Ketika Media Cetak Lebih Unggul Dibanding Online
A
A
A
Ave Rosa A Djalil
Konsultan Pengembangan Media Massa & Corporate and Marketing Communications, dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, jurnalis, dan pemerhati bisnis media.
ADA dua hal logis yang sulit dihentikan, yakni usia dan perkembangan teknologi. Kedua hal ini sangat lazim menghiasi kehidupan kita. Walau kita berupaya menahan atau mungkin antipati, kedua hal ini terus melaju menabrak yang menghalanginya.
Berbicara tentang perkembangan teknologi yang sulit dihentikan, tentu akan membuat kita berupaya beradaptasi untuk bisa hidup seiring sejalan. Lalu apakah dengan berkembangnya teknologi, kita harus serta merta mematikan sesuatu yang justru dapat didukung oleh perkembangan teknologi itu sendiri? Saya harus menjawabnya, "tidak".
Dengan kondisi teknologi informasi yang makin mempermudah arus informasi, media massa kini mengalami sebuah proses transformasi yang masif, terutama dari bentuk atau platform sebagai sarana penyajian beritanya. Karena itu, lahirnya situs-situs berita online membuat dunia penyebaran informasi semakin cepat.
Hanya dalam hitungan menit, sebuah berita langsung bisa dikonsumsi. Sebuah akselerasi yang menciptakan persepsi bahwa ternyata menikmati berita juga bisa instan. Kalau direalisasikan menjadi makanan, kita menyebutnya fast food.
Lalu bagaimana dengan media cetak? Apakah kehadiran media online menjadi sebuah akhir dari optimisme memberikan yang terbaik atas nama karya jurnalistik? Karya jurnalistik berbentuk cetak adalah yang tertua di dunia. Media cetak pertama di dunia, yang dituliskan di atas papan, Acta diurna, pertama muncul pada 131 SM pada masa Republik Romawi.
Konten awal yang hanya berisi catatan proses dan keputusan hukum kemudian berkembang menjadi pemberitahuan publik dan informasi berguna lain, misalnya kelahiran, perkawinan, dan kematian dari keluarga terpandang. Hingga akhirnya kaisar menggunakannya untuk mengumumkan keputusan kerajaan atau senator, juga acara pengadilan.
Jika dilihat dari masanya, media cetak sudah mampu bertahan lebih dari 20 abad. Dengan medium cetak yang dimulai dari daun, batu, kayu, hingga kertas, media cetak terus berupaya menjadi alat penyebar informasi yang paling akurat. Dengan begitu, media cetak akan tetap layak menjadi media referensi yang akurat untuk memenuhi kebutuhan pembaca dengan segmen tertentu.
Optimisme akan tetap bertahan di bisnis media cetak selama pengusaha media cetak itu sendiri mampu untuk lebih kreatif, inovatif, customer oriented, hingga lebih aware akan kebutuhan informasi pembacanya yang tentu tidak bisa disajikan oleh jenis media massa lain, seperti media online. Kesiapan pengusaha media cetak inilah yang bisa paling tidak mempertahankan image akan produk beritanya yang lebih baik dibandingkan pesaingnya dari platform yang berbeda.
Dengan semakin menjamurnya media online dan persaingan di antara para pebisnisnya, ini tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi media cetak yang sebelumnya telah "berdarah-darah" dihantam badai eksistensi mereka untuk merebut pasar produk informasi berita.
Banyak media cetak dari grup media massa besar nasional yang harus gulung tikar pada hari-hari kemarin, dan atau mungkin masih akan berlangsung. Namun, dalam dunia bisnis, yang bersiap menghadapi tantanganlah yang akan bertahan, sedangkan yang lain gulung tikar atau menunggu untuk gulung tikar.
Bagi media cetak, dengan dibarengi kesiapan-kesiapan tadi, ada keuntungan tersendiri untuk menjadi "media cetak" yang lebih profesional dan inovatif di tengah kehadiran media online. Kesiapan tersebut akan mampu memotivasi media cetak untuk menyediakan versi online yang akan mendukung baik penyebaran informasinya di dunia cyber maupun sebagai additional benefit bagi para kliennya di sisi bisnis.
Intinya, perusahaan media cetak yang sudah lebih siap dan terbiasa dengan tingginya biaya cetak akan mampu menyediakan layanan media online secukupnya untuk mengimbangi pasar dan kebutuhan para stakeholder.
Sementara bagi pengusaha media online populer yang sudah terlanjur all out dengan biaya operasional yang tinggi di model bisnis tersebut, akan lebih kesulitan membuat platform cetak. Kenapa sulit bagi mereka? Sebab, tentu saja pebisnis media online ini akan harus menyiapkan biaya yang tidak sedikit. Sementara mereka juga harus bertahan dalam bisnisnya berhadapan dengan kompetitor sejenis.
Baru-baru ini saya mendengar langsung dari seorang pemimpin redaksi sebuah media online baru yang dipersiapkan secara khusus untuk menjadi media yang populer bahwa mereka tengah merekrut sekitar 100 orang wartawan baru dengan minimal gaji Rp5 juta. Bisa dibayangkan saat baru memulai bisnisnya, media ini sudah harus dan berani berinvestasi sekitar Rp500 juta per bulan, hanya untuk 100 orang wartawan.
Media online ini berbiaya tinggi? Tentu saja. Rp500 juta itu hanya untuk biaya operasional di tenaga kerja wartawan. Belum gaji manajemen, belum biaya IT, dan lainnya. Ini tentu saja mengesahkan bahwa untuk membuat sebuah media online yang baik dan populer harus mengeluarkan biaya tinggi. Sementara revenue yang ditargetkan masih menjadi sebuah target yang harus diperjuangkan.
Inilah yang dikatakan bahwa media cetak sebenarnya lebih unggul dari media online. Dia bisa bermain dengan dua kaki, baik diversi cetak maupun online. Ini sebuah keuntungan yang harus menjadi pertimbangan bagi para investor juga pemasang iklan. Meskipun dapat diketahui bersama bahwa konten media cetak lebih investigatif, lebih tertata bahasanya, dan karena digarap dengan waktu yang matang, maka akan lebih sedikit kesalahannya. Standar ini hanya berlaku bagi media cetak profesional.
Paul Zwillenberg dari Boston Consulting Group mengatakan, media akan makin kehilangan keuntungan karena itu dibutuhkan model bisnis yang baru dan berbeda agar tetap bertahan. Salah satunya dengan mempertahankan satu bisnis model tradisional, di versi cetak misalnya. Di sisi lain, media itu harus mengembangkan sejumlah model bisnis lain dengan kontenkonten yang variatif.
Inilah saatnya para pengusaha media cetak kembali bangkit untuk meneruskan perjuangannya. Toh, media online saat ini juga sedang berdarah-darah untuk bersaing dengan sesamanya. Pola persaingan sudah mulai berbeda. Di mana media online tidak lagi secara head to head berkompetisi dengan media cetak atau lainnya karena mereka sedang sibuk berkompetisi dengan media sejenis.
Hal ini tentu karena "kue" di sisi pemasangan iklan media online harus diperebutkan. Sementara media cetak sedang mengalami kondisi yang sangat diuntungkan, yaitu menyediakan versi online untuk dapat mengiringi perkembangan teknologi ini.
Kepada pemasang iklan, Anda tentu akan lebih senang mendapatkan banyak keuntungan tambahan untuk berpromosi. Karena itu, pilihan untuk berbelanja akan makin menarik di media cetak yang melengkapi bisnisnya dengan media online sebagai bonus untuk bisnis Anda. Dengan berbisnis bersama media cetak yang memiliki versi online, membuat Anda lebih cerdas membelanjakan budget promosi perusahaan Anda.
Konsultan Pengembangan Media Massa & Corporate and Marketing Communications, dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, jurnalis, dan pemerhati bisnis media.
ADA dua hal logis yang sulit dihentikan, yakni usia dan perkembangan teknologi. Kedua hal ini sangat lazim menghiasi kehidupan kita. Walau kita berupaya menahan atau mungkin antipati, kedua hal ini terus melaju menabrak yang menghalanginya.
Berbicara tentang perkembangan teknologi yang sulit dihentikan, tentu akan membuat kita berupaya beradaptasi untuk bisa hidup seiring sejalan. Lalu apakah dengan berkembangnya teknologi, kita harus serta merta mematikan sesuatu yang justru dapat didukung oleh perkembangan teknologi itu sendiri? Saya harus menjawabnya, "tidak".
Dengan kondisi teknologi informasi yang makin mempermudah arus informasi, media massa kini mengalami sebuah proses transformasi yang masif, terutama dari bentuk atau platform sebagai sarana penyajian beritanya. Karena itu, lahirnya situs-situs berita online membuat dunia penyebaran informasi semakin cepat.
Hanya dalam hitungan menit, sebuah berita langsung bisa dikonsumsi. Sebuah akselerasi yang menciptakan persepsi bahwa ternyata menikmati berita juga bisa instan. Kalau direalisasikan menjadi makanan, kita menyebutnya fast food.
Lalu bagaimana dengan media cetak? Apakah kehadiran media online menjadi sebuah akhir dari optimisme memberikan yang terbaik atas nama karya jurnalistik? Karya jurnalistik berbentuk cetak adalah yang tertua di dunia. Media cetak pertama di dunia, yang dituliskan di atas papan, Acta diurna, pertama muncul pada 131 SM pada masa Republik Romawi.
Konten awal yang hanya berisi catatan proses dan keputusan hukum kemudian berkembang menjadi pemberitahuan publik dan informasi berguna lain, misalnya kelahiran, perkawinan, dan kematian dari keluarga terpandang. Hingga akhirnya kaisar menggunakannya untuk mengumumkan keputusan kerajaan atau senator, juga acara pengadilan.
Jika dilihat dari masanya, media cetak sudah mampu bertahan lebih dari 20 abad. Dengan medium cetak yang dimulai dari daun, batu, kayu, hingga kertas, media cetak terus berupaya menjadi alat penyebar informasi yang paling akurat. Dengan begitu, media cetak akan tetap layak menjadi media referensi yang akurat untuk memenuhi kebutuhan pembaca dengan segmen tertentu.
Optimisme akan tetap bertahan di bisnis media cetak selama pengusaha media cetak itu sendiri mampu untuk lebih kreatif, inovatif, customer oriented, hingga lebih aware akan kebutuhan informasi pembacanya yang tentu tidak bisa disajikan oleh jenis media massa lain, seperti media online. Kesiapan pengusaha media cetak inilah yang bisa paling tidak mempertahankan image akan produk beritanya yang lebih baik dibandingkan pesaingnya dari platform yang berbeda.
Dengan semakin menjamurnya media online dan persaingan di antara para pebisnisnya, ini tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi media cetak yang sebelumnya telah "berdarah-darah" dihantam badai eksistensi mereka untuk merebut pasar produk informasi berita.
Banyak media cetak dari grup media massa besar nasional yang harus gulung tikar pada hari-hari kemarin, dan atau mungkin masih akan berlangsung. Namun, dalam dunia bisnis, yang bersiap menghadapi tantanganlah yang akan bertahan, sedangkan yang lain gulung tikar atau menunggu untuk gulung tikar.
Bagi media cetak, dengan dibarengi kesiapan-kesiapan tadi, ada keuntungan tersendiri untuk menjadi "media cetak" yang lebih profesional dan inovatif di tengah kehadiran media online. Kesiapan tersebut akan mampu memotivasi media cetak untuk menyediakan versi online yang akan mendukung baik penyebaran informasinya di dunia cyber maupun sebagai additional benefit bagi para kliennya di sisi bisnis.
Intinya, perusahaan media cetak yang sudah lebih siap dan terbiasa dengan tingginya biaya cetak akan mampu menyediakan layanan media online secukupnya untuk mengimbangi pasar dan kebutuhan para stakeholder.
Sementara bagi pengusaha media online populer yang sudah terlanjur all out dengan biaya operasional yang tinggi di model bisnis tersebut, akan lebih kesulitan membuat platform cetak. Kenapa sulit bagi mereka? Sebab, tentu saja pebisnis media online ini akan harus menyiapkan biaya yang tidak sedikit. Sementara mereka juga harus bertahan dalam bisnisnya berhadapan dengan kompetitor sejenis.
Baru-baru ini saya mendengar langsung dari seorang pemimpin redaksi sebuah media online baru yang dipersiapkan secara khusus untuk menjadi media yang populer bahwa mereka tengah merekrut sekitar 100 orang wartawan baru dengan minimal gaji Rp5 juta. Bisa dibayangkan saat baru memulai bisnisnya, media ini sudah harus dan berani berinvestasi sekitar Rp500 juta per bulan, hanya untuk 100 orang wartawan.
Media online ini berbiaya tinggi? Tentu saja. Rp500 juta itu hanya untuk biaya operasional di tenaga kerja wartawan. Belum gaji manajemen, belum biaya IT, dan lainnya. Ini tentu saja mengesahkan bahwa untuk membuat sebuah media online yang baik dan populer harus mengeluarkan biaya tinggi. Sementara revenue yang ditargetkan masih menjadi sebuah target yang harus diperjuangkan.
Inilah yang dikatakan bahwa media cetak sebenarnya lebih unggul dari media online. Dia bisa bermain dengan dua kaki, baik diversi cetak maupun online. Ini sebuah keuntungan yang harus menjadi pertimbangan bagi para investor juga pemasang iklan. Meskipun dapat diketahui bersama bahwa konten media cetak lebih investigatif, lebih tertata bahasanya, dan karena digarap dengan waktu yang matang, maka akan lebih sedikit kesalahannya. Standar ini hanya berlaku bagi media cetak profesional.
Paul Zwillenberg dari Boston Consulting Group mengatakan, media akan makin kehilangan keuntungan karena itu dibutuhkan model bisnis yang baru dan berbeda agar tetap bertahan. Salah satunya dengan mempertahankan satu bisnis model tradisional, di versi cetak misalnya. Di sisi lain, media itu harus mengembangkan sejumlah model bisnis lain dengan kontenkonten yang variatif.
Inilah saatnya para pengusaha media cetak kembali bangkit untuk meneruskan perjuangannya. Toh, media online saat ini juga sedang berdarah-darah untuk bersaing dengan sesamanya. Pola persaingan sudah mulai berbeda. Di mana media online tidak lagi secara head to head berkompetisi dengan media cetak atau lainnya karena mereka sedang sibuk berkompetisi dengan media sejenis.
Hal ini tentu karena "kue" di sisi pemasangan iklan media online harus diperebutkan. Sementara media cetak sedang mengalami kondisi yang sangat diuntungkan, yaitu menyediakan versi online untuk dapat mengiringi perkembangan teknologi ini.
Kepada pemasang iklan, Anda tentu akan lebih senang mendapatkan banyak keuntungan tambahan untuk berpromosi. Karena itu, pilihan untuk berbelanja akan makin menarik di media cetak yang melengkapi bisnisnya dengan media online sebagai bonus untuk bisnis Anda. Dengan berbisnis bersama media cetak yang memiliki versi online, membuat Anda lebih cerdas membelanjakan budget promosi perusahaan Anda.
(maf)