Selamat Datang Tahun Politik
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
HAMPIR dapat dipastikan dimensi merumuskan kebijakan di tahun 2018 akan semakin melebar dan komplek. Kita punya gawe besar dengan adanya momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di beberapa daerah strategis. Sebut saja Pemilihan Gubernur (Pilgub) di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Animo masyarakat dan partisan politik terhadap ketiga Pilgub akan sangat tinggi karena potensi populasi penduduknya yang sangat besar.
Selain itu, potensi ekonominya juga cukup cemerlang khususnya dari hasil pertanian dan industri. Ketiganya dapat menjadi kantong suara yang perlu diamankan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) di tahun berikutnya (2019). Beragam atraksi politik akan siap-siap disajikan di tengah masyarakat demi meraup suara dukungan. Aktivitas pemilu ibarat dua sisi mata uang yang sedikit banyak memiliki pengaruh terhadap keberlangsungan pembangunan ekonomi. Di satu sisi bisa akan sangat membantu, dan di sisi yang lain bisa menjadi pengganggu.
Tensi politik yang menghangat membuat para partisan di dalamnya bisa bertindak multirupa. Demi mendapat sejumlah simpatisan potensial, biasanya para partisan akan bersikap laiknya seorang Robin Hood yang seakan-akan rela berkorban demi kemakmuran rakyatnya. Mereka siap bersaing menawarkan program-program yang dikabarkan akan melipatgandakan kemakmuran, baik untuk ekonomi skala rumah tangga maupun untuk para pengusaha (bisnis). Dalam konteks demikian, aktivitas politik cenderung menjadi lebih bersahabat dengan masyarakat, karena masing-masing partisan akan berusaha mendengarkan harapan konstituen.
Namun tidak sedikit pula para partisan yang mencoba berkompetisi dengan konten kampanye negatif. Tindakan ini akan memancing situasi sosial menjadi tidak lagi kondusif. Hal-hal seperti inilah, pada akhirnya akan mengganggu roda pembangunan ekonomi. Efek yang paling besar bisa mengarah kepada lingkungan bisnis yang penuh ketidakpastian (uncertainty). Dalam situasi seperti itu, para pengusaha cenderung akan lebih memilih menunggu dan bisa jadi mereka akan menunda investasi atau pengembangan usahanya sembari menunggu kepastian kebijakan pemerintahan yang terpilih.
Meskipun demikian, kita masih memiliki peluang untuk tetap berkembang. Berkaca pada hasil pembangunan di tahun 2017, kita bisa menyaksikan bagaimana perjuangan Indonesia di dalam melawan hukum-hukum alam yang cenderung bergerak liar. Dari sisi makro ekonomi, pemerintah cukup berhasil dalam mengendalikan turbulensi faktor – faktor eksternal dan dinamika sosial politik dalam negeri yang sempat mengkhawatirkan. Pada 2017, pertumbuhan ekonomi tetap mampu tumbuh yang di atas 5%, indeks gini rasio sebagai parameter ketimpangan yang terus berkurang, indeks doing business membaik 19 peringkat, daya saing global yang meningkat 5 level, serta potensi realisasi penerimaan pajak yang kemungkinan bisa di kisaran 90% dari target.
Selain itu, rating investasi kita juga meningkat menjadi BBB- berdasarkan lembaga Fitch Rating. Pengakuan ini menunjukkan bahwa Indonesia semakin memiliki pondasi yang baik dan kuat, serta bisa terbebas dari sentimen negatif yang disebabkan hanya karena negara maju membuat sebuah kebijakan. Ketahanan ini didukung oleh kebijakan makro ekonomi secara konsisten yang diarahkan untuk menjaga stabilitas, seperti nilai tukar yang lebih fleksibel, cadangan devisa yang terus meningkat tajam, dan kebijakan makroprudensial yang mampu mengendalikan utang luar negeri korporasi.
Pada 2018, akan ada Pilkada serentak pada 27 Juni 2018, di 17 provinsi dan 153 kota/kabupaten. Dengan banyaknya Pilkada, tentu akan menguntungkan, terutama dengan naiknya aktifitas ekonomi masyarakat seperti produksi atribut pilkada. Bersamaan dengan itu, konsumsi masyarakat juga akan meningkat, dikarenakan besarnya dana yang melimpah untuk pembiayaan pesta demokrasi yang sedang berjalan. Secara umum, potensi tersebut cukup menguntungkan bagi Indonesia dimana pilar pertumbuhan ekonominya lebih banyak didorong dari sisi konsumsi rumah tangga.
Akan tetapi momentum itu tidak bisa diharapkan terlalu tinggi karena dijamin tidak akan berjalan dalam jangka panjang. Hal yang paling utama untuk diperhatikan ialah apapun yang terjadi selama masa kontestasi, sebaiknya dinamika politik yang terjadi tidak boleh mengganggu jalannya bisnis dan ekonomi. Sebaliknya apapun yang terjadi, ekonomi harus mendapat “pilot” yang mampu mengarahkan pembangunan menuju cita-cita kemakmuran bersama.
Sikap Pemerintah
Faktor leadership akan semakin krusial perannya di era pesta demokrasi ini. Saat leadership tengah lemah, maka penetapan prioritas dan konsistensi kebijakan akan semakin tidak fokus dan terarah. Akan sangat sulit dibayangkan bagaimana hasil pembangunan ketika pondasi kebijakan tidak mampu berjalan beriringan dan dapat dipadukan, karena akan menghasilkan kebijakan yang tidak efektif karena tumpang tindih kepentingan (conflict of interest).
Kepastian hukum amat dibutuhkan untuk menjamin bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum. Hukum menjadi pelindung agar di setiap transaksi ekonomi tidak sampai terjadi misalnya terjadi kelalaian (wanprestasi) yang disengaja mauput tidak. Kalaupun terjadi wanprestasi, kepastian hukum bisa menjadi pemandu agar proses penyelesaian sengketa bisa berjalan normal sebagaimana mestinya. Titik tekannya jangan sampai kepentingan hukum “mengangkangi” aspek kepastian hukum.
Jika kepastian hukum tidak mampu dicapai, maka para investor dan penggiat ekonomi akan “ketakutan” untuk melakukan tugas dan fungsinya. Fenomena ini sempat terjadi pada penyelenggaraan proyek-proyek pembangunan sehingga pada akhirnya jumlah peserta tender relatif minim. Isu kriminalisasi dan perlakuan hukum yang cenderung dikotomi berakibat pada sistem perekonomian hingga tidak berjalan secara efektif. Oleh karena itu amat penting pula bagi pemerintah agar tetap menjaga penegakan hukum tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Selanjutnya, perlu dijaga momentum pembangunan sarana dan prasarana, khususnya yang mendorong aksesibilitas, mempercepat perpindahan dan gerakan barang dan jasa (mobility), serta infrastruktur di bidang teknologi informasi. Pembangunan infrastruktur selama era Presiden Joko Widodo memang terlihat seperti sulit terlepas dari sekam politik karena kebijakan pembiayaan yang sebagian besar dihasilkan dari utang. Namun secara akademis pembangunan infrastruktur amat dibutuhkan untuk menekan biaya ekonomi di setiap transaksi (transaction cost).
Hambatan-hambatan yang terus bermunculan selama masa pembangunan infrastruktur sudah sepantasnya untuk terus diatasi. Nah yang paling krusial saat ini jangan sampai pembangunan infrastruktur yang memakan biaya besar tersebut ikut-ikut ditunggangi kepentingan politik. Misalnya ada indikasi mark up biaya karena ada oknum yang ingin mendapat tambahan modal untuk aktivitas pribadi ataupun untuk Pilkada. Ada baiknya juga jika pemerintah mengikutsertakan masyarakat di setiap pengawasan proses-proses pembangunan.
Di luar persinggungan kontestasi politik, pemerintah diharapkan juga bisa konsisten menjaga iklim usaha yang kondusif melalui penguatan daya beli. Karena alasan dibalik pentingnya menjaga daya beli adalah agar produktivitas daerah dan nasional bisa tetap mengalami eskalasi. Minimal diusahakan melalui kebijakan upah buruh (Upah Minimum Regional/ UMR atau Upah Minimum Provinsi/UMK) agar tidak kian menurun. Kebijakan ini bisa melengkapi tendensi kebijakan inflasi yang saat ini masih dijaga agar tetap terkendali.
Dengan mendorong upah naik dan menjaga inflasi, daya beli masyarakat tidak akan sampai terganggu. Daya beli masyarakat dan inflasi yang stabil juga memiliki pengaruh yang kuat terhadap minat investasi. Investor pada umumnya sangat berhati-hati dalam menentukan berapa besaran investasi dan produksi. Selama lingkungan bisnis dapat menjanjikan profit yang optimal, maka pertumbuhan investasi akan terus mampu digulirkan.
Dan yang terakhir, perlu ada upaya untuk mendorong kualitas dan kuantitas output agar terjaga sustainability produksi di tingkat daerah dan nasional. Effort ini bisa dihasilkan melalui pendampingan dan supervisory pada beberapa sektor strategis. Kuantitas dan kualitas output juga berkenaan untuk menjaga daya saing produksi Indonesia bisa lebih baik. Setidaknya ketika kita memiliki nilai jual yang semakin hebat, hubungan internasional dengan beberapa negara kerabat akan dapat semakin kuat. Selain itu penguatan daya saing juga diharapkan dapat berefek pada peningkatan kapasitas produksi, sehingga nantinya terjadi penyerapan tenaga kerja yang lebih baik dengan tingkat pendapatan yang lebih menjanjikan.
Meskipun kasak-kusuk politik amat sulit dihindarkan, ada baiknya jika pemerintah tidak sampai kehilangan fokus untuk memberikan upaya yang terbaik bagi kesejahteraan rakyatnya. Proses politik yang sehat dan baik, tidak semata-mata mengejar kekuasaan bagi segelintir pendukungnya. Tetapi menghasilkan pemimpin yang diterima oleh semua komponen bangsa, mewakili kemajemukan bangsa, begitu juga dengan terpilihnya wakil – wakil terbaik di parlemen. Kombinasi itu semua, akan menghasilkan kebijakan yang terbaik untuk pembangunan, menjadi bangsa yang lebih baik dan lebih kuat.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
HAMPIR dapat dipastikan dimensi merumuskan kebijakan di tahun 2018 akan semakin melebar dan komplek. Kita punya gawe besar dengan adanya momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di beberapa daerah strategis. Sebut saja Pemilihan Gubernur (Pilgub) di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Animo masyarakat dan partisan politik terhadap ketiga Pilgub akan sangat tinggi karena potensi populasi penduduknya yang sangat besar.
Selain itu, potensi ekonominya juga cukup cemerlang khususnya dari hasil pertanian dan industri. Ketiganya dapat menjadi kantong suara yang perlu diamankan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) di tahun berikutnya (2019). Beragam atraksi politik akan siap-siap disajikan di tengah masyarakat demi meraup suara dukungan. Aktivitas pemilu ibarat dua sisi mata uang yang sedikit banyak memiliki pengaruh terhadap keberlangsungan pembangunan ekonomi. Di satu sisi bisa akan sangat membantu, dan di sisi yang lain bisa menjadi pengganggu.
Tensi politik yang menghangat membuat para partisan di dalamnya bisa bertindak multirupa. Demi mendapat sejumlah simpatisan potensial, biasanya para partisan akan bersikap laiknya seorang Robin Hood yang seakan-akan rela berkorban demi kemakmuran rakyatnya. Mereka siap bersaing menawarkan program-program yang dikabarkan akan melipatgandakan kemakmuran, baik untuk ekonomi skala rumah tangga maupun untuk para pengusaha (bisnis). Dalam konteks demikian, aktivitas politik cenderung menjadi lebih bersahabat dengan masyarakat, karena masing-masing partisan akan berusaha mendengarkan harapan konstituen.
Namun tidak sedikit pula para partisan yang mencoba berkompetisi dengan konten kampanye negatif. Tindakan ini akan memancing situasi sosial menjadi tidak lagi kondusif. Hal-hal seperti inilah, pada akhirnya akan mengganggu roda pembangunan ekonomi. Efek yang paling besar bisa mengarah kepada lingkungan bisnis yang penuh ketidakpastian (uncertainty). Dalam situasi seperti itu, para pengusaha cenderung akan lebih memilih menunggu dan bisa jadi mereka akan menunda investasi atau pengembangan usahanya sembari menunggu kepastian kebijakan pemerintahan yang terpilih.
Meskipun demikian, kita masih memiliki peluang untuk tetap berkembang. Berkaca pada hasil pembangunan di tahun 2017, kita bisa menyaksikan bagaimana perjuangan Indonesia di dalam melawan hukum-hukum alam yang cenderung bergerak liar. Dari sisi makro ekonomi, pemerintah cukup berhasil dalam mengendalikan turbulensi faktor – faktor eksternal dan dinamika sosial politik dalam negeri yang sempat mengkhawatirkan. Pada 2017, pertumbuhan ekonomi tetap mampu tumbuh yang di atas 5%, indeks gini rasio sebagai parameter ketimpangan yang terus berkurang, indeks doing business membaik 19 peringkat, daya saing global yang meningkat 5 level, serta potensi realisasi penerimaan pajak yang kemungkinan bisa di kisaran 90% dari target.
Selain itu, rating investasi kita juga meningkat menjadi BBB- berdasarkan lembaga Fitch Rating. Pengakuan ini menunjukkan bahwa Indonesia semakin memiliki pondasi yang baik dan kuat, serta bisa terbebas dari sentimen negatif yang disebabkan hanya karena negara maju membuat sebuah kebijakan. Ketahanan ini didukung oleh kebijakan makro ekonomi secara konsisten yang diarahkan untuk menjaga stabilitas, seperti nilai tukar yang lebih fleksibel, cadangan devisa yang terus meningkat tajam, dan kebijakan makroprudensial yang mampu mengendalikan utang luar negeri korporasi.
Pada 2018, akan ada Pilkada serentak pada 27 Juni 2018, di 17 provinsi dan 153 kota/kabupaten. Dengan banyaknya Pilkada, tentu akan menguntungkan, terutama dengan naiknya aktifitas ekonomi masyarakat seperti produksi atribut pilkada. Bersamaan dengan itu, konsumsi masyarakat juga akan meningkat, dikarenakan besarnya dana yang melimpah untuk pembiayaan pesta demokrasi yang sedang berjalan. Secara umum, potensi tersebut cukup menguntungkan bagi Indonesia dimana pilar pertumbuhan ekonominya lebih banyak didorong dari sisi konsumsi rumah tangga.
Akan tetapi momentum itu tidak bisa diharapkan terlalu tinggi karena dijamin tidak akan berjalan dalam jangka panjang. Hal yang paling utama untuk diperhatikan ialah apapun yang terjadi selama masa kontestasi, sebaiknya dinamika politik yang terjadi tidak boleh mengganggu jalannya bisnis dan ekonomi. Sebaliknya apapun yang terjadi, ekonomi harus mendapat “pilot” yang mampu mengarahkan pembangunan menuju cita-cita kemakmuran bersama.
Sikap Pemerintah
Faktor leadership akan semakin krusial perannya di era pesta demokrasi ini. Saat leadership tengah lemah, maka penetapan prioritas dan konsistensi kebijakan akan semakin tidak fokus dan terarah. Akan sangat sulit dibayangkan bagaimana hasil pembangunan ketika pondasi kebijakan tidak mampu berjalan beriringan dan dapat dipadukan, karena akan menghasilkan kebijakan yang tidak efektif karena tumpang tindih kepentingan (conflict of interest).
Kepastian hukum amat dibutuhkan untuk menjamin bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum. Hukum menjadi pelindung agar di setiap transaksi ekonomi tidak sampai terjadi misalnya terjadi kelalaian (wanprestasi) yang disengaja mauput tidak. Kalaupun terjadi wanprestasi, kepastian hukum bisa menjadi pemandu agar proses penyelesaian sengketa bisa berjalan normal sebagaimana mestinya. Titik tekannya jangan sampai kepentingan hukum “mengangkangi” aspek kepastian hukum.
Jika kepastian hukum tidak mampu dicapai, maka para investor dan penggiat ekonomi akan “ketakutan” untuk melakukan tugas dan fungsinya. Fenomena ini sempat terjadi pada penyelenggaraan proyek-proyek pembangunan sehingga pada akhirnya jumlah peserta tender relatif minim. Isu kriminalisasi dan perlakuan hukum yang cenderung dikotomi berakibat pada sistem perekonomian hingga tidak berjalan secara efektif. Oleh karena itu amat penting pula bagi pemerintah agar tetap menjaga penegakan hukum tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Selanjutnya, perlu dijaga momentum pembangunan sarana dan prasarana, khususnya yang mendorong aksesibilitas, mempercepat perpindahan dan gerakan barang dan jasa (mobility), serta infrastruktur di bidang teknologi informasi. Pembangunan infrastruktur selama era Presiden Joko Widodo memang terlihat seperti sulit terlepas dari sekam politik karena kebijakan pembiayaan yang sebagian besar dihasilkan dari utang. Namun secara akademis pembangunan infrastruktur amat dibutuhkan untuk menekan biaya ekonomi di setiap transaksi (transaction cost).
Hambatan-hambatan yang terus bermunculan selama masa pembangunan infrastruktur sudah sepantasnya untuk terus diatasi. Nah yang paling krusial saat ini jangan sampai pembangunan infrastruktur yang memakan biaya besar tersebut ikut-ikut ditunggangi kepentingan politik. Misalnya ada indikasi mark up biaya karena ada oknum yang ingin mendapat tambahan modal untuk aktivitas pribadi ataupun untuk Pilkada. Ada baiknya juga jika pemerintah mengikutsertakan masyarakat di setiap pengawasan proses-proses pembangunan.
Di luar persinggungan kontestasi politik, pemerintah diharapkan juga bisa konsisten menjaga iklim usaha yang kondusif melalui penguatan daya beli. Karena alasan dibalik pentingnya menjaga daya beli adalah agar produktivitas daerah dan nasional bisa tetap mengalami eskalasi. Minimal diusahakan melalui kebijakan upah buruh (Upah Minimum Regional/ UMR atau Upah Minimum Provinsi/UMK) agar tidak kian menurun. Kebijakan ini bisa melengkapi tendensi kebijakan inflasi yang saat ini masih dijaga agar tetap terkendali.
Dengan mendorong upah naik dan menjaga inflasi, daya beli masyarakat tidak akan sampai terganggu. Daya beli masyarakat dan inflasi yang stabil juga memiliki pengaruh yang kuat terhadap minat investasi. Investor pada umumnya sangat berhati-hati dalam menentukan berapa besaran investasi dan produksi. Selama lingkungan bisnis dapat menjanjikan profit yang optimal, maka pertumbuhan investasi akan terus mampu digulirkan.
Dan yang terakhir, perlu ada upaya untuk mendorong kualitas dan kuantitas output agar terjaga sustainability produksi di tingkat daerah dan nasional. Effort ini bisa dihasilkan melalui pendampingan dan supervisory pada beberapa sektor strategis. Kuantitas dan kualitas output juga berkenaan untuk menjaga daya saing produksi Indonesia bisa lebih baik. Setidaknya ketika kita memiliki nilai jual yang semakin hebat, hubungan internasional dengan beberapa negara kerabat akan dapat semakin kuat. Selain itu penguatan daya saing juga diharapkan dapat berefek pada peningkatan kapasitas produksi, sehingga nantinya terjadi penyerapan tenaga kerja yang lebih baik dengan tingkat pendapatan yang lebih menjanjikan.
Meskipun kasak-kusuk politik amat sulit dihindarkan, ada baiknya jika pemerintah tidak sampai kehilangan fokus untuk memberikan upaya yang terbaik bagi kesejahteraan rakyatnya. Proses politik yang sehat dan baik, tidak semata-mata mengejar kekuasaan bagi segelintir pendukungnya. Tetapi menghasilkan pemimpin yang diterima oleh semua komponen bangsa, mewakili kemajemukan bangsa, begitu juga dengan terpilihnya wakil – wakil terbaik di parlemen. Kombinasi itu semua, akan menghasilkan kebijakan yang terbaik untuk pembangunan, menjadi bangsa yang lebih baik dan lebih kuat.
(pur)