. Masyarakat yakin bahwa jika bijaksana dalam mengelola beban kerja dan alokasi waktu, DPR akan bisa menyelesaikan pembahasan 50 RUU itu. Inilah tantangan dan harapan masyarakat.
Penguatan Sinergi Rakyat juga berharap DPR bisa memberi kontribusi yang signifikan dalam upaya membangun dan meningkatkan konektivitas yang sedang diwujudkan dengan membangun infrastruktur jalan, perkeretaapian, bandar udara, pelabuhan, bendungan, dan irigasi. Selain itu negara sedang berupaya meningkatkan elektrifikasi nasional serta memperluas dan meningkatkan efektivitas jaringan telekomunikasi. Upaya meningkatkan konektivitas bertujuan menekan biaya logistik agar produk dalam negeri kompetitif. Untuk mewujudkan tujuan itu, pemerintah telah menetapkan 245 proyek strategis nasional (PSN). Dari jumlah itu, 37 di antaranya ditetapkan sebagai proyek prioritas.
Pemerintah pun sudah mengakui bahwa realisasi proyek-proyek PSN itu tidak mudah. Selain persoalan pendanaan proyek, ada dua masalah lain yang tidak kalah rumitnya, yakni masalah pembebasan lahan dan soal koordinasi lintas sektoral maupun koordinasi pusat dan daerah. Untuk menghadapi kesulitan-kesulitan ini, DPR diharapkan dapat membantu pemerintah dengan menawarkan alternatif penyelesaian masalah.
Realisasi proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung tersendat-sendat karena lahan yang dibutuhkan belum cukup tersedia. Realisasi pembangunan sejumlah ruas jalan tol pun sering kali tidak mulus karena masalah pembebasan lahan. Telah diungkapkan bahwa pengadaan lahan sering menjadi masalah karena alokasi dana tidak mencukupi. Pemerintah tentu butuh sumbang saran dari DPR untuk mengatasi masalah seperti ini. Selain itu belum efektifnya koordinasi lintas sektoral dan koordinasi antara pusat dan daerah juga masih menjadi persoalan dalam pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Koordinasi yang belum efektif itu bahkan bisa menimbulkan gangguan sejak perencanaan proyek. Menghadapi persoalan ini, ada yang bisa dilakukan DPR untuk membantu pemerintah.
Upaya mewujudkan konektivitas menggambarkan betapa sibuk Indonesia dewasa ini. Idealnya DPR juga mengambil bagian dalam kesibukan itu agar terbentuk persepsi di benak publik tentang DPR yang kontributif dan produktif. Selamat Tahun Baru, semoga 2018 lebih baik.
Ketua Komisi III DPR RI/ Sekretaris Fraksi Partai Golkar 2014-2016
KONTRIBUSI dan produktivitas DPR RI selama ini telanjur dibenamkan persepsi negatif yang sudah lama terbentuk. Sinisme itu tampak sulit diperbaiki karena rendahnya derajat sensitivitas berbagai elemen di DPR menyikapi kritik dan kecaman publik. DPR harus segera berevolusi menjadi institusi yang kontributif dan produktif mengingat peran dan fungsinya signifikan. Baik sebagai pembuat undang-undang, penyusun anggaran negara maupun sebagai pengawas jalannya pemerintahan.
Sudah sangat jelas bahwa DPR yang kontributif dan produktif pada semua tahapan dan proses pembangunan nasional adalah harapan seluruh rakyat. Kontributif dalam arti menyuarakan dan gigih memperjuangkan aspirasi konstituen dalam forum rapat Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Sebab pada setiap anggota DPR melekat asumsi bahwa dia paling tahu apa yang paling dibutuhkan daerah pemilihannya. Sebagai institusi, publik pun berharap agar DPR semakin produktif menjalankan fungsi dan kerja legislasi. Bangsa ini tak bisa mengelak dari perubahan zaman yang berkelanjutan. Perubahan zaman itu tak pelak mengubah banyak aspek dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan hidup bermasyarakat. Ragam perundang-undangan harus segera beradaptasi dengan perubahan-perubahan itu.
Dalam konteks ini, selain gagasan dari pemerintah, inisiatif DPR pun tentu saja sangat diharapkan. Tidak cukup berinisiatif, DPR pun wajib menuntaskan perumusan rancangan undang-undang (RUU) untuk diundangkan. Tidak berarti selama ini DPR tidak berbuat. Sudah menjadi fakta bahwa DPR telah berkontribusi. Namun publik menilai kontribusi DPR sejauh ini masih sangat-sangat minimal. Contohnya target penyelesaian program legislasi nasional (prolegnas) sudah berulang kali meleset.
DPR pun dinilai tidak produktif. Muncul kesan bahwa produktivitas DPR rendah karena banyak anggota DPR lebih sibuk menjalani lakon sebagai pelaku politik praktis dan menomorduakan fungsinya sebagai wakil rakyat dan legislator. Tingkat kehadiran anggota pada rapat-rapat AKD terbilang rendah dengan alasan yang tidak pernah jelas. Dari sudut pandang ini, muncul penilaian bahwa DPR sebagai institusi tidak pandai dan tidak arif dalam mengelola waktu.
Dari kecenderungan itulah lahir persepsi negatif terhadap DPR. Jangan lupa bahwa persepsi negatif sudah terbentuk puluhan tahun. Di masa lalu, ketika parlemen "dipaksa" menerapkan demokrasi terpimpin, DPR sering diolok-olok dengan lima kata berhuruf awal D (5D), yakni datang, duduk, diam, dengar, duit. Memasuki era Reformasi sekarang, DPR dituding sebagai salah satu institusi korup. Hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) yang disusun Transparency International pernah menyimpulkan bahwa masyarakat sudah menilai DPR sebagai lembaga negara paling korup. Survei GCB yang dilaksanakan pada periode April-Juni 2016 di 31 provinsi itu dipublikasikan pada pekan pertama Maret 2017.
Ketika masyarakat menghujani DPR dengan kritik dan kecaman, itu pertanda bahwa masyarakat masih sangat peduli kepada DPR. Masyarakat masih berkeyakinan bahwa jika berkeinginan kuat, DPR bisa menjadi institusi negara yang kontributif dan produktif. Kinerja yang mumpuni bisa diwujudkan jika DPR berani melakukan perubahan dan pembaruan sebagaimana perubahan dan pembaruan yang coba terus dilakukan pemerintah pusat, sejumlah institusi negara, dan sejumlah pemerintah daerah.
Progres perubahan dan pembaruan yang diupayakan pemerintah pusat setidaknya bisa dilihat dari tingkat kepuasan publik atas kinerja tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla. Hasil survei oleh sejumlah lembaga memperlihatkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah terbilang tinggi, mendekati angka 70% (hasil survei Kompas 70,8%, survei SMRC 68%, survei Indikator 68,3%, dan hasil survei Poltracking 67,9%).
Sejumlah sosok kepala daerah juga menjadi sangat populer karena kinerja kepemimpinan mereka mendapatkan apresiasi yang sangat tinggi dari masyarakat. Apresiasi yang tinggi itu diraih Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Konsistensi Polri melaksanakan reformasi internal pun mulai membuahkan hasil. Tidak seperti tahun-tahun terdahulu, Polri kini tidak lagi menyandang status institusi terkorup.
Kinerja mumpuni dan proses perbaikan citra itu bisa dicapai dan berproses karena hadirnya sensitivitas para pimpinan institusi dalam menyikapi pandangan, kritik, dan kecaman publik. Sensitivitas itu kemudian memicu semangat dan konsistensi melakukan perubahan dan pembaruan cara kerja internal dalam melayani publik.
Budaya kerja lama yang lelet, koruptif, dan berbelit-belit ditinggalkan, kemudian diperbarui dengan mekanisme kerja yang semakin efisien dan efektif. Tidak hanya puas, tetapi publik pun merasa bangga dan nyaman karena aparatur negara dan daerah mengutamakan pelayanan. Memang di sana-sini masih ditemukan penyimpangan perilaku oknum aparatur negara maupun daerah, tetapi kasus-kasus yang demikian tidak mengurangi keyakinan publik terhadap upaya dan semangat melakukan reformasi birokrasi.
Dengan begitu ada sejumlah fenomena yang mengindikasikan Indonesia sedang mengarungi arus perubahan dan pembaruan. Momentum ini jangan sampai disia-siakan oleh semua institusi negara, termasuk DPR. Salah satu indikator perubahan dan pembaruan paling mencolok adalah kebijakan politik pembangunan yang berpijak pada filosofi Indonesia sentris. Politik pembangunan ini sangat strategis karena negara berupaya keras membangun dari batas terluar, melengkapi semua pulau dengan ragam infrastruktur, mengalirkan dana pembangunan sampai ke desa (dana desa) hingga politik satu harga untuk komoditas bahan bakar minyak.
Maka sekarang adalah momentum bagi DPR untuk masuk dan ikut dalam arus perubahan dan pembaruan itu. Harus tumbuh semangat meningkatkan kinerja untuk kerja legislasi. Demikian pula untuk fungsi penganggaran (budgeting ). Kewajiban DPR mengkritisi semua institusi pemerintah (kementerian dan lembaga atau K/L) harus tetap dijalankan. Pemerintah butuh kritik yang konstruktif. Tanpa mengurangi fungsi pengawasan, DPR juga harus mengharmonisasi kemitraan antara komisi-komisi di DPR dan semua K/L. Negara butuh penguatan sinergi antara DPR dan pemerintah.
Transparansi Pembahasan RUU Tahun 2018 ini memang sarat kegiatan politik. Tidak hanya berkait dengan pelaksanaan pilkada serentak di 171 daerah pemilihan pada Juni 2017, tetapi juga kebutuhan partai politik dan politisi melakukan konsolidasi menuju agenda pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden pada 2019. Kendati sarat dengan agenda politik, rakyat tetap berharap DPR bisa fokus pada tugas dan fungsinya. Jangan sampai semua agenda politik itu menempatkan DPR dalam posisi dilematis.
Sebagaimana disepakati Baleg DPR dengan Menkumham Yasonna Laoly, DPR dan pemerintah pada November 2017 sudah memutuskan 50 rancangan undang-undang (RUU) masuk dalam Prolegnas 2018 prioritas, termasuk menuntaskan RUU MD3 yang selama ini tertunda. DPR mengajukan 31 RUU, pemerintah mengajukan 16 RUU, dan DPD mengusulkan 3 RUU. Ada sejumlah RUU yang pada tahap pembahasannya nanti akan mengundang perhatian publik, bahkan kemungkinan menjadi topik debat terbuka.
Bisa dipastikan bahwa pembahasan atas RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) akan menyita perhatian berbagai elemen masyarakat karena RUU ini merefleksikan langkah progresif pemerintah memperluas basis pajak dan transparansi. Apalagi RUU ini memuat rencana pemerintah memungut pajak bagi pelaku bisnis online dari dalam maupun luar negeri. Adapun para pemerhati, pegiat hak asasi manusia (HAM), dan praktisi hukum akan menyoroti pembahasan 8 RUU yang mengatur kebijakan kriminal.
Hal itu meliputi RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, RUU tentang Penyadapan, RUU tentang Narkotika dan Psikotropika, serta RUU tentang Pemasyarakatan. Pembahasan kedelapan RUU dimaksud akan menghadirkan banyak perdebatan. Selain karena 8 RUU itu mencerminkan dimulainya reformasi hukum pidana dan hukum acara pidana, juga karena muatan semua RUU itu bersinggungan langsung dengan prinsip-prinsip HAM. Semua elemen masyarakat tentu berkepentingan dengan 8 RUU itu.
Agar semua pihak merasa diperlakukan adil, DPR perlu mengundang dan mendengarkan pendapat dan masukan dari berbagai kalangan terhadap RUU yang sedang dibahas. Berikan akses seluas-luasnya bagi publik untuk mengetahui proses pembahasan pasal demi pasal. Jangan lagi pembahasan RUU dilakukan secara tertutup karena muatan RUU selalu bersinggungan dengan hak dan kewajiban semua individu tanpa terkecuali. Karena pembahasan 50 RUU itu diagendakan pada tahun politik ini, muncul pertanyaan, apakah semuanya bisa diselesaikan? Masalahnya terpulang kepada DPR. Masyarakat yakin bahwa jika bijaksana dalam mengelola beban kerja dan alokasi waktu, DPR akan bisa menyelesaikan pembahasan 50 RUU itu. Inilah tantangan dan harapan masyarakat.
Penguatan Sinergi Rakyat juga berharap DPR bisa memberi kontribusi yang signifikan dalam upaya membangun dan meningkatkan konektivitas yang sedang diwujudkan dengan membangun infrastruktur jalan, perkeretaapian, bandar udara, pelabuhan, bendungan, dan irigasi. Selain itu negara sedang berupaya meningkatkan elektrifikasi nasional serta memperluas dan meningkatkan efektivitas jaringan telekomunikasi. Upaya meningkatkan konektivitas bertujuan menekan biaya logistik agar produk dalam negeri kompetitif. Untuk mewujudkan tujuan itu, pemerintah telah menetapkan 245 proyek strategis nasional (PSN). Dari jumlah itu, 37 di antaranya ditetapkan sebagai proyek prioritas.
Pemerintah pun sudah mengakui bahwa realisasi proyek-proyek PSN itu tidak mudah. Selain persoalan pendanaan proyek, ada dua masalah lain yang tidak kalah rumitnya, yakni masalah pembebasan lahan dan soal koordinasi lintas sektoral maupun koordinasi pusat dan daerah. Untuk menghadapi kesulitan-kesulitan ini, DPR diharapkan dapat membantu pemerintah dengan menawarkan alternatif penyelesaian masalah.
Realisasi proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung tersendat-sendat karena lahan yang dibutuhkan belum cukup tersedia. Realisasi pembangunan sejumlah ruas jalan tol pun sering kali tidak mulus karena masalah pembebasan lahan. Telah diungkapkan bahwa pengadaan lahan sering menjadi masalah karena alokasi dana tidak mencukupi. Pemerintah tentu butuh sumbang saran dari DPR untuk mengatasi masalah seperti ini. Selain itu belum efektifnya koordinasi lintas sektoral dan koordinasi antara pusat dan daerah juga masih menjadi persoalan dalam pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Koordinasi yang belum efektif itu bahkan bisa menimbulkan gangguan sejak perencanaan proyek. Menghadapi persoalan ini, ada yang bisa dilakukan DPR untuk membantu pemerintah.
Upaya mewujudkan konektivitas menggambarkan betapa sibuk Indonesia dewasa ini. Idealnya DPR juga mengambil bagian dalam kesibukan itu agar terbentuk persepsi di benak publik tentang DPR yang kontributif dan produktif. Selamat Tahun Baru, semoga 2018 lebih baik.
(wib)