Donald Trump dan Yerusalem
A
A
A
Amidhan Shaberah
Ketua MUI (1995-2015), Komnas HAM (2002-2007)
DONALD Trump terhenyak. Ia tak mengira keputusannya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel memicu kemarahan dunia. Teman dan musuh politiknya tiba-tiba bersatu, mengecam kebijakannya yang blunder itu.
Ya. Rabu (6/12) lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Israel, kata Trump, adalah negara berdaulat. Karenanya, Israel bebas menentukan di mana ibu kotanya. Dan Amerika mendukungnya.
Keputusan Trump Rabu kelabu itu langsung memicu reaksi dunia. Liga Arab mendadak mengadakan pertemuan. Hasilnya: menolak pengakuan Trump perihal ibu kota Israel Yerusalem tadi. Malah lebih jauh menyatakan bahwa Liga Arab mendukung Yerusalem sebagai ibu kota Palestina. Organisasi Konferensi Islam (OKI), juga menyatakan hal sama. Menolak pengakuan Trump bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. OKI minta dunia internasional mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Palestina.
Tak hanya Dunia Islam dan Arab yang menentang keras keputusan Trump. Pemimpin Gereja Katolik Dunia di Vatikan, Paus Fransiskus, mengecam keras pernyataan sepihak Washington. Paus menegaskan, Gereja Katolik sedunia menolak bila Yerusalem jadi ibu kota negara Yahudi, Israel. Kenapa? Karena Yerusalem merupakan tempat suci bagi umat Kristen, Yahudi, dan Muslim.
Kedudukan Yerusalem sekarang, kata Paus, masih status quo. Sampai ada perundingan yang diakui kedua pihak, Israel dan Palestina. Penetapan status quo ini penting untuk memberikan ruang perundingan yang berjalan alot dan panjang tentang kedudukan Yerusalem selama ini. Tapi, akibat keputusan sepihak Trump, status quo itu terancam gagal. Bila AS tetap mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel secara sepihak, Rusia pun bisa bertindak sama.
Rusia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Palestina. Hal yang sama dilakukan China. Jika itu terjadi, dunia makin tegang. Dua kekuatan raksasa—masing-masing dengan sekutunya—akan berhadapan. Kekerasan, bahkan perang global, pun bisa terjadi. Indonesia telah secara tegas menyatakan Yerusalem bukan ibu kota Israel. Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia telah berjuang keras menggalang persatuan negara-negara Islam dan negara-negara berkembang menolak keputusan AS tersebut.
Untuk mengingatkan kita semua: Indonesia termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Palestina. Deklarasi Negara Palestina merdeka itu berlangsung 15 November 1988 di Aljazair. Sebagai wujud dukungan kemerdekaan Palestina itu, pada 19 Oktober 1989 di Jakarta telah ditandatangani "Komunike Bersama Pembukaan Hubungan Diplomatik" antara Menlu RI, Ali Alatas, dan Menlu Palestina, Farouq Kaddoumi. Saat itu diresmikan pembukaan Kedutaan Besar Negara Palestina di Jakarta.
Duta Besar Palestina untuk Indonesia menyerahkan Surat-Surat Kepercayaannya kepada Presiden Soeharto pada 23 April 1990. Sebaliknya, Pemerintah RI menetapkan bahwa duta besar RI di Tunis merangkap sebagai dubes RI untuk Negara Palestina. Sejak 1 Juni 2004, KBRI di Yordania merangkap sebagai KBRI di Palestina.
Sejak itu, melalui berbagai forum, termasuk PBB, OKI dan GNB (Gerakan Nonblok), Indonesia secara konsisten menyuarakan dukungan terhadap perjuangan bangsa Palestina untuk memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan penuh. Indonesia juga mendukung Palestina menjadi anggota UNESCO—Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (31/10/2011).
Selama 2015 Indonesia telah menjadi tuan rumah dua konferensi besar. Dalam konferensi itu, dukungan terhadap Palestina disuarakan Indonesia. Pada KTT Asia-Afrika, April 2015, di Bandung dalam rangka memperingati 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955, dihasilkan deklarasi khusus mengenai dukungan terhadap kedaulatan Palestina. Kemudian pada International Conference on the Question of Jerusalem (14-15 Desember 2015) dan UN Civil Society Forum on the Question of Palestine (16 Desember 2015) di Jakarta, dukungan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Palestina dikukuhkan kembali.
Semua ini menunjukkan Indonesia selalu mendukung eksistensi Negara Palestina. Jakarta pun, secara diplomatis, selalu mengarahkan dunia internasional untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Palestina. Usaha keras Indonesia untuk mengarahkan dunia internasional mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Palestina nyaris sia-sia jika AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Soalnya, betapa pun besar kecaman dunia terhadap Washington, sejarah menunjukkan AS sebagai negara super power tetap punya pengaruh besar, baik terhadap aliansi strategisnya (seperti Eropa Barat, Australia, dan Jepang), maupun terhadap badan-badan dunia lain. Ingat, AS punya hak veto di Dewan Keamanan (DK) PBB, sehingga bisa menganulir keputusan DK PBB apa pun bentuknya. Termasuk mengakui kemerdekaan Palestina dengan ibu kota Yerusalem.
Dari perspektif inilah kita bisa mengerti munculnya ajakan boikot produk-produk Amerika. Dr Reni Marlinawati, Ketua Fraksi PPP DPR RI, misalnya, menyerukan rakyat dan Pemerintah Indonesia memboikot produk-produk AS. Betul, seandainya dunia memboikut produk-produk industri AS, negeri itu akan kelimpungan. Perekonomiannya bisa ambruk.
Tapi, mungkinkah memboikot ekonomi AS? Inilah yang harus kita pikirkan serius. Di saat ekonomi dunia sudah "saling-kait-mengait" memang sulit mengidentifikasi mana produk Amerika murni; mana produk Amerika hasil kerja sama dengan negara-negara lain. Meski demikian, kalau dunia sepakat untuk memboikot produk-produk Amerika, niscaya tetap ada hasilnya. Paling tidak, AS akan merasakan betapa buruknya keputusan Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Minggu (16/12), umat Islam melakukan demo raksasa untuk menolak keputusan Trump di lapangan Monas, Jakarta. Menariknya, tak hanya umat Islam yang ikut demo di Monas, tapi seluruh umat beragama. Ini karena umat manusia menganggap keputusan Trump sebagai skandal peradaban dan kemanusiaan. Mana mungkin manusia yang menetap di tanah airnya (Palestina) selama berabad-abad, tiba-tiba diusir untuk memberikan tempat kepada diaspora Yahudi yang ada di seluruh dunia.
Tragisnya, negeri yang basisnya diaspora orang Yahudi itu didukung kekuatan adikuasa Amerika dan Inggris. Mereka menganggap pemilik tanah Palestina yang sebenarnya adalah orang Yahudi. Akibatnya, penduduk asli Palestina diusir. Diperangi. Dibunuh. Dibantai. Hak-hak hidup orang Palestina dan peradabannya dihancurkan.
Itulah yang kini sedang dibela di Monas. Seluruh rakyat Indonesia berkumpul untuk mengecam dan menolak keputusan Donald Trump yang secara terang-terangan melakukan skandal kemanusiaan dan peradaban di Palestina.
Aneh memang. Di dunia yang online, di mana setiap kejadian di muka bumi bisa ditampilkan di jagat maya secara real time, masih saja ada pihak-pihak tertentu yang tanpa malu bersembunyi di balik kenyataan. Trump salah satunya. Ketika ekonomi Amerika terpuruk. Pengangguran melambung. Popularitas terjatuh. Tiba-tiba Trump mengumumkan Washington akan mengalihkan kedubesnya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Harapannya, nama Trump terkerek. Yang terjadi sebaliknya. Namanya makin jatuh. Di dalam negeri nama Trump terpuruk. Di luar negeri, lebih parah. Bahkan jadi musuh bersama. Musuh manusia yang peduli kemerdekaan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan.
Keputusan Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel niscaya memicu gelombang protes yang sangat-sangat besar di seluruh dunia. Karena di balik keputusan itu, Trump sedang menghina sejarah dan peradaban manusia. Dampaknya, Trump menjadi paria politik internasional. Sayangnya, Trump tak akan peduli dengan semua itu. Kecuali ia masuk pusaran kesadaran yang datang dari langit. Tapi mana mungkin Trump bisa seperti itu?
Ketua MUI (1995-2015), Komnas HAM (2002-2007)
DONALD Trump terhenyak. Ia tak mengira keputusannya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel memicu kemarahan dunia. Teman dan musuh politiknya tiba-tiba bersatu, mengecam kebijakannya yang blunder itu.
Ya. Rabu (6/12) lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Israel, kata Trump, adalah negara berdaulat. Karenanya, Israel bebas menentukan di mana ibu kotanya. Dan Amerika mendukungnya.
Keputusan Trump Rabu kelabu itu langsung memicu reaksi dunia. Liga Arab mendadak mengadakan pertemuan. Hasilnya: menolak pengakuan Trump perihal ibu kota Israel Yerusalem tadi. Malah lebih jauh menyatakan bahwa Liga Arab mendukung Yerusalem sebagai ibu kota Palestina. Organisasi Konferensi Islam (OKI), juga menyatakan hal sama. Menolak pengakuan Trump bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. OKI minta dunia internasional mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Palestina.
Tak hanya Dunia Islam dan Arab yang menentang keras keputusan Trump. Pemimpin Gereja Katolik Dunia di Vatikan, Paus Fransiskus, mengecam keras pernyataan sepihak Washington. Paus menegaskan, Gereja Katolik sedunia menolak bila Yerusalem jadi ibu kota negara Yahudi, Israel. Kenapa? Karena Yerusalem merupakan tempat suci bagi umat Kristen, Yahudi, dan Muslim.
Kedudukan Yerusalem sekarang, kata Paus, masih status quo. Sampai ada perundingan yang diakui kedua pihak, Israel dan Palestina. Penetapan status quo ini penting untuk memberikan ruang perundingan yang berjalan alot dan panjang tentang kedudukan Yerusalem selama ini. Tapi, akibat keputusan sepihak Trump, status quo itu terancam gagal. Bila AS tetap mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel secara sepihak, Rusia pun bisa bertindak sama.
Rusia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Palestina. Hal yang sama dilakukan China. Jika itu terjadi, dunia makin tegang. Dua kekuatan raksasa—masing-masing dengan sekutunya—akan berhadapan. Kekerasan, bahkan perang global, pun bisa terjadi. Indonesia telah secara tegas menyatakan Yerusalem bukan ibu kota Israel. Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia telah berjuang keras menggalang persatuan negara-negara Islam dan negara-negara berkembang menolak keputusan AS tersebut.
Untuk mengingatkan kita semua: Indonesia termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Palestina. Deklarasi Negara Palestina merdeka itu berlangsung 15 November 1988 di Aljazair. Sebagai wujud dukungan kemerdekaan Palestina itu, pada 19 Oktober 1989 di Jakarta telah ditandatangani "Komunike Bersama Pembukaan Hubungan Diplomatik" antara Menlu RI, Ali Alatas, dan Menlu Palestina, Farouq Kaddoumi. Saat itu diresmikan pembukaan Kedutaan Besar Negara Palestina di Jakarta.
Duta Besar Palestina untuk Indonesia menyerahkan Surat-Surat Kepercayaannya kepada Presiden Soeharto pada 23 April 1990. Sebaliknya, Pemerintah RI menetapkan bahwa duta besar RI di Tunis merangkap sebagai dubes RI untuk Negara Palestina. Sejak 1 Juni 2004, KBRI di Yordania merangkap sebagai KBRI di Palestina.
Sejak itu, melalui berbagai forum, termasuk PBB, OKI dan GNB (Gerakan Nonblok), Indonesia secara konsisten menyuarakan dukungan terhadap perjuangan bangsa Palestina untuk memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan penuh. Indonesia juga mendukung Palestina menjadi anggota UNESCO—Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (31/10/2011).
Selama 2015 Indonesia telah menjadi tuan rumah dua konferensi besar. Dalam konferensi itu, dukungan terhadap Palestina disuarakan Indonesia. Pada KTT Asia-Afrika, April 2015, di Bandung dalam rangka memperingati 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955, dihasilkan deklarasi khusus mengenai dukungan terhadap kedaulatan Palestina. Kemudian pada International Conference on the Question of Jerusalem (14-15 Desember 2015) dan UN Civil Society Forum on the Question of Palestine (16 Desember 2015) di Jakarta, dukungan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Palestina dikukuhkan kembali.
Semua ini menunjukkan Indonesia selalu mendukung eksistensi Negara Palestina. Jakarta pun, secara diplomatis, selalu mengarahkan dunia internasional untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Palestina. Usaha keras Indonesia untuk mengarahkan dunia internasional mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Palestina nyaris sia-sia jika AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Soalnya, betapa pun besar kecaman dunia terhadap Washington, sejarah menunjukkan AS sebagai negara super power tetap punya pengaruh besar, baik terhadap aliansi strategisnya (seperti Eropa Barat, Australia, dan Jepang), maupun terhadap badan-badan dunia lain. Ingat, AS punya hak veto di Dewan Keamanan (DK) PBB, sehingga bisa menganulir keputusan DK PBB apa pun bentuknya. Termasuk mengakui kemerdekaan Palestina dengan ibu kota Yerusalem.
Dari perspektif inilah kita bisa mengerti munculnya ajakan boikot produk-produk Amerika. Dr Reni Marlinawati, Ketua Fraksi PPP DPR RI, misalnya, menyerukan rakyat dan Pemerintah Indonesia memboikot produk-produk AS. Betul, seandainya dunia memboikut produk-produk industri AS, negeri itu akan kelimpungan. Perekonomiannya bisa ambruk.
Tapi, mungkinkah memboikot ekonomi AS? Inilah yang harus kita pikirkan serius. Di saat ekonomi dunia sudah "saling-kait-mengait" memang sulit mengidentifikasi mana produk Amerika murni; mana produk Amerika hasil kerja sama dengan negara-negara lain. Meski demikian, kalau dunia sepakat untuk memboikot produk-produk Amerika, niscaya tetap ada hasilnya. Paling tidak, AS akan merasakan betapa buruknya keputusan Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Minggu (16/12), umat Islam melakukan demo raksasa untuk menolak keputusan Trump di lapangan Monas, Jakarta. Menariknya, tak hanya umat Islam yang ikut demo di Monas, tapi seluruh umat beragama. Ini karena umat manusia menganggap keputusan Trump sebagai skandal peradaban dan kemanusiaan. Mana mungkin manusia yang menetap di tanah airnya (Palestina) selama berabad-abad, tiba-tiba diusir untuk memberikan tempat kepada diaspora Yahudi yang ada di seluruh dunia.
Tragisnya, negeri yang basisnya diaspora orang Yahudi itu didukung kekuatan adikuasa Amerika dan Inggris. Mereka menganggap pemilik tanah Palestina yang sebenarnya adalah orang Yahudi. Akibatnya, penduduk asli Palestina diusir. Diperangi. Dibunuh. Dibantai. Hak-hak hidup orang Palestina dan peradabannya dihancurkan.
Itulah yang kini sedang dibela di Monas. Seluruh rakyat Indonesia berkumpul untuk mengecam dan menolak keputusan Donald Trump yang secara terang-terangan melakukan skandal kemanusiaan dan peradaban di Palestina.
Aneh memang. Di dunia yang online, di mana setiap kejadian di muka bumi bisa ditampilkan di jagat maya secara real time, masih saja ada pihak-pihak tertentu yang tanpa malu bersembunyi di balik kenyataan. Trump salah satunya. Ketika ekonomi Amerika terpuruk. Pengangguran melambung. Popularitas terjatuh. Tiba-tiba Trump mengumumkan Washington akan mengalihkan kedubesnya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Harapannya, nama Trump terkerek. Yang terjadi sebaliknya. Namanya makin jatuh. Di dalam negeri nama Trump terpuruk. Di luar negeri, lebih parah. Bahkan jadi musuh bersama. Musuh manusia yang peduli kemerdekaan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan.
Keputusan Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel niscaya memicu gelombang protes yang sangat-sangat besar di seluruh dunia. Karena di balik keputusan itu, Trump sedang menghina sejarah dan peradaban manusia. Dampaknya, Trump menjadi paria politik internasional. Sayangnya, Trump tak akan peduli dengan semua itu. Kecuali ia masuk pusaran kesadaran yang datang dari langit. Tapi mana mungkin Trump bisa seperti itu?
(thm)