Universitas dalam Pengembangan Teknologi Tenaga Listrik di China
A
A
A
Suwarno
Guru Besar ITB
Saya mulai menjalin kerja sama dengan universitas di China pada 2000 ketika menghadiri suatu seminar internasional dan sekaligus menjadi anggota International Advisory Committee di Xian Jiao Tong University. Sejak itu kerja sama melebar ke beberapa universitas terkemuka di bidang teknik tenaga listrik seperti Chongqing University, Tsinghua University, dan sebuah universitas khusus tentang tenaga listrik yaitu North China Electric Power University di Beijing. Universitas yang terakhir ini mempunyai mahasiswa teknik tenaga listrik 27.000 orang (7.000 di antaranya mahasiswa master dan doktor) dan staf 3.000 orang.
Kerja sama meliputi kuliah dosen tamu dari dan ke China, penelitian bersama, bimbingan mahasiswa pascasarjana bersama, dan publikasi internasional bersama. Pada awal kerja sama ada kesan bahwa laboratorium di China sederhana dengan fasilitas yang biasa saja. Bisa dikatakan selevel dengan lab di Indonesia. Kebanyakan mahasiswa dan dosen termasuk profesor datang ke lab dengan menggunakan sepeda ontel. Fasilitas umum seperti jalan becek, toilet jorok, dan kumuh. Yang menonjol waktu itu adalah fasilitas olahraga sangat bagus. Beberapa puluh lapangan tenis meja bahkan tersebar di areal kampus yang secara bebas dipakai oleh mahasiswa dan dosen. Pantas China selalu juara tenis meja gumam saya dalam hati waktu itu.
Dalam 10 tahun terakhir laboratorium di kampus universitas di China meningkat dengan pesat jauh lebih cepat dengan perkembangan laboratorium di Indonesia. Setiap kali berkunjung selalu saja ada pembangunan/renovasi lab dan peralatan baru. Pada kunjungan lab terakhir saya pada 2016 saya merasa laboratorium di universitas China sudah jauh lebih maju dari yang kami punyai.
Dalam kunjungan kerja bersama PLN ke China beberapa waktu lalu, Prof Zhang dari Xian Jiao Tong University memaparkan bahwa dana riset yang dijalankan departemennya bersama 150 dosen pada 2016 adalah 150 juta yuan atau sekitar Rp300 miliar. Berarti rata-rata setiap dosen mempunyai dana riset sekitar Rp2 miliar setahun. Pantas saja. Dengan dana sebesar itu, tentu peralatan laboratorium dapat diperbarui mengikuti state of the art teknologi tenaga listrik. Dana besar itu sekitar 70% berasal dari pemerintah pusat dan daerah, sedangkan selebihnya dari industri seperti China Grid, Xidian, Xian Transformer, dan industri peralatan listrik lain.
Skema seperti ini berlaku hampir untuk segala bidang. Satu di antara skema pendanaan dari pemerintah untuk pengembangan teknologi di China, yaitu melalui skema state key laboratory (SKL) yang dimulai awal 2000-an yang melingkupi bidang-bidang kunci. SKL menghubungkan universitas dan industri dengan bantuan dana pemerintah pusat. Saat ini ada sekitar 300 SKL tersebar di China, terutama di daerah-daerah pusat inovasi dan universitas terkemuka seperti Beijing, Shanghai, Xian, Chengdu, Wuhan, Tianjin, Chongqing, Hangzou, Hong Kong, dan Nanjing.
Khusus untuk pengembangan teknik tenaga listrik, Pemerintah China membuat laboratorium kunci (state key laboratory) di lima universitas terkemuka, yaitu State Key Laboratory of Electrical Insulation and Power Equipment di Xian Jiaotong University, State Key Laboratory of Control and Simulation of Power System and Generation Equipment di Tsinghua University, State Key Laboratory of Power Transmission Equipment & System Security and New Technology di Chongqing University, State Key Laboratory of Alternate Electrical Power System with Renewable Energy Sources di North China Electric Power University, Beijing, dan State Key Laboratory of Advanced Electromagnetic Engineering and Technology di Huazhong University of Science and Technology.
Dana besar dikucurkan pemerintah untuk penelitian pengembangan teknik tenaga listrik yang menjadi tulang punggung industri di China. Dengan dana yang semakin besar dan peralatan laboratorium yang semakin baik, China berhasil meningkatkan kontribusi pada pengembangan inovasi di industri dan karya tulis dalam bentuk paper internasional secara signifikan. Kalau dilihat di publikasi jurnal bergengsi semisal IEEE, pada beberapa tahun terakhir publikasi yang ditulis oleh peneliti China semakin dominan. Bagaimana kontribusi keilmuan global dalam teknik ketenagalistrikan (electrical power engineering) dapat dilihat dari IEEExplore, database Institute of Electrical and Electronic Engineers (IEEE).
Agar terlihat perkembangan kontribusi, mari tinjau untuk kurun 1996-2005 dan 2012-2017. Pada kurun 1996-2005 ada sekitar 22.000 karya ilmiah internasional. Amerika menyumbang 27%, Kanada 8%, Jepang 7%, Jerman 5%, dan Korea 3%. Adapun China menyumbang 8% dan Indonesia 0,01%.
Pada kurun enam tahun terakhir (2012-2017) konstelasi berubah drastis di mana dari sekitar 120.000 artikel China dan Amerika menempati urutan pertama dengan sama-sama menyumbang 17,5% disusul Kanada dan Korea masing-masing 6 dan 4%. Jepang turun drastis menjadi hanya 3%. Meskipun mengalami peningkatan signifikan, Indonesia masih pada posisi 0,6% (dari semula 0,01%).
Tren serupa juga terlihat pada data publikasi ilmiah internasional dalam teknik ketenagalistrikan di dalam database internasional terbesar yaitu Scopus. Pada dua kurun waktu di atas US turun dari 26% menjadi 15,3%, Jepang turun dari 9,4% menjadi 5,0%, namun China naik dari 9,5% menjadi 27,3%. Sedangkan Indonesia mengalami kenaikan dari 0,06 % menjadi 0,3%.
Terlihat jelas bagaimana peran ABG (A: academia/universitas, B: business/dunia usaha, G: government/pemerintah) dalam pengembangan teknologi ketenagalistrikan. Pemerintah memberikan arahan inovasi dan teknologi apa dan bagaimana perlu dikembangkan, kelembagaan, dan pendanaan. Menurut World Bank, China telah menaikkan anggaran penelitian dari 0,56% GDP pada 1996 menjadi 2,07% GDP pada 2015, sedangkan Indonesia masih berkutat dengan anggaran riset sekitar 0,2% GDP. Industri menyumbang dana dan masukan tentang teknologi yang diperlukan, sedangkan universitas menjalankan penelitian sesuai dengan arahan pemerintah dan kebutuhan dari dunia industri. Untuk percepatan pengembangan dan aplikasi teknologi tenaga listrik di Indonesia, peran ABG perlu ditingkatkan melalui pendanaan yang memadai, kelembagaan yang mendukung, serta sinergi dan keberpihakan penggunaan teknologi dan barang buatan dalam negeri.
Guru Besar ITB
Saya mulai menjalin kerja sama dengan universitas di China pada 2000 ketika menghadiri suatu seminar internasional dan sekaligus menjadi anggota International Advisory Committee di Xian Jiao Tong University. Sejak itu kerja sama melebar ke beberapa universitas terkemuka di bidang teknik tenaga listrik seperti Chongqing University, Tsinghua University, dan sebuah universitas khusus tentang tenaga listrik yaitu North China Electric Power University di Beijing. Universitas yang terakhir ini mempunyai mahasiswa teknik tenaga listrik 27.000 orang (7.000 di antaranya mahasiswa master dan doktor) dan staf 3.000 orang.
Kerja sama meliputi kuliah dosen tamu dari dan ke China, penelitian bersama, bimbingan mahasiswa pascasarjana bersama, dan publikasi internasional bersama. Pada awal kerja sama ada kesan bahwa laboratorium di China sederhana dengan fasilitas yang biasa saja. Bisa dikatakan selevel dengan lab di Indonesia. Kebanyakan mahasiswa dan dosen termasuk profesor datang ke lab dengan menggunakan sepeda ontel. Fasilitas umum seperti jalan becek, toilet jorok, dan kumuh. Yang menonjol waktu itu adalah fasilitas olahraga sangat bagus. Beberapa puluh lapangan tenis meja bahkan tersebar di areal kampus yang secara bebas dipakai oleh mahasiswa dan dosen. Pantas China selalu juara tenis meja gumam saya dalam hati waktu itu.
Dalam 10 tahun terakhir laboratorium di kampus universitas di China meningkat dengan pesat jauh lebih cepat dengan perkembangan laboratorium di Indonesia. Setiap kali berkunjung selalu saja ada pembangunan/renovasi lab dan peralatan baru. Pada kunjungan lab terakhir saya pada 2016 saya merasa laboratorium di universitas China sudah jauh lebih maju dari yang kami punyai.
Dalam kunjungan kerja bersama PLN ke China beberapa waktu lalu, Prof Zhang dari Xian Jiao Tong University memaparkan bahwa dana riset yang dijalankan departemennya bersama 150 dosen pada 2016 adalah 150 juta yuan atau sekitar Rp300 miliar. Berarti rata-rata setiap dosen mempunyai dana riset sekitar Rp2 miliar setahun. Pantas saja. Dengan dana sebesar itu, tentu peralatan laboratorium dapat diperbarui mengikuti state of the art teknologi tenaga listrik. Dana besar itu sekitar 70% berasal dari pemerintah pusat dan daerah, sedangkan selebihnya dari industri seperti China Grid, Xidian, Xian Transformer, dan industri peralatan listrik lain.
Skema seperti ini berlaku hampir untuk segala bidang. Satu di antara skema pendanaan dari pemerintah untuk pengembangan teknologi di China, yaitu melalui skema state key laboratory (SKL) yang dimulai awal 2000-an yang melingkupi bidang-bidang kunci. SKL menghubungkan universitas dan industri dengan bantuan dana pemerintah pusat. Saat ini ada sekitar 300 SKL tersebar di China, terutama di daerah-daerah pusat inovasi dan universitas terkemuka seperti Beijing, Shanghai, Xian, Chengdu, Wuhan, Tianjin, Chongqing, Hangzou, Hong Kong, dan Nanjing.
Khusus untuk pengembangan teknik tenaga listrik, Pemerintah China membuat laboratorium kunci (state key laboratory) di lima universitas terkemuka, yaitu State Key Laboratory of Electrical Insulation and Power Equipment di Xian Jiaotong University, State Key Laboratory of Control and Simulation of Power System and Generation Equipment di Tsinghua University, State Key Laboratory of Power Transmission Equipment & System Security and New Technology di Chongqing University, State Key Laboratory of Alternate Electrical Power System with Renewable Energy Sources di North China Electric Power University, Beijing, dan State Key Laboratory of Advanced Electromagnetic Engineering and Technology di Huazhong University of Science and Technology.
Dana besar dikucurkan pemerintah untuk penelitian pengembangan teknik tenaga listrik yang menjadi tulang punggung industri di China. Dengan dana yang semakin besar dan peralatan laboratorium yang semakin baik, China berhasil meningkatkan kontribusi pada pengembangan inovasi di industri dan karya tulis dalam bentuk paper internasional secara signifikan. Kalau dilihat di publikasi jurnal bergengsi semisal IEEE, pada beberapa tahun terakhir publikasi yang ditulis oleh peneliti China semakin dominan. Bagaimana kontribusi keilmuan global dalam teknik ketenagalistrikan (electrical power engineering) dapat dilihat dari IEEExplore, database Institute of Electrical and Electronic Engineers (IEEE).
Agar terlihat perkembangan kontribusi, mari tinjau untuk kurun 1996-2005 dan 2012-2017. Pada kurun 1996-2005 ada sekitar 22.000 karya ilmiah internasional. Amerika menyumbang 27%, Kanada 8%, Jepang 7%, Jerman 5%, dan Korea 3%. Adapun China menyumbang 8% dan Indonesia 0,01%.
Pada kurun enam tahun terakhir (2012-2017) konstelasi berubah drastis di mana dari sekitar 120.000 artikel China dan Amerika menempati urutan pertama dengan sama-sama menyumbang 17,5% disusul Kanada dan Korea masing-masing 6 dan 4%. Jepang turun drastis menjadi hanya 3%. Meskipun mengalami peningkatan signifikan, Indonesia masih pada posisi 0,6% (dari semula 0,01%).
Tren serupa juga terlihat pada data publikasi ilmiah internasional dalam teknik ketenagalistrikan di dalam database internasional terbesar yaitu Scopus. Pada dua kurun waktu di atas US turun dari 26% menjadi 15,3%, Jepang turun dari 9,4% menjadi 5,0%, namun China naik dari 9,5% menjadi 27,3%. Sedangkan Indonesia mengalami kenaikan dari 0,06 % menjadi 0,3%.
Terlihat jelas bagaimana peran ABG (A: academia/universitas, B: business/dunia usaha, G: government/pemerintah) dalam pengembangan teknologi ketenagalistrikan. Pemerintah memberikan arahan inovasi dan teknologi apa dan bagaimana perlu dikembangkan, kelembagaan, dan pendanaan. Menurut World Bank, China telah menaikkan anggaran penelitian dari 0,56% GDP pada 1996 menjadi 2,07% GDP pada 2015, sedangkan Indonesia masih berkutat dengan anggaran riset sekitar 0,2% GDP. Industri menyumbang dana dan masukan tentang teknologi yang diperlukan, sedangkan universitas menjalankan penelitian sesuai dengan arahan pemerintah dan kebutuhan dari dunia industri. Untuk percepatan pengembangan dan aplikasi teknologi tenaga listrik di Indonesia, peran ABG perlu ditingkatkan melalui pendanaan yang memadai, kelembagaan yang mendukung, serta sinergi dan keberpihakan penggunaan teknologi dan barang buatan dalam negeri.
(zik)